BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Agama Buddha merupakan agama yang muncul sejak dahulu dan
perkembangannya sampai di Indonesia hingga saat ini. Namun dalam perkembangan
hingga saat ini agama Buddha telah melewati berbagai tahap untuk
perkembangannya,seperti perkembangan agama Buddha di kerajaan Sriwijaya.
Pada saat ini agama Buddha terus berkembang di Indonisia,namun kita
harus mengerti bagaimana sejarah berkembangnya Agama Buddha Indonesia agar
dapat mengerti bagaimana perkembangan agama Buddhha Indonesia.kerajaan
Sriwijaya merupakan salah Satu kerajaan Buddha yang pernah berkembang pesat di
Indonesia pada abad ke-7 dan akhirnya mengalami keruntuhan, kita sebagai
generasi muda pada saat ini sebaiknya tidak akan melupakkan kerajaan Sriwijaya
yang sangat berperan penting dalam perkembangan agama Buddha di Indonesia.
Begitu panjang masa perkembangan kerajaan sriwijaya hingga mengalami keruntuhan
sehingga kita perlu mempelajari perkembangan dan hasil dari perkembangan
kerajaan tersebut.
B.Rumusan Masalah
a.
Bagaimanakah sejarah
terbentuknya kerajaan Sriwijaya?
b.
Bagaimanakah perkembangan agama
Buddha di kerajaan Sriwijaya?
c.
Apakah yang menjadi bukti bahwa
agama Buddha berkembang di kerajaan Sriwijaya?
C.Tujuan
- Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah Sejarah Agama Buddha Indonesia.
- Makalah ini dibuat agar pembaca dapat mengetahui sejarah agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya
- Makalah ini dibuat nttuk mendapatkan nilai yang baik dan maksimum.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kerajaan
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kemaharajaan maritim
yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan
daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya,
Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti
“bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal mengenai keberadaan
kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis
bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti
yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti
Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan
diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan
tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183
kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya
baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès
dari École française d’Extrême-Orient. Tidak terdapat catatan lebih lanjut
mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis
George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan
Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”,
sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk
pada kekaisaran yang sama. Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal,
dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20,
kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan
Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya
Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain
mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan
berkaitan dengan Sriwijaya. Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan
observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara
Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan
sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak
pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi
(di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut,
jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya
berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi
petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga
dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja
Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun
1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah
satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada
masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya
telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
B. Urutan Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Tahun 671 M - I Ching singgah di Sriwijaya
tahun 671 adalah tahun awal yang membutikan
adanya Kerajaan Sriwijaya. bukti ini di dapat dari seorang
Bhiksu Buddha Tiongkok yang bernama I Ching yang sedang berkelana lewat laut
menuju india untuk mendapatkan teks agama buddha dalam bahasa sangsekerta
melalui Jalur Sutra atau jalur perdagangan untuk kemudian di bawa ke tiongkok
dan di terjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. semasa perjalanan nya ini lah I
Ching singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di
sriwijaya kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut
dengan jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan
Gambaran
I Tsing tentang Sriwijaya
".... banyak raja dan pemimpin yang berada
di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka
telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih
dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan
baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda,
lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami
ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Tahun 683 M - Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M.
Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai
Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang. Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran
45 × 80 cm ini ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno
adalah sebuah Prasasti yang memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini
Sangat Jelas Menggambarkan Kejadian yang terjadi pada saat itu.
Isi
prasasti kedukan bukit yang telah di terjemahkan:
tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke
perahu untuk melakukan penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683
Dapunta Hiyang berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan
perbekalan 200 peti di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka
cita. 17 Juni 683 Dapunta Hyang datang membuat wanua
Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo
Prasasti ini ditemukanpada tanggal 17 November
1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis Constant Westenenk. Prasasti yang
memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm ini juga dipahat menggunakan Aksara
Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684
M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk
semua makhluk berisi pohon pohon yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut
diberi nama Sriksetra.
Tahun 686 M - Prasasti kota kapur
Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan
bahasa Melayu Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi
dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada
bagian puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota
Kapur karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir
barat Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K
Van Der Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes
orang yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi
tentang Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi
Hal hal baik untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini
juga jelas di ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat
untuk Menyerang Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya
Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja Sriwijaya masuk islam
Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan
Sri Indrawarman yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari
seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan
wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai
sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu
juga dikirimkan Hadiah untuk Khalifah
Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya
Surat kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi :
Dari Raja di raja... yang adalah keturunan
seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain
dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya
merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan
saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam
kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.
Tahun
724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina
Sama hal nya dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun 717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina berupa ts'engchi
Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya
Sama hal nya dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun 717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina berupa ts'engchi
Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya
Hal ini di dasari oleh sebuah Prasasti yang
ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor saat ini tempat tersebut bernama
Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti Ligor memiliki 2 Sisi.
Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya disebut Ligor B. Ligor
A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Ligor B
ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya
Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya
di kisaran Tahun ini lah di perkirakan
Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan mengedepankan Agama dan
Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada tahun 825 M oleh
Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara Lahirlah Balaputradewa
sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya
Tahun 860 M - Balaputradewa Naik Tahta
Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan
di Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja
di Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : "
Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari
sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan
sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Dewi
Tara, anak Dharmasetu"
Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa
Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh
berita cina dari dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya
terlibat persaingan dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua
Kerajaan ini saling mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada
tahun 988 tertahan di kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di
serang tentara Kerajaan Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang
kembali namun tertahan di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini
meminta Kaisar Song untuk menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan
cina, untusan Kerajaan Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah
Dharmawangsa berhasil menaklukkan Sriwijaya.
Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh
dalam Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di Wwatan. Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut.
Tahun 1003 M - Sri Cudamaniwarmadewa
keterangan ini di dapat dari sebuah manuskrip nepal pada abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik
Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa.
Tahun 1008 M - Sri Mara-Vijayottunggawarman
Penemuan Prasasti Leiden yang tertulis pada lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sansekerta dan berbahasa Tamil. sesuai dengan tempat di temukan nya yaitu di KITLV Leiden, Belanda. maka Prasasti ini dinamakan Prasasti Leiden.
Nama Sri Mara-Vihayottunggawarman di sebutkan dalam Prasasti Leiden sebagai anak dari Sri Cudamaniwarmadewa yang memiliki hubungan baik dengan dinasti Chola dari Tamil, selatan India
Terjemahan
Prasasti Leiden :
Raja Sriwijaya, Sri Mara-Vijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma
Raja Sriwijaya, Sri Mara-Vijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma
Tahun 1025 M - Kehancuran Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya Hancur Diserang oleh Rajendra Chola dari Kerajaan Chola serangan Rajendra Chola I dari Koromandel India selatan, didasarkan pada bait akhir prasasti Tanjoreyang menceritakan tentang penaklukan yang dilakukan Kerajaan Chola atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di nusantara serta penawanan raja Sangrama-Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
C. Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan
ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini
tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan
pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat.
Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan
Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara
langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu
setempat. Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I
Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat
bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan
Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686
ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan
Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga
menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini
bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di
Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh
dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad
ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak
pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura
di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya.
Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II,
pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan
Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula
wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini
pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa
berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara
Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu,
Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835.
Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di
Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah
yang selesai pada tahun 825.
D. Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak
peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari
Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan
studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad
ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam
mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama
Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah
digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana
dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai
kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa
Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara. Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya
yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya
menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga
beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh
menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya pengaruh Sriwijaya. Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh
orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang
bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat
dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di
dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali
raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu
naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M)
berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.
E. Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara
India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini
telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh
Asia Tenggara.
Pada paruh
pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
F. Relasi dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara,
Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara
teratur mengantarkan utusan beserta upeti. Pada masa awal kerajaan Khmer
merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di
propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut,
pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada
prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan
sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan
India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah
membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun
menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di
abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I,
di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta
dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah
menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa
Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan
candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut
dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan
Miau Kwan.
G. Masa keemasan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni
pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan,
menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya
dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk
menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. Dari catatan sejarah dan bukti
arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di
Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari
Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau
1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa
Teguh.
H. Penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di
Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijya,
berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan
daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang
berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium
Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra
Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk
tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan
adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028. Antara tahun 1079 – 1088,
kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi
dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja
Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi
urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia,
dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun
1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas raja-raja
bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul
Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah
jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa
bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di
Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi;
Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand),
Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia
(Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong
(Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang),
Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe,
pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung
Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi),
dan Sin-t’o (Sunda). Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun
1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan
Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar
jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut
San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini
karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja
Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli
Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco.
Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti
Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah
jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk
kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
I. Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik
Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi
penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi. Kadātuan dapat
bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan
mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini
dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya
yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan
dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut
Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang
terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan
pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang
berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja
(putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu
banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada
masa Sriwijaya.
J. Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan
terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan
bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa
suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas
persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di
masa lalu. Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan
Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi
penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya,
seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga
berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian
Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama
jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan
Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang
dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam II Sriwijaya
(unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera
Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV,
Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya
Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk
menghormati, memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.
K. Arkeologi atau Peninggalan
Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang
raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya
Arca emas Avalokitesvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di
Rantaukapastuo,Muarabulian, jambi,indonesia
Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77
meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari abad ke-7
sampai ke-8 masehi
Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota
Sriwijaya
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an masehi yang terdapat pada candi
Borobudur.
Candi Borobudur,
pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan materi
di atas mengenai Kerajaan Sriwijaya,maka penyusun dapat menyimpulkan bahwa perkembangan
kerajaan Sriwijaya memiliki sejarah perkembangan yang panjang dan menyisakan
banyak prasasti yang dapat di kenang sampai saat ini oleh masyarakat Indonesia. Aliran agama Buddha yang berkembang
di kerajaan Sriwijaya awalnya aliran Vajrayana, I Tsing melaporkan bahwa
Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran
agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas
telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
B. Saran
Demikianlah makalah ini disusun dengan referensi yang
telah punyusun peroleh, diharapkan setelah mempelajari makalah ini agar para
pembaca dapat mengetahui bahkan mendapat wawasan yang lebih luas tentang
perkembangan yang pernah ada di Indonesia khususnya mengenai kerajaan
sriwijaya.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar