Filsafat Transendentalisme Madhyamika
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
Madhyamika merupakan salah satu sekolah Buddhis yang paling banayak di pelajari. Menurut analisa kita tentang Buddhisme awal dan perkembangan berikutnya dari pemikiran-pemikiran Buddha ,teori yang absolut baru muncul setelah kematian sang Buddha dan mencapai kulminasinya pada literatur prajnaparamita. Asal mula kesadaran dialetik yang akhirnya mencapai puncaknya pada dialetika madhyamika sewaktu telah berkembang penuh,seperti ditunjukan pada perkembangan mahayana merupakan suatu konflik yang realitas nominal dan fenomalitas yang amat hidup dilukiskan dalam literatur prajnaparamita. Di pihak lain kedua sekolah Buddhis Staviravada dan Sautrantika,inter alia turut menyumbang kepada kemunculan sekolah Madhyamika ketikan merekan menyajikan teori metafisika dalam usahanya untuk menerangkan keadaan sebenarnya dari dunia fenomena. Sebagian besar dari mulamadhyamikakarika-nya nagarjuna di khususkan untuk menyanggah teori-teor metafisika dari kedua sekolah ini.
Mulamadhyamikakarika
memulainya dengan suatu peryataan dan suatu sanggahan terhadap setiap teori
dari empat teori metafisika tentang kausalitas yang ditunjukan oleh
sekolah-sekolah Buddha maupun sekolah non Buddha yang hidup semasa nagarjuna
mereka adalah : (1) sebab-akibat sendiri atau produksi sendiri (svata
utpatti),(2) sebab-akibat eksternal atau produksi karena faktor luar (parata
utpatti),(3) baik karena sebab-akibat sendiri atau eksternal (dvabhyam
utpatti),(4) dan tanpa sebab (ahetuka utpatti).
Dalam
bab 9 sudah ditunjukan bahwa sekolah Buddhis Staviravada maupun sekolah non
Buddhis Sankhya mengajukan teori identitas kausalitas (satkaryavada) dan ini
adalah yang pertama dari empat teori yang disebutkan oleh nagarjuna. Ia
merupakan teori yang dapat di ketemukan dalam tradisi atma. Sedangkan kaum
staviravada sendiri tergolong dalam kategori ini sebagai akibat dari
konsepsinya tentang subtabsi (svabhava), meskipun mereka sendiri menyatakan
bahwa mereka termasuk kedalam tradisi anatma. Ini terbukti dari analis
nagarjuna sendiri. setelah mendapatkan
keempat teori sebab-akibat itu nagarjuna memeriksa yang pertama ia mengacu
kepada teori korelasi kausal(pratyaya) yang dirumuskan oleh sekolah Abhidharma
dan belakangan juga oleh sekolah yogacara dengan menyiratkan baahwa ia
merupakan yang pertama dari keempat teori yakni sebab-akibat sendiri(svata
utpatti). Ini ditegaskan lebih lanjut pada bait ketiga , dimana ia menyatakan
bahwa subtansi (svabhava) dari yang berada (bhava) tidak dapa diketemukan dalam
faktor-faktor atau korelasi-korelasi kausal (pratyaya) yang berbeda. Ini tentulah
merupakan kritikan terhadap teori identitas kausalitas (satkaryavada) yang di
ajukan oleh kaum staviravada kerena merekalah yang mendesak identitas sebab dan
akibat berdasarkan subtansi atau sifat bawaan (svabhava). Tetapi menurut murti
teori identitas kausalitas (satkaryavada) yang dikritik oleh nagarjuna adalah
kepunyaan sekolah sankhya. Untuknya vaibhasikalah satu sekolah dari kaum
staviravada yang menyajikan teori non identitas(asatkaryavada). Namun sekolah
sankhya tidak pernah mengajukan teori korelasi kausal (pratyaya) seperti yang
di kritik oeh nagarjuna. Untuk alasan ini jelaslah bahwa teori identitas yang
diajukan dan dikritik oleh nagarjuna bukan lain daripada teori kausal kepunyaan
staviravada.
Untuk
nagarjuna substansi (svabhava) merupakan prinsip bersifat metafisika seperti
diri untuk Buddha atau jiwa (atma) untuk uphanisad. Candra kirti yang menelaah
lebih lanjut kritikan nagarjuna menujukan bahwa subtansi atau sifat bawaan dari
akibat dapat diketemukan pada sebab produksi akan menjadi tak berarti
(vaiyarthya), karena ia kemudian hanya menjadi sekedar duplikasi sendiri bukan
kemunculan semua faktor yang lebih mencolok yang belum pernah ada sebelumnya.
Setelah
mengkritik teori substansi (svabhava) yang merupakan dasar dari teori identitas
kausalitas (satkaryavada) nagarjuna berlanjut menyanggah teori non identitas
(asatkaryavada). Ia menunjukan bahwa dengan tak hadirnya substansi atau sifat
bawaan tak mungkin ada sifat lain atau kelainan (parabhava).ini memperlihatkan
bahwa sejauh menyangkut nagarjuna penolakan sebab akibat sendiru (svata
utpatti) tidak sama dengan penerimaan sebab akibat ekstenal (aparata utpatti).
Serupa dengan ini penolakan teori identitas dari kaum staviravada dan juga
sankhya tidak membimbing ke teori pener imaan teori non identitas dari
sautrantika atau dari vaesesika. Untuknya keduanya adalh teori teori yang
bersifat metafisika. Itulah sebabnya ia mennggunakan pendekatan dialetika dalam
menyanggah teori tadi.
Ini
merupakan metode prasangika atau redoctio ad absordum yang disokong oleh
candrakirti dengan penuh semangat. Seperti telah ditunjukan murti, prasanga
haruslah tiadak diartikan sebagai pembuktian apogogik yaitu kita membuktikan
suatu pendapat secara tidak langsung menyangkal pendapat lawanya. Prasanga
hanya penyangkalan semata tanpa sedikitpun maksud untuk membuktikan suatu
tesis. Metode ini merupakan metode dialetika yang dipergunakan oleh sekolah
madyamika yang disebut prasangika yang diajarkan oleh guru guru seperti
aryadeva,Buddhapalita, candrakirti,dan santideva.
Hubungan
yang erat antara lain antara pemikiran madhyamika dan ajaran-ajaran
parajnaparamita tidaklah dapat dibantah. Menurut murti,
Sistem madyamika merupakan bemtuk
doktrin sunyata dari karya prajnaparamita yang sudah di sestematikan ;
metafisika,jalan spiritual(satparamitanaya) dan ideal religiusnya ada disana
semuanya meskipun dalm pemikiran yang lebih subur dan longgar. Dengan munculnya
prajnaparamita suatu tahapan Buddhisme yang baru dimulai suatu tipe absolutisme
yang keras terbentuk oleh dialetika ,oleh peniadaan (sunyata) semua gagasan
empirik dan teori-teori spekulatif menggantikan bentuk pluralisme dari
Buddhisme yang lebih awal.
Disini
menjelaskan bahwa dengan berkembangnya metafisika yang bersifat absolute tidak hanya metafisika spekulatif bbahkan
gagasan empirik pun kemudian ditiadakan . dengan demikian dipandang dari satu
segi absolutisme dari prajjnaparamita menjadi tesis dari madyamika. Nagarjuna
diakui telah menulis mahaprajnaparamita sastra sebelum menyusun
mulamadhyamikakarika, karya madhyamika par excellence, sehingga dengan demikian
memperlihatkan keberuntunganya kepada absolutisme prajnaparamita.
Pandangan
murti mengenai ajaran sang Buddha dan nagarjuna dapapt diringkas sebagai
berikut : Sang Buddha maupun Nagarjuna menerima realitar terakhir di luar
jangakuan indra biasa , sesuatu yang absolute(paramartha) yang tak terungkapka
dengan konsep-konsep. Teori kausal seperti sebab akibat sendiri (sayam katam =
svata utpatti) dan sebab akibat eksternal (param katam=parata utpatti) tidak akan
berhasil menerangkan kenyataan-kenyataan empirik dan khususnya terhadap yang di
luar jangkauan indra biasa.
Menurut
analisis kita mengenai Buddhisme awal seprti yang tercantum dalam nikaya pali
dan agama mandarin, Sang Buddha tidak menrima realitas diluar jangkauan indra
biasa atau ekstra empirik yang tak terungkapkan. Teori-teori kausal pra Buddha
seperti sebab akibat sendiri dan sebab akibat ekstternal ditolak bukan karena
mereka gagal dalam kaitanya dengan yang diluar jangkauan indara biasa , tetapi karena
mereka hanya berdasarkan anggapan metafisika tertentu yang menekankan
aspek-aspek tertentu dari pengalaman dan mengabaikan yang lainya. Tamnbah pula,
tidaklah adil mengkait-kaitkan Sang Buddh dengam metode reductio ad
absordum(prasanga), karena setelah menolak teori-teori metafisika, beliau tidak
berdiam diri, mengatakan bahwa realitas terakhir tak terumuskan dan tak terungkapkan tetapi
mengajukan tesisnya sendiri dengan istilah istilah yang tepat. Dan tesis ini
adalah pratityasamutpada atau
kemunculan saling bergantung atau secara sederhana kausalitas. Ia merupakan
teori empirik tentang dunia termasuk manusia biasa dan yang telah mencapi
penerangan sempurna.
Lagi
pula pada Buddhisme awal tak ada analisi dialetika terhadap teori-teori kausalita
pra Buddha seperti yang terjadi dalam sistem Madhyamika dan Nagarjuna, pada
Buddhisme awal penolakan teori-teori ini berdasrkan pada kesesuaian terhadap
pengalaman. Akhirnya sudah ditunjukan bahwa Buddhisme awal tidak menyumbang
teori apa-apa kepada teori absolutisme ; ia tidak mengenal realitas
transempirik yang trasendental yang sekaligus tak terkatakan (anirvacaniya).
Nibana bukan realitas trasendental dalm pengertian seperti yang dipahami
Buddhisme belakangan . sampai disini kita telah berusaha untuk menerangka
perkembangan bertahap dari kecenderungan absolute dalam Buddhisme setelah
meninggalnya Sang Buddha. Jika apa yang telah dikatakan disini mengenai
doktrin-doktrin awal adalah benar maka prajnaparamita tentulah mencerminkan
suatu revolusi (viparyasa) dalam Buddhisme. Revolusi itu mengandung penerimaan
pandangan trasendental, yang berlawalan dengan pendekatan empirik pada
Buddhisme awal.
Dalam
sutta-sutta terdahulu istilah sammuti digunakan untuk menyatakan konsep. Ia
diturunkan dari Mn, berfikir dan bila disambung dengan prefik sam (berarti
bersama dengan ) kata itu mengandung penjanjian,persetujuan dan sebagainya. Ia
merupakan perjanjian yang digunakan untuk menandakan sesuatu untuk mengacu pada
sesuatu karenanya ia juga disebut penunjukan (pannati,vohara). Pernyataan Buddha terhadap yang melampaui
batass- batas perjanjian yiaitu : kekacauan yang berkenaan dengann penggunssn
konsep dengan istilah seperti ini yang kadang kadang didorong oleh kehendak hati
sesorang, membawa ke perumusan berbagai konsep dan teori metafisika. Menurut
sang Buddha dengan menghindari kekacauan demikian dan tidak mengizinkan kehendak hati seseorang
untuk turut campur dalam penggunaan konsep,
terbuka kemungkinan untuk mengerti kebenaran, melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya (yathabhutam). Bagi sang Buddha lesukaan dan ketidak sukaan
kita lah – prasangka kita- yang menyimpang presepsi dan pengertian kita dan
juga deskripsi dan perumusan kita akan realitas. Dengan demikian bukan konsep
(sammuti) yang menyimpang atau meliputi keadaan sebenarnya dari suatu objek
yang dimaksud kan untuk menandakan, tetapi cara tiap-tiap individu yan
dikendalikan oleh kehendak hatinya berusaha melihat atau menangkap apa yang ingin dilihatnya atau ditangkapanya
dengan konsep yang tadi. Jadi istilah diri (atman) yang digunakan untuk
mengacu kepada kepribadian batin jasmani khususny ketika berbicara secara
refleksif digunakan untuk mengacu kepada
diri yang imortal,kekal dan kadang-kadang transendental.karena kita mempunyai
berbagai pandangan (drsti) yang tak dapt dipersatukan. Tetapi bila seseorng
dapat menggunakan konsep tanpa terikat dan prasangka tanpa penyimpangan atau kehendak hati maka
terbuka kemungkinan untuk menghindar dari berbagai macam konflik.
Tetapi
untuk Nagarjuna, konflik pikiran merupakan hal yang berlainan. Baginya sepert
bagi semua sekolah sekolah Buddha belakangan, suatu konsep merupakan suatu yang
menutupi atau meliputi keadaan sebenarnya dari objeknya. Karena istilah yang
mula-mula sammuti menjadi samvrtiyang memiliki konotasi amat berbeda dalam
metafisika yang sudah berkembang.isilah baru ini diturunkan dari sara dan vrti
meliputi,menghalang. Istilah samvriti berlainan dengan sammuti berarti sesuatu
yang meliputi. Suatu konsep dalam pengertian ini menyerupai kulit luar yang
meliputi suatu inti.keadaan sebenarnya. Yang disebut dengan realitas terakhir
(paramartha) menjadi sesuatu yang ditutupi oleh konsep (samvrti). Ia
terungkapakan kepada seseorang hanya dengan berkembangnya intuisi tertinggi.
Jadi realitas tidak sapat diselesaikan menjadi konsep-konsep ia tak
terungkapkan atau tak terumuskan (anirvacaniya) suatu istilah yang diciptakan
oleh kaum Buddha belakangan. Yang
nomenal atau sesuatu itu sendiri (tattva) tidak dapt dicengkram oleh
konsep-konsep. Ia mengatasi penjelasan konseptual (nirvikalpa),transenden atau
berada sendiri (aparapartyaya). Inilah yang agaknya membenarkan pandangan
nagarjuna behwa tak ada perbedaan apapun antara fenomena (samsara) dan yang
transenden (nirvana ) karena realitas dari samsara atau dunia adalah identik dengan yang
absolut. Perlu di ingat bahwa kaum madyamika mengenal hanya dua tingkatan
realitas yang konvensional (samvrti) dan yang terakhhir (paramartha), tidak
seperti kaum yogacara yang menerima tiga tingkatan yang konseptual(parikalpita),yang
relatif(paratantra),dan yang terakhir(paranispanna).oleh karenanya menurut kaum
madyamika karena realitas tak terumuskan ,semua adil tak berlaku dalm kaitanya
dengan kenyataan-kenyataan empirik. Tidak hanya teori-teori non Buddha tetapi
teori kausalitas karma dan sebagian kaum Buddha ditolak. Buddhisme setelah sang
Buddha di tunjukan bukan mengembangkan teori absolutisme tetapi mengajarkan
teori-teori metafisika untuk menerangkan kausalitas ,karma dan sebagainya. Jadi
haruslah diakuai bahwa madyamika walaupun merka memberikan sumbangan kepada
teori-teori absolutisme mereka berhasil menghapus anggapan-anggapan metafisika
dilingkungan filsafat.
Hanya
dalam menghapus metafisika, Buddhisme awal bersesuaian dengan pemikiran
madyamika. Tetapi merka tetap berbeda dalam cara menolak metafisika. Kalaulah
Buddhisme awal mencocokanya terhadap pengalaman untuk mengahapus metafisika
maka pemikiraan madyamika bergantung sepenuhnya kepada dialetik dan
transendental. Karena pendekatan madhyamika yang transenden ini merka menjadi
amat berbeda terhadap kaum Buddha awal. Kepercayaan akan realitas transendental
atau yang absolute tak mendapat tempat
dalam Buddhisme awal.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh nagarjuna dan kaum madhyamika yang belakangan sebagai penerimaan
pandangan transendental secara amat jelas dinyatakan oleh nagarjuna sendiri,
mendhului keberatan keberatan yang mungkin diajukan oleh lawan-lawanya. Dalam
menjawab keberatan ini nagarjuna untuk pertama dan terakhir kalinya dalam
mulamadhyamikakarika, mengacu kepada dua tingkatan kebenaran dan berpendapat
bahwa realitas terakhir (paramatha) tidak dapat dikomunikasikan tanpa
menyingkirkan jalan konvensional (samvrti) dan bahwa tanpa mengerti realitas terakhir sesoramg tak dapat mencapai
nirvana. Lebih lanjut berdasarkan tafsiranya sendiri t ntang kausalitas,
nagarjuna memberikan penjelasan secara
cerdik terhadap persoalan yang diajukan oleh lawanya. Kausalitas menurut
nagarjuna adalah relativitas ini sinonim dari kekosongan (sunyata). Karena ia
berpendapat:
Karena tak ada dharma apa pun yang
tidak terjadi secara bersyarat (yakni tidak relatif),tak ada dharma apa pun
yang berada yang tidak kosong.
Jika semua keberadaan tidak kosong
(jika ia tidak menjadi tidak bersyarat )
tak ada kemunculan dan kehancuran. Karena itu anda harus menyimpulkan secara
salah bahwa empat kebenaran mulia
berada.
Alasanya jelas. Setiap dharma adalah relatif.
Karenanya setiap dharma juga kosong. Tidak ada dharma yang tak relatif.
Karenanya tak ada dharma yang tak kosong. Jika ada dharma yang tidak kosong,ia
tidak dapat terjadi secara bersyarat. Oleh karenanya jika seseorang menerima
ketidak kosongan orang itu juga menerima ketidak-relatifan. Dan sebagai akibatnya itu harus menolak
kemunculan dan kehancuran. Jika seseorang tidak menerima kemunculan dan
kehancuran, ia tidak dapat menerima empat kebenaran mulia. Nagarjuna berdalih
bahwa bukan penerimaan kekosongan , tetapi penolakanya yang membuat sulit
membicarakan empat kebenaran mulia .
Dengan
mengunakan pendekatan dialetika, kaum
madhyamika dapat memperoleh realitas tunggal dari yang absolute, yang mereka
beri sebutan beranekaragaman tathata ,dharmakaya,
tathagata, tatva dan satya. oleh karenaya pencapaian realitas teraakhir ini
disajikan sebagai tujuan dari kehidupan religius. Salah satunya jalan untuk
memperoleh pencapaian ini adalah dengan menjadi Buddha.
0 komentar:
Posting Komentar