Hinayana sebuah mitos kuno
Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan
berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa
Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal
untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata
hinayana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta.
Kata hinayana berasal dari 2 kata, yaitu 'hiina' dan 'yana'.
Kata 'yana' berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata
ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata 'hiina' adalah lawan dari kata
'maha'. Padahal bila kita menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pali, lawan
kata dari kata 'maha' yang berarti besar bukanlah 'hiina' tetapi kata 'cuula'
yang berarti 'kecil'.
Lalu apakah arti kata 'hiina'? Kata 'hiina' sendiri berarti
rendah, buruk, amoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan kata 'hina' dalam
kosakata Indonesia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Selain
itu, di dalam kitab Pali, kotbah pertama Sang Buddha yaitu
Dhammacakkappavattana Sutta, sebuah kotbah yang disampaikan kepada lima petapa
yang menjadi lima bhikkhu pertama, di dalamnya terdapat kata 'hiina'. Sang
Buddha bersabda: 'Dua pinggiran yang ekstrim, O para bhikkhu, yang harus
dihindari oleh seseorang bhikkhu (yang meninggalkan keduniawian). Pinggiran
ekstrim pertama ialah mengumbar napsu-napsu, kemewahan, hal yang rendah
(hiina), kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya...'
Mengingat bahwa sutta memiliki gaya yang sering mengunakan
kata-kata yang bersinonim, sehingga saling menguatkan dan menjelaskan satu sama
yang lain, maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa, kasar, vulgar, tidak mulia,
berbahaya adalah sebagai definisi pelengkap dari kata 'hiina'. Di sini Sang
Buddha menunjukkan dengan jelas bahwa jalan yang harus dihindari untuk dilatih
merupakan sesuatu yang hiina. Dalam teks Pali dan komentar lainnya, hiina
sering digunakan dalam kombinasi kata hiina - majjhima - paniita, yaitu : buruk
– menengah – baik.
Dalam konteks hiina-
majjhima-paniita (atau kadang hanya hiina- paniita), kata 'hiina' selalu
digunakan sebagai suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti
kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata 'hiina'
berarti 'rendah/yang harus dihindari/tercela', dan bukannya 'kecil' atau
'kurang'. Sekarang dalam teks Sanskerta. Dalam Lalitavistara kita dapat
menemukan versi Dhammacakkappavattana Sutta, dimana kata 'hiina' digunakan
tepat seperti kutipan dalam sutta versi Pali.
Dalam Mahayanasutralankara karya Asanga, yang mewakili
seluruh teks Mahayana, Asanga mengatakan: 'Ada tiga kelompok manusia:
hiina-madhyama-vishishta…(buruk-menengah-terbaik).' Ungkapan ini sesuai
dengan teks Pali: hiina-majjhima-paniita, dan ini menunjukkan bahwa umat
Mahayana yang menggunakan istilah 'hinayana', melihat 'hiina' sebagai istilah
penjelekkan (penghinaan), dengan arti yang sama seperti dalam teks Pali.
Hina juga bukan bahasa Tibet, tetapi Sanskerta/Pali dan
memiliki arti yang kasar, arti yang bersifat menghina yang tidak dapat dirubah
oleh usaha pelunakkan apapun.
Hinayana sebuah aliran Buddhisme ?
Di mulai pada Sidang Agung Sangha ke-2 dimana Buddhisme
terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa
peraturan minor dalam Vinaya, disisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya
apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal
dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang
mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.
Sidang Agung Sangha ke-3 (abad ke-3 SM), Sidang ini hanya
diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah
Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku
Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu
pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan
oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka ini ke
Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma
di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.
Setelah Sidang Agung Sangha ke-3, Buddhisme terdiri dari 18 aliran yaitu:
Setelah Sidang Agung Sangha ke-3, Buddhisme terdiri dari 18 aliran yaitu:
1.
Thera-vadino,
2.
Vajjiputtaka,
3.
Mahigsasaka,
4.
Dhammuttarika,
5.
Bhaddayanika,
6.
Channagarika,
7.
Sammitiya,
8.
Sabbatthivada,
9.
Dhammaguttika,
10. Kassapika,
11. Sankantika,
12. Suttavada,
13. Mahasamghika,
14. Gokulika,
15. Ekabyoharika,
16. Bahulika,
17. Pannatti-vada,
Banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu di India Pusat. Di
antaranya adanya beberapa kelompok bhikkhu yang menjalankan Buddha Dhamma
secara ekstrim dengan hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal
yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Kemudian kelompok lain yang memegang
prinsip pengamalan mulai melakukan kritik dan menerapkan konsep bodhisatta,
namun mereka pun menjadi ekstrim sehingga menciptakan figur-figur bodhisatta.
Akhirnya antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M, muncullah
Saddharma Pundarika Sutra dengan istilah Hinayana dan Mahayana. Dan sekitar
abad ke-2 M, aliran Mahayana menjadi nyata dan utuh setelah Nagajurna
mengembangkan filsafat Sunyata dalam teks kecil yaitu Madhyamika-karika. Abad
ke- 4 M , Asanga dan Vasubandhu menulis banyak karya mengenai Mahayana.
Dari sejarah yang telah di sampaikan di atas, tidak ada
aliran yang bernama Hinayana pada 18 aliran Buddhsime terdahulu. Lalu siapa
yang dimaksud dengan Hinayana dalam Sutra Teratai ? Apakah Theravada ? Tidak,
ketika Mahayana muncul dengan Sutra Teratainya, Theravada yang dulunya bernama
Sthaviravada telah 'hijrah' atau 'beremigrasi' ke Sri Lanka dan ketika
perdebatan Mahayana-Hinayana terjadi, sukar untuk menghitung aliran mana yang
mendominasi di India Pusat. Aliran tua yang sangat berpengaruhi saat itu adalah
Sarvastivada, jadi mungkin saja aliran ini, tapi sukar dikatakan jika hanya
aliran ini saja yang merupakan target satu-satunya dari ejekan 'Hinayana'.
http://tamandharma.com/forum/index.php?topic=283.0;wap2
0 komentar:
Posting Komentar