oleh: Y.M.
Bhikkhu Suguno
PENGANTAR
Dewasa ini, pengertian tentang ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu adalah sangat kompleks. Sehingga tidak jarang kita dapatkan adanya perbedaan pengertian ataupun definisi yang diberikan oleh ekonom yang satu dengan yang lainya. Pada mulanya pengertian ekonomi, cukup sederhana, yaitu pengaturan administrasi sumber-sumber penghasilan di rumah tangga. Selanjutnya para ekonom mendefinisikan ekonomi dalam pengertian “kekayaan”. Sebagai contohnya, Adam Smith dalam bukunya An inquiry into the Nature and causes of Wealth of Nationsmendefinisikan ekonomi sebagai disiplin ilmu terapan tentang produksi dan penggunaan kekayaan. Pada saat sekarang definisi dari ekonomi lebih ditekankan pada determinasi dari beberapa permasalahan perdagangan. Sering juga ekonomi didefinisikan dalam pengertian “kesejahteraan” yang mana ekonomi merupakan sarana atau ilmu tentang bagaimana menambah produksi sehingga standard kehidupan atau kesejahteraan masyarakat bisa bertambah.
Para ekonom yang memperhatikan
tentang moral akan memberikan definisi ekonomi dalam pengertian yang cukup
berbeda. Sebagai contohnya, Alfred Marshal mendefinisikan ekonomi sebagai suatu
disiplin ilmu yang tidak hanya mempelajari tentang kekayaan materi, tetapi juga
suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang manusia dalam hubungannya dengan
pemenuhan kebutuhannya. Lebih lanjut Milton Spenser dalam bukunya Contemporary
Economics mendefinisikan ekonomi sebagai “Suatu cara masyarakat memilih
jalan yang tepat untuk memperdayagunakan sumber-sumber kekayaan yang terbatas,
yang mana mempunyai beberapa penggunaan untuk memproduksi barang-barang
kebutuhan dan manfaat lain untuk konsumsi saat sekarang dan yang akan datang”.
Mengingat sumber-sumber kekayaan yang sangat terbatas dan keinginan manusia
akan keyaaan yang tidak terbatas, maka manusia yang bertanggung jawab harus
menggunakan sumber-sumber kekayaan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Para ekonom modern menganggap bahwa
manusia adalah mahluk berpikir dan motivasi-motivasi yang ada pada dirinya
berdasar pada faktor-faktor ekonomi. Tidak seperti hewan yang dalam pemenuhan
kebutuhannya sangat sederhana dan pada umumnya terbatas pada keperluannya;
manusia memiliki keinginan (wants) yang tidak terbatas. Manusia
mempunyai tendensi untuk memenuhi keinginan akan materi yang lebih banyak, dan
pada kenyataannya keinginan tersebut tidak ada batasnya. Di jaman modern ini
kekayaan materi atau pendapatan pribadi (per capita income) dijadikan
sebagai ukuran kemakmuran suatu masyarakat atau suatu bangsa. Produksi dipacu
setinggi-tingginya, tanpa memperhatikan harga atau nilai kemanusiaan,
kemasyarakatan, dan lingkungan. Tidak jarang materi hanya ditujukan untuk
pemuasan nafsu-nafsu indera dari manusia. Suatu hal yang dominan dari para
ekonom di dunia barat adalah adanya kenyataan bahwa motif dari tindakan-tindakan
yang mereka lakukan adalah untuk mencari keuntungan pribadi dan bukan kemauan
mereka untuk menyediakan solusi terbaik untuk beberapa masalah yang berkaitan
dengan ekonomi dan politik
PEMBAHASAN
I. Kondisi perekonomian di India pada Abad ke 6 SM
I. Kondisi perekonomian di India pada Abad ke 6 SM
Keadaan perekonomian di India pada
abad ke 6 SM dalam masa transisi dari sistem perekonomian yang menitik-beratkan
pada sektor pertanian ke sistem perekonomian yang menitik-beratkan pada sektor
perdagangan. Bisa dikatakan bahwa kedua sektor, yaitu negara (pemerintah) dan
swasta, memegang peranan yang cukup penting dalam usaha menyediakan lapangan
kerja dan mengembangkan kesejahteraan rakyat banyak. Pada zaman Sang Buddha,
meskipun kedua sektor tersebut memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi,
tetapi pengaruh sektor swasta adalah cukup besar. Hal ini bisa dilihat dengan
munculnya beberapa multi-milioner(mahasetthi), seperti
Visakha, Anathapindika, dan sebagainya, yang menguasai sebagian perekonomian
yang ada pada waktu itu. Pada umumnya, tanah yang ada dikuasai oleh para raja
atau pemimpin yang berkuasa, sedangkan perdagangan dikuasai oleh sektor swasta.
Tentang jenis-jenis pekerjaan yang
ada pada waktu itu bisa dilihat dari Kitab Jataka dan beberapa sutta seperti
Tamo-tama Parayana Sutta, Kutadanta Sutta, dan sebagainya. Menurut
sumber-sumber yang ada, mereka yang bekerja di bawah raja bisa dikelompokkan
menjadi 25 kelompok yang masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda. Di
antaranya para prajurit, tukang masak, tukang potong rambut, pencuci,
sekretaris, pembuat barang-barang kerajinan, akuntan, penjaga gajah, dan
sebagainya. Sedangkan masyarakat yang bekerja diluar kerajaan bisa dibagi
menjadi 18 kelompok, seperti tukang kayu, pandai besi, tukang batu, pengrajin
kulit, pot, gading, tukang jagal, pemburu binatang, pelaut, dan masyarakat yang
bekerja dalam bidang transportasi, perdagangan, dan sebagainya.
Pada abad ke 6 SM, perdagangan
barter sudah mulai ditinggalkan dan perdagangan dengan cara menilai barang
dengan uang sudah mulai populer. Hampir semua transaksi perdagangan dilakukan
dengan dengan alat pembayaran yang disebut dengan kahapana, sebuah
logam (perunggu) yang beratnya sekitar 146 biji padi. Selain itu para pedagang
menggunakan surat kuasa (seperti cek) yang bisa digunakan sebagai alat
pembayaran. Demikian juga disebutkan bahwa sistem perbankan sudah dikenal.
Mereka menggunakan meminjamkan uang kepada mereka yang memerlukan, dan interest
(bunganya) ditentukan oleh hukum yang ada pada waktu itu. Sebagai contohnya,
menurut hukum tersebut jika seseorang menabung, maka dia akan mendapatkan bunga
dengan rate of interest 18 % per tahun.
II.
Tinjauan tentang materi atau kekayaan
Dari apa yang telah kita bahas di
atas, kita dapat mempunyai gambaran bahwa definisi ekonomi adalah sangat kompleks.
Dalam pengertian yang luas, ekonomi menyangkut semua aktivitas untuk
mendapatkan kekayaan dan dalam pengertian yang lebih sempit, ekonomi
mempelajari tentang motif yang digunakan oleh setiap orang untuk melindungi dan
memuaskan segala keinginannya. Dalam hal ini, ekonomi sebagai suatu disiplin
ilmu mempelajari tentang beberapa sebab di mana adanya ketergantungan materi
dan kesejahteraan manusia dan juga beberapa sebab yang mempengaruhi dan
mengontrol produksi barang-barang kebutuhan, cara penjualannya, dan sebagainya.
Dikarenakan adanya keterkaitan semua
aktivitas dan motif manusia dalam semua aspek ekonomi, maka ekonomi, menurut
pandangan Agama Buddha, mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu etika.
Pada dasarnya Agama Buddha adalah agama yang mementingkan etika dan
perkembangan karakter individu. Menurut Agama Buddha, semua aktivitas yang
dilakukan oleh manusia yang bervariasi, pada akhirnya harus ditujukan pada
perkembangan moral dan perkembangan batin. Perlu diingat bahwa Agama Buddha
tidak menentang manusia mencari kekayaan untuk memenuhi kebutuhannya. Sang
Buddha dalam beberapa khotbah-Nya menerangkan bahwa materi adalah penting dalam
kehidupan kita. Tetapi materi bukanlah satu-satunya tujuan yang harus
dikejar-kejar dengan semua cara; materi sebaiknya digunakan sebagai sarana
penunjang untuk mendapatkan kebahagiaan spiritual yang lebih tinggi. Jadi,
materi atau kekayaan bukanlah satu-satunya tujuan, melainkan sebagai sarana
untuk menciptakan kondisi yang menunjang kehidupan spiritual seseorang. Hal ini
bisa kita lihat dari kisah yang menceritakan bahwa Sang Buddha tidak
mengajarkan Dhamma kepada orang yang kelaparan. Pada suatu ketika Sang Buddha
menerima murid yang datang dari jauh, yang kelihatan lelah, sehingga Beliau
memerintahkan kepada para Bhikkhu untuk memberi makanan kepada orang tersebut,
baru setelah makan Beliau mengajarkan Dhamma. Kelaparan sendiri dikategorikan
sebagai salah satu penyakit (dalidda paramam roga).
Jika pengumpulan kekayaan hanya
merupakan suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, maka
hasilnya sering kita dapatkan ketidak-puasan. Kita seharusnya menganggap
kekayaan sebagai sesuatu untuk dinikmati dengan orang yang lain. Seandainya
manusia dapat menyebarkan cinta kasihnya kepada mahkluk lain, tanpa adanya
anggapan tentang perbedaan ras, warna kulit, dan sebagainya, maka dia akan
mampu mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar. Dalam hal ini kebahagiaan bukan
datang dari tanha, kebahagiaan yang diliputi olehself-centred idea
(untuk dirinya sendiri), tetapi hal tersebut merupakan kebahagiaan yang muncul
dari chanda, kebahagiaan yang muncul dengan harapan orang lain juga
ikut bahagia. Hal ini sangat penting untuk dijadikan pedoman untuk melaksanakan
segala kegiatan yang berhubungan dengan ekonomi. Sebaiknya semua produksi
ditujukan untuk kebahagiaan orang banyak, bukan untuk tujuan pribadi tanpa
mementingkan kepentingan masyarakat.
Kata STQ = artha
(Sansekerta) dapat diartikan sebagai barang, uang, kekayaan, dan lain-lain.
Dalam bahasa Pali kata attha mempunyai kedekatan arti dengan
kata artha Namun kata attha dalam bahasa Pali mempunyai
beberapa arti, salah satunya adalah “sesuatu yang didapat”; tentunya
kesejahteraan, baik kesejahteraan fisik (dalam arti kekayaan) dan dalam
pengertian spiritual, supreme arahantship. Selain itu, kata attha
bisa diartikan sebagai sukses, dan pengertiannya dapat dilihat dari dua level,
yaitu: sukses yang berhubungan dengan beberapa aspek ekonomi yang merujuk
kepada kesejahteraan materi dan sukses dalam pengertian uttamattha
atau kesuksesan tertinggi dimana perkembangan bathin seseorang, setelah melalui
praktik dan meditasi yang tekun, bisa merealisasi Nibbana.
Menurut Agama Buddha, materi itu
sendiri tidak bisa dianggap jahat atau sebaliknya. Memang pada kenyataannya
uang (materi) bisa menjadi sumber pertengkaran, pertikaian dan pembunuhan,
sehingga banyak orang berpendapat “uang adalah sumber atau akar dari segala
kejahatan” (money is the root of all evils). Tetapi menurut pandangan
Agama Buddha, materi bersifat netral dan tergantung pada manusia yang memiliki
dan menggunakannya. Jika digunakan untuk kepentingan-kepentingan keagamaan,
atau sosial – misalnya untuk membantu orang-orang yang memerlukan, maka materi
akan membuahkan manfaat, baik dalam kehidupan sekarang dan dalam kehidupan yang
akan datang. Sebaliknya jika materi digunakan untuk kepentingan pemuasan nafsu
indera yang berlebihan, maka materi akan membawa kebahagiaan sementara saja.
Agama Buddha tidak pernah melarang
pengikutnya untuk mengumpulkan kekayaan (materi), tetapi Sang Buddha selalu
mengajarkan bahwa dalam mengumpulkan kekayaan, hendaknya seseorang melakukannya
dengan jalan yang benar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa memiliki materi
atau kekayaan merupakan salah satu sumber kebahagiaan (atthi sukha). Demikian
juga akan muncul kebahagiaan jika seseorang dapat menikmati apa yang telah
diperolehnya (bhoga sukha). Jika seseorang bekerja keras dan dapat
memenuhi kebutuhannya sehari-hari, maka dia tidak akan jatuh ke dalam hutang (anana
sukha). Ketiga macam kebahagiaan tersebut berkaitan erat dengan materi.
Lebih lanjut Sang Buddha menerangkan kebahagiaan yang ke empat, yaitu: anavajja
sukha(kebahagiaan yang didapat jika seseorang merasa bahwa dirinya telah
berbuat sesuai dengan Dhamma). Dalam hal ini Sang Buddha tidak hanya
mengajarkan bagaimana untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia ini, tetapi juga
mengajarkan cara-cara yang harus dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan
Dhamma, agar setelah ia meninggal bisa terlahir di alam-alam bahagia. Dalam
Kitab Suci Tipitaka, tidak disebutkan teori-teori ekonomi secara comprehensif,
tetapi Kitab Suci Tipitaka menerangkan beberapa pedoman atau petunjuk yang
sangat penting dalam hubungannya dengan ekonomi. Meskipun Kitab Suci Tipitaka
memuat nasihat-nasihat yang bersifat kuno, lebih dari 2.500 tahun lalu, tetapi
nasihat-nasihat tersebut mempunyai relevansi dengan sebagian besar dari
teori-teori yang terdapat dalam ekonomi modern.
Pengalaman melalui pembuktian
merupakan ciri khas pendekatan yang digunakan dalam Agama Buddha untuk melihat
suatu masalah, termasuk beberapa masalah yang berhubungan dengan ekonomi.
Melalui pendekatan empiris inilah Sang Buddha mengajarkan bahwa “semua mahluk
hidup karena makanan” atau “sabbe satta aharatthitika“. Menyadari akan
hal ini, Sang Buddha mengetahui bahwa setiap orang harus menempuh beberapa cara
yang diperlukan untuk memperoleh makanan. Dalam hal ini Sang Buddha
menganjurkan beberapa jalan dan petunjuk yang sebaiknya dijalankan oleh
seseorang sesuai dengan norma-norma kemoralan. Misalnya, Sang Buddha
menerangkan tentang norma-norma etika, seperti hukum kamma untuk mengontrol dan
membimbing manusia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Hal ini sangat
berguna, karena pada kenyataanya, keinginan manusia akan pemuasan nafsu-nafsu indera
adalah tidak terbatas. Tidak jarang manusia menggunakan segala cara untuk
mendapatkan kekayaan, sehingga tidak jarang terjadi konflik, kebencian,
pembunuhan dan sebagainya. Dengan diterangkan ajaran tentang kamma (hukum
perbuatan), maka seseorang menjadi lebih percaya akan dirinya sendiri, dan
tentunya dalam dunia perekonomian akan memberi pengaruh pada produksi,
distribusi, konsumsi, dan semua aktivitas yang lain.
III.
Negara dan perekonomian
Agama Buddha menunjukkan bahwa
kekurangan atau ketidak-beresan dalam pengaturan ekonomi akan menyebabkan
perbedaan yang besar antara si kaya dan si miskin. Cakkavattisihanada Sutta dan
Kutadanta Sutta, Digha Nikaya menyebutkan bahwa kerusuhan, pencurian, dan
permasalahan lain dalam masyarakat disebabkan salah satunya dari kemiskinan,
dan kemiskinan disebabkan karena ketidak-beresan dalam pengaturan sistem
ekonomi. Sang Buddha menyadari adanya ketergantungan antara faktor fisik dan
psikis, yang secara umum mempengaruhi perilaku kemasyarakatan. Menurut sutta
tersebut, perlindungan atau penyediaan keamanan kepada masyarakat, tanpa
memperhatikan ekonomi negara adalah belum cukup untuk mencapai kesejahteraan
suatu bangsa. Sang Buddha menceritakan bagaimana Raja Maha Vijita yang
mempunyai tentara yang kuat, tetapi kerajaaanya hancur karena dia gagal
menyediakan pengaturan ekonomi yang baik bagi masyarakatnya. Kemiskinan akan
mendorong seseorang untuk mencuri, sebab mereka yang kelaparan memerlukan
makanan untk memelihara tubuhnya. Sehingga Sang Buddha menasihatkan bahwa untuk
menciptakan masyarakat yang bermoral dan berakhlak, kondisi ekonomi yang ada
dalam suatu masyarakat harus juga ditingkatkan. Oleh karena itu, jika dalam
suatu masyarakat atau suatu bangsa terjadi kerusuhan, tingkat kejahatan
meningkat, maka raja atau pemerintah mempunyai kewajiban untuk membangun
ekonomi kerajaan atau negara. Raja atau pemerintah sebaiknya memberi atau
menyediakan kapital kepada masyarakat yang memerlukan bantuan.
Dalam hal penyelesaian suatu masalah
negara, misalnya kerusuhan, pencurian, perampokan dan sebagainya, tidak dapat
dilakukan dengan jalan pemberian secara acak-acakan. Lebih lanjut Sang Buddha
menyatakan bahwa jika pemberian kapital kepada masyarakat dilakukan dengan
jalan yang tidak tepat, maka akan menimbulkan kemalasan dan kejahatan tidak
semakin berkurang. Orang akan malas dan cenderung melakukan kejahatan dengan
dalih kelaparan agar mendapat simpati dari raja. Semula Raja Maha Vijita
membagi-bagi kekayaannya dengan bebas kepada mereka yang melakukan pencurian,
dengan harapan agar mereka menghentikan tindakan hina tersebut. Tetapi pada
kenyataannya pencurian berlanjut dan semakin banyak. Menyadari hal ini, Raja
Maha Vijita tidak lagi membagi-bagi kekayaannya secara bebas, tetapi melalui
hal tersebut harus dilakukan dengan cara dan pengarahan yang benar. Bagi mereka
yang terbukti melakukan pencurian sebagai suatu pekerjaan, maka hukuman akan
dijatuhkan kepadanya. Tindakan tegas ini dilakukan oleh Maha Vijita demi
kebahagiaan rakyatnya.
Menurut Sang Buddha, penyediaan kapital
kepada masyarakat harus dilakukan secara terarah dan terpadu dan diberikan
kepada mereka yang betul-betul membutuhkan (ye janapadesu adana tesam dhanam
anuppadeyasi), sedangkan pengaturan ekonomi yang tidak adil akan
menyebabkan kemiskinan (adananam anuppadeyamana daliddam vipula gacchati).
Kembali seperti apa yang telah disebutkan di atas, kemiskinan akan mendorong
seseorang untuk melakukan penjarahan, pencurian, pembunuhan, dan sebagainya.
Jika hal tersebut terjadi, maka raja atau pemerintah mempunyai kewajiban untuk
menyelesaikannya, yaitu dengan jalan membangun sistem perekonomian yang cocok
di suatu kerajaan atau negara tersebut.
Kutadanta Sutta dan
Cakkavattisihanada Sutta juga menerangkan bahwa kerusuhan, penjarahan,
pencurian, perampokan dan sebagainya (dhassu-khila), yang disebabkan
karena kemiskinan, tidak dapat diselesaikan dengan jalan menjatuhkan hukuman
kepada para pelaku. Dalam kedua sutta tersebut, dijelaskan “… jika di dalam
lingkungan kerajaaan, masyarakat menjadi gelisah, tidak aman, karena adanya
perampokan atau kerusuhan di desa, di kota, di pasar, di jalan-jalan dan di
seluruh lingkungan kerajaan, maka raja akan berpikir untuk menyelesaikanya
dengan jalan menghukum, memenjarakan atau membuang mereka (…etam dhasukhilam
vadhena va bandhena va janiya va garahaya va pabbajanaya samahanissami)”.
Cara ini tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Mereka yang lolos dari hukuman akan menyusun kekuatan untuk melawan raja atau
pemerintah dan akan berlanjut melakukan penjarahan, pencurian, perampokan dan
sebagainya.
Selanjutnya, kedua sutta tersebut
juga menerangkan bahwa dalam kondisi, di mana keadaan ekonomi masyarakat yang
tidak stabil, raja atau pemerintah tidak dibenarkan untuk menaikkan pajak
dengan alasan apapun (…janapade sa-upapile balim uddhareyya, akicca-kari).
Tidak dibenarkan pula jika keadaan ekonomi suatu negara masih dalam keadaan
kurang stabil, diadakan pesta besar (berfoya-foya), yang akan menghabiskan
kekayaan negara.
Melalui sistem pengaturan kekayaan yang
tepat, suatu negara atau kerajaan bisa menjamin kemakmuran rakyatnya. Kedua
sutta di atas menyebutkan bahwa bagi masyarakat yang memerlukan bantuan untuk
melanjutkan usahanya, maka raja sebaiknya mengarahkan dan memberi bantuan
kepada mereka. Bagi masyarakat yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, maka
sebaiknya raja memberi bantuan berupa biji-bijian dan makanan (ye janapade
ussahanti kasi-gorakkhe tesam bhavam raja bija-bhattam anuppadetu), bagi
mereka yang berdagang, kepadanya sebaiknya diberikan modal atau kapital (…vajijjaya
tesam bhavam pabbatam anuppadetu), sedangkan kepada mereka yang bekerja
sebagai pegawai, kepadanya sebaiknya diberikan nasi dan gaji (…janapadesu
raja-porise tesam bhatta-vettanam pakappetu). Jika semua lapisan yang ada
di masyarakat mempunyai usaha dan bekerja sesuai dengan pekerjaannya
masing-masing, maka kemakmuran dan kesejahteraan bisa di dapat. Diceritakan
bahwa setelah menerapkan nasihat-nasihat tersebut di lingkungan kerajaan Maha
Jivita tidak ada orang yang menggangu orang lain dengan dalih kelaparan,
sehingga masyarakat bisa hidup bersama keluarga mereka dengan bahagia, tenang,
sejahtera (khematthita) dan aman meskipun tinggal dengan pintu terbuka (aparuta-ghara).
Dalam hal ini sangat penting kiranya
untuk diperhatikan bahwa menurut Agama Buddha sistem ekonomi harus ditujukan
sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat dan bukan seballiknya.
Oleh karena itu, penyediaan lapangan kerja kepada masyarakat merupakan faktor
yang penting dalam usaha peningkatan kesejahteraan rakyat. Kutadanta Sutta
menerangkan adanya keterkaitan antara pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan
tindakan kriminal yang ada dalam masyarakat, seperti pencurian, perampokan, dan
sebagainya.
IV.
Beberapa petunjuk Sang Buddha tentang cara mengumpulkan kekayaan
Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya
menyebutkan bahwa terdapat empat hal di dunia ini yang dicita-citakan,
diagung-agungkan, dan diharapkan oleh setiap orang, tetapi sangat susah untuk
mendapatkannya. Empat hal tersebut adalah harapan untuk mendapatkan kekayaan
dengan jalan Dhamma, cita-cita agar menjadi orang terpandang dalam masyarakat,
harapan agar mempunyai umur panjang dan selalu sehat, serta setelah meninggal
bisa terlahir di alam-alam bahagia, yaitu terlahir di alam surga. Tidak dapat
dipungkiri bahwa pada kenyataanya keempat hal hal tersebut memang diharapkan
oleh setiap orang. Perlu diingat bahwa untuk mendapatkan kekayaan adalah cukup
mudah didapat, tetapi untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma merupakan
hal yang sulit didapat. Demikian juga setelah mendapatkan kekayaan kita
mempunyai harapan agar kita menjadi orang yang terpandang. Jika seseorang
mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang benar, maka dia akan dihormati
masyarakat, dan tentunya akan membawa efek kepada keluarga dan juga para
gurunya. Perbuatan baik yang telah kita tanam menyebabkan orang bisa
mendapatkan kesehatan dan umur panjang, tetapi menurut Agama Buddha tidak ada
sesuatu yang terbentuk bersifat kekal. Oleh karena itu, setelah mendapatkan
hal-hal tersebut di atas, maka harapan terahkir adalah kelahiran di alam-alam
yang membahagiakan. Jadi, sudah jelas bahwa Sang Buddha menasihatkan kepada
kita bahwa kekayaan atau materi bukanlah satu-satunya tujuan dalam hidup kita,
dan dalam mengumpulkan materi seseorang diharapkan untuk memperhatikan
norma-norma etika dan norma-norma keagamaan, sesuai dengan Dhamma.
Lebih lanjut, sutta tersebut
menerangkan bahwa dalam mengumpulkan kekayaan, sebaiknya seseorang
mengumpulkannya dengan usaha dan semangat yang tinggi (utthanaviriyadhigatehi),
dengan keringat sendiri (sedavakkhitehi), dan dengan jalan Dhamma (dhammikehidhammaladdhehi).
Hal ini diterangkan lebih lanjut oleh Sang Buddha dalam Vyagghapajja Sutta, di
mana setelah seorang milyuner yang bernama Dighajanu bertanya kepada Sang
Buddha untuk mendapatkan beberapa nasihat agar dia bisa berbuat untuk
kebahagiaan di dunia ini dan dunia berikutnya. Kemudian Sang Buddha mengajarkan
bahwa hendaknya untuk mendapatkan kemajuan materi atau kekayaan, seseorang
diharapkan melakukan segala pekerjaan dengan penuh usaha (utthana sampada),
menjaga kekayaan yang telah ia dapat (arakkha sampada), hidup seimbang (samajivikata),
dan bergaul dengan para sahabat yang bisa hidup bersama baik dalam keadaan
susah dan senang.
Sedangkan untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia-dunia berikutnya, Pattakamma Sutta dan Vyagghapajja Sutta
menerangkan empat syarat yang diperlukan agar seseorang bisa mendapatkan
kebahagiaan di alam-alam berikutnya, yaitu:
- Saddha: seseorang mempunyai keyakinan kepada penerangan sempurna yang telah dicapai oleh Sang Buddha (Tathagatassa bodhi saddha), dimana Sang Buddha adalah seorang yang mendapat sebutan Bhagava, Arahat, Sammasambuddho, sempurna dalam pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, Sugato, pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya untuk mencapai pembebasan, guru para dewa dan manusia, dan Beliau adalah seorang Buddha.
- Sila: seorang yang telah menyatakan dirinya sebagai upasaka atau upasika diharapkan untuk melaksanakan Pancasila, yaitu menghindari diri dari pembunuhan, pencurian, perzinaan, berbohong, dan minum-minuman keras yang memabukkan.
- Caga: praktik kemurahan hati, misalnya dengan jalan berdana yang ditujukan untuk mengurangi kemelekatan kepada materi.
- Pabba: pengembangan kebijaksanaan yang ditujukan untuk pembebasan dari penderitaan. Dalam hal ini seseorang akan bebas dari nafsu-nafsu keserakahan akan materi, keinginan jahat, kelambanan, kemalasan dan keragu-raguan.
Keempat hal ini adalah sangat
penting, di mana seseorang tidak hanya mengejar materi belaka atau memandang
materi sebagai tujuan yang harus dikumpulkan untuk pribadi, tetapi seseorang
akan berpikir bahwa materi seharusnya digunakan sebagai salah satu sarana untuk
melenyapkan penderitaan.
Dalam usaha mengumpulkan kekayaan,
hendaknya seseorang harus melakukan segala kegiatannya dengan jalan yang benar.
Misalnya, kepada para pedagang, Sang Buddha telah menasihati untuk menghindari
penipuan dengan jalan menipu alat pengukur timbangan (tulakuta), dan
menipu dalam dengan memalsu uang dan sebagainya. Selanjutnya, Angguttara Nikaya
menjelaskan seseorang seharusnya menghindari diri dari lima macam perdagangan
yang bisa membahayakan bagi dirinya sendiri dan juga mahkluk lain,
seperti satta vanijja (perdagangan perbudakan), sattha
vanijja (perdagangan persenjataan), mamsa vanijja (perdagangan
mahluk hidup), majja vanijja(perdagangan minum-minuman keras),
dan visa vanijja (perdagangan racun, termasuk ganja, morfin, dan
sebagainya). Ambalatthika Rahulovada Sutta menegaskan kriteria tentang
pekerjaan terbaik yang dilakukan oleh para pengikut Sang Buddha. Jika suatu
pekerjaan yang dilakukan adalah menimbulkan manfaat untuk dirinya sendiri dan
bermanfaat untuk orang lain serta bermanfaat untuk kedua-duanya maka pekerjaan
tersebut adalah pekerjaan yang terpuji. Beberapa jenis pekerjaan seperti
kerajinan, pertanian dan sebagainya merupakan pekerjaan yang terpuji.
V.
Penggunaan kekayaan
Setelah seseorang mengumpulkan
materi atau kekayaan, maka dia mempunyai kewajiban yang sangat penting, baik
bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pattakamma Sutta menjelaskan adanya empat
hal yang harus di perhatikan bagi seorang perumah tangga dalam hal kekayaan
yang telah dikumpulkanya (cattari kammani katta). Keempat hal tersebut
adalah sebagai berikut:
- Dia sebaiknya mempergunakan kekayaannya untuk kepentingan diri sendiri dan untuk pemenuhan kewajiban keluarga. Secara singkat dia harus menggunakan kekayaanya untuk dinikmati sebagai hasil jerih payahnya (attanam sukheti pineti sammasukham pariharati), sebagian kekayaan digunakan untuk merawat orang tua (matapitaro sukheti pineti sammasukham pariharati), dia juga harus merawat putra-putrinya, pembantu-pembantunya dan para pekerja yang telah membantu dalam usaha (puttadaradasakammakaraporise sukheti pineti sammasukham pariharati), serta dia mempunyai kewajiban untuk menjamu teman dan para pendatang dengan cara yang benar (mittamacce sukheti pineti sammasukham pariharati). Perlu diperhatikan bahwa istilah “sammasukham pariharati” atau “penggunaan secara benar” adalah sangat penting. Jadi sudah jelas bahwa kekayaan menurut Pattakamma Sutta sebaiknya digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan juga untuk kebahagiaan orang lain.
- Dia mempunyai kewajiban untuk menjaga kekayaan yang telah dikumpulkanya dari bahaya-bahaya yang mungkin terjadi, seperti kebakaran (aggito), kebanjiran (udakato), pencurian (corato), dan dari pewaris yang tidak diinginkan (dayadato), serta orang-orang lain yang tidak diinginkan (tatharupasu apadasu bhogehi pariyodhaya vattanti).
- Dia mempunyai lima kewajiban yang lain (pabcabalim), yaitu: kewajiban kepada raja, misalnya membayar pajak (rajabali), kewajiban untuk menjamu tamu-tamu yang datang (atithibali), kewajiban kepada para deva (devatabali), dan kewajiban kepada para leluhur yang telah meninggal (pubbapetabali).
- Seorang perumah tangga juga mempunyai kewajiban kepada para samana dan brahmana yang telah melenyapkan kekotoran bathin, penuh perhatian, dan kesabaran (samanabrahmana madappamada pativirata khanti soracce vivattha attanam damenti). Dana, jika diberikan kepada para samana dan brahmana yang berpraktik sila dan penuh perhatian serta kesabaran akan membuahkan hasil yang baik, akan membuahkan kebahagian dan menghantarkan seseorang terlahir ke alam-alam yang bahagia (sukhavipakam saggasamvattanikam). Dana yang demikian, menurut agama Buddha, dikatakan sebagai kekayaan yang tidak dapat dicuri oleh siapapun. Kekayaan yang digunakan dengan cara tersebut di atas dikatakan sebagai kekayaan yang telah menuju ke tempat yang tepat (thanam gatam hoti pattagatam ayatanaso paribhuttam).
Dari apa yang telah diterangkan di
atas, sudah jelas bahwa meskipun seseorang menggunakan kekayaan miliknya
sendiri, dia diharapkan agar mempergunakannya untuk kepentingannya sendiri dan
untuk kepentingan orang lain secara benar.
Pengaturan tentang kekayaan yang
telah kita dapat, dapat dilihat di dalam Sigalovada Sutta yang terdapat dalam
kitab Digha Nikaya sebagai berikut:
“ekena bhoge bhubjeyya (satu bagian untuk
dinikmati) dvihi kammam payojaye (dua bagian untuk ditanamkan
kembali ke dalam modalnya) catutabca nidhapeyya (bagian ke empat
disimpan) apadasu bhavissanti (untuk menghadapi masa depan yang
sulit)”.
Menurut kitab ini bahwa kekayaan
yang telah kita dapatkan dengan jalan yang benar, sebaiknya dibagi dalam empat
kelompok, yaitu seperempat bagian untuk dinikmati sebagai hasil jerih payah,
duaperempat bagian untuk diinvestasikan ke modalnya, dan seperempat bagian lagi
disimpan sebagai cadangan jika mengalami kesulitan di masa yang akan datang.
Mengenai bagian yang keempat, kata “nidhapeyya” dapat diartikan
sebagai “disimpan” dalam pengertian yang lebih luas, misalnya disimpan di bank
ataupun digunakan untuk menanam pubba kamma(kebajikan), misalnya
untuk diberikan kepada tempat ibadah, para pertapa, dan sebagainya. Nasihat
yang demikian ditegaskan dalam beberapa sutta yang ada dalam Tipitaka, misalnya
Sangarava Sutta menyebutkan adanya tiga jenis orang, yang dikelompokkan
berdasarkan pada tindakan mereka dalam penggunakan kekayaan yang telah ia
dapatkan. Jenis pertama adalah mereka yang tidak menggunakan kekayaannya, baik
untuk dirinya sendiri dan tidak membagi-bagi kekayaanya kepada orang lain untuk
mendapatkan kebajikan (na attanam sukheti pineti na vibhajati na puññakaroti).
Jenis orang yang kedua adalah ia yang menggunakan kekayaan untuk kebahagiaan
dirinya sendiri, tetapi tidak untuk memanam kebajikan (attanam sukheti
pineti na samvibhajati na puññam karoti). Sedangkan jenis orang ketiga
adalah ia yang bisa menggunakan kekayaan untuk dinikmati bagi dirinya sendiri
dan untuk kepentingan orang lain, demi memanam kebajikan (attanam sukheti
pineti samvibhajati puññam karoti). Jenis orang yang ketiga adalah orang
yang dipuji, karena ia tidak melekat pada kekayaan (adinnavadassanani)
dan tahu penggunaan kekayaan untuk jalan kebebasan (nissaranapabba).
Tentunya nasihat yang telah diberikan oleh Sang Buddha lebih dari duaribu
limaratus tahun yang lampau ini, masih berguna bagi kehidupan yang kita
sekarang. Pembagian tersebut adalah cara pembagian yang sangat sederhana,
tetapi memiliki daya guna yang sangat efektif untuk mengembangkan ekonomi.
Menurut kitab ini, separuh (duaperempat) bagian digunakan untuk pengembangan
usaha, yang berarti bahwa Sang Buddha menekankan bahwa dalam dunia bisnis,
faktor modal adalah sangat penting.
Sebagai seorang perumah tangga yang
baik, sebaiknya dia harus bisa hidup dengan seimbang, tahu akan berapa banyak
uang atau kekayaan yang telah didapatkan dan tahu berapa banyak kekayaan yang
bisa digunakan (samajivikata). Hendaknya dia tidak hidup dengan kikir (ajjadumarika)
dan juga sebaliknya, dia tidak jatuh dalam gaya hidup yang bersifat
konsumerisme, hidup dengan glamour, dan penuh dengan foya-foya (udumbarakhadika).
Seseorang yang hidup dalam dunia konsumerisme yang berlebihan, diibaratkan oleh
Sang Buddha sebagai seseorang yang ingin memetik sebuah apel untuk dimakan,
tetapi menyebabkan jatuhnya semua apel yang ada di pohon tersebut. Sebaiknya,
orang yang terlalu kikir diibaratkan sebagai seekor ayam yang hidup di timbunan
padi, tetapi mati kelaparan dikarenakan kekurangan makanan. Jadi, penggunaan
dan konservasi yang tepat dari kekayaan individu yang telah di dapat akan
mempengaruhi kualitas hidupnya dan juga mempengaruhi ekonomi nasional.
Dalam kaitannya dengan penggunaan
kekayaan, Sang Buddha memuji mereka yang mengetahui berapa banyak uang yang
didapat oleh seseorang dan mengetahui berapa banyak uang yang harus
dikeluarkan, baik untuk kepentingan diri sendiri dan untuk kepentingan orang
lain. Andha Sutta; Anguttara Nikaya menyebutkan bahwa orang yang tidak tahu
cara mengumpulkan kekayaan dan juga cara menggunakan kekayaan diibaratkan
sebagai orang buta (andha), orang yang hanya tahu cara mengumpulkan
uang, tetapi tidak tahu cara menggunakannya diibaratkan sebagai orang yang
mempunyai mata satu (ekacakkhu) dan seseorang yang mengetahuhi cara
menggumpulkan dan menggunakan kekayaan yang telah didapatkannya dengan jalan
yang benar diibaratkan sebagai orang yang bisa melihat dengan kedua matanya (dvecakkhu).
Menurut Agama Buddha peningkatan
ekonomi suatu masyarakat ditujukan untuk menciptakan kondisi di mana mereka
bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Sang Buddha juga menyadari sepenuhnya
bahwa setiap orang mempunyai peranan yang besar dalam peningkatan perkembangan
ekonomi negara. Oleh karena itu untuk mencipatakan kondisi ekonomi yang baik,
Beliau memberikan tuntunan untuk mengatur secara tepat tentang ekonomi,
terutama di rumah tangga, sehingga tingkat kehidupan masyarakat semakin baik.
Mengingat adanya kecenderungan dari setiap orang untuk mengumpulkan kekayaan
dengan segala cara, maka sering terjadi persaingan yang tidak sehat,
pertengkaran, berlomba-lomba untuk mendapatkan kedudukan dan sebagainya. Oleh
karena itu, maka Sang Buddha menasihatkan untuk mengumpulkan dan menggunakan
kekayaan dengan jalan yang benar, sesuai dengan Dhamma. Hal ini semua ditujukan
demi kesejahteraan manusia, baik di alam ini dan alam-alam berikutnya.
Tamotama Parayana Sutta menjelaskan
bahwa orang yang kaya, bisa mengerti akan kegunaan kekayaan dan menggunakannya
dengan jalan yang benar akan terlahir di alam-alam yang membahagiakan (joti
joti parayano). Demikian juga Sang Buddha memuji seseorang yang meskipun
tidak kaya, tetapi menggunakan kekayaannya dengan benar akan terlahir di
alam-alam yang membahagiakan (tamo joti parayano). Sebaliknya, seseorang
yang menggunakan kekayaannya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, misalnya
untuk berfoya-foya, maka setelah meninggal akan terlahir di alam-alam yang
menyedihkan (joti tamo parayano). Tentunya jenis orang yang keempat
yaitu “tamotama parayano” atau orang yang pergi dari tempat yang gelap
menuju ke tempat yang gelap tidak dianjurkan. Memang orang yang miskin
cenderung untuk melakukan kejahatan, tetapi seperti yang telah diterangkan oleh
Sang Buddha, dia bisa menjadi orang yang selamat dan bahagia di alam-alam
berikutnya dengan berusaha dan berjuang keras. Menurut Agama Buddha kondisi
ekonomi dan status sosial seseorang bisa berubah-ubah sesuai dengan usaha dan
tindakan yang telah dilakukannya.
Seorang perumah tangga, juga
diharapkan untuk menghindari dari beberapa sebab yang membuat hilangnya
kekayaan (apayamukha). Sigalovada Sutta menjelaskan adanya enam alasan
yang menyebabkan hilangnya harta kekayaan, yaitu kecanduan akan minuman atau
obat-obatan yang memabukkan, pergi ke jalan-jalan pada waktu yang tidak sesuai,
terlalu sering pergi ke tempat-tempat pertunjukan, berjudi, bergaul dengan
teman-teman yang tidak baik, dan kebiasaan bermalas-malasan. Lebih lanjut
Anguttara Nikaya menerangkan bahwa pergi ke tempat-tempat pelacuran adalah
salah satu sebab hilangnya kekayaan dan nama baik seseorang. Demikian juga
Parabhava Sutta menjelaskan bahwa hal-hal tersebut di atas merupakan
sebab-sebab keruntuhan seseorang.
Penutup
Dalam situasi perkembangan
perekonomian yang semakin memuncak, di mana para pengusaha real estate,
pemegang saham, pedagang dan hampir setiap orang bersaing untuk memenangkan
pertandingan perebutan uang, manusia cenderung semakin serakah dan menjadi
mahluk yang mementingkan kepentingannya sendiri (egois). Banyak perusahaan dan
para konglomerat menguasai perekonomian dan memainkan permainan serta
menentukan ataupun menjatuhkan pihak-pihak lain yang dianggap menghalangi
kemajuan mereka. Tidak jarang pula terjadi penindasan kepada orang-orang kecil
(si miskin) yang menyebakan jurang pemisah antara mereka semakin tinggi. Bagi
mereka yang berhasil menjadi kaya, cenderung untuk mengumpulkan kekayaan
sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan lingkungan dan orang-orang lain di
sekitarnya. Sebagian masyarakat kaya, karena produksinya melimpah, untuk menjaga
kestabilan harga yang ada, mereka harus memusnahkan apa yang dianggapnya tidak
perlu. Padahal sebagian dari masyarakat yang lain hidup kelaparan. Orang yang
kurang berhasil cenderung melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia
inginkan. Hal yang demikian menyebabkan masalah-masalah sosial yang harus kita
pecahkan bersama. Setelah mengetahui bahwa kekayaan yang ada bukanlah
satu-satunya tolok ukur kebahagiaan, maka sebagian masyarakat mulai berpikir
melalui cara pandang yang lain. Seperti yang telah diterangkan di atas, Sang
Buddha setelah melihat akan bahaya dari paham materialisme, menerangkan tentang
berbagai cara untuk mendapatkan kekayaan dan setelah itu menggunakannya dengan
jalan yang benar demi manfaat kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan yang akan
datang. Boleh dikatakan bahwa Sang Buddha adalah seorang ekonom yang
mementingan rakyat banyak, terutama rakyat kecil.
Agama Buddha memberikan anjuran
kepada para umat untuk mengembangkan kesejahteraannya, baik kesejahteraan
materi maupun kesejahteraan batin. Seorang ekonom barat bernama E.F. Schumacher
dalam bukunya “Small is Beautiful” setuju dengan Agama Buddha yang
mengajarkan bahwa lobha (keserakahan) dandosa (kebencian)
akan menghambat seseorang untuk mengembangkan pandangan yang menitik-beratkan
pada nilai-nilai kemanusiaan. Demikian juga Kuji Nakano dalam bukunya “Seihin
no Shiso” atau “The Philosophy of Honest Poverty” menekankan bahwa hidup
sederhana (apicchata), yang disebut “seihin” atau “kejujuran
dalam kesederhanaan (honest poverty)” akan muncul jika seseorang
menjalankan kehidupannya dengan hidup bersih tanpa adanya keinginan-keinginan
pribadi. Pandangan hidup yang demikian membuat orang tidak lagi berlomba-lomba
untuk saling menjatuhkan dan akan menyadari akan pentingnya hidup bersama.
Pandangan yang tidak menitikberatkan tujuan-tujuan pribadi, membuat rakyat
Jepang bisa saling membantu.
Dalam pandangan Agama Buddha,
manusia bukanlah sebagai penguasa alam yang berkuasa untuk mengatur alam ini
sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kedudukan manusia di alam semesta ini
tidaklah tertinggi (supreme), tetapi manusia adalah bagian dari alam;
sehingga dia harus berusaha menyesuaikan diri dengan alam dan berusaha untuk
menggunakan sumber-sumber kekayaan alam dengan sebaik-baiknya. Pandangan yang
demikian tentunya cukup berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa binatang dan
segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan
manusia; dan kedudukan manusia di dunia adalah tertinggi (supreme).
Pandangan yang demikian membuat manusia lebih agresif untuk menguras
sumber-sumber kekayaan alam dan menaklukkan alam. Tetapi pada kenyataannya
mereka mulai menyadari bahwa di satu sisi manusia boleh merasa bangga atas
kemenangan dalam perang melawan alam, tetapi di sisi yang lain, setelah terjadi
penipisan lapisan ozon, adanya berbagai jenis polusi, musnahnya beberapa spesis
binatang dan tumbuhan dan sebagainya, mereka semua termasuk mahluk yang tidak
berdosa harus menanggung akibat dari kemenangan tersebut. Oleh karena itu,
introspeksi dan evaluasi diri adalah sangat penting.
Seperti yang telah diterangkan di
atas, bahwa menurut Agama Buddha, kekayaan bisa dibagi menjadi dua bagian,
yaitu: kekayaan materi yang bisa dicuri dan kekayaan batin yang tidak bisa
dicuri oleh siapapun. Sangiti Sutta menyebutkan kekayaan yang tidak bisa dicuri
adalah kekayaan ariya yang disebut “satta ariya dhana” atau “tujuh
kekayaan ariya” yaitu keyakindan (saddha), kemoralan (sila), malu
untuk berbuat jahat (hiri), takut untuk melakukan perbuatan jahat (ottapa),
pengetahuan Dhamma atau pendidikan (suta), kemurahan hati (caga)
dan kebijaksanaan (pabba). Ketujuh macam kekayaan ariya tersebut jauh
lebih baik daripada kekayaan materi dan satta ariya dhanamerupakan
kekayaan yang terbaik dan tertinggi (anuttaram uttamam dhanaggam)
Mendut,
June 1, 1998
Sumber:
http://www.buddhistonline.com/dhammadesana/desana7.shtml
0 komentar:
Posting Komentar