Disampaikan oleh: Bhikkhu
Nyanakaruno Thera
Patimokkhe ca samvaro etam mangalamutaman’ti
Terkendali dalam peraturan adalah berkah utama
Moralitas
atau síla, merupakan dasar atau
pondasi dari serangkaian latihan dalam pengembangan kecerdasan moral. Orang
yang cerdas secara moral adalah orang yang mampu berperilaku berbudi, bermoral,
saling mengasihi, bersikap bijaksana, sopan, murah hati, memahami orang lain
dan bertindak berdasarkan pengetahuan dengan kelembutan hati, dalam agama
Buddha ditunjukkan dengan pelaksanaan síla
atau etika yang murni dalam kesucian sila.
Teori etika atau moralitas umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip sebagai panduan umum untuk menunjukkan arah menuju pembebasan akhir, dengan perimbangan antara moralitas negatif yang melarang dan moralitas positif yang menganjurkan. Prinsip-prinsip dan rumusan moralitas dapat kita temukan dalam nasehat Buddha (Buddha ovada) kepada para siswa-Nya yang berbunyi: "... janganlah berbuat kejahatan, berbuatlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran ..." (Dhp. 183).
I.
Pengertian Síla
Síla sebagai kelompok pertama dalam ariya atthaêgika magga terdiri dari
perkataan benar (sammavaca),
perbuatan benar (sammakammanta), dan
mata pencaharian benar (sammäjiva)
merupakan suatu bentuk latihan dasar atau fondasi dalam pengembangan kesucian
atau kecerdasan moral. Pengembangan síla sebagai perwujudan dari ariya atthaêgika magga termasuk dalam síla yang aktif dan pasif. Síla aktif tercermin dari pelaksanaan
pikiran, perbuatan, dan ucapan yang dilandasi dengan perasaan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), kesabaran dalam cara-cara
penghidupan yang benar (samajivita), puas
dengan apa yang dimiliki (santutthi),
jujur (sacca), dan mengembangkan
kewaspadaan (sati-sampajjana). Síla
pasif yang dimaksudkan adalah menghindari beberapa perbuatan, perkataan dan
pikiran yang diliputi oleh nafsu keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan yang
tercermin dalam pelaksanaan síla-síla
seperti membunuh, mencuri, memuaskan nafsu rendah, berbicara yang tidak benar
serta makan dan minum makanan serta minuman yang dapat menyebabkan hilangnya
kesadaran dan kewaspadaan (Vajirañanavarorasa, 1979: vi).
Síla adalah keadaan
yang diawali munculnya kehendak dalam batin seseorang yang menghindari
pembunuhan mahkluk hidup atau dalam batin seseorang yang menjalani kewajiban
(melatih pengendalian diri) (Vis.6). Síla adalah perbuatan baik yang
dilakukan melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani yang tidak merugikan diri
sendiri dan orang lain. Manusia susíla
dalam agama Buddha ialah manusia yang dapat berkata dan berbuat serta
berpenghidupan yang benar. Umat Buddha diharapkan dapat melaksanakan síla dengan baik melalui ucapan,
perbuatan, dan mata pencaharian yang benar. Buddha bersabda; “ barang siapa
sempurna dalam síla dan mempunyai
pandangan terang, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajiban, maka
semua orang akan mencintainya” (Dhp.XVI.217).
Síla dapat berarti
norma (kaidah), peraturan perilaku, sopan santun, dan sebagainya. Pelaksanaan síla merupakan kebijakan moral, etika
atau tata tertib dalam menjalani kehidupan manusia sehingga dapat bertingkah
laku benar dan baik bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta
beserta isinya. Pelaksanaan síla
merupakan salah satu upaya dalam mengembangkan kecerdasan moral dapat dilakukan
dengan cara menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
“Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan dengan jalan
berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang bebas
dari awan” (Dhp.XIII.173).
Melaksanakan
síla berarti melakukan samvara atau pengendalian diri untuk
tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat, karena perbuatan jahat akan kembali
pada pelakunya sebagai malapetaka. Pelaksanaan síla atau kemoralan dilandasi dengan rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan rasa takut akan akibat
perbuatan jahat (ottapa). Peradaban
masyarakat yang tinggi tidak akan terbentuk tanpa kedua faktor tersebut, karena
itu keduanya juga disebut sebagai pelindung dunia (lokäpala).
Buddha
menyatakan: “ .... rasa malu untuk berbuat jahat dan rasa takut akan akibat
perbuatan jahat adalah dua faktor pelindung dunia. Para bhikkhu, apabila kedua
faktor itu tidak melindungi dunia maka tidak akan ibu atau saudara ibu ....
tetapi, para bhikkhu, sejak adanya kedua faktor pelindung dunia, kita akan
melihat ibu ... dan kedamaian ...” (A.I.51).
Seseorang harus memiliki hiri (rasa malu
untuk berbuat jahat) dan ottapa (rasa
takut akan akibat dari perbuatan jahat) sebagai dasar pelaksanaan síla. Síla ditunjukkan sebagai kesucian oleh yang memahami dan sebab
terdekatnya adalah hiri dan ottapa (Vis.9).
Síla yang dilaksanakan lebih lanjut dikembangkan dengan
melakukan perenungan akan kebaikan-kebaikan síla,
sehingga tidak cacat dan memiliki kualitas istimewa. Buddha menyatakan bahwa: “
… pada saat pikiran tidak tergoda oleh ketamakan, atau dipengaruhi oleh
kebencian, maupun kebodohan. Pikirannya menjadi sangat lapang dipengaruhi oleh síla” (A.III.286). Síla
tersebut membebaskan, karena membebaskan kita dari pembudakan keinginan, ia
dipuji oleh para bijaksana, tidak melekat, dan tidak mungkin menimbulkan
kekhawatiran. Síla mendukung pada
konsentrasi, karena mereka membantu konsentrasi akses dan tercerap, atau jalan
dan buah konsentrasi (Vis.105).
Seseorang
yang setia pada perenungan terhadap síla
memiliki rasa hormat terhadap latihan, tinggal dalam kumpulan, ia tekun setiap
saat, bebas dari rasa takut terhadap penyesalan diri. Ia akan melihat bahaya
dalam kesalahan yang terkecil sekalipun, mencapai keyakinan yang penuh serta
memilki banyak kegembiraan dan keriangan. Apabila belum menembus yang lebih
tinggi, paling tidak akan mencapai kehidupan yang bahagia.
II.
Pengertian
Vinaya
Vinaya berarti Peraturan. disiplin atau tata tertib. Kata
Vinaya sendiri berarti: melenyap-kan/menghapus/memusnahkan/menghilangkan (dalam
hal ini yang dimaksud adalah segala tingkah laku yang menghalangi kemajuan dalam
pelaksanaan Dhamma atau sesuatu yang membimbing keluar dari dukkha).
Pada saat permulaan perkembangan agama Buddha, peraturan
untuk pengendalian diri bagi anggota Sangha tidak begitu diperlukan, karena jumlah
Bhikkhu masih sedikit, dan semuanya Savaka (siswa/Bhikkhu) telah
melaksanakan dan mengikuti jejak Sang Buddha dan mengetahui dengan baik ajaran
Sang Buddha.
Ketika jumlah Bhikkhu bertambah banyak dan tersebar
dimana-mana, peraturan untuk pengendalian diri para Bhikkhu menjadi lebih
diperlukan. Maka dalam rangka pembinaan itu sebagai Raja Dhamma yang
bertugas memerintah. Buddha menetapkan peraturan dan hukuman yang disebut
Buddhapaññati. Buddhapaññati dirnaksudkan untuk mencegah kelakuan yang salah
dan memperingatkan para Bhikkhu agar pelanggaran yang mungkin dilakukan
(memberi sanksi).
Disamping itu Buddha sebagai Ayah Sangha
menyusun kebiasaan tingkah laku yang baik yang disebut Abhisamacara yang dimaksudkan
untuk mendorong agar para Bhikkhu bersikap tepat, sebagaimana sebagai seorang
ayah yang terhormat yang mendidik anak-anaknya untuk mengikuti tradisi
keluarga.
Perpaduan antara Buddhapaññati dengan Abhisamacara disebut
Vinaya.
Peraturan Vinaya sesungguhnya membuat para Bhikkhu agar menjadi agung dan
mulia.
Vinaya ditetapkan menurut sebab (Nidana) dan asal mula ceritera (Pakarana).
Beberapa hal yang menyebabkan
Buddha menetapkan Vinaya, yaitu:
1. Untuk tegaknya Sangha.
2. Untuk kebahagiaan Sangha.
3. Untuk pengendaltian diri para Bhikkhu yang belum teguh.
4. Untuk kehahagiaan para Bhikkhu yang berkelakuan baik.
5. Untuk perlindungan diri dari Asava dalam kehidupan ini.
6. Untuk perlindungan diri dari Asava yang timbul dalam kehidupan yang akan
datang.
7. Untuk membahagiakan mereka yang belum bahagia.
8. Untuk meningkatkan mereka yang telah berbahagia.
9. Untuk manfaat dari Vinaya (Vinaya dapat memberikan mafaat kepada
makhluk-makhluk terbebas dari dukkha, menuju Nibbana).
Terdapat dua alasan tambahan, yaitu:
1. Untuk simpati umat berkeluarga.
2. Untuk mematahkan semangat para Bhikkhu yang berpikiran tidak baik.
Gabungan antara Dhamma dan Vinaya disebut Buddhasasana. Vinaya dan Dhamma
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dhamma tanpa Vinaya akan
merupakan ajaran yang tidak menunjukkan awal atau permulaan untuk dilaksanakan,
sebaliknya Vinaya tanpa Dhamma akan merupakan formalisme kosong (suatu disipiin
yang hanya menghasilkan sedikit buah atau kemajuan).
Peraturan latihan ditetapkan sebagai hukuman merupakan Adibrahmacariya-sikkha (latihan utama
kehidupan suci) dan yang ditetapkan sebagai Abhisamacara-sikkha (latihan lebih tinggi dalam tingkah laku
yang benar).
III.
Vinaya Pitaka
Vinaya pitaka merupakan bagian dari Tripitaka yang
berisikan/memuat tentang aturan-aturan disiplin para Bhikkhu yang disusun dalam
dua himpunan berdiri sendiri, yang kemudian mendapat penambahan, yang terdiri
dari:
1. Suttavibhanga
Suttavibhanga berisikan penggolongan pelanggaran dalam
kelompok, dimulai dengan empat (4) Parajika sampai Adhikarana Samatha.
Aturan-aturan ini berjumlah 227 pasal. Seluruhnya sama dengan
peraturan-peraturan Patirnokkha yang diucapkan pada pertemuan Uposatha dari
Sangha. Bagian ini dilanjutkan
dengan Bhikkhuni Sutta Vibhanga; yang memuat rangkaian aturan untuk para
Bhikkhuni.
2. Khandhaka-Khandhaka
Khandhaka-Khandhaka disusun dalam dua (2) seri, yaitu:
a.
Mahavagga,
berisikan:
1.
Aturan-aturan untuk memasuki
Sangha.
2.
Pertemuan Uposatha dan
pengucapan Patimokkha.
3.
Tempat tinggal selama musim
Vassa.
4.
Upacara penutupan musim Vassa
(Pavarana).
5.
Aturan-aturan mempergunakan
pakaian dan perabotan hidup
6.
Aturan rnenggunakan
obat-obatan dan makanan.
7.
Upacara Kathina dan pembagian
jubah tahunan.
8.
Bahan jubah, aturan tidur dan
aturan bagi Bhikkhu yang sakit.
9.
Cara menjalankan keputusan
Sangha.
10.
Cara menyelesaikan perselisihan
dalam Sangha.
b.
Culavagga berisikan:
·
1&2 Aturan untuk
menangani pelanggaran-pelanggaran dihadapan Sangha.
·
Penerimaan kembali seorang
Bhikkhu.
·
Aturan untuk menangani
masalah-masalah yang timbul.
·
Berbagai aturan untuk mandi,
berpakaian dan sebagainya.
·
Tempat tinggal, perabotan. penginapan-penginapan.
·
Perpecahan.
·
Perlakuan pada berbagai golongan Bhikkhu dan kewajiban para guru dan
Samanera.
·
Pengucilan dari Patimokkha.
·
Pentahbisan dan petunjuk bagi
para Bhikkhu.
·
Sejarah sidang Agung (Sangha
Samaya) pertama di Rajagaha.
·
Sejarah sidang Agung (Sangha
Samaya) kedua di Vesali.
c. Parivara memuat tentang ringkasan dan penggolongan aturan-aturan dalam
Suttavibhanga dan Khandhaka-Khandhaka disertai ceritera mengenai terjadinya
aturan tersebut.
IV. Dua Jenis Vinaya
Vinaya tidak hanya diartikan sebagai peraturan yang
berhubungan dengan kebhikkhuan saja. Vinaya Pitaka berisikan peraturan latihan,
larangan, anjuran/yang diperbolehkan dan ketentuan yang mengatur kehidupan
Bhikkhu. Dikenal pula Vinaya untuk umat berkeluarga atau bagi Upasaka/Upasika.
Pengembangan
síla terbagi dalam dua jalur, yaitu agariya atau perumah tangga (gharaväsa) dan anagäriya atau hidup tanpa rumah. Agariya Vinaya atau
peraturan untuk umat berkeluarga meliputi pancasíla,
atthangasíla atau uposathasíla,
ajivathamakasíla, serta navangasíla sebagai peraturan latihan yang tidak
mengikat. Pengembangannya secara
kontekstual mengacu pada pelatihan sistem moral maupun sistem norma dalam
masyarakat.
Anagäriya vinaya merupakan kode disiplin moral
yang ditetapkan oleh Buddha sehubungan dengan pelaksanaan latihan bagi seorang pabbajita atau Sangha, meliputi beberapa
peraturan atau kode disiplin dalam mengatur kehidupan tanpa rumah terdiri dari dasasíla, nasananga, dandakamma dan sekkhiya sikkhapada bagi
samanera/samaneri, serta patimokkhasíla dan
abhisamacara bagi bhikkhu/bhikkhuni.
Vinaya perumahtangga dalam pengertian yang sempit, adalah
Pancasila Buddhis, dan sebagai
pengertian yang lebih luas termuat dalam Sigalovada Sutta. Vinaya untuk umat berkeluarga
disebut Gihi Vinaya. Yang dimaksud
Pancasila Buddhis ialah:
1. Panatipata Veramani
Sikkhapadam Samadiyami; Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku
bertekad untuk melatih diri menghindari pengambilan harang yang tidak
diberikan/pencurian.
3. Kamesumicchacara Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku
bertekad untuk melatih diri menghindan perbuatan asusila.
4. Musavada Veramani Sikkhapadam
Samadiyami; Aku bertekad melatih diri untuk menghindari ucapan vans
tidak benar.
5. Surameraya
majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami; Aku bertekad unluk melatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat
menyebabkan lemahnya kesadaran.
Perbedaan antara Sila umat berkeluarga dan Sila
untuk seorang Bhikkhu, yaitu:
1.
Sila untuk umat berkeluarga
bersifat moral semata dan digolongkan datam Pakatisila
(Sila alamiah), sedangkan sila bagi seorang Bhikkhu selain bersifat moral, berlaku
khusus untuk cara hidupnya dan sila itu digolongkan dalam Paññati-sila.
2.
Hukuman yang diberikan bagi
peianggar:
i.
Untuk umat berkeluarga
bersifat moral semata disamping hukum Karma,
ii.
Bagi seorang Bhikkhu
disampaing hukum Karma, moral masih ditambah hukuman dikeluarkan dari anggota
Sangha (lihat dalam Parajika 4).
Para Bhikkhu dan umat berkeluarga haruslah mentaati
Vinaya atau Sila secara murni agar tidak jatuh ke dalam pelanggaran. Dikenal
adanya Kukkaccayanta Bhikkhu, yaitu para Bhikkhu yang seksama atau teliti dan
tidak mau menerima suatu apapun kecuali telah diperkenankan oleh Buddha. Terdapat
pula Appiccha Bhikkhu, yaitu Bhikkhu dengan sedikit keinginan yang merasa malu
akan kelalaian dan tingkah laku Bhikkhu lain yang tidak benar. Sedikit
keinginan merupakan kata lain dari Santutthi (merasa puas) yaitu suatu sifat
yang sangat berharga untuk seorang Bhikkhu.
PATIMOKKHA DAN PEMBAGIANNYA
Catatan: untuk Upasampada Bhikkhuni dalam doktrin
Theravada (aliran selatan) telah diperhentikan sejak tahun 1257.
Agar dalam pengamalan sila
dapat sempuma para Bhikkhu harus melaksanakan Catur Parisuddhi Sila, yang
terdiri dari:
·
Patimokkha samvara sila: pengendaiian diri dengan sila-sila kebhikkhuan.
·
Indriya samvara sila: pengendalian diri
melalui indriya, misalnya mata, telinga, hidung, sentuhan dan pikiran melalui latihan
Vipassana Bhavana.
·
Ajiva Parisuddhi sila: pengendaiian diri dengan peraturan yang wajib
dilaksanakan oleh para oleh para Bhikkhu agarjangan melanggar sila kebhikkhuan.
·
Paccaya sannisita sila: pengendalian diri dengan
cara melakukan hal-hal yang baik guna mewujudkan kebiasaan yang baik, yang akan
menimbulkan kesadaran dan sifat-sifat yang baik. Hal ini dilatih dalam
kehidupan sebari-hari, misalnya cara memakai jubah, cara makan, menggunakan tempat
tinggal, cara menggunakan obat-obatan, dan sebagainya. Mereka harus menyadari
bahwa semua itu yang mereka lakukan adalah untuk menolong dan melindungi badan
dan bukan untuk dinikmati atau untuk kesenangan atau bukan pula sebagai sesuatu
untuk dibanggakan.
V. Aspek Vinaya
- Kebutuhan Bhikkhu
Kebutuhan pokok Bhikkhu ada empat (4) macam, yaitu:
pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Empat kebutuhan
pokok ini hendaknya dapat disediakan oleh umat Buddha. selain itu terdapat pula
kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya, seperti alat tulis, keperluan untuk mandi
dan sikat gigi, pisau cukur, dan sebagainya.
1.
Pakaian (jubah)
Menurut Vinaya seorang Bhikkhu hanya diperkenankan menyimpan jubah sebanyak
3 stel, sedang seorang samanera diperkenankan hanya 2 stel jubah. Jubah Bhikkhu
disebut Civara, dan terdiri atas:
i.
Jubah luar (Sanghati).
ii.
Jubah atas (Uttarasanga).
iii.
Jubah bawah
(Antaravasaka).
2.
Makanan
Waktu makan yang tepat bagi seobrang Bhikkhu dan samanera yaitu mulai saat
pagi ketika cahaya sudah terang untuk melihat garis-garis yang ada ditelapak
tangan dan berakhir pada tengah hari. Dalam jangka waktu ini seorang Bhikkhu
dapat makan sekali atau dua kali, diperkirakan cukup untuk kebutuhan 24 jam.
Jenis makanan bagi seorang Bhikkhu tidak sama yaitu antara Bhikkhu Theravada
dengan Bhikshu Mahayana. Bhikshu Mahayana tidak diperkenankan makan daging
(makanan sayuranis). karena mereka berpedoman pada Bodhisattva sila yang salah
satu pasalnya tidak menghendaki makan makanan mengandung daging. Bhikkhu
Theravada boleh makan daging, dengan syarat memenuhi tiga syarat daging bersih
(Tikotiparisuddhimamsa) sesuai dengan Jivaka Sutta. Tiga syarat
daging bersih yaitu: tidak melihat binatang itu disembelih, tidak mendengar
binatang itu disembelih dan tidak berprasangka binatang itu disembelih khusus
untuk menjamu diri seorang Bhikkhu tersebut.
Terdapat sedikit sekali pembatasan dalam aturan yang dimakan, misalnya
tidak boleh makan daging binatang tertentu, seperti ular, anjing, harimau,
beruang dan daging manusia. Makanan dapat diperoleh dengan pindapata, yaitu
menerima makanan melalui persembahan umat kepada vihara/tempat bhikkhu berdiam
atau melalui undangan dan umat kepada Bhikkhu untuk makan dirumahnya. Seorang
Bhikkhu tidak boleh minum-minuman yang disuling atau yang diragi, kecuali dalam
jumlah untuk pengobatan.
3. Tempat tinggal
Para Bhikkhu Umumnya tinggal di vihara atau kuti. Apabila tempat yang
dikunjungi tidak terdapat vihara, seorang Bhikkhu dapat tinggal di rumah umat,
dalam hal ini disediakan ruangan tersendiri. Seorang Bhikkhu tidak boleh tidur
satu ruangan dengan seorang yang belurn diupasampada lebih dari tiga hari.
4.
Obat-obatan
Seorang Bhikkhu hendaknya dapat menggunakan obat-obatan sesuai dengan
aturan untuk penyembuhan, harus waspada dan jangan sampai menyalah-gunakan
obat-obatan tersebut.
- Penghormatan
Beberapa macam penghormatan yang diperkenankan oleh Sang
Buddha yaitu:
1. Namaskara : berlutut/sujud;
2. Utthana : berdiri untuk menyambut.
3. Anjali :
merangkapkan kedua telapak tangan didepan dada
4. Sammicikamma :
cara-cara lain yang terpuji/kerendahan hati.
Menjadi kebiasan seorang Bhikkhu untuk tidak melakukan
anjali kepada mereka yang tanpa upasampadal atau kepada Bhikshuni. Diantara
para Bhikkhu, Bhikkhu yang lebih muda wajib melakukan anjali terlebih dahulu
pada yang lebih tua, kemudian Bhikkhu yang lebih tua membalasnya. Bhikkhu yang
lebih tua memanggil yang lebih muda dengan sebutan Avuso (saudara) dan yang
lebih muda memanggilnya dengan sebutan Ayasma atau Bhante. Tua yang
dimaksud disini adalah masa kebhikkhuannya (masa vassa).
C.
Uposatha
Kata Uposatha berarti masuk untuk berdiam/mendekat pada
guru, dalam hal ini kepatuhan kepada Sila. Hari-hari Uposatha yaitu tanggal 1, 8,
15, 23 pada penanggalan bulan (chandra sengkala). Pada tanggal tersebut
Sang Buddha memperkenankan kepada umat untuk melaksanakan Atthangasila, sedang
bagi para bhikkhu. Buddha mengijinkan untuk melakukan pertemuan setiap tanggal
1 dan 15 penanggalan bulan. Pada saat Uposatha diadakan pembacaan Patimokkha
bila terdapat ernpat (4) Bhikkhu atau lebih. Kalau hanya dua Bhikkhu atau tiga
Bhikkhu disebut Gana (kelompok) mereka diperbolehkan saling memberitahukan
kemumian masing-masing. Tetapi kalau hanya seorang Bhikkhu (Puggala) ia harus
membuat tekad dalam dirinya sendiri (Addhitthana).
- Vassa
Waktu vassa merupakan waktu para Bhikkhu untuk
melaksanakan Samanadhamma (Dhamma untuk seorang yang membuat dirinya damai),
yaitu melaksanakan meditasi ketenangan batin dan pandangan terang.
Ketika jumlah Bhikkhu berkembang pesat. Sang Buddha
menetapkan peraturan bahwa seorang Bhikkhu harus bertempat tinggal/ menetap
disuatu tempat selama musim hujan (vassa) dan tidak boleh pergi ke tempat lain
selama tiga bulan. Hari pertama untuk melaksanakan Vassa disebut Supanayika, yaitu setelah bulan pumama di
bulan Asadha. Seorang Bhikkhu selama melaksanakan vassa, hanya diijinkan selama
7 hari jika ada urusan penting, jika melebihi 7 hari maka pelaksanaan vassa
adalah gagal.
Upacara untuk mengakhiri masa vassa disebut Pavarana.
Pavarana merupakan kesempatan bagi para Bhikkhu untuk saling mngingatkan satu
dengan yang lainnya. Pavarana sebagai ganti Uposatha pada saat purnama pada bulan
Kathina.
- Hubungan antara Bhikkhu dengan perumahtangga
Hubungan seorang Bhikkhu dengan umat merupakan hubungan
yang bersitat moral-religius dan bersifat timbal-balik. Seperti yang dijelaskan
oleh Buddha dalam Sigalovada Sutta, yaitu: perumah tangga hendaknya menghormati
dan melayani para Bhikkhu dengan kasih sayang melalui perbuatan, perkataan, dan
pikiran, membuka pintu rumah mereka, dan menunjang kebutuhan yang sesuai.
Bhikkhu mempunyai kewajiban kepada umat: melindungi dan
mencegah mereka berbuat jahat, memberi petunjuk untuk melakukan perbuatan baik,
menerangkan ajaran yang belum pernah didengar/diketahui/dimengerti dan
menunjukkan jalan menuju pembebasan.
ãthitisampanno070607
Refferensi
Dhammananda, K. Sri, 2000, Keyakinan Umat Buddha, Penerbit
Karaniya, Jakarta
Digha Nikaya (The Dialogues Of The Buddha) , Davids, Rhys. T.W
(Transl). 1977, Vol. III Pali Text Society, London
Anguttara Nikäya (The
Book of Gradual Sayings) Hare, E.M. (translate). 1989,, Pali Text Society, Oxford.
Majjhima Nikäya (, The Middle Length Sayings), Horner, I.B.
(translate). 1989, Pali Text Society, Oxford.
Nyanaputra, Bhikkhu, 1998, Dhammaduta, Pustaka
Ekayana, Jakarta
Priastana, Jo, 2005 Komunikasi
dan Dharmaduta, Yasodara Putri, Jakarta
Rashid, Tedja S.M, 1990. Sila Dan
Vinaya, Jakarta: Penerbit Bodhi
Sañjivaputta, Jan, 1991. Mangala Berkah Utama, Lembaga Pelestari Dhamma, Jakarta
Dhammananda, K. Sri, 2000, Keyakinan Umat Buddha, Penerbit
Karaniya, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar