Oleh Yang Mulia
Bhikkhu Uttamo Thera
Di dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu sering mendengar kata "organisasi". Istilah "organisasi" itu sendiri berasal dari dua suku kata. Yaitu, "organ" yang berarti bagian dari tubuh dan "sasi" yang berarti tindakan untuk membagi-bagi sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Di dalam suatu masyarakat, organisasi itu
mutlak diperlukan. Suatu organisasi adalah milik kehidupan. Jangankan kita
manusia yang sudah berbudaya, binatang pun sebetulnya mempunyai organisasi.
Misalnya: ada sekelompok gajah maka gajah yang paling hebatlah yang akan
menjadi pemimpinnya. Dialah yang akan mengatur gajah-gajah yang lain. Itu
adalah suatu organisasi. Kemudian, di dalam kehidupan manusia sehari-hari,
misalnya dalam sebuah rumah tangga, itu pun mempunyai organisasi, yang tentu
saja disini harus ditunjang oleh komunikasi. Contohnya kalau suatu hari akan
datang tamu dari luar kota yang akan menginap di rumah kita, tentu ibu kita
(yang dulunya meskipun tidak sempat sekolah) akan mengaturnya, misalnya
pembantu A disuruh ke pasar untuk membeli makanan dan minuman, sedangkan pambantu
B disuruh menyiapkan kamar dan tempat tidur. Ini sudah merupakan suatu
organisasi yaitu pembagian tugas. Tidak mungkin misalnya pembantu B yang bisu
yang disuruh ke pasar tetapi pembantu A yang bisa menawar harga dengan baiklah
yang akan disuruh ke pasar. Ini sebetulnya adalah organisasi. Dengan demikian
setiap masyarakat, baik masyarakat manusia maupun masyarakat binatang mempunyai
organisasi.
Suatu vihara juga merupakan suatu organisasi,
merupakan suatu masyarakat yang mempunyai tujuan dan cita-cita tertentu. Untuk
mengatur jalannya organisasi ini maka dipilihlah seorang ketua beserta
seksi-seksinya. Dalam lingkup yang lebih luas, ketua dan seksi-seksi tersebut
dapat dibagi lagi sesuai dengan kebutuhan. Di dalam suatu organisasi, seorang
ketua sebetulnya berfungsi sebagai perancang. Seorang ketua harus bisa
mencetuskan ide-idenya untuk memajukan organisasinya dan bekerjasama dengan
seksi-seksi lainnya.
Sebagai umat Buddha, kita harus berpikir
realistis! Kunci hidup di dalam agama Buddha adalah "Hidup adalah saat
ini!" Tadi pagi (misalnya pukul 10:00), kita memang pernah hidup
tetapi kita sudah tidak hidup pada pukul 10:00 tadi pagi. Begitu juga nanti
sore, kita akan hidup tetapi belum hidup. Yang hidup adalah saat ini, bukan
satu menit yang lalu dan bukan satu menit yang akan datang. Yang penting adalah
saat ini, saat inilah kita berjuang semaksimal mungkin! Saya teringat ketika
Bhante Paññavaro mengatakan sebuah pepatah bahwa:
"Di dalam kehidupan kita tidak perlu
menginginkan jabatan, kita tidak perlu menginginkan pangkat... Tetapi kalau
kita sudah diberi jabatan, sudah diberi tanggung-jawab maka kita harus
mengerjakannya dengan semaksimal mungkin. Tidak ada lagi kata
"mundur"! pokoknya harus selesai!"
Kalau kita melihat pada ajaran Sang Buddha, kita
akan menemukan bahwa Sang Buddha membagi generasi penerus itu dalam tiga hal,
yaitu:
* generasi penerus (anak) yang mempunyai
hasil yang sama dengan generasi sebelumnya (orangtua). Misalnya
serah-terima antara pengurus vihara yang terdahulu kepada pengurus yang baru.
Kepengurusan yang baru menerimanya misalnya dalam kondisi seperti
"ini", karpetnya "ini", Buddha rupam-nya juga
"ini". Setahun kemudian, pengurus yang "ini" menyerahkan
lagi kepada pengurus yang berikutnya juga dalam keadaan seperti
"ini", tidak ada perubahan dan tidak berusaha untuk memperbaiki atau
mengembangkan yang sudah ada. Ini adalah generasi penerus yang sama dengan
generasi sebelumnya. Tipe generasi penerus seperti ini tidak disarankan oleh
Sang Buddha.
* generasi penerus (anak) yang lebih jelek
daripada generasi sebelumnya (orangtuanya). Misalnya dalam periode
kepengurusan yang sebelumnya, bekas-bekas lem cuma menempel di pintu saja.
Setahun kemudian dalam periode kepengurusan yang baru, bekas-bekas lem ternyata
sudah ada di semua tembok dan bekas-bekas lilin juga menempel disana-sini.
Setahun kemudian diserahkan lagi kepada pengurus yang berikutnya juga dalam
keadaan yang demikian. Jadi dapatnya bagus, diserahkannya lebih jelek! Ini juga
tidak disarankan oleh Sang Buddha.
*generasi penerus (anak) yang lebih baik
daripada generasi yang sebelumnya (orantuanya). Misalnya: kalau dulu vihara
hanya mempunyai sebuah kipas angin maka dalam kepengurusan yang baru sudah
diganti dengan AC Split. Kegiatan-kegiatan vihara yang mengarah kepada kemajuan
juga terus ditingkatkan, seperti: latihan membaca Dhammapada, yang dulunya
hanya dilakukan kalau mau perlombaan dan Waisak saja, sekarang menjadi 2x
seminggu, supaya dapat menghasilkan umat Buddha yang bermutu. Jadi harus ada
kreativitas!
Setiap pergantian pengurus, pengurus yang baru
hendaknya bisa menentukan targetnya: apakah mau meneruskan, membangun, merusak
atau bagaimana? Apalagi kita sudah mendapat sorotan dari luar negeri.
Berdasarkan pengamatan beberapa bhikkhu asing yang datang dan meninjau
vihara-vihara yang ada di Indonesia, mereka menyimpulkan bahwa Indonesia itu
mempunyai vihara yang cukup baik, mempunyai generasi muda yang cukup banyak dan
pembinaan bhikkhu yang baik, tetapi sayangnya, belum dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Vihara hanya dijadikan sebagai pusat pertemuan dan hura-hura,
tidak ada minat untuk mendalami dan mempraktekkan Dhamma. Bahkan kita mempunyai
kebiasaan kalau sedang banyak problem, baru pergi ke vihara. Jadi umat Buddha
di Indonesia ini datang ke vihara hanya untuk hiburan. Padahal ini adalah suatu
anggapan atau kebiasaan yang salah.
Berbeda halnya kalau kita melihat di
negara-negara Buddhis misalnya Thailand. Pada hari Sabtu atau libur, para
generasi muda disana mempunyai kebiasaan untuk datang ke vihara. Dengan pakaian
putih-putih, mereka ikut membantu membersihkan vihara, menjalankan athasila,
berdiskusi Dhamma dan bermeditasi. Mereka tidak mempunyai anggapan bahwa hari
Sabtu dan libur itu adalah hari untuk jalan-jalan, nonton atau hura-hura. Hal
ini tentu akan menimbulkan pertanyaan di benak kita: "Kalau semua generasi
muda Buddhis begitu, apakah nanti tidak berat jodoh?" Dari beberapa
pengalaman, ternyata mereka yang sering datang ke vihara dan menjalankan
athasila itu justru cepat mendapat jodoh. Mengapa demikian? Karena mereka
saling bertemu dan berkenalan. Bersama-sama mereka melatih meditasi dan
mendengarkan Dhamma, sehingga mereka menjadi akrab satu sama lain. Jadi mereka
berpacaran di vihara dengan gaya vihara, tidak lirik-lirikan dan sebagainya.
Bahkan mereka mengalami kemajuan batin yang pesat, disamping mendapatkan
pasangan hidup.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa vihara
bukan sekedar tempat pemujaan begitu saja! Vihara adalah tempat belajar Dhamma.
Kalau vihara itu memang tidak ada pelajaran Dhamma, ramainya memang kalau
sedang banyak problem/masalah saja. Ternyata vihara adalah tempat pemberian
Dhamma dan Dhamma itu diperlukan baik dalam keadaan susah maupun senang. Oleh
karena itu, kalau kita bisa mengajak teman-teman kita untuk datang ke vihara,
sebetulnya kita telah mempunyai jasa yang besar yaitu memperkenalkan kebenaran
kepada mereka yang belum kenal. Terutama bagi mereka yang telah ditunjuk
sebagai pengurus suatu vihara.
Kalau kita ditunjuk sebagai pengurus atau
ditunjuk untuk menjabat satu jabatan tertentu, sebetulnya kita harus
berterima-kasih. Mengapa demikian? Karena kita diberi kesempatan untuk berbuat
baik. Dengan kita menjadi pengurus walaupun nanti menyerahkannya kepada
pengurus yang berikutnya sama dengan yang kita terima sebelumnya, itupun sudah
termasuk berbuat baik yaitu 'melestarikan agama Buddha'. Contohnya kalau
Saudara menyelenggarakan kebaktian dan mengundang penceramah, ini sebetulnya
adalah berdana Dhamma. Bila ada 5 orang yang mengikuti kebaktian, Saudara sudah
berdana Dhamma kepada 5 orang. Apalagi kalau ceramah tersebut dikasetkan dan
dijual kemana-mana. Telah dikatakan oleh Sang Buddha bahwa "sabba
Danam, Dhamma Danam Jinati" ; dari seluruh dana, dana Dhamma-lah yang
paling tinggi. Mungkin ada sebagian orang yang tidak bisa ceramah ataupun
menjadi bhikkhu, tetapi dengan Saudara menjadi pengurus yang baik, itu pun
sudah termasuk dana Dhamma. Dengan demikian, di dalam agama Buddha segala
sesuatunya bisa menjadi konsep untuk mengenalkan Dhamma kepada orang lain, baik
melalui seksi bursa (misalnya: ceramah-ceramah yang baik dikasetkan dan
dijual), melalui seksi puja bhakti, dll.
Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan:
"Apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan Dhamma?" Tidak! Karena
kita tidak menarik mereka untuk menjadi umat Buddha. Kita tidak bertujuan untuk
mengisi KTP orang lain dengan agama Buddha tetapi kita menarik mereka untuk
mengenal Dhamma/kebenaran. Umpamanya kalau Saya mengatakan bahwa benda ini
adalah "meja", semua agama akan mengakui bahwa ini adalah
"meja" dan bukan "roti" misalnya. Karena kebenaran itu
adalah milik semua orang! Jadi kita mengajak mereka datang ke vihara itu
berarti kita mengajak mereka untuk mengerti Dhamma, kebenaran yang tidak dapat
ditolak oleh semua orang.
Kebenaran apakah yang tidak bisa ditolak oleh
semua orang? Kebenaran yang tidak bisa ditolak oleh semua orang adalah "Empat
Kesunyataan Mulia" bahwa "Hidup adalah dukkha, berkumpul dengan
yang dibenci dan berpisah dengan yang dicinta adalah dukkha!" Karena
itulah "Empat Kesunyataan Mulia" ini menjadi kurikulum dasar
Sang Buddha di dalam mengajarkan Dhamma. Empat Kesunyataan Mulia ini diajarkan
pertama kali oleh Sang Buddha ketika Beliau membabarkan Dhammacakkappavattana
Sutta. Selama 45 tahun Sang Buddha mengajar, pada hakekatnya semua mengenai
Empat Kesunyataan Mulia. Bahkan hal ini berlangsung sampai sekian tahun
pengembangan agama Buddha yang akan datang. Tidak ada yang lain selain Empat
Kesunyataan Mulia.
Kalau Saudara mau memperkenalkan agama Buddha
kepada orang lain, kenalkanlah dari Empat Kesunyataan Mulia! Karena kalau
Saudara mengenalkannya dari sudut tradisi seperti patung, lilin dan dupa;
mereka pasti akan menolak. Tetapi kalau dari Empat Kesunyataan Mulia, tidak ada
yang bisa menentangnya. Umpamanya duduk di lantai, kita merasa kesemutan. Ini
berarti kita berkumpul dengan yang dibenci yaitu kesemutan, dan berpisah dengan
yang dicinta yaitu rasa enak duduk di lantai. Ini adalah milik semua orang,
bukan milik agama tertentu saja. Hukum Kesunyataan inilah yang kita berikan
kepada mereka, karena mereka pun pasti mengalaminya! Tidak mungkin ada makhluk
yang tidak pernah mengalami dukkha. Dan Sang Buddha sendiri telah menjelaskan
sebab-sebab dukkha dan cara mengatasi dukkha sehingga hidup bisa menjadi lebih
bahagia.
Selain mempertahankan umat, kepengurusan suatu
vihara perlu mempunyai program untuk memperbanyak umat Buddha, yaitu dengan
mengenalkan Dhamma kepada mereka yang belum kenal. Adapun hal-hal yang perlu
untuk kita perhatikan disini adalah:
* teknik promosi
Promosi ini penting sekali! Hendaknya kita mulai memikirkan bagaimana caranya kita mempromosikan ajaran Sang Buddha ini kepada masyarakat. Teknik promosi ini ada bermacam-macam, misalnya dengan koran yang merupakan media massa. Umpamanya pada hari Waisak kita membuat artikel mengenai makna Waisak dan kita muat di beberapa media massa sehingga masyarakat bisa mengenal agama Buddha. Itu adalah promosi. Untuk bisa berhasil maka promosinya harus kuat.
Promosi ini penting sekali! Hendaknya kita mulai memikirkan bagaimana caranya kita mempromosikan ajaran Sang Buddha ini kepada masyarakat. Teknik promosi ini ada bermacam-macam, misalnya dengan koran yang merupakan media massa. Umpamanya pada hari Waisak kita membuat artikel mengenai makna Waisak dan kita muat di beberapa media massa sehingga masyarakat bisa mengenal agama Buddha. Itu adalah promosi. Untuk bisa berhasil maka promosinya harus kuat.
* produk jasa
Vihara harus menjadi tempat yang bisa menghasilkan produk jasa, misalnya: untuk latihan baca paritta/Dhammapada, diskusi Dhamma, meditasi, belajar bahasa Inggris, badminton, dsb. Atau ikut melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti; ikut berpartisipasi mengaspal jalan, sehingga lingkungan merasa bahwa umat Buddha juga ada manfaatnya.
Vihara harus menjadi tempat yang bisa menghasilkan produk jasa, misalnya: untuk latihan baca paritta/Dhammapada, diskusi Dhamma, meditasi, belajar bahasa Inggris, badminton, dsb. Atau ikut melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti; ikut berpartisipasi mengaspal jalan, sehingga lingkungan merasa bahwa umat Buddha juga ada manfaatnya.
*perhatian
Perhatian harus diberikan bukan hanya untuk umat yang ada saja tetapi juga kepada umat yang belum pernah datang maupun yang sudah pernah datang tetapi tidak datang lagi. Mereka yang belum datang/tidak datang lagi, kita ajak untuk datang ke vihara. Mereka yang sudah datang ke vihara juga kita rawat dan kita berikan perhatian. Misalnya: dengan mengadakan acara keakraban, kemping Dhamma, dsb. Yang perlu diperhatikan disini adalah jangan sampai terjadi pengelompokkan-pengelompokkan sehingga mereka yang baru datang juga mempunyai teman. Jangan sampai mereka merasa tidak nyaman atau tidak diperdulikan, karena ini bisa menimbulkan kesan yang tidak baik dan di masa yang akan datang mereka tidak mau datang lagi.
Perhatian harus diberikan bukan hanya untuk umat yang ada saja tetapi juga kepada umat yang belum pernah datang maupun yang sudah pernah datang tetapi tidak datang lagi. Mereka yang belum datang/tidak datang lagi, kita ajak untuk datang ke vihara. Mereka yang sudah datang ke vihara juga kita rawat dan kita berikan perhatian. Misalnya: dengan mengadakan acara keakraban, kemping Dhamma, dsb. Yang perlu diperhatikan disini adalah jangan sampai terjadi pengelompokkan-pengelompokkan sehingga mereka yang baru datang juga mempunyai teman. Jangan sampai mereka merasa tidak nyaman atau tidak diperdulikan, karena ini bisa menimbulkan kesan yang tidak baik dan di masa yang akan datang mereka tidak mau datang lagi.
Disinilah letak peranan dan fungsi Dhammaduta.
Dhammaduta bukan ditujukan untuk umat di lingkungan vihara saja tetapi lebih
luas lagi, misalnya di tempat kost, tetangga, dll. Mereka itulah yang menjadi
obyek ke-dhammaduta-an kita! Minimal mereka bisa mengerti Dhamma tanpa menjadi
umat Buddha. Oleh karena itu, tugas seorang pengurus sebetulnya adalah
melakukan Dana Dhamma. Kalau setiap pengurus dapat menjalankan fungsinya
masing-masing dengan sebaik-baiknya, sebetulnya pengurus tersebut sudah
melakukan Dana Dhamma.
Kalau kita perhatikan riwayat hidup Sang
Buddha, sebetulnya ajaran Sang Buddha adalah ajaran yang aktif. Ketika Sang
Buddha menyuruh 60 orang Arahat untuk pergi mengajarkan Dhamma, Sang Buddha mengatakan:
"... Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan
orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama..." Ini
berarti kalau pada masa itu terdapat 60 orang Arahat maka juga terdapat 60
tempat. Karena kalau bergabung, itu tidak efisien. Padahal Sang Buddha itu
sangat efisien. Bahkan senyum-Nya pun efisien.
Kalau kita mau mengenalkan Dhamma kepada orang
lain, itu pun perlu efisien! Supaya efisien, tidak buang-buang waktu; setiap
pengurus harus produktif sesuai dengan tanggung-jawabnya. Masing-masing harus
menjadi Dhammaduta. Orang yang terdekat dengan kita adalah orang yang menjadi
sasaran kita untuk mengenalkan Dhamma.
Selama perjalanan hidup Sang Buddha, Beliau
tidak pernah pasif atau hanya menunggu saja. Setiap pagi Beliau mencari dan
melihat melalui mata batin-Nya siapa yang hari itu dapat mencapai kesucian. Itu
berarti Beliau mengajarkan kita untuk aktif! Kalau kita yang mengaku sebagai
muridnya Sang Buddha tidak aktif, maka sebetulnya kita belum menjadi umat
Buddha yang sesungguhnya, karena masih menyimpang dari ajaran Sang Buddha.
Begitu juga ketika Sang Buddha telah mencapai
kesucian/Nibbana. Beliau berjalan dari Bodhgaya menuju Benares untuk
mengajarkan Dhamma kepada 5 orang pertapa yang akan menjadi muridnya. Ketika
Sang Buddha selesai ceramah, hanya 1 orang saja yang mencapai kesucian yaitu
Bhante Añña Kondañña. Tetapi Sang Buddha tidak putus asa atau membiarkan saja
hal tersebut. Beliau kemudian ceramah lagi sehingga Bhante Vappa dan Bhaddiya
mencapai kesucian. Kemudian Beliau ceramah lagi sehingga Bhante Mahanama dan
Assaji juga mencapai kesucian. Akhirnya kelima pertapa itu semuanya dapat
mencapai kesucian. Itu adalah sistem Sang Buddha; dan sebagai murid-murid Sang
Buddha, teladan Beliau harus kita ikuti!
Cobalah Saudara mulai merenungkan:
"Berapa biji saya mau menanam jagung supaya saya bisa panen banyak?"
Kalau Saudara menanamnya cuma satu: pada diri Saudara sendiri; panen jagungnya
juga cuma satu. Tetapi kalau Saudara menanamnya banyak: tidak hanya pada diri
Saudara sendiri, tetapi juga pada orangtua, pada tetangga, dll.; tanaman jagung
Saudara juga banyak, sehingga bila musim kelaparan tiba, Saudara tidak perlu
khawatir. Inilah "Sabba Danam, Dhamma Danam Jinati"; dari
seluruh dana, dana Dhamma-lah yang paling tinggi. Karena kehidupan itu tidak
pasti, kematian itu pasti... tidak ada lagi kesempatan untuk menunda menanam
kebajikan! Kita jangan hanya menunggu! Ingatlah bahwa waktu itu sangat pendek.
Hidup adalah SAAT INI, bukan yang telah lampau dan bukan pula yang akan
datang. Karena itu, "Saat ini" harus kita manfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kalau Saudara ditunjuk sebagai pengurus,
janganlah Saudara berpikir: "Kenapa harus saya?" tetapi justru
Saudara harus berpikir sebaliknya: "Untung saya yang diberi
kepercayaan... Untung saya yang diberi kesempatan untuk berbuat baik!"
Jadilah pengurus yang lebih baik daripada pengurus yang sebelumnya! Ciptakanlah
suatu kondisi supaya Dhamma menjadi kebutuhan pokok bagi seluruh umat Buddha.
Jangan sampai mereka mempunyai konsep bahwa datang ke vihara itu kalau sedang
kesusahan saja. Karena sebetulnya setiap segi kehidupan itu adalah Dhamma!
Di dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu
sering mendengar kata "organisasi". Istilah "organisasi"
itu sendiri berasal dari dua suku kata. Yaitu, "organ" yang
berarti bagian dari tubuh dan "sasi" yang berarti tindakan
untuk membagi-bagi sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Di dalam suatu masyarakat, organisasi itu
mutlak diperlukan. Suatu organisasi adalah milik kehidupan. Jangankan kita
manusia yang sudah berbudaya, binatang pun sebetulnya mempunyai organisasi.
Misalnya: ada sekelompok gajah maka gajah yang paling hebatlah yang akan
menjadi pemimpinnya. Dialah yang akan mengatur gajah-gajah yang lain. Itu
adalah suatu organisasi. Kemudian, di dalam kehidupan manusia sehari-hari,
misalnya dalam sebuah rumah tangga, itu pun mempunyai organisasi, yang tentu
saja disini harus ditunjang oleh komunikasi. Contohnya kalau suatu hari akan
datang tamu dari luar kota yang akan menginap di rumah kita, tentu ibu kita
(yang dulunya meskipun tidak sempat sekolah) akan mengaturnya, misalnya
pembantu A disuruh ke pasar untuk membeli makanan dan minuman, sedangkan
pambantu B disuruh menyiapkan kamar dan tempat tidur. Ini sudah merupakan suatu
organisasi yaitu pembagian tugas. Tidak mungkin misalnya pembantu B yang bisu
yang disuruh ke pasar tetapi pembantu A yang bisa menawar harga dengan baiklah
yang akan disuruh ke pasar. Ini sebetulnya adalah organisasi. Dengan demikian
setiap masyarakat, baik masyarakat manusia maupun masyarakat binatang mempunyai
organisasi.
Suatu vihara juga merupakan suatu organisasi,
merupakan suatu masyarakat yang mempunyai tujuan dan cita-cita tertentu. Untuk
mengatur jalannya organisasi ini maka dipilihlah seorang ketua beserta
seksi-seksinya. Dalam lingkup yang lebih luas, ketua dan seksi-seksi tersebut
dapat dibagi lagi sesuai dengan kebutuhan. Di dalam suatu organisasi, seorang
ketua sebetulnya berfungsi sebagai perancang. Seorang ketua harus bisa mencetuskan
ide-idenya untuk memajukan organisasinya dan bekerjasama dengan seksi-seksi
lainnya.
Sebagai umat Buddha, kita harus berpikir
realistis! Kunci hidup di dalam agama Buddha adalah "Hidup adalah saat
ini!" Tadi pagi (misalnya pukul 10:00), kita memang pernah hidup
tetapi kita sudah tidak hidup pada pukul 10:00 tadi pagi. Begitu juga nanti
sore, kita akan hidup tetapi belum hidup. Yang hidup adalah saat ini, bukan
satu menit yang lalu dan bukan satu menit yang akan datang. Yang penting adalah
saat ini, saat inilah kita berjuang semaksimal mungkin! Saya teringat ketika
Bhante Paññavaro mengatakan sebuah pepatah bahwa:
"Di dalam kehidupan kita tidak perlu
menginginkan jabatan, kita tidak perlu menginginkan pangkat... Tetapi kalau
kita sudah diberi jabatan, sudah diberi tanggung-jawab maka kita harus
mengerjakannya dengan semaksimal mungkin. Tidak ada lagi kata
"mundur"! pokoknya harus selesai!"
Kalau kita melihat pada ajaran Sang Buddha,
kita akan menemukan bahwa Sang Buddha membagi generasi penerus itu dalam tiga
hal, yaitu:
* generasi penerus (anak) yang mempunyai
hasil yang sama dengan generasi sebelumnya (orangtua). Misalnya
serah-terima antara pengurus vihara yang terdahulu kepada pengurus yang baru.
Kepengurusan yang baru menerimanya misalnya dalam kondisi seperti
"ini", karpetnya "ini", Buddha rupam-nya juga
"ini". Setahun kemudian, pengurus yang "ini" menyerahkan
lagi kepada pengurus yang berikutnya juga dalam keadaan seperti
"ini", tidak ada perubahan dan tidak berusaha untuk memperbaiki atau
mengembangkan yang sudah ada. Ini adalah generasi penerus yang sama dengan
generasi sebelumnya. Tipe generasi penerus seperti ini tidak disarankan oleh
Sang Buddha.
* generasi penerus (anak) yang lebih jelek
daripada generasi sebelumnya (orangtuanya). Misalnya dalam periode
kepengurusan yang sebelumnya, bekas-bekas lem cuma menempel di pintu saja.
Setahun kemudian dalam periode kepengurusan yang baru, bekas-bekas lem ternyata
sudah ada di semua tembok dan bekas-bekas lilin juga menempel disana-sini.
Setahun kemudian diserahkan lagi kepada pengurus yang berikutnya juga dalam
keadaan yang demikian. Jadi dapatnya bagus, diserahkannya lebih jelek! Ini juga
tidak disarankan oleh Sang Buddha.
*generasi penerus (anak) yang lebih baik
daripada generasi yang sebelumnya (orantuanya). Misalnya: kalau dulu vihara
hanya mempunyai sebuah kipas angin maka dalam kepengurusan yang baru sudah
diganti dengan AC Split. Kegiatan-kegiatan vihara yang mengarah kepada kemajuan
juga terus ditingkatkan, seperti: latihan membaca Dhammapada, yang dulunya
hanya dilakukan kalau mau perlombaan dan Waisak saja, sekarang menjadi 2x
seminggu, supaya dapat menghasilkan umat Buddha yang bermutu. Jadi harus ada
kreativitas!
Setiap pergantian pengurus, pengurus yang baru
hendaknya bisa menentukan targetnya: apakah mau meneruskan, membangun, merusak
atau bagaimana? Apalagi kita sudah mendapat sorotan dari luar negeri.
Berdasarkan pengamatan beberapa bhikkhu asing yang datang dan meninjau
vihara-vihara yang ada di Indonesia, mereka menyimpulkan bahwa Indonesia itu
mempunyai vihara yang cukup baik, mempunyai generasi muda yang cukup banyak dan
pembinaan bhikkhu yang baik, tetapi sayangnya, belum dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Vihara hanya dijadikan sebagai pusat pertemuan dan hura-hura,
tidak ada minat untuk mendalami dan mempraktekkan Dhamma. Bahkan kita mempunyai
kebiasaan kalau sedang banyak problem, baru pergi ke vihara. Jadi umat Buddha
di Indonesia ini datang ke vihara hanya untuk hiburan. Padahal ini adalah suatu
anggapan atau kebiasaan yang salah.
Berbeda halnya kalau kita melihat di
negara-negara Buddhis misalnya Thailand. Pada hari Sabtu atau libur, para
generasi muda disana mempunyai kebiasaan untuk datang ke vihara. Dengan pakaian
putih-putih, mereka ikut membantu membersihkan vihara, menjalankan athasila,
berdiskusi Dhamma dan bermeditasi. Mereka tidak mempunyai anggapan bahwa hari
Sabtu dan libur itu adalah hari untuk jalan-jalan, nonton atau hura-hura. Hal
ini tentu akan menimbulkan pertanyaan di benak kita: "Kalau semua generasi
muda Buddhis begitu, apakah nanti tidak berat jodoh?" Dari beberapa
pengalaman, ternyata mereka yang sering datang ke vihara dan menjalankan
athasila itu justru cepat mendapat jodoh. Mengapa demikian? Karena mereka
saling bertemu dan berkenalan. Bersama-sama mereka melatih meditasi dan
mendengarkan Dhamma, sehingga mereka menjadi akrab satu sama lain. Jadi mereka
berpacaran di vihara dengan gaya vihara, tidak lirik-lirikan dan sebagainya.
Bahkan mereka mengalami kemajuan batin yang pesat, disamping mendapatkan pasangan
hidup.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa vihara
bukan sekedar tempat pemujaan begitu saja! Vihara adalah tempat belajar Dhamma.
Kalau vihara itu memang tidak ada pelajaran Dhamma, ramainya memang kalau
sedang banyak problem/masalah saja. Ternyata vihara adalah tempat pemberian
Dhamma dan Dhamma itu diperlukan baik dalam keadaan susah maupun senang. Oleh
karena itu, kalau kita bisa mengajak teman-teman kita untuk datang ke vihara,
sebetulnya kita telah mempunyai jasa yang besar yaitu memperkenalkan kebenaran
kepada mereka yang belum kenal. Terutama bagi mereka yang telah ditunjuk
sebagai pengurus suatu vihara.
Kalau kita ditunjuk sebagai pengurus atau
ditunjuk untuk menjabat satu jabatan tertentu, sebetulnya kita harus
berterima-kasih. Mengapa demikian? Karena kita diberi kesempatan untuk berbuat
baik. Dengan kita menjadi pengurus walaupun nanti menyerahkannya kepada
pengurus yang berikutnya sama dengan yang kita terima sebelumnya, itupun sudah
termasuk berbuat baik yaitu 'melestarikan agama Buddha'. Contohnya kalau
Saudara menyelenggarakan kebaktian dan mengundang penceramah, ini sebetulnya
adalah berdana Dhamma. Bila ada 5 orang yang mengikuti kebaktian, Saudara sudah
berdana Dhamma kepada 5 orang. Apalagi kalau ceramah tersebut dikasetkan dan dijual
kemana-mana. Telah dikatakan oleh Sang Buddha bahwa "sabba Danam,
Dhamma Danam Jinati" ; dari seluruh dana, dana Dhamma-lah yang paling
tinggi. Mungkin ada sebagian orang yang tidak bisa ceramah ataupun menjadi
bhikkhu, tetapi dengan Saudara menjadi pengurus yang baik, itu pun sudah
termasuk dana Dhamma. Dengan demikian, di dalam agama Buddha segala sesuatunya
bisa menjadi konsep untuk mengenalkan Dhamma kepada orang lain, baik melalui
seksi bursa (misalnya: ceramah-ceramah yang baik dikasetkan dan dijual),
melalui seksi puja bhakti, dll.
Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan:
"Apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan Dhamma?" Tidak! Karena
kita tidak menarik mereka untuk menjadi umat Buddha. Kita tidak bertujuan untuk
mengisi KTP orang lain dengan agama Buddha tetapi kita menarik mereka untuk
mengenal Dhamma/kebenaran. Umpamanya kalau Saya mengatakan bahwa benda ini
adalah "meja", semua agama akan mengakui bahwa ini adalah
"meja" dan bukan "roti" misalnya. Karena kebenaran itu
adalah milik semua orang! Jadi kita mengajak mereka datang ke vihara itu
berarti kita mengajak mereka untuk mengerti Dhamma, kebenaran yang tidak dapat
ditolak oleh semua orang.
Kebenaran apakah yang tidak bisa ditolak oleh
semua orang? Kebenaran yang tidak bisa ditolak oleh semua orang adalah "Empat
Kesunyataan Mulia" bahwa "Hidup adalah dukkha, berkumpul dengan
yang dibenci dan berpisah dengan yang dicinta adalah dukkha!" Karena
itulah "Empat Kesunyataan Mulia" ini menjadi kurikulum dasar
Sang Buddha di dalam mengajarkan Dhamma. Empat Kesunyataan Mulia ini diajarkan
pertama kali oleh Sang Buddha ketika Beliau membabarkan Dhammacakkappavattana
Sutta. Selama 45 tahun Sang Buddha mengajar, pada hakekatnya semua mengenai
Empat Kesunyataan Mulia. Bahkan hal ini berlangsung sampai sekian tahun
pengembangan agama Buddha yang akan datang. Tidak ada yang lain selain Empat
Kesunyataan Mulia.
Kalau Saudara mau memperkenalkan agama Buddha
kepada orang lain, kenalkanlah dari Empat Kesunyataan Mulia! Karena kalau
Saudara mengenalkannya dari sudut tradisi seperti patung, lilin dan dupa;
mereka pasti akan menolak. Tetapi kalau dari Empat Kesunyataan Mulia, tidak ada
yang bisa menentangnya. Umpamanya duduk di lantai, kita merasa kesemutan. Ini
berarti kita berkumpul dengan yang dibenci yaitu kesemutan, dan berpisah dengan
yang dicinta yaitu rasa enak duduk di lantai. Ini adalah milik semua orang,
bukan milik agama tertentu saja. Hukum Kesunyataan inilah yang kita berikan
kepada mereka, karena mereka pun pasti mengalaminya! Tidak mungkin ada makhluk
yang tidak pernah mengalami dukkha. Dan Sang Buddha sendiri telah menjelaskan
sebab-sebab dukkha dan cara mengatasi dukkha sehingga hidup bisa menjadi lebih
bahagia.
Selain mempertahankan umat, kepengurusan suatu
vihara perlu mempunyai program untuk memperbanyak umat Buddha, yaitu dengan
mengenalkan Dhamma kepada mereka yang belum kenal. Adapun hal-hal yang perlu
untuk kita perhatikan disini adalah:
* teknik promosi
Promosi ini penting sekali! Hendaknya kita mulai memikirkan bagaimana caranya kita mempromosikan ajaran Sang Buddha ini kepada masyarakat. Teknik promosi ini ada bermacam-macam, misalnya dengan koran yang merupakan media massa. Umpamanya pada hari Waisak kita membuat artikel mengenai makna Waisak dan kita muat di beberapa media massa sehingga masyarakat bisa mengenal agama Buddha. Itu adalah promosi. Untuk bisa berhasil maka promosinya harus kuat.
Promosi ini penting sekali! Hendaknya kita mulai memikirkan bagaimana caranya kita mempromosikan ajaran Sang Buddha ini kepada masyarakat. Teknik promosi ini ada bermacam-macam, misalnya dengan koran yang merupakan media massa. Umpamanya pada hari Waisak kita membuat artikel mengenai makna Waisak dan kita muat di beberapa media massa sehingga masyarakat bisa mengenal agama Buddha. Itu adalah promosi. Untuk bisa berhasil maka promosinya harus kuat.
* produk jasa
Vihara harus menjadi tempat yang bisa menghasilkan produk jasa, misalnya: untuk latihan baca paritta/Dhammapada, diskusi Dhamma, meditasi, belajar bahasa Inggris, badminton, dsb. Atau ikut melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti; ikut berpartisipasi mengaspal jalan, sehingga lingkungan merasa bahwa umat Buddha juga ada manfaatnya.
Vihara harus menjadi tempat yang bisa menghasilkan produk jasa, misalnya: untuk latihan baca paritta/Dhammapada, diskusi Dhamma, meditasi, belajar bahasa Inggris, badminton, dsb. Atau ikut melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti; ikut berpartisipasi mengaspal jalan, sehingga lingkungan merasa bahwa umat Buddha juga ada manfaatnya.
*perhatian
Perhatian harus diberikan bukan hanya untuk umat yang ada saja tetapi juga kepada umat yang belum pernah datang maupun yang sudah pernah datang tetapi tidak datang lagi. Mereka yang belum datang/tidak datang lagi, kita ajak untuk datang ke vihara. Mereka yang sudah datang ke vihara juga kita rawat dan kita berikan perhatian. Misalnya: dengan mengadakan acara keakraban, kemping Dhamma, dsb. Yang perlu diperhatikan disini adalah jangan sampai terjadi pengelompokkan-pengelompokkan sehingga mereka yang baru datang juga mempunyai teman. Jangan sampai mereka merasa tidak nyaman atau tidak diperdulikan, karena ini bisa menimbulkan kesan yang tidak baik dan di masa yang akan datang mereka tidak mau datang lagi.
Perhatian harus diberikan bukan hanya untuk umat yang ada saja tetapi juga kepada umat yang belum pernah datang maupun yang sudah pernah datang tetapi tidak datang lagi. Mereka yang belum datang/tidak datang lagi, kita ajak untuk datang ke vihara. Mereka yang sudah datang ke vihara juga kita rawat dan kita berikan perhatian. Misalnya: dengan mengadakan acara keakraban, kemping Dhamma, dsb. Yang perlu diperhatikan disini adalah jangan sampai terjadi pengelompokkan-pengelompokkan sehingga mereka yang baru datang juga mempunyai teman. Jangan sampai mereka merasa tidak nyaman atau tidak diperdulikan, karena ini bisa menimbulkan kesan yang tidak baik dan di masa yang akan datang mereka tidak mau datang lagi.
Disinilah letak peranan dan fungsi Dhammaduta.
Dhammaduta bukan ditujukan untuk umat di lingkungan vihara saja tetapi lebih
luas lagi, misalnya di tempat kost, tetangga, dll. Mereka itulah yang menjadi
obyek ke-dhammaduta-an kita! Minimal mereka bisa mengerti Dhamma tanpa menjadi
umat Buddha. Oleh karena itu, tugas seorang pengurus sebetulnya adalah
melakukan Dana Dhamma. Kalau setiap pengurus dapat menjalankan fungsinya
masing-masing dengan sebaik-baiknya, sebetulnya pengurus tersebut sudah
melakukan Dana Dhamma.
Kalau kita perhatikan riwayat hidup Sang
Buddha, sebetulnya ajaran Sang Buddha adalah ajaran yang aktif. Ketika Sang
Buddha menyuruh 60 orang Arahat untuk pergi mengajarkan Dhamma, Sang Buddha
mengatakan: "... Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan
keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama..."
Ini berarti kalau pada masa itu terdapat 60 orang Arahat maka juga terdapat
60 tempat. Karena kalau bergabung, itu tidak efisien. Padahal Sang Buddha itu
sangat efisien. Bahkan senyum-Nya pun efisien.
Kalau kita mau mengenalkan Dhamma kepada orang
lain, itu pun perlu efisien! Supaya efisien, tidak buang-buang waktu; setiap
pengurus harus produktif sesuai dengan tanggung-jawabnya. Masing-masing harus
menjadi Dhammaduta. Orang yang terdekat dengan kita adalah orang yang menjadi
sasaran kita untuk mengenalkan Dhamma.
Selama perjalanan hidup Sang Buddha, Beliau
tidak pernah pasif atau hanya menunggu saja. Setiap pagi Beliau mencari dan
melihat melalui mata batin-Nya siapa yang hari itu dapat mencapai kesucian. Itu
berarti Beliau mengajarkan kita untuk aktif! Kalau kita yang mengaku sebagai
muridnya Sang Buddha tidak aktif, maka sebetulnya kita belum menjadi umat
Buddha yang sesungguhnya, karena masih menyimpang dari ajaran Sang Buddha.
Begitu juga ketika Sang Buddha telah mencapai
kesucian/Nibbana. Beliau berjalan dari Bodhgaya menuju Benares untuk
mengajarkan Dhamma kepada 5 orang pertapa yang akan menjadi muridnya. Ketika
Sang Buddha selesai ceramah, hanya 1 orang saja yang mencapai kesucian yaitu
Bhante Añña Kondañña. Tetapi Sang Buddha tidak putus asa atau membiarkan saja
hal tersebut. Beliau kemudian ceramah lagi sehingga Bhante Vappa dan Bhaddiya
mencapai kesucian. Kemudian Beliau ceramah lagi sehingga Bhante Mahanama dan
Assaji juga mencapai kesucian. Akhirnya kelima pertapa itu semuanya dapat mencapai
kesucian. Itu adalah sistem Sang Buddha; dan sebagai murid-murid Sang Buddha,
teladan Beliau harus kita ikuti!
Cobalah Saudara mulai merenungkan:
"Berapa biji saya mau menanam jagung supaya saya bisa panen banyak?"
Kalau Saudara menanamnya cuma satu: pada diri Saudara sendiri; panen jagungnya
juga cuma satu. Tetapi kalau Saudara menanamnya banyak: tidak hanya pada diri
Saudara sendiri, tetapi juga pada orangtua, pada tetangga, dll.; tanaman jagung
Saudara juga banyak, sehingga bila musim kelaparan tiba, Saudara tidak perlu
khawatir. Inilah "Sabba Danam, Dhamma Danam Jinati"; dari
seluruh dana, dana Dhamma-lah yang paling tinggi. Karena kehidupan itu tidak
pasti, kematian itu pasti... tidak ada lagi kesempatan untuk menunda menanam
kebajikan! Kita jangan hanya menunggu! Ingatlah bahwa waktu itu sangat pendek.
Hidup adalah SAAT INI, bukan yang telah lampau dan bukan pula yang akan
datang. Karena itu, "Saat ini" harus kita manfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kalau Saudara ditunjuk sebagai pengurus,
janganlah Saudara berpikir: "Kenapa harus saya?" tetapi justru
Saudara harus berpikir sebaliknya: "Untung saya yang diberi
kepercayaan... Untung saya yang diberi kesempatan untuk berbuat baik!"
Jadilah pengurus yang lebih baik daripada pengurus yang sebelumnya! Ciptakanlah
suatu kondisi supaya Dhamma menjadi kebutuhan pokok bagi seluruh umat Buddha.
Jangan sampai mereka mempunyai konsep bahwa datang ke vihara itu kalau sedang
kesusahan saja. Karena sebetulnya setiap segi kehidupan itu adalah Dhamma!
0 komentar:
Posting Komentar