Di zaman sekarang yang ditandai degan berbagai perubahaan
yang pesat di dalam banyak bidang
kehidupan disamping kemajuan juga mendatangkan kegelisahan. Dengan kemajuan
komunikasi dan informasi dunia menjadi kecil, dan timbulah berbagai masalah
kegelisahan yang menyangkut masalah moral. Banyak orang merasa tidak punya
pegangan lagi tentang norma kehidupan. Bunuh diri egoistic dan anomic yang
disebut Emile Durkhein dan melanda kehidupan manusia modern merupakan ciri dari
kosongnya norma moral dan makna kebersamaan.
Kita dapat membedakan masalah moral yang menyangkut individu
dengan masalah moral yang menyangkut hidup dan urusan orang banyak. Moral
individu juga punya kaitan dengan orang lain, tetapi kaitan itu tidak sekuat
pada moral social yang langsung menyangkut orang banyak. Moralitas mastubasi
misalnya, tidak menyangkut banyak orang lain bila dibandingkan dengan moralitas
system politik atau system ekonomi.
Dalam situasi perubahan dan kegelisahan yang serba tidak
pasti ini, maka etika sangat dibutuhkan guna dapat menemukan patokan bertindak.
Pada umumnya terdapat tiga system norma moral yang dijadikan patokan, yakni
norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak (deontologis), norma berdasarkan
tujuan perbuatan (teleologis), atau norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan
orang lain(relasional).
Moral
dan Etika buddhis
Moral sangat erat kaitannya dengan etika. Moral menyangkut
kebaikan seseorang. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak
bermoral. Etika juga menyangkut tentang kebaikan, yakni sebagai kemampuan untuk
menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam agama etika merupakan factor
motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan amal perbuatan.
Dalam agama Buddha, moral dan etika sangat dititikberatkan,
dan penegakkan moral merupakan perwujudan dari kebutuhan pengembangan diri dari
manusia yang selalu berproses. Lebih dari sekedar melakukan upacara, Buddha
menekankan untuk menegakan moral atau menjalankan sila, hidup bersusila “Saya
tak akan menaruh kayu, Brahmana, untuk umpan api di altar. Hanya didalam diri,
api saya nyalakan. Dengan api yang tidk putus-putus membakar ini, dan dengan
diri yang selalu dikendalikan, saya jalani kehidupan mulia dan luhur. “
(Samyuttta Nikaya, 2320).
Dalam agama Buddha prilaku moral mengandung dua aspek, aspek
negatif: hindarilah atau jangan berbuat kejahatan (papasanakaranam) dan aspek
positif : kembangkanlah kebaikan (kusalaupasampada). Keduanya merupakan
pasangan terhadap satu sama lain. Pengekangan diri terhadap pembunuhan,
misalnya yang merupakan aspek positif dalam pelaksanaan cinta kasih terhadap
semua makhluk “Jangan berbuat jahat. Berbuatlah kebaikan. Sucikan hati dan
pikiran. Inilah inti ajaran para Buddha.
Didalam setiap kebaktian, umat Buddha setelah mengungkapkan
keyakinan terhadap Triratna ; Buddha, Dharma dan Sangha, melanjutkan dengan
membacakan paritha Pancasila, Lima Sila paling dasar dari kebajikan moral yang
wajib dilaksanakan oleh umat Buddha, yaitu : jangan makan minuman yang
memabukan dan yang melemahkan kesadaran.
Sila atau moralitas dalam agama Buddha juga terkandung dalam
jalan mulia beruas delapan untuk menghentikan dukka, disamping meditasi
meditasi dan panna, (kebijaksanaan), yaitu : ucapan benar (sammavacca),
perbuatan benar (samma kammanta), dan mata pencaharian benar (sama Ajiva).
Sang Buddha menyebutkan tentang adanya sifat dasar yang
melandasi perbuatan manusia, yaitu: merindukan kesenangan (sukhama), dan
menghindari kesakitan (dukkhapatikula). Begitupun prilaku manusia bisa didasari
oleh motif-motif laten yang terdapat didalam dirinya seperti : keinginan
terhadap kelangsungan (bhawa-tanha), keinginan terhadap kenikmatan (kamatanha),
atau keinginan akan kehancuran (vibhavatanha).
Terhadap adanya sifat-sifat dasar atau motif-motif alten
tersebut, maka penegakkan moral dalam hidup bersusila sangat penting dan
ditegaskan oleh Sang Buddha.
“Orang yang selalu mencari kesenangan tidak dapat
mengendalikan indria-indrianya, malas dan lemah, ia pasti akan ditaklukan oleh
mara, bagaikan pohon kayu yang lemah ditumbangkan oleh angin topan yang
dahsyat.” (Dhammapada 7).
“Orang yang dapat mengendalikan indrianya bagaikan seorang
kusir yang dapat mengendalikan kudanya, yang telah dapat menghilangkan
kesombongannya dan hanya dengan ulet dapat membersihkan batinnya dari
noda-noda. Orang seperti ini dicintai oleh para dewa.” (Dhammapada 94)
Sehubungan dengan tindakan-tindakan yang berkenan dengan
relasi terhadap yang lain, Sang Buddha menyebutkan terdapatnya empat tipe
orang, yaitu : pertama orang yang menyiksa dirinya seperti pertapa, kedua orang
yang menyiksa orang lain seperti pemburu, ketiganya orang yang menyiksa dirinya
maupun yang lain seperti dalam penyelenggaraan korban besar-besaran, dan
keempat orang yang tidak menyiksa yang lain, seperti arahat atau orang suci.
Perbuatan manusia juga tidak dpat dilepaskan dari
hubungan-hubungan dan sikapnya dengan orang lain. Dan inipun menentukan mutu
kehidupannya.
“Orang yang mencari kebahagiaan dnegan menyakiti orang lain
yang juga mendambakan kebahagiaan, maka orang itu tidak akan mendapatkan
kebahagiaan setelah kematiannya. Orang yang mencari kebahagiaan dengan tidak
menyakiti orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka ia akan
mendapatkan kebahagiaan setelah matinya”. (Dhammapada 131)
Bersusila
yang mandiri
Terhadap kehidupan bersusila, Sang Buddha menekankan agar
kita hendaknya agar kita hendaknya dapat bersikap mandiri, otonom, sebagaimana
yang diungkapkannya dengan istilah “Jadilah pulau bagi dirimu sendiri”.
Moralitas atau hidup yang bersusila yang mandiri ini adalah dimana kita
sendirilah yang dapat memutuskan secara kritis mana yang baik dan mana yang
benar, yang dapat kita lakukan melalui kesadaran yang terdapat didalam diri
kita.
“Kesadaran adalah jalan menuju kekekalan. Ketidaksadaran
adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak akan mati. Orang yang
tidak sadar seolah-olah telah mati” (Dhammapada 21)
“Diri sendirilah yang membuat diri jadi jahat. Drii
sendirilah yang membuat diri jadi ternoda. Diri sendirilah yang membuat
kejahatan terjadi. Namun diri menjadi suci dari noda”. (Dhammapada 165).
Perbuatan manusia dalam agama Buddha juga diatur didalam
hokum karma atau sebab-sebab akibat perbuatan. Dinyatakan bahwa perbuatan baik
(kusala kamma) akan mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan buruk (akusala
kamma) akan menghasilkan penderitaan. Perbuatan (kamma) tersbut dapat melalui
pikiran (man0), ucapan (vacci) maupun tindakan jasmani (kaya), dan berdaya
akibat bila disertai dnegan cetana (niat atau akibat).
Perilaku (karma) seseorang juga ditentukan oleh
factor-faktor seperti : rangsangan luar (kontak) misalnya ; situasi; motif yang
disadari, misalnya keserakahan, kebencian; dan motif yang tidak disadari.
Misalnya keinginan untuk hidup langgeng (jivitukama), keinginan untuk
menghindari dari kematian maritukama), keingianan untuk menikmati kesenangan
(sukhama), dan penghindaran dari kesakitan (dukkhapatikkula).
“Tidak diangkasa, ditengah lautan ataupun didalam gua-gua
gunung; tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan dirinya dari akibat
perbuatan-perbuatan jahatnya.” (Dhammapada 127).
Terhadap perbuatan-perbuatan yang akan kita lakukan, dan
bekerjanya hukum karma ini, Sang Buddha juga menganjurkan kita untuk memiliki
Hiri dan Otapa atau memiliki rasa malu melakukan perbuatan buruk/salah dan rasa
takut akibat dari perbuatan buruk/salah. Disamping berupaya menyadari dan
waspada terhadap kecenderungan laten yang mendadari prilaku misalnya melalui
hening meditasi.
Sikap Peduli Bodhisattva.
Sikap Peduli Bodhisattva.
Dalam perkembangan sejarahnya, agama Buddha terpecah menjadi
dua mashab besar. Diperkirakan sejak awal abad pertama masehi perpecahan itu
memunculkan dua mashab besar : Theravada dan Mahayana. Meski bersumber kepada
Buddha Dharma, kedua mashab dengan cirri-ciri masing-masing ajaran ini turut
memberikan corak yang khas bagi perilaku penganutnya maupun perwujudannya dalam
dunia social dan budaya.
Theravada lebih bersifat ortodoks, bertujuan mencapai
cita-cita Arahat (menjadi orang suci) dengan berupaya melenyapkan sifat-sifat
negatif yang merupakan belenggu (samyojanna) yang terdapat didalam diri seperti
seperti : kepercayaan terhadapku, keraguan, keyakinan bahwa upacara dapat
membebaskan, keinginan akan kesenangan indria, kemarahan, keinginan
kelangsungan, keinginan pemusnahan, kesombongan, ketidak seimbangan, dan
kegelapan batin.
Prinsip negasi-negasionis (melenyapkan yang negatif) ini
menjadikan kaum Thjeravedin begitu patuh terhadap prinsip moral dalam sila,
serta melakukan meditasi perbersihan batin.
Mahayana lebih bersifat liberal-prograsif, dengan
mengembangkan cita-cita Boddhisattva: bertujuan menolong semua makhluk yang
menderita dengan : bilamana masih ada setangkai daunpun yang menderita saya
tidak akan memasukinya meskipun pintu nirvana itu sudah terbuka untuk saya.
Terhadap peraturan-peraturan moral atau susila kaum Mahayana tidak melekat
begitu saja namun lebih menitik beratkan kepada semangat atau maknanya. Dengan
mengembangkan karuna (belas kasih) kepad segenap makhluk yang menderita, dan
dengan tercapainya pemahaman sunyata (kekosongan) melalui prajna (kebijaksanaan
trassenden) yang menjadikan dirinya tidak terikat lagi, kaum Mahayana
mengembangkan paramita atau kesempurnaan kebajikan (sifat-sifat yang positif)
seperti: kedermawanan, moralitas, kesabaran, tekad, mediasi dan kebijaksanaan.
Dengan mengembangkan sad atau enam paramita ini kaum
Mahayana mengupayakan berbagai macam cara untuk dapat berbuat baik dan menolong
makhluk yang masih menderita (upaya kausalya). Kaum Mahayana juga lebih
memandang positif terhadap dirinya, karena di dalam dirinya terkandung
bodhicitta (benih/kesadaran Buddha) yang perlu ditumbuh-kembangkan, dan juga
menjadi suara hati bagi perilakunya.
Dalam mahjab Mahayana pula berkembang pemahaman terhadap
konsep Paramatha-Stya dan Semmuti-Satya atau kebenaran mutlak dan kebenaran
relatif. Kedua kebenaran ganda ni tidak dipisahkan satu sama lain. Begitu pula
tentang Asankhata Dharma dan Sankhata Dharma atau realitas yang absolut dan
realitas yang relatif.
Kebenaran dan realitas dan adanya. Dunia merupakan lading
subur bagi penanaman paramita dalam berbagai bidang kehidupan, baik melalui
bidang kehidupan, baik melalui pengembangan prajna yang merupakan sumber daya
bagi munculnya mansuia-manusia pandai dan cerdas lagi bijaksana, maupun aktualitas
karuna yang merupakan sumber daya bagi solidaritas, kepeduliaan terhadap sesama
makhluk dan lingkungan.
Bahwa kehidupan dalam dunia yang bersyarat, terkondisi
relatif ini merupakan kancah bagi terketemukannya dna berkembagnnya nilai-nilai
hakiki, nilai-nilai mutlak yang terkandung dalam moral. Melalui cita-cita
Bodhisattva berdasarkan sunyata (kekosongan, ketidakterikatan) dan karuna
(balas kasih), kita mengembangkan kebebasan dan tanggung jawab social, atau
moral social seperti misalnya sikap peduli untuk berupaya untuk mengatasi
ketidakadilan, kekerasan dan sebagainya.
Kaum Muda Yang Mandiri dan Peduli Etika Buddhis menegaskan
untuk hidup bersusila yang mandiri dan peduli. Hidup bersusila ini perlu
dibentuk dan ditumbuh-kembangkan, terutama bagi kaum muda yang sedang dalam
proses pencaharian diri dan pembentukan idnetitas. Pembentukan pribadi
bersusila yag mandiri dan peduli ini sangat penting bagi mahasiswa sebagai kaum
muda yang disamping akrab dengan ilmu pengetahuan yang menyangkut teori dan
fakta, juga bergumul dengan masalah nilai Kemampuan Mahasiswa untuk memadukan
diantara teori, fakta dan nilai, tidak hanya memungkinkan menjadi ilmuwan yang
cerdas namun juga menjadi pribadi bersusila yang mandiri dan peduli.
Ciri seorang ilmuwan adalah mampu memadukan antara teori dan
nilai fakta. Sedangkan dengan menghubungkan antara teori dan nilai memungkinkan
mahasiswa dapat bersikpa selalu budayawan; yang memperhatikan masalah
nilai-nilai kehidupan dan menjaga kehidupan ini. Bila seorang mahasiswa mampu menghubungkan
antara fakta dan nilai, maka ia telah berperan sebagai seorang agamawan yang
secara kritis menilai terhadap apa yang ada dan sekaligus mampu memberi
orientasi terhadap apa yang seharusnya atau yang sebenarnya.
Dengan berlandaskan pada sila, keyakinan terhadap hukum
karma, , pemahaman terhadap parammaha-satya, sammutti-satya, maupun
asankhata-dhamma, sankhata-dhamma, dan pemahaman kritis melalui sunyata serta
sikap seorang Bodhisattva yang didasari karuna, maka diharapkan seorang
mahasiswa yang bergumul dengan teori, fakta dan nilai, akan memungkinkan
terwujudnya pribadi bersusila yang mandiri, otonom, dewasa, dengan bersikap
altruis, peduli terhadap lingkungan-dunia, maupun bermoral social yang matang.
0 komentar:
Posting Komentar