Pages

Rabu, 16 April 2014

Filsafat Transendentalisme Madhyamika

 Filsafat Transendentalisme Madhyamika

Oleh: Putradi
Npm: 11110139



Madhyamika merupakan salah satu sekolah Buddhis yang paling banayak di pelajari. Menurut analisa kita tentang Buddhisme awal dan perkembangan berikutnya dari pemikiran-pemikiran Buddha ,teori yang absolut baru muncul setelah kematian sang Buddha dan mencapai kulminasinya pada literatur prajnaparamita. Asal mula kesadaran dialetik yang akhirnya mencapai puncaknya pada dialetika madhyamika sewaktu telah berkembang penuh,seperti ditunjukan pada perkembangan mahayana merupakan suatu konflik yang realitas nominal dan fenomalitas yang amat hidup dilukiskan dalam literatur prajnaparamita. Di pihak lain kedua sekolah Buddhis Staviravada dan Sautrantika,inter alia turut menyumbang kepada kemunculan sekolah Madhyamika ketikan merekan menyajikan teori metafisika dalam usahanya untuk menerangkan keadaan sebenarnya dari dunia fenomena. Sebagian besar dari mulamadhyamikakarika-nya nagarjuna di khususkan untuk menyanggah teori-teor metafisika dari kedua sekolah ini.

Mulamadhyamikakarika memulainya dengan suatu peryataan dan suatu sanggahan terhadap setiap teori dari empat teori metafisika tentang kausalitas yang ditunjukan oleh sekolah-sekolah Buddha maupun sekolah non Buddha yang hidup semasa nagarjuna mereka adalah : (1) sebab-akibat sendiri atau produksi sendiri (svata utpatti),(2) sebab-akibat eksternal atau produksi karena faktor luar (parata utpatti),(3) baik karena sebab-akibat sendiri atau eksternal (dvabhyam utpatti),(4) dan tanpa sebab (ahetuka utpatti).
Dalam bab 9 sudah ditunjukan bahwa sekolah Buddhis Staviravada maupun sekolah non Buddhis Sankhya mengajukan teori identitas kausalitas (satkaryavada) dan ini adalah yang pertama dari empat teori yang disebutkan oleh nagarjuna. Ia merupakan teori yang dapat di ketemukan dalam tradisi atma. Sedangkan kaum staviravada sendiri tergolong dalam kategori ini sebagai akibat dari konsepsinya tentang subtabsi (svabhava), meskipun mereka sendiri menyatakan bahwa mereka termasuk kedalam tradisi anatma. Ini terbukti dari analis nagarjuna sendiri.  setelah mendapatkan keempat teori sebab-akibat itu nagarjuna memeriksa yang pertama ia mengacu kepada teori korelasi kausal(pratyaya) yang dirumuskan oleh sekolah Abhidharma dan belakangan juga oleh sekolah yogacara dengan menyiratkan baahwa ia merupakan yang pertama dari keempat teori yakni sebab-akibat sendiri(svata utpatti). Ini ditegaskan lebih lanjut pada bait ketiga , dimana ia menyatakan bahwa subtansi (svabhava) dari yang berada (bhava) tidak dapa diketemukan dalam faktor-faktor atau korelasi-korelasi kausal (pratyaya) yang berbeda. Ini tentulah merupakan kritikan terhadap teori identitas kausalitas (satkaryavada) yang di ajukan oleh kaum staviravada kerena merekalah yang mendesak identitas sebab dan akibat berdasarkan subtansi atau sifat bawaan (svabhava). Tetapi menurut murti teori identitas kausalitas (satkaryavada) yang dikritik oleh nagarjuna adalah kepunyaan sekolah sankhya. Untuknya vaibhasikalah satu sekolah dari kaum staviravada yang menyajikan teori non identitas(asatkaryavada). Namun sekolah sankhya tidak pernah mengajukan teori korelasi kausal (pratyaya) seperti yang di kritik oeh nagarjuna. Untuk alasan ini jelaslah bahwa teori identitas yang diajukan dan dikritik oleh nagarjuna bukan lain daripada teori kausal kepunyaan staviravada.
Untuk nagarjuna substansi (svabhava) merupakan prinsip bersifat metafisika seperti diri untuk Buddha atau jiwa (atma) untuk uphanisad. Candra kirti yang menelaah lebih lanjut kritikan nagarjuna menujukan bahwa subtansi atau sifat bawaan dari akibat dapat diketemukan pada sebab produksi akan menjadi tak berarti (vaiyarthya), karena ia kemudian hanya menjadi sekedar duplikasi sendiri bukan kemunculan semua faktor yang lebih mencolok yang belum pernah ada sebelumnya.
Setelah mengkritik teori substansi (svabhava) yang merupakan dasar dari teori identitas kausalitas (satkaryavada) nagarjuna berlanjut menyanggah teori non identitas (asatkaryavada). Ia menunjukan bahwa dengan tak hadirnya substansi atau sifat bawaan tak mungkin ada sifat lain atau kelainan (parabhava).ini memperlihatkan bahwa sejauh menyangkut nagarjuna penolakan sebab akibat sendiru (svata utpatti) tidak sama dengan penerimaan sebab akibat ekstenal (aparata utpatti). Serupa dengan ini penolakan teori identitas dari kaum staviravada dan juga sankhya tidak membimbing ke teori pener imaan teori non identitas dari sautrantika atau dari vaesesika. Untuknya keduanya adalh teori teori yang bersifat metafisika. Itulah sebabnya ia mennggunakan pendekatan dialetika dalam menyanggah teori tadi.
Ini merupakan metode prasangika atau redoctio ad absordum yang disokong oleh candrakirti dengan penuh semangat. Seperti telah ditunjukan murti, prasanga haruslah tiadak diartikan sebagai pembuktian apogogik yaitu kita membuktikan suatu pendapat secara tidak langsung menyangkal pendapat lawanya. Prasanga hanya penyangkalan semata tanpa sedikitpun maksud untuk membuktikan suatu tesis. Metode ini merupakan metode dialetika yang dipergunakan oleh sekolah madyamika yang disebut prasangika yang diajarkan oleh guru guru seperti aryadeva,Buddhapalita, candrakirti,dan santideva.
Hubungan yang erat antara lain antara pemikiran madhyamika dan ajaran-ajaran parajnaparamita tidaklah dapat dibantah. Menurut murti,
Sistem madyamika merupakan bemtuk doktrin sunyata dari karya prajnaparamita yang sudah di sestematikan ; metafisika,jalan spiritual(satparamitanaya) dan ideal religiusnya ada disana semuanya meskipun dalm pemikiran yang lebih subur dan longgar. Dengan munculnya prajnaparamita suatu tahapan Buddhisme yang baru dimulai suatu tipe absolutisme yang keras terbentuk oleh dialetika ,oleh peniadaan (sunyata) semua gagasan empirik dan teori-teori spekulatif menggantikan bentuk pluralisme dari Buddhisme yang lebih awal.
Disini menjelaskan bahwa dengan berkembangnya metafisika yang bersifat absolute  tidak hanya metafisika spekulatif bbahkan gagasan empirik pun kemudian ditiadakan . dengan demikian dipandang dari satu segi absolutisme dari prajjnaparamita menjadi tesis dari madyamika. Nagarjuna diakui telah menulis mahaprajnaparamita sastra sebelum menyusun mulamadhyamikakarika, karya madhyamika par excellence, sehingga dengan demikian memperlihatkan keberuntunganya kepada absolutisme prajnaparamita.
Pandangan murti mengenai ajaran sang Buddha dan nagarjuna dapapt diringkas sebagai berikut : Sang Buddha maupun Nagarjuna menerima realitar terakhir di luar jangakuan indra biasa , sesuatu yang absolute(paramartha) yang tak terungkapka dengan konsep-konsep. Teori kausal seperti sebab akibat sendiri (sayam katam = svata utpatti) dan sebab akibat eksternal (param katam=parata utpatti) tidak akan berhasil menerangkan kenyataan-kenyataan empirik dan khususnya terhadap yang di luar jangkauan indra biasa.
Menurut analisis kita mengenai Buddhisme awal seprti yang tercantum dalam nikaya pali dan agama mandarin, Sang Buddha tidak menrima realitas diluar jangkauan indra biasa atau ekstra empirik yang tak terungkapkan. Teori-teori kausal pra Buddha seperti sebab akibat sendiri dan sebab akibat ekstternal ditolak bukan karena mereka gagal dalam kaitanya dengan yang diluar jangkauan indara biasa , tetapi karena mereka hanya berdasarkan anggapan metafisika tertentu yang menekankan aspek-aspek tertentu dari pengalaman dan mengabaikan yang lainya. Tamnbah pula, tidaklah adil mengkait-kaitkan Sang Buddh dengam metode reductio ad absordum(prasanga), karena setelah menolak teori-teori metafisika, beliau tidak berdiam diri, mengatakan bahwa realitas terakhir  tak terumuskan dan tak terungkapkan tetapi mengajukan tesisnya sendiri dengan istilah istilah yang tepat. Dan tesis ini adalah pratityasamutpada atau kemunculan saling bergantung atau secara sederhana kausalitas. Ia merupakan teori empirik tentang dunia termasuk manusia biasa dan yang telah mencapi penerangan sempurna.
Lagi pula pada Buddhisme awal tak ada analisi dialetika terhadap teori-teori kausalita pra Buddha seperti yang terjadi dalam sistem Madhyamika dan Nagarjuna, pada Buddhisme awal penolakan teori-teori ini berdasrkan pada kesesuaian terhadap pengalaman. Akhirnya sudah ditunjukan bahwa Buddhisme awal tidak menyumbang teori apa-apa kepada teori absolutisme ; ia tidak mengenal realitas transempirik yang trasendental yang sekaligus tak terkatakan (anirvacaniya). Nibana bukan realitas trasendental dalm pengertian seperti yang dipahami Buddhisme belakangan . sampai disini kita telah berusaha untuk menerangka perkembangan bertahap dari kecenderungan absolute dalam Buddhisme setelah meninggalnya Sang Buddha. Jika apa yang telah dikatakan disini mengenai doktrin-doktrin awal adalah benar maka prajnaparamita tentulah mencerminkan suatu revolusi (viparyasa) dalam Buddhisme. Revolusi itu mengandung penerimaan pandangan trasendental, yang berlawalan dengan pendekatan empirik pada Buddhisme awal.
Dalam sutta-sutta terdahulu istilah sammuti digunakan untuk menyatakan konsep. Ia diturunkan dari Mn, berfikir dan bila disambung dengan prefik sam (berarti bersama dengan ) kata itu mengandung penjanjian,persetujuan dan sebagainya. Ia merupakan perjanjian yang digunakan untuk menandakan sesuatu untuk mengacu pada sesuatu karenanya ia juga disebut penunjukan (pannati,vohara).  Pernyataan Buddha terhadap yang melampaui batass- batas perjanjian yiaitu : kekacauan yang berkenaan dengann penggunssn konsep dengan istilah seperti ini yang kadang kadang didorong oleh kehendak hati sesorang, membawa ke perumusan berbagai konsep dan teori metafisika. Menurut sang Buddha dengan menghindari kekacauan demikian  dan tidak mengizinkan kehendak hati seseorang untuk turut campur dalam penggunaan konsep,  terbuka kemungkinan untuk mengerti kebenaran, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (yathabhutam). Bagi sang Buddha lesukaan dan ketidak sukaan kita lah – prasangka kita- yang menyimpang presepsi dan pengertian kita dan juga deskripsi dan perumusan kita akan realitas. Dengan demikian bukan konsep (sammuti) yang menyimpang atau meliputi keadaan sebenarnya dari suatu objek yang dimaksud kan untuk menandakan, tetapi cara tiap-tiap individu yan dikendalikan oleh kehendak hatinya berusaha melihat atau menangkap apa yang ingin dilihatnya atau ditangkapanya dengan konsep yang tadi. Jadi istilah diri (atman) yang digunakan untuk mengacu kepada kepribadian batin jasmani khususny ketika berbicara secara refleksif  digunakan untuk mengacu kepada diri yang imortal,kekal dan kadang-kadang transendental.karena kita mempunyai berbagai pandangan (drsti) yang tak dapt dipersatukan. Tetapi bila seseorng dapat menggunakan konsep tanpa terikat dan prasangka  tanpa penyimpangan atau kehendak hati maka terbuka kemungkinan untuk menghindar dari berbagai macam konflik.
Tetapi untuk Nagarjuna, konflik pikiran merupakan hal yang berlainan. Baginya sepert bagi semua sekolah sekolah Buddha belakangan, suatu konsep merupakan suatu yang menutupi atau meliputi keadaan sebenarnya dari objeknya. Karena istilah yang mula-mula sammuti menjadi samvrtiyang memiliki konotasi amat berbeda dalam metafisika yang sudah berkembang.isilah baru ini diturunkan dari sara dan vrti meliputi,menghalang. Istilah samvriti berlainan dengan sammuti berarti sesuatu yang meliputi. Suatu konsep dalam pengertian ini menyerupai kulit luar yang meliputi suatu inti.keadaan sebenarnya. Yang disebut dengan realitas terakhir (paramartha) menjadi sesuatu yang ditutupi oleh konsep (samvrti). Ia terungkapakan kepada seseorang hanya dengan berkembangnya intuisi tertinggi. Jadi realitas tidak sapat diselesaikan menjadi konsep-konsep ia tak terungkapkan atau tak terumuskan (anirvacaniya) suatu istilah yang diciptakan oleh kaum  Buddha belakangan. Yang nomenal atau sesuatu itu sendiri (tattva) tidak dapt dicengkram oleh konsep-konsep. Ia mengatasi penjelasan konseptual (nirvikalpa),transenden atau berada sendiri (aparapartyaya). Inilah yang agaknya membenarkan pandangan nagarjuna behwa tak ada perbedaan apapun antara fenomena (samsara) dan yang transenden (nirvana ) karena realitas dari samsara  atau dunia adalah identik dengan yang absolut. Perlu di ingat bahwa kaum madyamika mengenal hanya dua tingkatan realitas yang konvensional (samvrti) dan yang terakhhir (paramartha), tidak seperti kaum yogacara yang menerima tiga tingkatan yang konseptual(parikalpita),yang relatif(paratantra),dan yang terakhir(paranispanna).oleh karenanya menurut kaum madyamika karena realitas tak terumuskan ,semua adil tak berlaku dalm kaitanya dengan kenyataan-kenyataan empirik. Tidak hanya teori-teori non Buddha tetapi teori kausalitas karma dan sebagian kaum Buddha ditolak. Buddhisme setelah sang Buddha di tunjukan bukan mengembangkan teori absolutisme tetapi mengajarkan teori-teori metafisika untuk menerangkan kausalitas ,karma dan sebagainya. Jadi haruslah diakuai bahwa madyamika walaupun merka memberikan sumbangan kepada teori-teori absolutisme mereka berhasil menghapus anggapan-anggapan metafisika dilingkungan filsafat.
Hanya dalam menghapus metafisika, Buddhisme awal bersesuaian dengan pemikiran madyamika. Tetapi merka tetap berbeda dalam cara menolak metafisika. Kalaulah Buddhisme awal mencocokanya terhadap pengalaman untuk mengahapus metafisika maka pemikiraan madyamika bergantung sepenuhnya kepada dialetik dan transendental. Karena pendekatan madhyamika yang transenden ini merka menjadi amat berbeda terhadap kaum Buddha awal. Kepercayaan akan realitas transendental atau  yang absolute tak mendapat tempat dalam Buddhisme awal.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh nagarjuna dan kaum madhyamika yang belakangan sebagai penerimaan pandangan transendental secara amat jelas dinyatakan oleh nagarjuna sendiri, mendhului keberatan keberatan yang mungkin diajukan oleh lawan-lawanya. Dalam menjawab keberatan ini nagarjuna untuk pertama dan terakhir kalinya dalam mulamadhyamikakarika, mengacu kepada dua tingkatan kebenaran dan berpendapat bahwa realitas terakhir (paramatha) tidak dapat dikomunikasikan tanpa menyingkirkan jalan konvensional (samvrti) dan bahwa tanpa mengerti  realitas terakhir sesoramg tak dapat mencapai nirvana. Lebih lanjut berdasarkan tafsiranya sendiri t ntang kausalitas, nagarjuna memberikan  penjelasan secara cerdik terhadap persoalan yang diajukan oleh lawanya. Kausalitas menurut nagarjuna adalah relativitas ini sinonim dari kekosongan (sunyata). Karena ia berpendapat:
Karena tak ada dharma apa pun yang tidak terjadi secara bersyarat (yakni tidak relatif),tak ada dharma apa pun yang berada yang tidak kosong.
Jika semua keberadaan tidak kosong (jika ia tidak menjadi tidak bersyarat  ) tak ada kemunculan dan kehancuran. Karena itu anda harus menyimpulkan secara salah bahwa empat kebenaran mulia  berada.
 Alasanya jelas. Setiap dharma adalah relatif. Karenanya setiap dharma juga kosong. Tidak ada dharma yang tak relatif. Karenanya tak ada dharma yang tak kosong. Jika ada dharma yang tidak kosong,ia tidak dapat terjadi secara bersyarat. Oleh karenanya jika seseorang menerima ketidak kosongan orang itu juga menerima ketidak-relatifan.  Dan sebagai akibatnya itu harus menolak kemunculan dan kehancuran. Jika seseorang tidak menerima kemunculan dan kehancuran, ia tidak dapat menerima empat kebenaran mulia. Nagarjuna berdalih bahwa bukan penerimaan kekosongan , tetapi penolakanya yang membuat sulit membicarakan empat kebenaran mulia .
Dengan mengunakan pendekatan dialetika,  kaum madhyamika dapat memperoleh realitas tunggal dari yang absolute, yang mereka beri sebutan beranekaragaman tathata ,dharmakaya, tathagata, tatva dan satya. oleh karenaya pencapaian realitas teraakhir ini disajikan sebagai tujuan dari kehidupan religius. Salah satunya jalan untuk memperoleh pencapaian ini adalah dengan menjadi Buddha.

0 komentar: