Pages

Selasa, 16 Oktober 2012

Hinayana sebuah mitos kuno


Hinayana sebuah mitos kuno

Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hinayana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta.

Kata hinayana berasal dari 2 kata, yaitu 'hiina' dan 'yana'. Kata 'yana' berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata 'hiina' adalah lawan dari kata 'maha'. Padahal bila kita menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pali, lawan kata dari kata 'maha' yang berarti besar bukanlah 'hiina' tetapi kata 'cuula' yang berarti 'kecil'.
Lalu apakah arti kata 'hiina'? Kata 'hiina' sendiri berarti rendah, buruk, amoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan kata 'hina' dalam kosakata Indonesia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Selain itu, di dalam kitab Pali, kotbah pertama Sang Buddha yaitu Dhammacakkappavattana Sutta, sebuah kotbah yang disampaikan kepada lima petapa yang menjadi lima bhikkhu pertama, di dalamnya terdapat kata 'hiina'. Sang Buddha bersabda: 'Dua pinggiran yang ekstrim, O para bhikkhu, yang harus dihindari oleh seseorang bhikkhu (yang meninggalkan keduniawian). Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar napsu-napsu, kemewahan, hal yang rendah (hiina), kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya...'
Mengingat bahwa sutta memiliki gaya yang sering mengunakan kata-kata yang bersinonim, sehingga saling menguatkan dan menjelaskan satu sama yang lain, maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa, kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya adalah sebagai definisi pelengkap dari kata 'hiina'. Di sini Sang Buddha menunjukkan dengan jelas bahwa jalan yang harus dihindari untuk dilatih merupakan sesuatu yang hiina. Dalam teks Pali dan komentar lainnya, hiina sering digunakan dalam kombinasi kata hiina - majjhima - paniita, yaitu : buruk – menengah – baik.
 Dalam konteks hiina- majjhima-paniita (atau kadang hanya hiina- paniita), kata 'hiina' selalu digunakan sebagai suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata 'hiina' berarti 'rendah/yang harus dihindari/tercela', dan bukannya 'kecil' atau 'kurang'. Sekarang dalam teks Sanskerta. Dalam Lalitavistara kita dapat menemukan versi Dhammacakkappavattana Sutta, dimana kata 'hiina' digunakan tepat seperti kutipan dalam sutta versi Pali.
Dalam Mahayanasutralankara karya Asanga, yang mewakili seluruh teks Mahayana, Asanga mengatakan: 'Ada tiga kelompok manusia: hiina-madhyama-vishishta…(buruk-menengah-terbaik).' Ungkapan ini sesuai dengan teks Pali: hiina-majjhima-paniita, dan ini menunjukkan bahwa umat Mahayana yang menggunakan istilah 'hinayana', melihat 'hiina' sebagai istilah penjelekkan (penghinaan), dengan arti yang sama seperti dalam teks Pali.
Hina juga bukan bahasa Tibet, tetapi Sanskerta/Pali dan memiliki arti yang kasar, arti yang bersifat menghina yang tidak dapat dirubah oleh usaha pelunakkan apapun.

Hinayana sebuah aliran Buddhisme ?
Di mulai pada Sidang Agung Sangha ke-2 dimana Buddhisme terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, disisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.
Sidang Agung Sangha ke-3 (abad ke-3 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.

Setelah Sidang Agung Sangha ke-3, Buddhisme terdiri dari 18 aliran yaitu:
1.      Thera-vadino,
2.      Vajjiputtaka,
3.      Mahigsasaka,
4.      Dhammuttarika,
5.       Bhaddayanika,
6.      Channagarika,
7.      Sammitiya,
8.      Sabbatthivada,
9.      Dhammaguttika,
10.  Kassapika,
11.   Sankantika,
12.  Suttavada,
13.  Mahasamghika,
14.  Gokulika,
15.  Ekabyoharika,
16.  Bahulika,
17.  Pannatti-vada,
Banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu di India Pusat. Di antaranya adanya beberapa kelompok bhikkhu yang menjalankan Buddha Dhamma secara ekstrim dengan hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Kemudian kelompok lain yang memegang prinsip pengamalan mulai melakukan kritik dan menerapkan konsep bodhisatta, namun mereka pun menjadi ekstrim sehingga menciptakan figur-figur bodhisatta.
Akhirnya antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M, muncullah Saddharma Pundarika Sutra dengan istilah Hinayana dan Mahayana. Dan sekitar abad ke-2 M, aliran Mahayana menjadi nyata dan utuh setelah Nagajurna mengembangkan filsafat Sunyata dalam teks kecil yaitu Madhyamika-karika. Abad ke- 4 M , Asanga dan Vasubandhu menulis banyak karya mengenai Mahayana.
Dari sejarah yang telah di sampaikan di atas, tidak ada aliran yang bernama Hinayana pada 18 aliran Buddhsime terdahulu. Lalu siapa yang dimaksud dengan Hinayana dalam Sutra Teratai ? Apakah Theravada ? Tidak, ketika Mahayana muncul dengan Sutra Teratainya, Theravada yang dulunya bernama Sthaviravada telah 'hijrah' atau 'beremigrasi' ke Sri Lanka dan ketika perdebatan Mahayana-Hinayana terjadi, sukar untuk menghitung aliran mana yang mendominasi di India Pusat. Aliran tua yang sangat berpengaruhi saat itu adalah Sarvastivada, jadi mungkin saja aliran ini, tapi sukar dikatakan jika hanya aliran ini saja yang merupakan target satu-satunya dari ejekan 'Hinayana'.
http://tamandharma.com/forum/index.php?topic=283.0;wap2

0 komentar: