Pada akhir dinasti Han (199-220 SM) telah terjadi perang kekuasaan (perang saudara) yang menyebabkan negara di daratan Tiongkok itu terbagi atas tiga negara yaitu Wek, Suk Dan Wu pada tahun 220-280 SM). Kuan Kong adalah seorang jendral negara. Negara Suk amat termasyur. Dalam suatu pertempuran negara ia tertangkap bersama dengan anaknya dan keduanya dihukum mati.
Pada suatu hari Bhiksu Phuh Cing yang berdiam di suatu gunung Yu Chuan
sedang bermeditasi, ia mendengar suatu teriakan: “kembalikan kepalaku! Kembalikan
kepalaku!” berulang-ulang, Bhikshu Phuh Cing menengadah dan mengamati secara
seksama karena ingin tahu siapakah orang yang berteriak-teriak itu. Ternyata
yang berteriak itu adalah arwah Kuan Kong yang penasaran, dan sesaat kemudian
Kuan Kong turun dari angkasa dengan menunggang kudanya sambil memegang golok
besar.
Bhikshu Phuh Cing memukul pelana kudanya dengan kebutan seraya berkata
“Dimana Yun Cang; (Yun Cang atau Un Ting adalah nama asli Kuan Kong).
Pertanyaan ini membuat Kuan Kong mulai sadar (pertanyaan tersebut merupakan
pertanyaan tentang khas guru-guru sekte Dhaya kepada siswanya yang bertanya
kepada Dharma, yang tidak dimengertinya. Pertanyaan sang siswa kadang kala
dijawab oleh sang guru dengan pertanyaan pula dengan maksud agar siswa mencari
sendiri apa jawabannya, karena pertanyaan sang guru mengandung Dharma).
KWAN KONG –
BODHISATTVA SATYAKALAMA
Guan sheng di jun (Hokkian:Kwan Seng Tek Kun) atau yang lebih dikenal
sebagai Guan Gong (Kwan Kong) adalah seorang jenderal terkenal yang hidup pada
zaman tiga negara (Sam Kok – 219 M). beliau lahir di He Dong (sekarang Jie
Zhou), propinsi Shan Xi, dan bernama asli Guan Yu alias Guan Yin Zhang.
Kwan Kong telah mencapai kesempurnaan dengan gelar Bodhisattva Satyakalam,
Guan Sheng Di Jun (Kwan Seng Tek Kun). Dalam Agama Buddha, gelar Di Jun (Tek
Kun) adalah setingkat dengan Bodhisattva. Bodhisattva pria biasanya bergelar Di
Jun. Sedangkan Bodhisattva wanita bergelar Pho Sat. Kwan Kong juga bergelar Fu
Mo Da Di (Bodhisattva Penakluk Mara), Guan Fa Li Zu (Bodhisattva Penegak
Hukum). Ada umat yang bertanya: dari mana kita tahu bahwa Dewa Kwan Kong telah
mencapai Bodhisattva? Perlu kita ketahui bahwa perbedaan utama antara
Bodhisattva dengan Dewa adalah: Bodhisattva bersifat internasional (Diakui seluruh
dunia), sedangkan Dewa bersifat lokal (kedaerahan). Contoh: Kwan Im Pho Sat
yang dikenal sebagai dewi Kwan Im, adalah Bodhisattva. Beliau di hormati
(diakui) diseluruh dunia, bahkan orang Baratpun mengenalnya sebagai Goddes of
Mercy. Dimana ada Wihara/Kelenteng, disitu pasti ada arca Kwan Im Pho Sat. San
Bao Da Ren (Sam Po Tai Jin) adalah Dewa, beliau dihormati di Indonesia
khususnya Jawa Tengah, arcanya hanya terdapat di beberapa kelenteng saja.
Kwan Kong bersifat Internasional, diakui seluruh dunia. Arca Kwan Kong
terdapat di Wihara/Kelentang di berbagai belahan dunia. Bahkan Kwan Kong adalah
salah satu Dewata yang dipuja oleh ketiga agama (Sam Kauw) sekaligus. Kaum
Buddhist menganggapnya sebagai Dewata Pelindung Kuil dan Bangunan-bangunan suci
(Salah satu dari Ke Lan Seng Ciong Pho Sat). Kaum Taoist menghormatinya sebagai
Malaikat Pelindung Peperangan. Sedangkan kaum Confusianist memujanya sebagai
orang suci dan teladan dalam hal setia, pri kebenaran dan keberanian. Sepanjang
kekaisaran Tiongkok dan pada dinasti Qing, Kwan Seng Tee Kun amat dipuja
bersama-sama Kwan Im Hut Co. Beliau adalah Dewata Utama Pelindung Kerajaan.
Gambar dan arcanya populer dengan ujud Beliau duduk membaca kitab Hikayat
zaman Chun Chiu (salah satu dari lima kitab klasik). Bersama 4 dewata
pendidikan lainnya beliau dipuja sebagai 5 dewata pendidikan (Ngo Bun Ciang).
Rakyat pada umumnya memujanya sebagai dewata sipil dan militer (Bun Bu Seng
Sin) dan salah satu dari Dewata Harta (Cay Sin). Bersama anak angkatnya Koan
Phing, dan pengawalnya Ciu Chong yang setia, Beliau banyak dipuja baik di
kelenteng maupun di rumah-rumah.
Dalam kisah tiga negara (Sam Kok) Kwan Kong adalah seorang Jenderal yang
bernama Guan Yi (Kwan Yi). Lalu bagaimana Jendral Kwan Yi (Kwan Kong) bisa
menjadi Bodhisattva? Seperti kita ketahui, Bodhisattva adalah seorang pembina
diri yang penuh dengan cinta kasih. Sedangkan seorang jendral di jaman
peperangan pastilah banyak membunuh orang. Ini adalah hal yang amat
kontradiktif. Namun perlu kita ketahui bahwa seseorang bisa menjadi Bodhisattva
bila ia memiliki suatu kepribadian luhur yang luar biasa. Kepribadian luhur
Jendral Kwan Kong yang luar biasa adalah Kesetiaan dan Peri Kebenaran.
Berikut adalah intisari dan kepribadin luhur dari sejarah hidup Kwan Kong
dalam kisah Sam Kok (kisah tiga negara).
- Setia kepada negara
pada suatu peperangan, Kwan Kong sendirian dikurung oleh ratusan prajurit
musuh (Chao-Chao). Namun beliau tidak takut mati, tetap tidak mau menyerah
kepada kepada Chao-chao. Malah mengajukan 3 syarat: 1.takluk kepada kerajaan
Han, bukan kepada Chao-chao. 2.keluarga Lauw Pie (isteri Lauw Pie) dijamin
kemanannya, 3.bila telah mendengar keberadaan Lauw Pie, Kwan Kong diperbolehkan
bergabung kembali dengan kakaknya. Chao-chao dengan sangat terpaksa menerima
ketiga syarat ini (Coba kita pikir: mana ada orang yang menyerah, tapi
mengajukan 3 syarat???). kemudian Kwan Kong tinggal di istana Chao-chao selama
12 tahun, namun beliau tetap setia kepada Dinasti Han dengan prinsip
patriotic:menyerah kepada Han, bukan Chao.
- Menjaga norma susila
Kwan Kong menjaga keselamatan kedua kakak ipar selama 12 tahun, ditemani
lilin membaca kitab sastra Chun Chiu. Tak berani meninggalkan kakak ipar,
karena takut mereka mendapat bahaya. Saat kedua kakak ipar tidur, Kwan Kong
tidak tidur dan menjaga di luar kamar, mempersiapkan golok untuk menjaga
keselamatan kedua kakak ipar. Sebenarnya Chao telah membangun istana yang megah
untuk Kwan Kong, namun Beliau tak mau tinggal di dalamnya, karena senantiasa
mengkhawatirkan kedua kakak iparnya. Lalu Chao dengan licik mengatur Kwan Kong
tinggal dengan kedua kakak iparnya dalam satu atap yang sama, ingin melihat
Kwan Kong bisa menjaga norma susila. Kalau melanggar berarti kegagahan Kwan
Kong telah lenyap di tangan Chao, dan tidak ada muka untuk kembali kepada Lauw
Pie. Tapi taktik Chao tidak berhasil. Selama 12 tahun Kwan Kong berhasil
menjaga Norma Susila. Manusia adalah makhluk yang berperasaan, orang yang
tinggal bersama selama 12 tahun pasti ada perasaan. Namun Kwan Kong bisa
menjaga kesucian. Sungguh luar biasa! Hawa ksatria membumbung tinggi ke
angkasa, sepanjang sejarah manusia tiada orang kedua (along the history there was no the second man).
- Tidak tergiur akan kesenangan
Chao-chao melayani Kwan Kong dengan 3 hari 1 pesta kecil, 5 hari 1 pesta
besar, dengan siasat lembut ingin menaklukkan hati Kwan Kong agar mau mengabdi
kepadanya. Karena Chao-chao melihat Kwan Kong menjaga Lauw Pie selama
berperang, dengan penuh penderitaan, letih, tiap saat terancam bahaya. Namun
Kwan Kong tetap setia kepada Lauw Pie, hatinya tidak tergerak dengan pesta-pesta
tersebut.
- tidak silau akan nama dan harta
Kwan Kong dilantik sebagai Sou Ting Hou (panglima laskar tertinggi angkatan
perang), naik kuda diberi emas, turun kuda diberi perak. Chao chao sangat
pintar menjilat/mengambil hati: setiap Kwan Kong turun dari kuda ada pengawal
yang memberi sekantung perak. Tetapi Kwan Kong tidak bergeming, tidak serakah
akan harta (Coba kalau kita tukar posisi; misalnya setiap mau naik mobil diberi
emas, begitu turun dari mobil diberi sekantung perak. Jika kita serakah, ingin
mendapat harta yang berlimpah dengan mudah, maka kita setiap hari pekerjaannya
hanya naik dan turun mobil saja). Chao merasa kesal, apakah emas dan perak saya
palsu?karena di otak Chao chao, di dunia ini tidak ada orang yang tidak bisa
ditaklukkan dengan 4 Ta: harta (emas
dan perak), tahta (kedudukan tinggi:Sou Ting Hou), wanita cantik (chao chao
mengirimkan puluhan wanita cantik kepada Kwan Kong, tetapi beliau tidak merasa
tertarik sama sekali, malah diserahkan untuk melayani kedua kakak iparnya. Ada
pepatah Tiongkok yang mengatakan, Ying Xiong Nan Guo Mei Ren Guan, yang berarti
seorang pahlawan sukar melewati gerbang ujian wanita cantik. Pepatah ini sudah
banyak terbukti di berbagai negara dari zaman ke zaman. Antara lain: pada Zaman
Sam Kok ini ada seorang pahlawan lain yang sangat luar biasa hebat, yaitu
jenderal Lu Pu (Lu Po). Pernah pada suatu pertempuran Lu Po ini dikeroyok oleh
Lauw Pie, Kwan Kong dan Tio Hui (3 saudara) sekaligus. Tetapi pertempuran ini
berlangsung seimbang. Jendral Lu Po yang hebat tidak bisa dikalahkan di medan
pertempuran, tapi ia ditaklukkan oleh .......... wanita yang cantik, yaitu Tiao
Xian. Namun pepatah ini tak berlaku untuk Kwan Kong, yang tidak bisa
ditaklukkan oleh wanita cantik). Ta yang keempat jamuan pesta. Namun semua cara
Chao Chao untuk menaklukkan Kwan Kong gagal total. Kwan Kong tak bergeming,
tetap setia kepada Lauw Pie!
- tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
chao chao memberikan hadiah jubah merah yang dilapisi permata kepada Kwan
Kong. Namun oleh Kwan Kong jubah merah (Baru) tersebut dipakai di dalam,
sementara jubah hijau pemberian dari Lauw Pie yang sudah lama, robek dan lusuhu
dipakai di luar. Melihat hal ini Chao Chao merasa amat heran, lalu bertanya
kepada Kwan Kong mengapa demikian? Lalu Kwan Kong menjawab, jubah merah yang
baru pemberian dari Chao Chao di pakai di dalam adalah sebagai tanda Kwan Kong
menghormat Chao Chao. Sementara jubah hijau yang sudah lama dan lusuh tapi
dipakai diluar adalah sebagai tanda bahwa Kwan Kong senantiasa mengingat kakak
angkatnya, Lauw Pie!
- tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
pada saat menerima kabar dari kakaknya Lauw Pie, Kwan Kong segera mohon
pamit kepada Chao-Chao, tapi Chao Chao sengaja tidak mau bertemu, mengantung
plat di depan kamar: tidak menerima tamu! Tetapi Kwan Kong tidak terbelenggu
oleh budi awam, lalu mengembalikan semua emas dan perak yang telah diterimanya,
juga stempel kebesaran Sou Ting Hou. Kemudian Kwan Kong meninggalkan istana
Chao Chao untuk pergi ribuan kilometer mencari kakak angkatnya, Lauw Pie.
- Melupakan aku, tidak memperdulikan keselamatan sendiri
Chao chao begitu mengetahui kaburnya Kwan Kong dari istananya, menurunkan
perintah:jika tidak bisa menahan Kwan Kong, lebih baik bunuh saja! Kwan Kong
sendirian dengan membawa dan melindungi kedua kakak iparnya berhasil menerobos
5 benteng dan membunuh 6 jendral. Sungguh luar biasa!!! Akhirnya Kwan Kong yang
sudah amat letih berhasil bertemu dengan Lauw Pie dan Tio Hui, kakak dan adik
angkatnya. Kesetiaan dan peri kebenaran Kwan Kong sungguh tak tertandingi,
sepanjang sejarah manusia hanya ada 1 orang. Beliau berhasil mempertahankan
kepribadian luhur Gang Zheng: ksatria, adil, jujur, teguh, berintegritas, dan
gagah berani, akhirnya mencapai kesempurnaan sebagai Maha Bodhisattva Kumala
Raja.
Bersama ini menghimbau umat agar waktu sembahyang kepada Kwan Kong, tidak
menggunakan daging sebagai persembahan, tapi hanya menggunakan buah-buahan atau
kue (vegetarian). Ingat, Beliau telah mencapai Bodhisattva dengan gelar
Bodhisattva Satyakalama (Kwan Seng Tek Kun).
SEJARAH SINGKAT
BODHISATTVA SANGHARAMA/GUAN YU
Sebagian besar orang bisa saja tidak mengenal nama Bodhisattva Sangharama,
tetapi begitu melihat citra rupang seorang jenderal gagah perkasa dengan
jenggot panjang indag bergemulai dan paras muka merah lebam berkilau, maka
mereka pasti akan langsung tahu. Ya, Bodhisattva Sangharama adalah Guan Yu
alias Guan Gng (Kwan Kong).
Siapa tidak tahu Guan Yu? Banyak orang mengetahuinya dari cerita Sam Kok
(kisah tiga negara) dan game Dynasty Warrior. Namum, tahukah kita bagaimana
latar belakang Guan Yu hingga dinobatkan sebagai Dharmapala (pelindung Dharma)
dalam tradisi Mahayana Tiongkok?
Guan Yu (160-219 M), alias Yun Chang, lahir pada tanggal 24 bulan 6 Imlek,
adalah penduduk asal Jiezhou, Hedong (sekarang Yuncheng, Propinsi Shanxi).
Sejak kecil dididik dalam bidang kesusastraan dan sejarah. Beliau sangat
menggemari kitab sejarah Chunqiu (musim semi dan gugur) dan Zuozhuan (kitab
sejarah karya Zuo Qiuming). Guan Yu memiliki 3 anak: Guan Ping, Guan Xing dan Guan Suo. Salah satu watak sitimewa yang
dimiliki Guan Yu adalah jiwa setia dan ksatria, beliau berani membela yang
lemah dan tertindas. Tahun 184, Guan Yu melarikan diri dari kampung halamannya
setelah membunuh orang demi membela kaum yang lemah. Beliau menuju wilayah Zuo,
kemudian berkenalan dengan Liu Bei dan Zhang Fei. Liu Bei adalah anggota
keluarga kaisar kerajaan Han yang sedang merekrut prajurit untuk membasmi
pemberontakan sorban kuning. Karena memiliki cita-cita yang sama, maka mereka
bertiga menjalin tiga persaudaraan yang dikenal dengan sebutan tiga pertalian
setia taman bunga persik. Semenjak itu, mereka bertiga berkomitmen sehidup
semati memperjuangkan cita-cita penegakan hukum demi membersihkan kerajaan Han
dari gerogotan korupsi dan pengkhianatan.
Namun kerajaan Han yang telah berdiri kokoh selama 400 tahun itu akhirnya
terpecah menjadi 3 kerajaan, yang mana Liu Bei sebagai salah satu anggota
keluarga kerajaan yang menyatakan diri sebagai penerus Dinasti Han. Era inilah
yang kemudian di kenal dengan sebutan San Guo (Sam Kok-tiga negara). Perjuangan
keras tiga bersaudara Taman Bunga Persik untuk mempersatukan Tiongkok tidak
berhasil. Begitulah hingga usia 60 tahun, Guan Yu bersama puteranya, Guan Ping,
akhirnya gugur dalam pertempuran.
Meskipun demikian, rasa hormat terhadap Guan Yu tidak serta merta lenyap
seiring dengan gugurnya pahlawan berparas merah lebam ini. Keberanian,
kesetiaan dan jiwa ksatria beliau menjadi kisah harum dalam masyarakat Tionghoa
selama turun temurun. Selain itu, dalam kalangan spiritual, dikenal pula kisah
perjodohan Guan Yu dengan ajaran Buddha, sebuah ajaran kebenaran sejati yang
menembus kepekatan misteri dimensi ruang dan waktu. Ya, Guan Yu menjadi siswa
Buddha setelah beliau gugur.
Awal mula
sebagai pelindung Dharma
Kisah berikut ini terjadi beberapa ratus tahun setelah gugurnya Guan Yu.
Berdasarkan catatan sejarah Buddhis – Fozhu Tongji, pada tahun 592 M, (dinasti
Sui, era Kai Huang ke-12), disebutkan bahwa pada suatu malam, langit tiba-tiba
menjadi cerah, bulan terlihat jelas sekali, Guan Yu bersama Guan Ping dan
sekelompok makhluk gaib muncul di hadapan Master Tripitaka Zhiyi (pendiri
aliran Tiantai Tiongkok) yang sedang bermeditasi dibukit Yuquan. Guan Yu
berkata ”Saya Guan Yu dari era akhir Dinasti Han. Ini adalah putra saya, Guan
Ping. Kami terus berkelana setelah meninggal. Yang arya, dengan tujuan apakah
anda datang ke sini? Master Zhiyi menjawab, ”Aku datang kesini untuk mendirikan
vihara.”
Guan Yu menjawab, ”Yang Arya, ijinkanlah kami untuk membantumu. Tidak jauh
dari sini, terdapat lahan yang kokoh tanahnya. Saya dan putra saya dengan
senang hati akan membangun vihara disana untuk anda. Mohon lanjutkan
meditasinya, vihara akan selesai dalam waktu 7
hari saja.” Setelah Master Zhiyi selesai meditasi, terlihat sebuah
vihara yang sangat indah muncul persis di tempat yang ditunjukkan oleh Guan Yu.
Vihara itu kemudian diberi nama Vihara Yuquan.
Suatu hari Guan Yu datang ke Vihara Yuquan untuk mendengarkan Master Zhiyi
membabarkan Dharma, setelah itu beliau memohon untuk dapat menjadi siswa Buddha
dengan menerima Trisarana dan Pancasila Buddhis. “Aku sangat beruntung mendapat
kesempatan mendengarkan Dharmad dan beraspirasi mempraktikkan Jalan Bodhi
(pencerahan) mulai dari sekarang. Mohon ijinkanlah saya untuk menerima sila
dari anda,” demikian ucap Guan Yu kepada Master Zhiyi. Master Zhiyi kemudian
membangun sebuah kuil untuk Guan Yu di sebelah Barat Daya Vihara. Sebuah batu
ukiran yang bertajuk tahun 820 M di Vihara Yuquan mengisahkan tentang pertemuan
antara Guan Yu dan Zhiyi tersebut.
Selain kisah diatas, ada versi lain tentang kisah bagaimaa Guan Yu menjadi
seorang pemeluk agama Buddha. Dikatakan bahwa pada suatu malam Guan Yu menemui
Bhiksu Zhikai, murid dari Tiantai Master Zhiyi, dan menerima Trisarana dari
Bhiksu Zhikai. Kemudian Bhiksu Zhikai melaporkan perjumpaannya dengan Guan Yu
tersebut kepada Yang Guang, Pangeran Jin (yang kelak akan dikenal sebagai
Kaisar Sui-Yang Di). Pangeran Yang Guang memberikan Guan Yu gelar ”Sangharama
Bodhisattva”. Itulah asal muasal dari mana gelar Sangharama diberikan kepada
Guan Yu.
Pada kisah lainnya, seperti dalam catatan Kisah Tiga Negara (San Guo Yan
Yi), Guan Yu muncul dihadapan Bhiksu Pujing di malam sat gugur karena dipenggal
oleh pihak Sun Quan, Raja Wu. Tubuhnya dikubur di dekat Bukit Yuquan yaitu di
JingZhou. Di sela-sela kegalauan atas kehilangan kepala, raga halus Guan Yu
bergentayangan mencari kembali kepalanya. Bhiksu Pu Jing dengan kekuatan
batinnya melihat Guan Yu turun dari angkasa penunggang kuda sambil menggenggam
golok besar Naga Hijau, bersama dengan 2 pria, Guan Ping dan Zhou Cang. Semasa
hidupnya saat dalam pelarian dari kubu Cao Cao, Guan Yu pernah ditolong oleh Pu
Jing di vihara Zhen-guo. Lalu Bhiksu Pu Jing memukul pelana kuda dengan kebutan
cambuknya seraya berkata, ”Dimana Yun Chang?” seketika itu juga Guan Yu
tersadarkan.
Guan Yu kemudian memohon petunjuk untuk dapat terbebas dari kegelapan
pengembaraan batin. Pu Jing memberi nasihat, “Dulu salah atau sekarang benar
tak perlu dipersoalkan lagi, karena terjadi pada saat sekarang tentunya ada sebab
pada masa lalu.” Pu Jing lalu melanjutkan, “sekarang engkau meminta kepalamu,
menuntut atas kematianmu di tangan Lu Meng, namun kepada siapa Yan Liang, Wen
Chou dan penjaga lima perbatasan serta banyak lagi yang lainnya yang telah kamu
bunuh, meminta kembali kepala mereka?” kata-kata Pu Jing itu terasa sangat
menyentak.
Setelah tersadarkan dari kegalauannya, Guan Yu lalu menjadi pengikut
Buddhis. Sejak itu Guan Yu sering muncul melindungi masyarakat di sekitar Bukit
Yuquan. Sebagai rasa terima kasih kepada Guan Yu, para penduduk membangun
Vihara dipuncak Bukit Yuquan.
Gubuk rumput tempat tinggal Pu Jing kemudian dibangun menjadi Vihara
Yuquan. Vihara Yuquan ini didirikan pada abad ke 6 M dan didalamnya ada aula
Sangharama. Ini adalah salah satu tempat pemujaan Guan Yu yang tertua, juga
merupakan Vihara tertua di Dangyang. Tempat penampakan raga halus Guan Yu
ditandai dengan sebatang pilar batu yang dituliskan: “Disini tempat Guan Yun
Chang dari dinasti Han menampakkan diri.” Pilar batu itu adalah hadiah dari
Kaisar Wan Li masa dinasti Ming dan masih bisa dilihat sampai sekarang. Dalam
sutra Saptabuddha Ashtabodhisattva Maha Dharani Sutra (sutra tentang Mantra
Sakti Mahadharani yang dibabarkan 7 Buddha dan 8 Bodhisattva) tercatat bahwa
ada 18 Sangharama (Qielan Shen) sebagai pelindung lingkungan vihara, yaitu:
Meiyin, Fanyin, Tian’gu, Tanmiao, Tanmei, Momiao, Leiyin, Shizi, Miaotan,
Fanxiang, Renyin, Fonu, Songde, Guangmu, Miaoyan, Cheting, Cheshi, dan Bianshi.
Guan Yu sendiri bukanlah sosok yang tercatat dalam sutra Mahayana sebagai
Sangharama. Sangharama sendiri mengandung pengertian sebagai tempat tinggal
anggota Sangha, atau lebih umum dikenal sebagai Vihara. Secara etimologi,
istilah Sangharama telah dikenal sejak masa kehidupan Buddha. Selain 18 dewa
Sangharama yang telah disebutkan di atas, dua tokoh yang dianggap sebagai
pelindung utama Sangharama adalah Anathapindika dan Pangeran Jeta, penyokong
Vihara Jetavanarama pada masa kehidupan Buddha.
Secara kualitatif, Guan Yu memiliki pengabdian yang setara dengan para
pelindung Sangharama, pun karena memiliki komitmen yang besar untuk melindungi
lingkungan Vihara, maka tidaklah mengherankan bila kemudian diapresiasi secara
khusus oleh Mahayana Tiongkok sebagai Bodhisattva Sangharama. Ada juga yang menyebutnya
Bodhisattva Satyadharma Kalama.
Di kalangan Mahayana Tiongkok, Guan yu sering ditampilkan berdiri
berpasangan dengan Dharmapala Veda (Weituo Pusa) yang juga merupakan pelindung
Dharma. Keduanya mendampingi rupang Buddha atau Avalokitesvara.
Pemujaan Guan
Yu Hingga ke Tibet
Pemujaan Guan Yu juga meluas sampai ke Tibet (terutama di aliran Gelugpa
dan Nyingmapa). Altar beliau ada di Vihara-vihara Tibet, seperti Mahavihara
Tsurphu, sejak kunjungan Maha Ratna Dharmaraja Karmapa V ke Tiongkok atas undangan
Kaisar Yong Le. Dulu di Tibet, Guan Yu sebagai Sangharama dikenal dengan nama
Karma Hansheng.
Di Tibet dan Mongolia, pemujaan Guan Di (Dewa Guan Yu) diasosiasikan
sebagai raja Gesar dari Ling yang terkenal merupakan emanasi guru
Padmasambhava. Pengasosiasian tersebut dimulai sejak zaman Dinasti Qing
(Manchu). Lobsang Palden Yeshe, Panchen Lama ke 6 (1738-1780 M) adalah yang
pertama kali mengatakan bahwa Guan Di adalah Gesar. Oleh karena itu Guan Di
Miao (kuil Guan Gong)di Lhasa disebut juga dengan nama Gesar Lhakhang. Ada juga
yang percaya bahwa Guan Di dan Gesar adalah inkarnasi masa lalu dari Panchen
Lama.
Guan Gong dipandang sebagai Dewa Pelindung Dinasti Qing, sedangkan ajaran
Vajrayana Buddhis sekte Gelug adalah agama yang dianut anggota kerajaan Dinasti
Qing. Demikianlah Guan Gong (Yang Mulia Guan Yu) dihormati baik oleh kalangan
Mahayana maupun Vajrayana (Tantrayana) sebagai Bodhisattva Dharmapala
(Pelindung Dharma). Bahkan dalam kepercayaan masyarakat, diyakini Guan Gong
kelak akan menjadi seorang Buddha bernama Ge Tian (Ge Tian Gu Fo).
Pemujaan di
kalangan umat Tao dan Kong Hu Cu
Pemujaan Guan Yu luas di kalangan umat Tao dan Konghucu sebagai Guansheng
Dijun, Guan Gong, dan Guan Di. Penghormatan ini tampak nyata sekali dibanyak
kelenteng. Sejak dinasti Song para Taois memuja Guan Yu sebagai Dewata
Pelindung Malapetaka Peperangan, sedang umat Konghucu menghormati sebagai dewa
kesusastraan Wenheng Dadi.
Pemujaan Guan Gong mulai meluas di kalangan Taois pada abad ke 12 M.
Menurut sejarawan Boris Riftin dan Barend J. Ter Haar, pemujaan Guan Yu
dikalangan Buddhis lebih awal daripada dikalangan Taois.
Pemujaan ini mulai popular pada masa dinasti Ming. Guan Di dupuja karena
kejujuran dan kesetiaannya, pun dipandang sebagai dewa pelindung perdagangan,
dewa pelindung kesusasteraan dan dewa pelindung rakyat dari malapetaka
peperangan yang mengerikan. Julukan dewa perang yang umumnya dialamatkan
kepadan Guan Di, harus diartikan sebagai dewa yang mencegah terjadinya
peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak
Guan Yu yang budiman. Dikalangan rakyat, Guan Yu juga dianggap sebagai Dewa
Rejeki-Wuchai Shen.
Bagaimana mungkin Guan Yu sebagai seorang jendral yang sering berperang dan
membunuh akhirnya dihormati sebagai Bodhisattva? Meskipun tampak kontradiktif,
namun semua ini tak lebih hanyalah masa lalu yang telah sirna setelah disadarkan
oleh nasihat Bhiksu suci. Penyadaran ini seperti halnya kisah kehidupan
Angulimala dimasa kehidupan Buddha.
Sifat
keteladanan Guan Yu
Meskipun pemujaan Guan Yu tersebar di berbagai kalangan, seperti lingkungan
ibadah, kepolisian, bahkan hingga kalangan mafia yang konon dikatakan
meneladani sikap kesetiakawanan Guan Yu, namun tidak berarti aspek negatif dari
dunia mafia lalu dikaitkan dengan sosok Guan Yu. Ini hanyalah cermin kebebasan
orang dalam memilih tokoh pemujaan. Terlepas dari hal ini, ada baiknya kita
melihat sifat mulia yang tercermin dari sifat mulia yang tercermin dari sosok
Guan Yu, yang bisa menjadi teladan bagi kita semua.
- patriotis
- menjaga norma susila
- tidak tergiur akan kesenangan /kenikmatan
- tidak silau akan nama dan harta
- tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
- tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
- berjiwa altruis (mementingkan orang lain)
Guan Yu bukan saja telah menjadi sosok yang identik dengan pemujaan
spiritual, pun adalah penyatu kultur masyarakat Tiongkok dimanapun berada dan
menjadi sebuah maskot tentang semangat pengabdian, kesetiaan, dan sikap lurus.
Sebagai penutup, kita kutip sebuah sajak yang dilantunkan sebagai apresiasi
terhadap Guan Yu dalam penuntun kebaktian sore kalangan Mahayana Tiongkok:
“Pemimpin
Sangharama, yang mempunyai wibawa dan keagungan menata seluruh vihara. Dengan
penuh sujud dan kesetiaan menjalankan Buddha Dharma. Selalu melindungi dan
mengayomi Dharma Raja Graha. Tempat suci selalu damai tentram selamanya. Namo
Dharmapala Garbha Bodhisattva Mahasattva Mahaprajnaparamita.”
0 komentar:
Posting Komentar