Pages

Senin, 08 Oktober 2012

Sila dan vinaya


Disampaikan oleh: Bhikkhu Nyanakaruno Thera

Patimokkhe ca samvaro etam mangalamutaman’ti
Terkendali dalam peraturan adalah berkah utama

Moralitas atau síla, merupakan dasar atau pondasi dari serangkaian latihan dalam pengembangan kecerdasan moral. Orang yang cerdas secara moral adalah orang yang mampu berperilaku berbudi, bermoral, saling mengasihi, bersikap bijaksana, sopan, murah hati, memahami orang lain dan bertindak berdasarkan pengetahuan dengan kelembutan hati, dalam agama Buddha ditunjukkan dengan pelaksanaan síla atau etika yang murni dalam kesucian sila.

Teori etika atau moralitas umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip sebagai panduan umum untuk menunjukkan arah menuju pembebasan akhir, dengan perimbangan antara moralitas negatif yang melarang dan moralitas positif yang menganjurkan. Prinsip-prinsip dan rumusan moralitas dapat kita temukan dalam nasehat Buddha (Buddha ovada) kepada para siswa-Nya yang berbunyi: "... janganlah berbuat kejahatan, berbuatlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran ..." (Dhp. 183).
I.          Pengertian Síla
Síla sebagai kelompok pertama dalam ariya atthaêgika magga terdiri dari perkataan benar (sammavaca), perbuatan benar (sammakammanta), dan mata pencaharian benar (sammäjiva) merupakan suatu bentuk latihan dasar atau fondasi dalam pengembangan kesucian atau kecerdasan moral.  Pengembangan síla sebagai perwujudan dari ariya atthaêgika magga termasuk dalam síla yang aktif dan pasif. Síla aktif tercermin dari pelaksanaan pikiran, perbuatan, dan ucapan yang dilandasi dengan perasaan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), kesabaran dalam cara-cara penghidupan yang benar (samajivita), puas dengan apa yang dimiliki (santutthi), jujur (sacca), dan mengembangkan kewaspadaan (sati-sampajjana). Síla pasif yang dimaksudkan adalah menghindari beberapa perbuatan, perkataan dan pikiran yang diliputi oleh nafsu keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan yang tercermin dalam pelaksanaan síla-síla seperti membunuh, mencuri, memuaskan nafsu rendah, berbicara yang tidak benar serta makan dan minum makanan serta minuman yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan kewaspadaan (Vajirañanavarorasa, 1979: vi).
Síla adalah keadaan yang diawali munculnya kehendak dalam batin seseorang yang menghindari pembunuhan mahkluk hidup atau dalam batin seseorang yang menjalani kewajiban (melatih pengendalian diri) (Vis.6). Síla adalah perbuatan baik yang dilakukan melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Manusia susíla dalam agama Buddha ialah manusia yang dapat berkata dan berbuat serta berpenghidupan yang benar. Umat Buddha diharapkan dapat melaksanakan síla dengan baik melalui ucapan, perbuatan, dan mata pencaharian yang benar. Buddha bersabda; “ barang siapa sempurna dalam síla dan mempunyai pandangan terang, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajiban, maka semua orang akan mencintainya” (Dhp.XVI.217).
Síla dapat berarti norma (kaidah), peraturan perilaku, sopan santun, dan sebagainya. Pelaksanaan síla merupakan kebijakan moral, etika atau tata tertib dalam menjalani kehidupan manusia sehingga dapat bertingkah laku benar dan baik bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta beserta isinya. Pelaksanaan síla merupakan salah satu upaya dalam mengembangkan kecerdasan moral dapat dilakukan dengan cara menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. “Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang bebas dari awan” (Dhp.XIII.173).
Melaksanakan síla berarti melakukan samvara atau pengendalian diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat, karena perbuatan jahat akan kembali pada pelakunya sebagai malapetaka. Pelaksanaan síla atau kemoralan dilandasi dengan rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan rasa takut akan akibat perbuatan jahat (ottapa). Peradaban masyarakat yang tinggi tidak akan terbentuk tanpa kedua faktor tersebut, karena itu keduanya juga disebut sebagai pelindung dunia (lokäpala).
Buddha menyatakan: “ .... rasa malu untuk berbuat jahat dan rasa takut akan akibat perbuatan jahat adalah dua faktor pelindung dunia. Para bhikkhu, apabila kedua faktor itu tidak melindungi dunia maka tidak akan ibu atau saudara ibu .... tetapi, para bhikkhu, sejak adanya kedua faktor pelindung dunia, kita akan melihat ibu ... dan kedamaian ...” (A.I.51). Seseorang harus memiliki hiri (rasa malu untuk berbuat jahat) dan ottapa (rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat) sebagai dasar pelaksanaan síla. Síla ditunjukkan sebagai kesucian oleh yang memahami dan sebab terdekatnya adalah hiri dan ottapa (Vis.9).
Síla yang dilaksanakan lebih lanjut dikembangkan dengan melakukan perenungan akan kebaikan-kebaikan síla, sehingga tidak cacat dan memiliki kualitas istimewa. Buddha menyatakan bahwa: “ … pada saat pikiran tidak tergoda oleh ketamakan, atau dipengaruhi oleh kebencian, maupun kebodohan. Pikirannya menjadi sangat lapang dipengaruhi oleh síla(A.III.286). Síla tersebut membebaskan, karena membebaskan kita dari pembudakan keinginan, ia dipuji oleh para bijaksana, tidak melekat, dan tidak mungkin menimbulkan kekhawatiran. Síla mendukung pada konsentrasi, karena mereka membantu konsentrasi akses dan tercerap, atau jalan dan buah konsentrasi (Vis.105).
Seseorang yang setia pada perenungan terhadap síla memiliki rasa hormat terhadap latihan, tinggal dalam kumpulan, ia tekun setiap saat, bebas dari rasa takut terhadap penyesalan diri. Ia akan melihat bahaya dalam kesalahan yang terkecil sekalipun, mencapai keyakinan yang penuh serta memilki banyak kegembiraan dan keriangan. Apabila belum menembus yang lebih tinggi, paling tidak akan mencapai kehidupan yang bahagia.


II.       Pengertian Vinaya
Vinaya berarti Peraturan. disiplin atau tata tertib. Kata Vinaya sendiri berarti: melenyap-kan/menghapus/memusnahkan/menghilangkan (dalam hal ini yang dimaksud adalah segala tingkah laku yang menghalangi kemajuan dalam pelaksanaan Dhamma atau sesuatu yang membimbing keluar dari dukkha).
Pada saat permulaan perkembangan agama Buddha, peraturan untuk pengendalian diri bagi anggota Sangha tidak begitu diperlukan, karena jumlah Bhikkhu masih sedikit, dan semuanya Savaka (siswa/Bhikkhu) telah melaksanakan dan mengikuti jejak Sang Buddha dan mengetahui dengan baik ajaran Sang Buddha.
Ketika jumlah Bhikkhu bertambah banyak dan tersebar dimana-mana, peraturan untuk pengendalian diri para Bhikkhu menjadi lebih diperlukan. Maka dalam rangka pembinaan itu sebagai Raja Dhamma yang bertugas memerintah. Buddha menetapkan peraturan dan hukuman yang disebut Buddhapaññati. Buddhapaññati dirnaksudkan untuk mencegah kelakuan yang salah dan memperingatkan para Bhikkhu agar pelanggaran yang mungkin dilakukan (memberi sanksi).
Disamping itu Buddha sebagai Ayah Sangha menyusun kebiasaan tingkah laku yang baik yang disebut Abhisamacara yang dimaksudkan untuk mendorong agar para Bhikkhu bersikap tepat, sebagaimana sebagai seorang ayah yang terhormat yang mendidik anak-anaknya untuk mengikuti tradisi keluarga.
Perpaduan antara Buddhapaññati dengan Abhisamacara disebut Vinaya. Peraturan Vinaya sesungguhnya membuat para Bhikkhu agar menjadi agung dan mulia.
Vinaya ditetapkan menurut sebab (Nidana) dan asal mula ceritera (Pakarana). Beberapa hal yang menyebabkan Buddha menetapkan Vinaya, yaitu:
1.      Untuk tegaknya Sangha.
2.      Untuk kebahagiaan Sangha.
3.      Untuk pengendaltian diri para Bhikkhu yang belum teguh.
4.      Untuk kehahagiaan para Bhikkhu yang berkelakuan baik.
5.      Untuk perlindungan diri dari Asava dalam kehidupan ini.
6.      Untuk perlindungan diri dari Asava yang timbul dalam kehidupan yang akan datang.
7.      Untuk membahagiakan mereka yang belum bahagia.
8.      Untuk meningkatkan mereka yang telah berbahagia.
9.      Untuk manfaat dari Vinaya (Vinaya dapat memberikan mafaat kepada makhluk-makhluk terbebas dari dukkha, menuju Nibbana).
Terdapat dua alasan tambahan, yaitu:
1.    Untuk simpati umat berkeluarga.
2.    Untuk mematahkan semangat para Bhikkhu yang berpikiran tidak baik.
Gabungan antara Dhamma dan Vinaya disebut Buddhasasana. Vinaya dan Dhamma merupakan dua hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dhamma tanpa Vinaya akan merupakan ajaran yang tidak menunjukkan awal atau permulaan untuk dilaksanakan, sebaliknya Vinaya tanpa Dhamma akan merupakan formalisme kosong (suatu disipiin yang hanya menghasilkan sedikit buah atau kemajuan).
Peraturan latihan ditetapkan sebagai hukuman merupakan Adibrahmacariya-sikkha (latihan utama kehidupan suci) dan yang ditetapkan sebagai Abhisamacara-sikkha (latihan lebih tinggi dalam tingkah laku yang benar).

III.    Vinaya Pitaka
Vinaya pitaka merupakan bagian dari Tripitaka yang berisikan/memuat tentang aturan-aturan disiplin para Bhikkhu yang disusun dalam dua himpunan berdiri sendiri, yang kemudian mendapat penambahan, yang terdiri dari:
1.      Suttavibhanga
Suttavibhanga berisikan penggolongan pelanggaran dalam kelompok, dimulai dengan empat (4) Parajika sampai Adhikarana Samatha. Aturan-aturan ini berjumlah 227 pasal. Seluruhnya sama dengan peraturan-peraturan Patirnokkha yang diucapkan pada pertemuan Uposatha dari Sangha. Bagian ini dilanjutkan dengan Bhikkhuni Sutta Vibhanga; yang memuat rangkaian aturan untuk para Bhikkhuni.
2.      Khandhaka-Khandhaka
Khandhaka-Khandhaka disusun dalam dua (2) seri, yaitu:
a.      Mahavagga, berisikan:
1.     Aturan-aturan untuk memasuki Sangha.
2.      Pertemuan Uposatha dan pengucapan Patimokkha.
3.      Tempat tinggal selama musim Vassa.
4.      Upacara penutupan musim Vassa (Pavarana).
5.      Aturan-aturan mempergunakan pakaian dan perabotan hidup
6.      Aturan rnenggunakan obat-obatan dan makanan.
7.      Upacara Kathina dan pembagian jubah tahunan.
8.      Bahan jubah, aturan tidur dan aturan bagi Bhikkhu yang sakit.
9.      Cara menjalankan keputusan Sangha.
10.  Cara menyelesaikan perselisihan dalam Sangha.
b.      Culavagga berisikan:
·         1&2 Aturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran dihadapan Sangha.
·         Penerimaan kembali seorang Bhikkhu.
·         Aturan untuk menangani masalah-masalah yang timbul.
·         Berbagai aturan untuk mandi, berpakaian dan sebagainya.
·         Tempat tinggal, perabotan. penginapan-penginapan.
·         Perpecahan.
·         Perlakuan pada berbagai golongan Bhikkhu dan kewajiban para guru dan Samanera.
·         Pengucilan dari Patimokkha.
·         Pentahbisan dan petunjuk bagi para Bhikkhu.
·         Sejarah sidang Agung (Sangha Samaya) pertama di Rajagaha.
·         Sejarah sidang Agung (Sangha Samaya) kedua di Vesali.
c.       Parivara memuat tentang ringkasan dan penggolongan aturan-aturan dalam Suttavibhanga dan Khandhaka-Khandhaka disertai ceritera mengenai terjadinya aturan tersebut.

IV.    Dua Jenis Vinaya
Vinaya tidak hanya diartikan sebagai peraturan yang berhubungan dengan kebhikkhuan saja. Vinaya Pitaka berisikan peraturan latihan, larangan, anjuran/yang diperbolehkan dan ketentuan yang mengatur kehidupan Bhikkhu. Dikenal pula Vinaya untuk umat berkeluarga atau bagi Upasaka/Upasika.
Pengembangan síla terbagi dalam dua jalur, yaitu agariya atau perumah tangga (gharaväsa) dan anagäriya atau hidup tanpa rumah. Agariya Vinaya  atau peraturan untuk umat berkeluarga meliputi pancasíla, atthangasíla atau uposathasíla, ajivathamakasíla, serta navangasíla sebagai peraturan latihan yang tidak mengikat. Pengembangannya secara kontekstual mengacu pada pelatihan sistem moral maupun sistem norma dalam masyarakat. 
Anagäriya vinaya merupakan kode disiplin moral yang ditetapkan oleh Buddha sehubungan dengan pelaksanaan latihan bagi seorang pabbajita atau Sangha, meliputi beberapa peraturan atau kode disiplin dalam mengatur kehidupan tanpa rumah terdiri dari dasasíla, nasananga, dandakamma dan sekkhiya sikkhapada bagi samanera/samaneri, serta patimokkhasíla dan abhisamacara bagi bhikkhu/bhikkhuni.
Vinaya perumahtangga dalam pengertian yang sempit, adalah Pancasila Buddhis, dan sebagai pengertian yang lebih luas termuat dalam Sigalovada Sutta. Vinaya untuk umat berkeluarga disebut Gihi Vinaya. Yang dimaksud Pancasila Buddhis ialah:
1.      Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2.      Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku bertekad untuk melatih diri menghindari pengambilan harang yang tidak diberikan/pencurian.
3.      Kamesumicchacara Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku bertekad untuk melatih diri menghindan perbuatan asusila.
4.      Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku bertekad melatih diri untuk menghindari ucapan vans tidak benar.
5.      Surameraya majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku bertekad unluk melatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.
Perbedaan antara Sila umat berkeluarga dan Sila untuk seorang Bhikkhu, yaitu:
1.        Sila untuk umat berkeluarga bersifat moral semata dan digolongkan datam Pakatisila (Sila alamiah), sedangkan sila bagi seorang Bhikkhu selain bersifat moral, berlaku khusus untuk cara hidupnya dan sila itu digolongkan dalam Paññati-sila.
2.        Hukuman yang diberikan bagi peianggar:
                                i.      Untuk umat berkeluarga bersifat moral semata disamping hukum Karma,
                              ii.      Bagi seorang Bhikkhu disampaing hukum Karma, moral masih ditambah hukuman dikeluarkan dari anggota Sangha (lihat dalam Parajika 4).
Para Bhikkhu dan umat berkeluarga haruslah mentaati Vinaya atau Sila secara murni agar tidak jatuh ke dalam pelanggaran. Dikenal adanya Kukkaccayanta Bhikkhu, yaitu para Bhikkhu yang seksama atau teliti dan tidak mau menerima suatu apapun kecuali telah diperkenankan oleh Buddha. Terdapat pula Appiccha Bhikkhu, yaitu Bhikkhu dengan sedikit keinginan yang merasa malu akan kelalaian dan tingkah laku Bhikkhu lain yang tidak benar. Sedikit keinginan merupakan kata lain dari Santutthi (merasa puas) yaitu suatu sifat yang sangat berharga untuk seorang Bhikkhu.



PATIMOKKHA DAN PEMBAGIANNYA


Catatan: untuk Upasampada Bhikkhuni dalam doktrin Theravada (aliran selatan) telah diperhentikan sejak tahun 1257.

Agar dalam pengamalan sila dapat sempuma para Bhikkhu harus melaksanakan Catur Parisuddhi Sila, yang terdiri dari:
·         Patimokkha samvara sila: pengendaiian diri dengan sila-sila kebhikkhuan.
·         Indriya samvara sila: pengendalian diri melalui indriya, misalnya mata, telinga, hidung, sentuhan dan pikiran melalui latihan Vipassana Bhavana.
·         Ajiva Parisuddhi sila: pengendaiian diri dengan peraturan yang wajib dilaksanakan oleh para oleh para Bhikkhu agarjangan melanggar sila kebhikkhuan.
·         Paccaya sannisita sila: pengendalian diri dengan cara melakukan hal-hal yang baik guna mewujudkan kebiasaan yang baik, yang akan menimbulkan kesadaran dan sifat-sifat yang baik. Hal ini dilatih dalam kehidupan sebari-hari, misalnya cara memakai jubah, cara makan, menggunakan tempat tinggal, cara menggunakan obat-obatan, dan sebagainya. Mereka harus menyadari bahwa semua itu yang mereka lakukan adalah untuk menolong dan melindungi badan dan bukan untuk dinikmati atau untuk kesenangan atau bukan pula sebagai sesuatu untuk dibanggakan.

V.       Aspek Vinaya
  1. Kebutuhan Bhikkhu
Kebutuhan pokok Bhikkhu ada empat (4) macam, yaitu: pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Empat kebutuhan pokok ini hendaknya dapat disediakan oleh umat Buddha. selain itu terdapat pula kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya, seperti alat tulis, keperluan untuk mandi dan sikat gigi, pisau cukur, dan sebagainya.
1.      Pakaian (jubah)
Menurut Vinaya seorang Bhikkhu hanya diperkenankan menyimpan jubah sebanyak 3 stel, sedang seorang samanera diperkenankan hanya 2 stel jubah. Jubah Bhikkhu disebut Civara, dan terdiri atas:
                                               i.      Jubah luar (Sanghati).
                                             ii.      Jubah atas (Uttarasanga).
                                           iii.      Jubah bawah (Antaravasaka).
2.      Makanan
Waktu makan yang tepat bagi seobrang Bhikkhu dan samanera yaitu mulai saat pagi ketika cahaya sudah terang untuk melihat garis-garis yang ada ditelapak tangan dan berakhir pada tengah hari. Dalam jangka waktu ini seorang Bhikkhu dapat makan sekali atau dua kali, diperkirakan cukup untuk kebutuhan 24 jam.
Jenis makanan bagi seorang Bhikkhu tidak sama yaitu antara Bhikkhu Theravada dengan Bhikshu Mahayana. Bhikshu Mahayana tidak diperkenankan makan daging (makanan sayuranis). karena mereka berpedoman pada Bodhisattva sila yang salah satu pasalnya tidak menghendaki makan makanan mengandung daging. Bhikkhu Theravada boleh makan daging, dengan syarat memenuhi tiga syarat daging bersih (Tikotiparisuddhimamsa) sesuai dengan Jivaka Sutta. Tiga syarat daging bersih yaitu: tidak melihat binatang itu disembelih, tidak mendengar binatang itu disembelih dan tidak berprasangka binatang itu disembelih khusus untuk menjamu diri seorang Bhikkhu tersebut.
Terdapat sedikit sekali pembatasan dalam aturan yang dimakan, misalnya tidak boleh makan daging binatang tertentu, seperti ular, anjing, harimau, beruang dan daging manusia. Makanan dapat diperoleh dengan pindapata, yaitu menerima makanan melalui persembahan umat kepada vihara/tempat bhikkhu berdiam atau melalui undangan dan umat kepada Bhikkhu untuk makan dirumahnya. Seorang Bhikkhu tidak boleh minum-minuman yang disuling atau yang diragi, kecuali dalam jumlah untuk pengobatan.

3.      Tempat tinggal
Para Bhikkhu Umumnya tinggal di vihara atau kuti. Apabila tempat yang dikunjungi tidak terdapat vihara, seorang Bhikkhu dapat tinggal di rumah umat, dalam hal ini disediakan ruangan tersendiri. Seorang Bhikkhu tidak boleh tidur satu ruangan dengan seorang yang belurn diupasampada lebih dari tiga hari.

4.      Obat-obatan
Seorang Bhikkhu hendaknya dapat menggunakan obat-obatan sesuai dengan aturan untuk penyembuhan, harus waspada dan jangan sampai menyalah-gunakan obat-obatan tersebut.

  1. Penghormatan
Beberapa macam penghormatan yang diperkenankan oleh Sang Buddha yaitu:
1.      Namaskara           : berlutut/sujud;
2.      Utthana                 : berdiri untuk menyambut.
3.      Anjali                    : merangkapkan kedua telapak tangan didepan dada
4.      Sammicikamma   : cara-cara lain yang terpuji/kerendahan hati.
Menjadi kebiasan seorang Bhikkhu untuk tidak melakukan anjali kepada mereka yang tanpa upasampadal atau kepada Bhikshuni. Diantara para Bhikkhu, Bhikkhu yang lebih muda wajib melakukan anjali terlebih dahulu pada yang lebih tua, kemudian Bhikkhu yang lebih tua membalasnya. Bhikkhu yang lebih tua memanggil yang lebih muda dengan sebutan Avuso (saudara) dan yang lebih muda memanggilnya dengan sebutan Ayasma atau Bhante. Tua yang dimaksud disini adalah masa kebhikkhuannya (masa vassa).

C.     Uposatha
Kata Uposatha berarti masuk untuk berdiam/mendekat pada guru, dalam hal ini kepatuhan kepada Sila. Hari-hari Uposatha yaitu tanggal 1, 8, 15, 23 pada penanggalan bulan (chandra sengkala). Pada tanggal tersebut Sang Buddha memperkenankan kepada umat untuk melaksanakan Atthangasila, sedang bagi para bhikkhu. Buddha mengijinkan untuk melakukan pertemuan setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan. Pada saat Uposatha diadakan pembacaan Patimokkha bila terdapat ernpat (4) Bhikkhu atau lebih. Kalau hanya dua Bhikkhu atau tiga Bhikkhu disebut Gana (kelompok) mereka diperbolehkan saling memberitahukan kemumian masing-masing. Tetapi kalau hanya seorang Bhikkhu (Puggala) ia harus membuat tekad dalam dirinya sendiri (Addhitthana).

  1. Vassa
Waktu vassa merupakan waktu para Bhikkhu untuk melaksanakan Samanadhamma (Dhamma untuk seorang yang membuat dirinya damai), yaitu melaksanakan meditasi ketenangan batin dan pandangan terang.
Ketika jumlah Bhikkhu berkembang pesat. Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa seorang Bhikkhu harus bertempat tinggal/ menetap disuatu tempat selama musim hujan (vassa) dan tidak boleh pergi ke tempat lain selama tiga bulan. Hari pertama untuk melaksanakan Vassa disebut Supanayika, yaitu setelah bulan pumama di bulan Asadha. Seorang Bhikkhu selama melaksanakan vassa, hanya diijinkan selama 7 hari jika ada urusan penting, jika melebihi 7 hari maka pelaksanaan vassa adalah gagal.
Upacara untuk mengakhiri masa vassa disebut Pavarana. Pavarana merupakan kesempatan bagi para Bhikkhu untuk saling mngingatkan satu dengan yang lainnya. Pavarana sebagai ganti Uposatha pada saat purnama pada bulan Kathina.

  1. Hubungan antara Bhikkhu dengan perumahtangga
Hubungan seorang Bhikkhu dengan umat merupakan hubungan yang bersitat moral-religius dan bersifat timbal-balik. Seperti yang dijelaskan oleh Buddha dalam Sigalovada Sutta, yaitu: perumah tangga hendaknya menghormati dan melayani para Bhikkhu dengan kasih sayang melalui perbuatan, perkataan, dan pikiran, membuka pintu rumah mereka, dan menunjang kebutuhan yang sesuai.
Bhikkhu mempunyai kewajiban kepada umat: melindungi dan mencegah mereka berbuat jahat, memberi petunjuk untuk melakukan perbuatan baik, menerangkan ajaran yang belum pernah didengar/diketahui/dimengerti dan menunjukkan jalan menuju pembebasan.
ãthitisampanno070607

Refferensi

Dhammananda, K. Sri, 2000, Keyakinan Umat Buddha, Penerbit Karaniya, Jakarta
Digha Nikaya (The Dialogues Of The Buddha) , Davids, Rhys. T.W (Transl). 1977, Vol. III Pali Text Society, London
Anguttara Nikäya (The Book of Gradual Sayings)  Hare, E.M.  (translate). 1989,, Pali Text Society, Oxford.
Majjhima Nikäya (, The Middle Length Sayings),  Horner, I.B.  (translate). 1989, Pali Text Society, Oxford.
Nyanaputra, Bhikkhu, 1998, Dhammaduta, Pustaka Ekayana, Jakarta
Priastana, Jo, 2005 Komunikasi dan Dharmaduta, Yasodara Putri, Jakarta
Rashid, Tedja S.M, 1990. Sila Dan Vinaya, Jakarta: Penerbit Bodhi
Sañjivaputta, Jan, 1991. Mangala Berkah Utama, Lembaga Pelestari Dhamma, Jakarta
Dhammananda, K. Sri, 2000, Keyakinan Umat Buddha, Penerbit Karaniya, Jakarta

0 komentar: