Pages

Selasa, 16 Oktober 2012

Budak Teknologi


Budak Teknologi , Mabok Teknologi, Sadar Teknologi

Tadi pagi saya  menulis di status twitter saya tentang seorang pemulung klasik yang saya jumpai ketika jogging. Pemulung yang membawa keranjang di punggungnya seperti astronot  lengkap dengan alat pengait terbuat dari besi itu, sedang mengais sampah di sekitar komplex rumah  saya sambil tangan kirinya memegang telepon genggam di telinganya. Ia kelihatan bercakap-cakap sambil senyum-senyum. Saat itu masih subuh jam 5, jadi mungkin ia memanfaatkan paket telepon murah. Sayang saya tidak bawa kamera.  Mungkin kalau saya potret saya bisa memenangkan kontes foto humanist, atau mungkin juga si pemulung tersinggung, bisa-bisa saya  disodok pakai besi pengaitnya. Technology is indeed for all! Even pemulung!

Sesekali saya bertaichi di halaman Citraland Mall pada sabtu subuh. Taichi adalah olahraga yang memerlukan kosentrasi karena pembakaran energy justru dilakukan lewat kosentrasi tinggi . Coba anda bayangkan jam 5 subuh, saat anda bertaichi bersama sekitar 50 orang lainnya, tiba-tiba salah satu telephone peserta taichi berdering. Si pemilik telpon mengangkatnya pulak! Halohhhhhh!!!
Kalau  teman, suami, istri atau saudara anda yang sedang  menyetir mengangkat telponnya atau bahkan mencoba membalas sms, apa yang anda lakukan? Diam saja atau menawarkan membantu mengangkat telpon atau membalaskan sms? Tindakan anda, apapun itu, menunjukkan siapa anda.
Salah satu PRT saya sangat addicted dengan telepon sampai harus saya pecat karena setelah 2 bulan diperingati tetap tidak dapat merubah ketagihannya. Bayangkan, ketika menyetrika dia pake headset, sehingga saat ibu saya yang berusia 78 tahun itu memanggil namanya, telinganya tuli tersumbat headset. Ketika saya memberlakukan sistem bel untuk memanggilnya, tetap tidak berhasil. Apapun yang dikerjakannya akan dihentikan ketika teleponnya berdering. Kadang saya memergokinya masih berbicara di Hape jam 1-2 pagi. Bagaimana dia mau bekerja dengan sehat kalau jam 2 pagi dia masih cekikikan di telpon? Yang luar biasa adalah, setelah 1 bulan bekerja, saya menemukan bahwa dia punya 3 telpon dengan 3 macam provider berbeda.
Ada tidak sih Rumah Sakit ketergantungan pada telephone?
Salah seorang jemaat di gereja saya, Linda, seorang ibu rumah tangga sederhana yang masih kental berbahasa dialek cina, suatu hari  bertanya pada saya dengan logat sengkeknya: “tik, lu maen fesbuk kagak? Entu lu apeh namanya? Maksud gua fesbuk lu namanye apeh? Entar gua masukin fesbuk gua, gua sering maen fesbuk”.   Duuuuuuuuh, Facebook tempat saya bersosialisasi  dan mengeluarkan uneg-uneg sosial saya itu disebut “maen” sama si Linda, teman saya.  Saya perhatikan memang si Linda ini sering membuka BlackBerrynya saat Pendeta sedang kotbah. Rupanya dia sedang mabok teknologi.
Kemenakan saya yang berusia 4 tahun, sudah dengan lancar mengoperasikan IPAD-nya. Ia bisa memainkan beberapa simple game di IPAD, membuka video-video aktivitas bermusik ia dan ayahnya, membuka foto-foto yang di upload di IPADnya, dan menunjukkan kepada saya apa saja yang dia punya di IPADnya.  Siapa sih pemakai IPAD? Pasti yang memerlukannya. Tak semua orang harus pakai IPAD.  IPAD bukan lambang status sosial sesaeorang, melainkan sebuah benda yang bisa dibutuhkan bisa tidak. Kalau mampu beli IPAD bahkan untuk anak umur 4 tahun, yah mengapa tidak? Tapi kalau sampai ngutang-ngutang  beli IPAD, supaya bisa ditenteng-tenteng kelihatan orang, untuk apa? Saya mengenal seorang pegawai biasa yang bergaji 2  juta rupiah dan susah payah mencicil IPADnya, dan beberapa kali mengganti BlackBerrynya dengan model terbaru, padahal ia sudah punya laptop yang cukup baik
Dimanapun saya mengajar atau membawakan training sebelum memulai saya pasti akan meminta mahasiswa/peserta training  untuk tidak mengaktifkan teleponnya, dan biasanya di lingkungan dimana disiplin sudah biasa diterapkan, itu bukan hal yang sulit. Tapi di banyak universitas, budaya main telpon/BB masih terjadi ketika Dosen sedang memberi kuliah. Anehnya ada  saja dosen yang tidak keberatan mahasiswanya buka telepon di kelas. Untuk saya itu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Dosen seharusnya menetapkan standard dan kultur yang “correct” soal telephone policy, kecuali memang cara mengajarnya sudah tidak becus, jadi dia sadar betul kelemahannya, sehingga tidak mau menetapkan aturan-aturan tegas di kelasnya.
Pernah tidak anda ke bioskop, lalu ketika anda sedang menyimak dialog serius di layar besar itu, tiba-tiba suara telpon dari bangku didepan anda berbunyi. Belum lagi dia harus nyari-nyari hapenya di kegelapan, sampai kita harus mendengarkan 4-6 deringan. Masih mending jika setelah hapenya ketemu langsung dimatikan. Ada juga yang mengangkatnya dan berbisik menerima telp itu sampai orang  dibelakanganya (termasuk saya) akan menghardiknya dengan “pssssttttttt!!!!”.
Pernah suatu kali saya sedang menginterview seseorang untuk posisi Senior Manager. Interview dengan saya adalah last interview, setelah melewati Test psikologi, user interview dan HRD interview. Ditengah-tengah interview, suara telephone vibrasinya memanggil-manggil. Saya pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan interview saya, walaupun dari wajahnya menunjukan kosentrasi yang mulai terpecah. Saya biarkan dia membuat keputusan. It’s her call. I kept go on. Akhirnya dengan tersenyum gelisah dia berkata: “bolehkah saya angkat dulu telephone saya ini, ibu?”. Dalam keadaan seperti itu apa yang diharapkannya saya jawab? Tentu saja saya menggangguk.  Kandidat Senior Manager itu keluar dari ruangan saya, menuju area sekertaris dan menerima telponnya. Sekitar 5 menit saya tunggu calon Manager itu tidak balik ke ruangan saya. Mungkin teleponenya cukup penting. Saya lalu menghubungi sekertaris untuk mempersilahkan kandidat itu meninggalkan office dan menggangap interview sudah selesai.  Ada beberapa hal yang bersifat standard dalam etika bertelephone, ada beberapa hal yang kita sendiri terapkan sebagai standard pribadi. Untuk saya pribadi, ketika saya sedang diinterview oleh suatau perusahaan, saya akan menghormati orang yang menginterview saya dengan tidak mengangkat telpon dalam kondisi apapun!. 
Suatu hari seorang teman di kampus tempat saya sedang berkuliah, Nadapdap, menghampiri saya dan mengeluh: “Aku mau minta dispensasi pembayaran kuliah kak, tetapi Ka Bag Keuangan sedang rapat diluar.”  Saya bertanya: “Mengapa kau tidak menelpon dulu??”. Jawabnya: “Aku pikir lebih baik ketemu langsung dan saya juga khawatir, mereka enggak mau menanggapi kalau dari telephone”.  Si Nadapdap, teman saya yang pegawai sebuah kantor research ini  mungkin sadar bahwa telepon bisa bermanfaat, tetapi ia khawatir pegawai Universitas belum sadar kewajibannya.  Jawab saya: “Kau lah yang berikan pembelajaran sama mereka bahwa mereka wajib menerima keluhan apapun lewat telephone, omelin kalau perlu! Gini hari engak mau terima keluhan via telpon, suruh ke laut aja”.    Tujuan teknologi sesederhana telepon seharusnya  mempermudah hidup kita, memberikan efisiensi waktu dan energi kita yang harus bersusah payah datang ke kampus  untuk pada akhirnya tidak menemukan orang yang dicari. Tentu saja instansi yang bersangkutan seperti Universitas harus selalu mengangkat telpon dan MAMPU menyelesaikan masalah-masalah kemahasiswaan lewat telpon, kecuali dimana diperlukan penandatanganan secara langsung.
Teknologi adalah sesuatu yang kita butuhkan dan sepatutnya kita kendalikan, bukan sebaliknya. Teknologi merubah cara kita bekerja dan cara kita berpikir yang semuanya bertujuan untuk lebih efektif dan efisien.  Teknologi harus dipakai dengan asas manfaat yang tepat dan keseimbangan yang benar. Tidak harus berlebihan.  Diperlukan semua pihak untuk menyeimbangkan sehingga kesadaran teknologi itu tidak timpang. Di sisi lain, perubahan cara berpikir dan cara bekerja sebagai akibat dari perkembangan teknologi itu tentu memberikan dampak budaya dan sosial yang baru juga. Dan ada proses edukasi disana. Kadang kita adalah “agent” dalam proses edukasi tersebut. Dengan mengatakan “psssttttt!!!” di bioskop, kita telah memberikan pelajaran pada seseorang dan orang lain disampingnya.
Kita harus mengasah kemampuan kita untuk mengamati dan menyelami perubahan-perubahan tersebut, sekaligus mempelajari aturan-aturan mainnya. Etikanya. Sederhana saja. Kalau Taichi yah jangan angkat telpon lah! Kalau masuk gedung bioskop, matikan lah telpon. Di tempat ibadah jangan kutak-kutik BB lah! Kalau lagi interview, matikan semua gadget! Kalau di Pesawat, sudah diperingatkan matikan semua alat komunikasi, matikan lah! 

Bumi enggak akan  terbalik kalau kita berhenti dari semua perangkat komunikasi dalam beberapa jam.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0uXtpsDlSi54pB2KBC4qZn9GS-bhbDvqF-GuMaYhE9JBNMnMk8XI_TzpwJWn2i8k-OZtBC9xHYW86scZyNLnjgrdma-_S41oKFhNq3bUxvj0UiCwwZwHfbIxBgDfshJrg-C81cL_YLvs/s1600/Slave+technology.jpg


0 komentar: