Membentuk Pribadi Bersusila Yang Mandiri Dan Peduli
Oleh Jo Priastana S.S
Oleh Jo Priastana S.S
Pendahuluan
Zaman
sekarang yang ditandai oleh perubahaan pesat di dalam banyak bidang kehidupan
disamping kemajuan juga mendatangkan kegelisahan. Dengan kemajuan komunikasi
dan informasi dunia menjadi kecil, dan seturut dengan itu timbulah masalah
kegelisahan yang menyangkut masalah moral. Banyak orang merasa tidak punya
pegangan lagi tentang norma kehidupan. Bunuh diri egoistic dan anomic yang
disebut Emile Durkhein dan melanda kehidupan manusia modern merupakan cirri
dari kosongnya norma moral dan makna kebersamaan.
Kita dapat membedakan masalah moral
yang menyangkut individu dengan masalah moral yang menyangkut hidup dan urusan
orang banyak. Moral individu juga punya kaitan dengan orang lain, tetapi kaitan itu
tidak sekuat pada moral social yang langsung menyangkut orang banyak. Moralitas
mastubasi misalnya, tidak menyangkut banyak orang lain bila dibandingkan dengan
moralitas system politik atau system ekonomi.
Dalam situasi perubahan dan
kegelisahan yang serba tidak pasti ini, maka etika sangat dibutuhkan guna dapat
menemukan patokan bertindak. Pada umumnya terdapat tiga system norma moral yang
dijadikan patokan, yakni norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak
(deontologis); norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis); atau norma
berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain(relasional).
Moral dan Etika buddhis
Moral erat kaitannya dengan etika.
Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang
yang tidak bermoral. Etika juga menyangkut tentang kebaikan, yakni sebagai
kemampuan untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam agama etika
merupakan factor motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan amal perbuatan.
Dalam agama Buddha, moral dan etika
sangat dititikberatkan, dan penegakkan moral merupakan perwujudan dari
kebutuhan pengembangan diri dari manusia yang selalu berproses. Lebih dari
sekedar melakukan upacara, Buddha menekankan untuk menegakan moral atau
menjalankan sila, hidup bersusila “Saya tak akan menaruh kayu, Brahmana, untuk
umpan api di altar. Hanya didalam diri, api saya nyalakan. Dengan api yang tidk
putus-putus membakar ini, dan dengan diri yang selalu dikendalikan, saya jalani
kehidupan mulia dan luhur. “ (Samyuttta Nikaya, 2320).
Dalam agama Buddha prilaku moral
mengandung dua aspek, aspek negatif: hindarilah atau jangan berbuat kejahatan
(papasanakaranam) dan aspek positif : kembangkanlah kebaikan
(kusalaupasampada). Keduanya merupakan pasangan terhadap satu sama lain.
Pengekangan diri terhadap pembunuhan, misalnya yang merupakan aspek positif
dalam pelaksanaan cinta kasih terhadap semua makhluk
“Jangan berbuat jahat. Berbuatlah
kebaikan. Sucikan hati dan pikiran.” Inilah inti ajaran para Buddha.
Didalam setiap kebaktian, umat
Buddha setelah mengungkapkan keyakinan terhadap Triratna ; Buddha, Dharma dan
Sangha, melanjutkan dengan membacakan paritha Pancasila, Lima Sila paling dasar
dari kebajikan moral yang wajib dilaksanakan oleh umat Buddha, yaitu : jangan
makan minuman yang memabukan dan yang melemahkan kesadaran.
Sila atau moralitas dalam agama
Buddha juga terkandung didalam beruas delapan untuk menghentikan dukka,
disamping meditasi meditasi dan panna, (kebijaksanaan), yaitu : ucapan benar
(sammavacca), perbuatan benar (samma kammanta), dan mata pencaharian benar
(sama Ajiva).
Sang Buddha menyebutkan tentang
adanya sifat dasar yang melandasi perbuatan manusia, yaitu: merindukan
kesenangan (sukhama), dan menghindari kesakitan (dukkhapatikula). Begitupun
prilaku manusia bisa didasari oleh motif-motif laten yang terdapat didalam
dirinya seperti : keinginan terhadap kelangsungan (bhawa-tanha), keinginan
terhadap kenikmatan (kamatanha), atau keinginan akan kehancuran (vibhavatanha).
Terhadap adanya sifat-sifat dasar
atau motif-motif alten tersebut, maka penegakkan moral dalam hidup bersusila
sangat penting dan ditegaskan oleh Sang Buddha.
“Orang yang selalu mencari
kesenangan tidak dapat mengendalikan indria-indrianya, malas dan lemah, ia
pasti akan ditaklukan oleh mara, bagaikan pohon kayu yang lemah ditumbangkan
oleh angin topan yang dahsyat.” (Dhammapada 7).
“Orang yang dapat mengendalikan
indrianya bagaikan seorang kusir yang dapat mengendalikan kudanya, yang telah
dapat menghilangkan kesombongannya dan hanya dengan ulet dapat membersihkan
batinnya dari noda-noda. Orang seperti ini dicintai oleh para dewa.”
(Dhammapada 94)
Sehubungan dengan tindakan-tindakan
yang berkenan dengan relasi terhadap yang lain, Sang Buddha menyebutkan
terdapatnya empat tipe orang, yaitu : pertama orang yang menyiksa dirinya
seperti pertapa, kedua orang yang menyiksa orang lain seperti pemburu,
ketiganya orang yang menyiksa dirinya maupun yang lain seperti dalam
penyelenggaraan korban besar-besaran, dan keempat orang yang tidak menyiksa
yang lain, seperti arahat atau orang suci.
Perbuatan manusia juga tidak dpat
dilepaskan dari hubungan-hubungan dan sikapnya dengan orang lain. Dan inipun
menentukan mutu kehidupannya.
“Orang yang mencari kebahagiaan
dnegan menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka orang itu
tidak akan mendapatkan kebahagiaan setelah kematiannya. Orang yang mencari
kebahagiaan dengan tidak menyakiti orang lain yang juga mendambakan
kebahagiaan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan setelah matinya”. (Dhammapada
131).
Bersusila yang mandiri
Terhadap kehidupan bersusila, Sang
Buddha menekankan agar kita hendaknya agar kita hendaknya dapat bersikap
mandiri, otonom, sebagaimana yang diungkapkannya dengan istilah “Jadilah pulau
bagi dirimu sendiri”. Moralitas atau hidup yang bersusila yang mandiri ini
adalah dimana kita sendirilah yang dapat memutuskan secara kritis mana yang
baik dan mana yang benar, yang dapat kita lakukan melalui kesadaran yang
terdapat didalam diri kita.
“Kesadaran adalah jalan menuju
kekekalan. Ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak
akan mati. Orang yang tidak sadar seolah-olah telah mati” (Dhammapada 21)
“Diri sendirilah yang membuat diri
jadi jahat. Drii sendirilah yang membuat diri jadi ternoda. Diri sendirilah
yang membuat kejahatan terjadi. Namun diri menjadi suci dari noda”. (Dhammapada
165).
Perbuatan manusia dalam agama Buddha
juga diatur didalam hokum karma atau sebab-sebab akibat perbuatan. Dinyatakan
bahwa perbuatan baik (kusala kamma) akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan
buruk (akusala kamma) akan menghasilkan penderitaan. Perbuatan (kamma) tersbut
dapat melalui pikiran (man0), ucapan (vacci) maupun tindakan jasmani (kaya),
dan berdaya akibat bila disertai dnegan cetana (niat atau akibat).
Perilaku (karma) seseorang juga
ditentukan oleh factor-faktor seperti : rangsangan luar (kontak) misalnya ;
situasi; motif yang disadari, misalnya keserakahan, kebencian; dan motif yang
tidak disadari. Misalnya keinginan untuk hidup langgeng (jivitukama), keinginan
untuk menghindari dari kematian maritukama), keingianan untuk menikmati
kesenangan (sukhama), dan penghindaran dari kesakitan (dukkhapatikkula).
“Tidak diangkasa, ditengah lautan
ataupun didalam gua-gua gunung; tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan
dirinya dari akibat perbuatan-perbuatan jahatnya.” (Dhammapada 127).
Terhadap perbuatan-perbuatan yang
akan kita lakukan, dan bekerjanya hukum karma ini, Sang Buddha juga
menganjurkan kita untuk memiliki Hiri dan Otapa atau memiliki rasa malu
melakukan perbuatan buruk/salah dan rasa takut akibat dari perbuatan
buruk/salah. Disamping berupaya menyadari dan waspada terhadap kecenderungan
laten yang mendadari prilaku misalnya melalui hening meditasi.
Sikap Peduli Bodhisattva.
Dalam perkembangan sejarahnya, agama Buddha terpecah menjadi
dua mashab besar. Diperkirakan sejak awal abad pertama masehi perpecahan itu
memunculkan dua mashab besar : Theravada dan Mahayana. Meski bersumber kepada
Buddha Dharma, kedua mashab dengan cirri-ciri masing-masing ajaran ini turut
memberikan corak yang khas bagi perilaku penganutnya maupun perwujudannya dalam
dunia social dan budaya.
Theravada lebih bersifat ortodoks,
bertujuan mencapai cita-cita Arahat (menjadi orang suci) dengan berupaya
melenyapkan sifat-sifat negatif yang merupakan belenggu (samyojanna) yang
terdapat didalam diri seperti seperti : kepercayaan terhadapku, keraguan,
keyakinan bahwa upacara dapat membebaskan, keinginan akan kesenangan indria,
kemarahan, keinginan kelangsungan, keinginan pemusnahan, kesombongan, ketidak
seimbangan, dan kegelapan batin.
Prinsip negasi-negasionis
(melenyapkan yang negatif) ini menjadikan kaum Thjeravedin begitu patuh
terhadap prinsip moral dalam sila, serta melakukan meditasi perbersihan batin.
Mahayana lebih bersifat
liberal-prograsif, dengan mengembangkan cita-cita Boddhisattva: bertujuan
menolong semua makhluk yang menderita dengan : bilamana masih ada setangkai
daunpun yang menderita saya tidak akan memasukinya meskipun pintu nirvana itu
sudah terbuka untuk saya. Terhadap peraturan-peraturan moral atau susila kaum
Mahayana tidak melekat begitu saja namun lebih menitik beratkan kepada semangat
atau maknanya. Dengan mengembangkan karuna (belas kasih) kepad segenap makhluk
yang menderita, dan dengan tercapainya pemahaman sunyata (kekosongan) melalui
prajna (kebijaksanaan trassenden) yang menjadikan dirinya tidak terikat lagi,
kaum Mahayana mengembangkan paramita atau kesempurnaan kebajikan (sifat-sifat
yang positif) seperti: kedermawanan, moralitas, kesabaran, tekad, mediasi dan
kebijaksanaan.
Dengan mengembangkan sad atau enam
paramita ini kaum Mahayana mengupayakan berbagai macam cara untuk dapat berbuat
baik dan menolong makhluk yang masih menderita (upaya kausalya). Kaum Mahayana
juga lebih memandang positif terhadap dirinya, karena di dalam dirinya
terkandung bodhicitta (benih/kesadaran Buddha) yang perlu ditumbuh-kembangkan,
dan juga menjadi suara hati bagi perilakunya.
Dalam mahjab Mahayana pula
berkembang pemahaman terhadap konsep Paramatha-Stya dan Semmuti-Satya atau
kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Kedua kebenaran ganda ni tidak
dipisahkan satu sama lain. Begitu pula tentang Asankhata Dharma dan Sankhata
Dharma atau realitas yang absolut dan realitas yang relatif.
Kebenaran dan realitas dan adanya.
Dunia merupakan lading subur bagi penanaman paramita dalam berbagai bidang
kehidupan, baik melalui bidang kehidupan, baik melalui pengembangan prajna yang
merupakan sumber daya bagi munculnya mansuia-manusia pandai dan cerdas lagi
bijaksana, maupun aktualitas karuna yang merupakan sumber daya bagi
solidaritas, kepeduliaan terhadap sesama makhluk dan lingkungan.
Bahwa kehidupan dalam dunia yang
bersyarat, terkondisi relatif ini merupakan kancah bagi terketemukannya dna
berkembagnnya nilai-nilai hakiki, nilai-nilai mutlak yang terkandung dalam
moral.
Melalui cita-cita Bodhisattva
berdasarkan sunyata (kekosongan, ketidakterikatan) dan karuna (balas kasih),
kita mengembangkan kebebasan dan tanggung jawab social, atau moral social
seperti misalnya sikap peduli untuk berupaya untuk mengatasi ketidakadilan,
kekerasan dan sebagainya.
Kaum Muda Yang Mandiri dan Peduli
Etika Buddhis menegaskan untuk hidup bersusila yang mandiri dan peduli. Hidup
bersusila ini perlu dibentuk dan ditumbuh-kembangkan, terutama bagi kaum muda
yang sedang dalam proses pencaharian diri dan pembentukan idnetitas.
Pembentukan pribadi bersusila yag mandiri dan peduli ini sangat penting bagi
mahasiswa sebagai kaum muda yang disamping akrab dengan ilmu pengetahuan yang
menyangkut teori dan fakta, juga bergumul dengan masalah nilai Kemampuan
Mahasiswa untuk memadukan diantara teori, fakta dan nilai, tidak hanya
memungkinkan menjadi ilmuwan yang cerdas namun juga menjadi pribadi bersusila
yang mandiri dan peduli.
Ciri seorang ilmuwan adalah mampu memadukan
antara teori dan nilai fakta. Sedangkan dengan menghubungkan antara teori dan
nilai memungkinkan mahasiswa dapat bersikpa selalu budayawan; yang
memperhatikan masalah nilai-nilai kehidupan dan menjaga kehidupan ini. Bila
seorang mahasiswa mampu menghubungkan antara fakta dan nilai, maka ia telah
berperan sebagai seorang agamawan yang secara kritis menilai terhadap apa yang
ada dan sekaligus mampu memberi orientasi terhadap apa yang seharusnya atau
yang sebenarnya.
Dengan berlandaskan pada sila, keyakinan
terhadap hukum karma, , pemahaman terhadap parammaha-satya, sammutti-satya,
maupun asankhata-dhamma, sankhata-dhamma, dan pemahaman kritis melalui sunyata
serta sikap seorang Bodhisattva yang didasari karuna, maka diharapkan seorang
mahasiswa yang bergumul dengan teori, fakta dan nilai, akan memungkinkan
terwujudnya pribadi bersusila yang mandiri, otonom, dewasa, dengan bersikap
altruis, peduli terhadap lingkungan-dunia, maupun bermoral social yang matang.
[Disajikan dalam “Pekan Orientasi 2
Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta”, Bumi Tri-dharma, Cipendawa Puncak, 13 – 17
Agustus 1997. Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi ke 59 / 1997]
0 komentar:
Posting Komentar