Tadi pagi saya menulis di
status twitter saya tentang seorang pemulung klasik yang saya jumpai ketika
jogging. Pemulung yang membawa keranjang di punggungnya seperti astronot
lengkap dengan alat pengait terbuat dari besi itu, sedang mengais sampah di
sekitar komplex rumah saya sambil tangan kirinya memegang telepon genggam
di telinganya. Ia kelihatan bercakap-cakap sambil senyum-senyum. Saat itu masih
subuh jam 5, jadi mungkin ia memanfaatkan paket telepon murah. Sayang saya
tidak bawa kamera. Mungkin kalau saya potret saya bisa memenangkan kontes
foto humanist, atau mungkin juga si pemulung tersinggung, bisa-bisa
saya disodok pakai besi pengaitnya. Technology is indeed for all! Even
pemulung!
Sesekali saya bertaichi di halaman
Citraland Mall pada sabtu subuh. Taichi adalah olahraga yang memerlukan
kosentrasi karena pembakaran energy justru dilakukan lewat kosentrasi tinggi .
Coba anda bayangkan jam 5 subuh, saat anda bertaichi bersama sekitar 50 orang
lainnya, tiba-tiba salah satu telephone peserta taichi berdering. Si pemilik
telpon mengangkatnya pulak! Halohhhhhh!!!
Kalau teman, suami, istri atau
saudara anda yang sedang menyetir mengangkat telponnya atau bahkan
mencoba membalas sms, apa yang anda lakukan? Diam saja atau menawarkan membantu
mengangkat telpon atau membalaskan sms? Tindakan anda, apapun itu, menunjukkan
siapa anda.
Salah satu PRT saya sangat addicted
dengan telepon sampai harus saya pecat karena setelah 2 bulan diperingati tetap
tidak dapat merubah ketagihannya. Bayangkan, ketika menyetrika dia pake headset,
sehingga saat ibu saya yang berusia 78 tahun itu memanggil namanya, telinganya
tuli tersumbat headset. Ketika saya memberlakukan sistem bel untuk
memanggilnya, tetap tidak berhasil. Apapun yang dikerjakannya akan dihentikan
ketika teleponnya berdering. Kadang saya memergokinya masih berbicara di Hape
jam 1-2 pagi. Bagaimana dia mau bekerja dengan sehat kalau jam 2 pagi dia masih
cekikikan di telpon? Yang luar biasa adalah, setelah 1 bulan bekerja, saya
menemukan bahwa dia punya 3 telpon dengan 3 macam provider berbeda.
Ada
tidak sih Rumah Sakit ketergantungan pada telephone?
Salah seorang jemaat di gereja saya,
Linda, seorang ibu rumah tangga sederhana yang masih kental berbahasa dialek
cina, suatu hari bertanya pada saya dengan logat sengkeknya: “tik, lu
maen fesbuk kagak? Entu lu apeh namanya? Maksud gua fesbuk lu namanye apeh?
Entar gua masukin fesbuk gua, gua sering maen fesbuk”.
Duuuuuuuuh, Facebook tempat saya bersosialisasi dan mengeluarkan
uneg-uneg sosial saya itu disebut “maen” sama si Linda, teman
saya. Saya perhatikan memang si Linda ini sering membuka BlackBerrynya
saat Pendeta sedang kotbah. Rupanya dia sedang mabok teknologi.
Kemenakan saya yang berusia 4 tahun,
sudah dengan lancar mengoperasikan IPAD-nya. Ia bisa memainkan beberapa simple
game di IPAD, membuka video-video aktivitas bermusik ia dan ayahnya, membuka
foto-foto yang di upload di IPADnya, dan menunjukkan kepada saya apa saja yang
dia punya di IPADnya. Siapa sih pemakai IPAD? Pasti yang memerlukannya.
Tak semua orang harus pakai IPAD. IPAD bukan lambang status sosial
sesaeorang, melainkan sebuah benda yang bisa dibutuhkan bisa tidak. Kalau mampu
beli IPAD bahkan untuk anak umur 4 tahun, yah mengapa tidak? Tapi kalau sampai
ngutang-ngutang beli IPAD, supaya bisa ditenteng-tenteng kelihatan orang,
untuk apa? Saya mengenal seorang pegawai biasa yang bergaji 2 juta rupiah
dan susah payah mencicil IPADnya, dan beberapa kali mengganti BlackBerrynya
dengan model terbaru, padahal ia sudah punya laptop yang cukup baik
Dimanapun saya mengajar atau
membawakan training sebelum memulai saya pasti akan meminta mahasiswa/peserta
training untuk tidak mengaktifkan teleponnya, dan biasanya di lingkungan
dimana disiplin sudah biasa diterapkan, itu bukan hal yang sulit. Tapi di
banyak universitas, budaya main telpon/BB masih terjadi ketika Dosen sedang
memberi kuliah. Anehnya ada saja dosen yang tidak keberatan mahasiswanya
buka telepon di kelas. Untuk saya itu adalah hal yang sangat menjengkelkan.
Dosen seharusnya menetapkan standard dan kultur yang “correct” soal telephone
policy, kecuali memang cara mengajarnya sudah tidak becus, jadi dia sadar
betul kelemahannya, sehingga tidak mau menetapkan aturan-aturan tegas di
kelasnya.
Pernah tidak anda ke bioskop, lalu
ketika anda sedang menyimak dialog serius di layar besar itu, tiba-tiba suara
telpon dari bangku didepan anda berbunyi. Belum lagi dia harus nyari-nyari
hapenya di kegelapan, sampai kita harus mendengarkan 4-6 deringan. Masih
mending jika setelah hapenya ketemu langsung dimatikan. Ada juga yang
mengangkatnya dan berbisik menerima telp itu sampai orang dibelakanganya
(termasuk saya) akan menghardiknya dengan “pssssttttttt!!!!”.
Pernah suatu kali saya sedang
menginterview seseorang untuk posisi Senior Manager. Interview dengan saya
adalah last interview, setelah melewati Test psikologi, user interview
dan HRD interview. Ditengah-tengah interview, suara telephone vibrasinya
memanggil-manggil. Saya pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan interview
saya, walaupun dari wajahnya menunjukan kosentrasi yang mulai terpecah. Saya
biarkan dia membuat keputusan. It’s her call. I kept go on. Akhirnya
dengan tersenyum gelisah dia berkata: “bolehkah saya angkat dulu telephone
saya ini, ibu?”. Dalam keadaan seperti itu apa yang diharapkannya saya
jawab? Tentu saja saya menggangguk. Kandidat Senior Manager itu keluar
dari ruangan saya, menuju area sekertaris dan menerima telponnya. Sekitar 5
menit saya tunggu calon Manager itu tidak balik ke ruangan saya. Mungkin
teleponenya cukup penting. Saya lalu menghubungi sekertaris untuk
mempersilahkan kandidat itu meninggalkan office dan menggangap interview
sudah selesai. Ada beberapa hal yang bersifat standard dalam etika
bertelephone, ada beberapa hal yang kita sendiri terapkan sebagai standard
pribadi. Untuk saya pribadi, ketika saya sedang diinterview oleh suatau
perusahaan, saya akan menghormati orang yang menginterview saya dengan tidak
mengangkat telpon dalam kondisi apapun!.
Suatu hari seorang teman di kampus
tempat saya sedang berkuliah, Nadapdap, menghampiri saya dan mengeluh: “Aku
mau minta dispensasi pembayaran kuliah kak, tetapi Ka Bag Keuangan sedang rapat
diluar.” Saya bertanya: “Mengapa kau tidak menelpon dulu??”.
Jawabnya: “Aku pikir lebih baik ketemu langsung dan saya juga khawatir,
mereka enggak mau menanggapi kalau dari telephone”. Si Nadapdap,
teman saya yang pegawai sebuah kantor research ini mungkin sadar
bahwa telepon bisa bermanfaat, tetapi ia khawatir pegawai Universitas belum
sadar kewajibannya. Jawab saya: “Kau lah yang berikan pembelajaran
sama mereka bahwa mereka wajib menerima keluhan apapun lewat telephone, omelin
kalau perlu! Gini hari engak mau terima keluhan via telpon, suruh ke laut aja”.
Tujuan teknologi sesederhana telepon seharusnya mempermudah hidup kita,
memberikan efisiensi waktu dan energi kita yang harus bersusah payah datang ke
kampus untuk pada akhirnya tidak menemukan orang yang dicari. Tentu saja
instansi yang bersangkutan seperti Universitas harus selalu mengangkat telpon
dan MAMPU menyelesaikan masalah-masalah kemahasiswaan lewat telpon, kecuali
dimana diperlukan penandatanganan secara langsung.
Teknologi adalah sesuatu yang kita
butuhkan dan sepatutnya kita kendalikan, bukan sebaliknya. Teknologi merubah
cara kita bekerja dan cara kita berpikir yang semuanya bertujuan untuk lebih
efektif dan efisien. Teknologi harus dipakai dengan asas manfaat yang
tepat dan keseimbangan yang benar. Tidak harus berlebihan. Diperlukan
semua pihak untuk menyeimbangkan sehingga kesadaran teknologi itu tidak
timpang. Di sisi lain, perubahan cara berpikir dan cara bekerja sebagai akibat
dari perkembangan teknologi itu tentu memberikan dampak budaya dan sosial yang
baru juga. Dan ada proses edukasi disana. Kadang kita adalah “agent” dalam
proses edukasi tersebut. Dengan mengatakan “psssttttt!!!” di bioskop, kita
telah memberikan pelajaran pada seseorang dan orang lain disampingnya.
Kita harus mengasah kemampuan kita
untuk mengamati dan menyelami perubahan-perubahan tersebut, sekaligus
mempelajari aturan-aturan mainnya. Etikanya. Sederhana saja. Kalau Taichi yah
jangan angkat telpon lah! Kalau masuk gedung bioskop, matikan lah telpon. Di
tempat ibadah jangan kutak-kutik BB lah! Kalau lagi interview, matikan semua
gadget! Kalau di Pesawat, sudah diperingatkan matikan semua alat komunikasi,
matikan lah!
Bumi enggak akan terbalik kalau kita berhenti dari semua perangkat komunikasi dalam beberapa jam.
Bumi enggak akan terbalik kalau kita berhenti dari semua perangkat komunikasi dalam beberapa jam.
0 komentar:
Posting Komentar