Makalah Kemiskinan Dan Kemerosotan Moral Dalam Pandangan Agama Buddha
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
BAB I
PENDAHULUAN
Hidup di tandai
dengan ketidak kekalan (anicca), yang
tidak kekal ini, menyimpang dari yang di harapkan sehingga menimbulkan ketidak
puasan dan penderitaan (dukha).
Berbagai masalah yang di hadapi masing-masing manusia di kehidupan ini menimbulkan banyak
kendala-kendala dalam menghadapi tantangan yang semakin mengglobal baik dari
lapisan masyarakat bawah, sedang maupun masyarakat kalangan atas. Kebanyakan yang
terjadi adalah masalah kemiskinan yang di hadapi kalangan bawah, hal ini juga
tidak menuntut kemungkinan untuk kalangan-kalangan yang lainnya seperti
kalangan atas meskipun mereka tidak menghadapi kesulitan perekonomian namun
banyak terjadi hal yang lebih menyedihkan karena ketamakan atau lobha yang di miliki bisa terjadi
kemungkinan mereka akan mengalami kemerosotan moral karena mereka lupa akan
pentingnya membina diri dan mengenal adanya kesadaran. Kemiskinan yang terjadi
di lapisan masyarakat bukan hanya karena kemiskinan materi namun hal ini bisa
saja terjadi pada batin manusia yang di tujukkan dengan kemerosotan moral.
Kemiskinan adalah salah satu masalah kehidupan
yang mengglobal, data statistik dari berbagai belahan dunia menunjukkan
permasalahan kemiskinan menjadi salah satu problem utama pada tiap negara.
Indonesia sebagai negara berkembang mengalami permasalahan kemiskinan yang
serius. Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah dilakukan dengan
berbagai program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT).
IDT merupakan
Inpres No. 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat
terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis
multidimensional, diluncurkan program daerah dalam mengatasi dampak krisis
ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan program pengentasan
kemiskinan perkotaan (P2KP) dan berbagai program lain yang bersifat terencana
dan sistemik. Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program
pengentasan kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat
miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap tidak bisa
bangkit dari kondisi kemiskinannya.
Secara logis dapat disimpulkan bahwa ada yang
salah dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan karena tidak diiringi
dengan hasil yang signifikan. Sebagai permasalahan kompleks kemiskinan dapat
ditelaah dari berbagai sudut pandang. Berbagai ranah berpikir yang dirasa mampu
memberikan jawaban efektif dan membangun bagi pelaksanaan program pengentasan
kemiskinan dapat dijadikan salah satu acuan berpikir sebagai bahan
pertimbangan. Salah satu ranah berpikir dari berbagai bidang kajian perspektif
ilmu sosial adalah kajian keagamaan.
Buddhisme
sebagai agama (way of life) dengan penganut minoritas khususnya di
Indonesia mempunyai dasar filosofi bahwa hidup merupakan masalah dan
menawarkan jalan pengentasan terhadap permasalahan secara nyata. Kotbah pertama
Buddha secara tegas menjelaskan bahwa semua fenomena kehidupan mengandung
permasalahan namun dapat diatasi dengan menghilangkan faktor penyebab
masalah (S.V.421-422). Untuk
menghadapi masalah ini perlunya pengertian yang tepat tentang adanya penyadaran
terhadap praktek moralitas.
Praktek
moralitas sulit dicari satu kesamaan visi karena dalam penggalian maknanya
sendiri akan berlainan dikarenakan budaya dan kultur masyarakat yang berbeda.
Namun sebagai seorang Buddhis kita sendiri sudah mempunyai awalan dasar yakni
Pancasila Buddhis yang menjadi basik dari praktek moralitas itu sendiri.
Pedoman ini menjadi sangat penting karena apabila kita tidak mempunyai suatu
pedoman, maka manusia tidak bisa memilih yang terbaik untuk dirinya.
Pikiran,
merupakan satu point yang perlu diperhatikan disini. Ialah yang memberikan
batasan sendiri bagi kita untuk menilai suatu tindakan apakah termasuk dalam
moralitas atau sebaliknya. Sebelum kita melakukan suatu tindak laku, hendaknya
kita menggunakan Pikiran, apakah ia bermanfaat, membahagiakan dan mendamaikan
diri sendiri dan bagi semua makhluk. Hal ini tidak terbatas saja berlaku pada
kita sebagai seorang Buddhis, namun bagi semua manusia dan makhluk lain.
B.
Batasan masalah
Sehubungan
dengan masalah di atas, agar tidak terlalu meluas maka perlu adanya pembatasan
permasalahan dengan tujuan agar menghemat waktu, tenaga,dan biaya dalam
mengerjakan tugas makalah. Makalah ini membatasi pada permasalahan sesuai
dengan yang di tentukan oleh dosen pembimbing “Kemiskinan dan Kemerosotan Moral
Dalam Pandangan Agama Buddha”.
C.
Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian kemiskinan?
2. Apa pengertian moral?
3. Apakah sebab-sebab kemiskinan dan
kemerosotan moral?
4. Apakah hubungan kemiskinan dengan
kemerosotan moral?
5. Bagaimana cara mengatasi kemiskinan dan kemerosotan moral dalam pandangan agama Buddha?
D.
Tujuan
1. Mendiskripsikan kemiskinan.
2. Mendiskripsikan moral.
3. Mendiskripsikan
sebab-sebab kemiskinan dan kemerosotan moral.
4. Mendiskripsikan
hubungan kemiskinan dengan kemerosotan moral.
5. Mendiskripsikan
cara mengatasi kemiskinan dan kemerosotan moral dalam pandangan agama Buddha.
E.
Manfaat
1. Manfaat
Teoritis
a) Menambah wacana bagi para mahasiswa khususnya
mahasiswa STIAB Jinarakkhita tentang kemiskinan dan kemerosotan moral dalam
pandangan agama Buddha.
b) Sebagai bahan kepustakaan bagi STIAB
Jinarakkhita.
2. Manfaat Praktis
Bagi para mahasiswa dan masyarakat umum
khususnya umat buddhis agar dapat berpandangan luas ke depan menghadapi
permasalahan serta tantangan hidup dengan segala fenomena-fenomena yang terjadi
baik yang menyangkut batin, jasmani, dan rohani dan dapat mempraktekan hidup
dengan sewajarnya dengan berpedoman pada agama.
BAB II
KEMISKINAN DAN KEMEROSOTAN MORAL
DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
A.
Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan
adalah salah satu masalah kehidupan yang mengglobal, data statistik dari berbagai
belahan dunia menunjukkan permasalahan kemiskinan menjadi salah satu problem
utama pada tiap negara. Indonesia sebagai negara berkembang mengalami
permasalahan kemiskinan yang serius. Kemiskinan berasal dari kata dasar miskin
yang berarti tidak berharta benda; serba kekurangan atau berpenghasilan sangat
rendah (KBBI, 1991:660). Kemiskinan
berarti suatu keadaan yang serba kekurangan.
Menurut
agama Buddha kemiskinan adalah sesuatu yang buruk karena melibatkan dukkha.. Istilah bahasa Pali, dukkha, sebagaimana dapat ditunjukkan melalui argumentasi merupakan
konsep agama Buddha yang paling fundamental, tapi sering disalah pahami.
Biasanya terjemahan bahasanya adalah “penderitaan, frustasi, ketidakpuasan” ,
namun, “suatu kondisi kurang kesehatan, kebahagiaan, atau kesejahteraan”
barangkali merupakan terjemahan terbaik dalam konteks ini. Ilmu ekonomi yang
melibatkan pengumpulan kekayaan materi sebenarnya tersirat dari sabda buddha
yang pertama (dhammacakkapavattana
suttanta) sebagai bentuk matapencaharian benar (samma ajiva) yang dapat membantu proses pencerahan spiritual (S.V.421-422).
Tujuan jalur
Buddhis adalah mengakhiri dukkha
semua mahkluk (Vbh.237) dan itu tidak
melibatkan membuat perbedaan yang menyolok antara dukkha duniawi dan yang transendental. Sebagai sebuah filsafat dan
jalan hidup yang mengusung pelenyapan dukkha,
agama Buddha tidak dan tidak boleh menghargai kemiskinan yang merupakan sumber dukkha. Dalam salah satu sabdanya Buddha
mengatakan bahwa bagi orang yang menikmati kesenangan indriya, kemiskinan (daliddiya) merupakan kesengsaraan karena
akan membawa pada peminjaman dan peningkatan hutang, dan dengan demikian,
penderitaan pun bertambah (A.VI.45).
Berbagai
persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek,
sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat
terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan
tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah,
tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama
akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari
aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan
kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.
Kemiskinan
dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif
dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila
hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.
Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang
miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun
ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
B.
Pengertian Kemerosotan Moral
Moral
secara umum adalah suatu tindak laku berdasarkan kesepakatan antar individu di
dalam lingkungan itu sendiri. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran tentang
baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak,
budi pekerti, susila (KBBI, 1991:665).
Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat
nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu
atau kelompok (Sugeng, dkk, 1993:77).
Kata ‘moral’ bisa diartikan sama dengan etika, yaitu nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Moral merupakan kendali dalam tingkah laku (Sunarto & Hartono, 1998:168).
Moral, berasal dari kata latin "mos"
(jamak mores), yang berarti adat, cara hidup atau kebiasaan,
sesungguhnya memiliki arti yang sama dengan etika (ethos) dengan tekanan lebih kepada kelakuan lahiriah. Kata
"moral" berarti: 1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; sinonim dengan akhlak, budi pekerti, susíla; 2) kondisi mental yang membuat orang
tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan
perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; 3) ajaran kesusílaan yang dapat ditarik dari suatu
cerita (Wijaya-Mukti, 2003:176).
Moral merupakan ajaran tentang baik buruk suatu
perbuatan. Baik dan buruk suatu tindakan menurut pandangan masing-masing agama
berbeda, sehingga dalam membedakan antara tindakan yang baik dan buruk antara
pandangan yang satu dengan yang lain tidak sama. Perbedaan baik dan buruk dalam
Buddhisme sangat sederhana. Semua tindakan dikategorikan buruk jika bersumber
dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (ketidaktahuan). Semua tindakan
baik jika bersumber dari alobha
(tidak tamak), adosa (tidak benci), dan amoha (tidak bodoh) (D.III.275).
Moral dalam agama Buddha dipersepsikan sebagai síla, bertujuan praktis untuk menuntun
orang menuju tujuan akhir yaitu kebahagiaan tertinggi atau kesucian Nibbana.
Setiap individu bertanggung-jawab pada keberuntungan maupun
ketidak-beruntungannya, sehingga harus mengusahakan pembebasannya sendiri
melalui pemahaman dan usaha yang benar (Dhammananda,2003:211).
Teori etika atau moralitas umat Buddha terungkap
secara praktis dalam berbagai prinsip sebagai panduan umum untuk menunjukkan
arah menuju pembebasan akhir, dengan perimbangan antara moralitas negatif yang
melarang dan moralitas positif yang menganjurkan. Prinsip-prinsip dan rumusan
moralitas dapat kita temukan dalam nasehat Buddha (Buddha ovada) kepada
para siswa-Nya yang berbunyi: "... janganlah berbuat kejahatan, berbuatlah
kebajikan, sucikan hati dan pikiran ..." (Dhp. 183).
Merosot
berarti tergelincir turun; sangat menurun (KBBI,
1991:649). Jadi kemerosotan moral menunjukkan perilaku yang menyimpang dari
nilai moral dan norma yang berlaku. Tindak kriminal seperti pemerkosaan,
penindasan, perampokan, penodongan, tawuran, dan aksi terorisme hingga
kejahatan tingkat tinggi (white colar
crime) seperti korupsi, kolusi, nepotisme yang marak akhir-akhir ini
menunjukkan ketidakcerdasan atau merosotnya moral manusia. Kejujuran,
kebenaran, dan keadilan telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan (ringan
maupun berat), diantaranya tidak ada sikap saling menghormati, tenggang rasa,
meningkatnya budaya konsumerisme, adu domba, fitnah, menjilat, menipu,
berdusta, maupun mengambil hak orang lain.
C.
Sebab-sebab timbulnya kemiskinan dan
kemerosotan Moral
Masalah
kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam
bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini
mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan
kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan
sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara
yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun
1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa
itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya
belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan
terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran.
Ada dua
kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan
karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam
yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan
"buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat
membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan
berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah
sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu
terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai fenomena yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh munculnya
kebencian, keserakahan, maupun ketidaktahuan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab kemerosotan
dan ketidak-cerdasan moral, antara lain: (1) kurang tertanamnya rasa keberagamaan
dalam masyarakat; (2) keadaan masyarakat yang kurang stabil; (3) pendidikan
moral yang kurang terlaksana sebagaimana mestinya; (4) suasana rumah tangga
yang kurang baik; (5) pengenalan obat-obatan serta alat-alat anti hamil
(kontrasepsi) secara transparan; (6) banyaknya tulisan, gambar, siaran, serta
kesenian yang tidak mengindahkan dasar dan tuntunan moral; (7) kurangnya
bimbingan untuk mengisi waktu luang (leisure
time) dengan cara yang baik, dan membawa ke arah pembinaan moral; (8)
kurangnya tempat-tempat bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan remaja (Darajat, 1977: 13).
Cerita dari Cakkavati Sihanada Sutta adalah gambaran
sistem kepedulian sosial suatu negara yang kurang sebagai pemicu utama
kemiskinan dan berbagai tindak kejahatan. Penegasan yang lain terdapat dalam
sabda Buddha ”jika penguasa bersikap adil
dan baik maka para menteri
berlaku adil dan baik, jika para menteri berlaku adil dan baik maka para
pejabat eselon akan berlaku adil dan baik, jika
para pejabat eselon akan berlaku adil dan baik maka para bawahan bersikap adil dan baik, jika para
bawahan bersikap adil dan baik maka
rakyat menjadi adil dan baik” (D.III. 26).
D.
Hubungan kemiskinan dengan kemerosotan
Moral
Secara
tegas Buddha bersabda ”mereka yang pada masa mudanya tidak menjalankan
kehidupan benar, mengumpulkan kekayaan akan hidup miskin dan merana seperti
bangau tua yang hidup dalam kolam tanpa ikan” (Dhp.155). Kesucian spiritual dan kekayaan bukanlah dua hal yang
bertentangan melainkan dapat diatur sehingga saling menyumbangkan makna dan
melengkapi, Anathapindika dan Visaka merupakan contoh pengusaha yang kaya pada
jaman Buddha dan berhasil mencapai kesucian (Vin.II.158-159; Vin.I.292-294). Dari contoh tersebut dapat
dibuktikan bahwa Buddhisme tidak anti
terhadap kepemilikan materi dan kekayaan yang dapat menyebabkan kemerosotan
moral apabila tidak waspada dan lengah dalam hidup.
Secara lebih
tegas lagi Buddha bersabda seperti yang tertuang dalam kitab Anguttara Nikaya tika nipata bahwa terdapat tingkat kemiskinan dengan
perumpamaan bahwa beberapa orang seperti orang yang sepenuhnya buta karena
mereka tidak mempunyai visi untuk meningkatkan keadaan materil mereka, tidak
juga visi untuk menjalankan kehidupan yang tinggi secara moral. Orang-orang
lainnya seperti manusia bermata satu karena, meskipun mempunyai visi untuk
meningkatkan kondisi materil mereka, mereka tidak mempunyai visi untuk
menjalankan kehidupan yang tinggi secara moral; kelompok ketiga mempunyai visi
untuk meningkatkan keduanya. Ajaran-ajaran Buddhis tersebut secara tidak
langsung menyatakan bahwa ketika mengukur kemiskinan tidak cukup hanya menilai
kondisi-kondisi materil saja. Untuk penilaian kondisi kekurangan yang lebih
menyeluruh, kualitas moral kehidupan orang-orang perlu dimasukkan. Namun ini
bukan mengecilkan pentingnya mata pertama (kondisi materil).
Berdasarkan
sabda Buddha dalam Cakkavattisihanada
Sutta terdapat hubungan sebab akibat antara kemiskinan materil dan
kemerosotan sosial dan sistem pemerintahan suatu negara. Buddha menceriterakan
kisah seorang raja yang pada awalnya memuliakan dan mengandalkan ajaran Buddha,
melakukan sebagaimana yang dinasihatkan penasihat kerajaan untuk tidak
membiarkan kejahatan terjadi dalam kerajaan dan secara rutin memberikan dana
(properti) kepada kaum miskin. Tapi raja kemudian mulai memerintah menurut
idenya sendiri dan tidak memberikan properti kepada kaum papa, akibatnya
kemiskinan pun meluas. Karena kemiskinan seorang penduduk mengambil barang yang
tidak diberikan sehingga ditangkap oleh pihak kerajaan; saat raja menanyakan
sebab terjadinya pencurian, penduduk mengatakan bahwa tidak punya harta untuk
menyambung hidup. Raja akhirnya memberikan properti dengan mengatakan bahwa
properti itu akan cukup untuk melakukan usaha dan menopang keluarganya.
Tindakan pencurian yang dilakukan menjadi inspirasi bagi berkembangnya tindakan
pencurian dan berbagai bentuk kejahatan lainya, kerajaan menjadi tidak aman dan
kacau. Mendengar terjadi banyak pencurian dan kejahatan orang menyiapkan
berbagai alat pengaman berupa senjata tajam dan akhirnya terjadi banyak kasus
pembunuhan. Dengan demikian, dari tidak memberikan properti pada kaum papa,
kemiskinan meluas, dari berkembangnya kemiskinan, pengambilan akan apa yang
tidak diberikan meningkat, dari meningkatnya pencurian, meningkatlah penggunaan
senjata, dari meningkatnya penggunaan senjata, meningkatlah pembunuhan….” (D.III.69-70).
E.
Cara mengatasi kemiskinan dan kemerosotan
moral dalam pandangan agama Buddha
Buddhisme sebagai sebuah sistem petunjuk untuk
menjalani hidup menuju bahagia dalam filosofi awal berdirinya diarahkan pada
ranah praktis mengatasi masalah (Vin.I.21).
Kedewasaan filosofi buddhis dalam menganalisa suatu masalah kehidupan tercermin
dari cara pandang sebab akibat dan kausalitas (S.V.421-422), sehingga permasalahan dapat diatasi dengan benar.
Mengumpulkan kekayaan dengan menirukan filosofi lebah yang memperoleh madu
tanpa merusak bunga justru menguntungkannya (D.III.187).
Oleh karena itu, untuk
mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat yang timbul akibat kesenjangan
sosial, maka hendaknya setiap orang disadarkan akan kepedulian sosial dan
kepekaan lingkungan, karena ‘Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di
samping kepentingan diri sendiri adalah yang terbaik.’(Anguttara Nikaya II,
95; Digha Nikaya III, 233).
Selain itu, dalam mencari
nafkah hidupnya, seseorang hendaknya selalu dikondisikan untuk mendapatkan
penghasilan dengan cara yang sesuai dengan Dharma,
karena hal ini akan memberikan ketenangan dalam hidupnya sendiri maupun
keluarganya. Diterangkan dalam Dhamma
“….tetapi seseorang yang mengumpulkan kekayaan (1) dengan cara-cara yang sah
dan tanpa kekerasan; dan dengan berbuat demikian, (2) memperoleh kenikmatan dan
sukacita (3) dan ia membaginya dengan orang lain serta melakukan
perbuatan-perbuatan baik; dan (4) menggunakannya tanpa keserakahan dan
kehausan, tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam
penyalahgunaannya dan sadar akan tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut
dipuji dan tidak tercela dalam keempat segi itu” (Samyutta Nikaya IV, 331).
Dalam Kuradanda Sutta, Sang
Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk
mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk
memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian
dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha
dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Memberikan
pengarahan dan proaktif dalam jaman kemerosotan moral ini dan dilakukan sejalan
dengan memperhatikan tindak tanduk moralitas diri sendiri. Mengenai subjek yang
diberikan pengarahan, menerima atau tidak, menjalankan atau tidak,
memperhatikan atau tidak, itu semuanya berpulang kepada diri mereka sendiri.
Bila bukan kita yang proaktif, siapa lagi? Ibarat, kita meneladani Sang Guru
Buddha sebagai penunjuk Jalan.
Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan
moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian,
kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah
mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan malalui
kekuatan, takkan berhasil.
Suatu perbuatan dilakukan dengan jasmani, ucapan, dan
pikiran yang mengakibatkan kerugian atau menyakitkan, baik bagi diri sendiri
atau pihak lain, atau kedua-duanya, dinyatakan tidak baik, hasilnya
penderitaan, akibatnya penderitaan. Perbuatan seperti itu tidak boleh
dilakukan. Perbuatan yang baik tidak merugikan atau menyakitkan, baik bagi diri
sendiri atau pihak lain atau keduanya (M.I.415-419).
Moral manusia dalam pandangan agama Buddha
sebenarnya di dasarkan pada kehendak (cetana)
dan kehendak itu sendiri yang menentukan kamma.
Baik dan buruknya suatu tindakan tergantung pada pikiran dan kehendak untuk
melakukannya. Hubungan seperti ini bisa
terlihat bagaimana mental, moralitas, dan materi mempengaruhinya, tidaklah
mungkin seseorang melakukan pembunuhan dengan hati yang baik karena merenggut
kehidupan adalah semata ekspresi luar dari keadaan pikiran yang dikuasai oleh
kemarahan, kebencian, atau keserakahan (Dhammananda,2003:213).
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi berbagai fenomena yang terjadi adalah dengan
meningkatkan kecerdasan moral sebagai suatu sikap dan sifat individu yang
memiliki hasrat untuk bersikap bijaksana, sopan, murah hati, dalam kerelaannya
melihat dunia. Bertindak berdasarkan pengetahuan dengan kelembutan hati sebagai
suatu bentuk kecerdasan moral, merupakan suatu pengembangan kemampuan atau
kesempurnaan manusia dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari berdasarkan pada
etika atau síla sebagai landasannya.
Kesadaran
moral secara praktis perlu ditumbuhkan sejak dini, dimulai dari keluarga
sebagai unsur pokok dan lingkungan sebagai faktor pendorong dalam pelaksanaan
pendidikan moral yang diterangkan sebagai perpaduan sistem latihan untuk
membentuk batin yang berkualitas dan mampu serta bisa merealisasi kebahagiaan,
berfungsi sebagai pendorong dan faktor terpenting dalam melatih diri serta
tindakan untuk menghentikan perbuatan yang tidak baik sebagai perwujudan
kualitas tanpa cela pada orang bajik atau memiliki síla.
Pengembangannya
diwujudkan dalam rumusan latihan sebagai berikut; kemoralan (síla) yang
menjadi landasan latihan yang pertama sangat ditekankan dengan maksud membentuk
disiplin serta latihan pengendalian atau penarikan diri dari masyarakat yang mutlak
diperlukan, tanpa ada kesukaran dilanjutkan dengan pelaksanaan perenungan dan
konsentrasi sebagai latihan konsentrasi yang intensif dan mendalam secara
khusus mengklaim bahwa pandangan terang yang sampai puncak adalah pengembangan
empat kesunyataan mulia sebagai keistimewaannya. Realisasi dari keduanya adalah
pencapaian suatu pengetahuan atau kebijaksanaan dengan pandangan atau pemahaman
benar dan pikiran benar yang ditunjukkan dengan kebijaksanaan (pañña).
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Segala sesuatunya bila di lakukan dengan
pengertian benar dan berpedoman pada tiang agama maka segalanya akan
menjadi lebih baik, dengan menjauhkan
sebab-sebab derita yang timbul dari tanha
yang menyebabkan dukha hingga
kemerosotan batin. Dengan, seseorang yang sabar akan memperoleh kekuatan yang
besar. Menjadi sabar dan menahan hinaan tidak berarti menjadi lemah tetapi
kesabaran di gunakan untuk membangun pengalaman yang paling negatif seperti
kemiskinan dan kemerosotan moral untuk tumbuh dan belajar menjadi bijaksana (Hsing, 2003:10).
Buddhisme sebagai sebuah sistem petunjuk untuk
menjalani hidup menuju bahagia dalam filosofi awal berdirinya diarahkan pada
ranah praktis mengatasi masalah (Vin.I.21).
Kedewasaan filosofi buddhis dalam menganalisa suatu masalah kehidupan tercermin
dari cara pandang sebab akibat dan kausalitas (S.V.421-422), sehingga permasalahan dapat diatasi dengan benar.
Mengatasi
kemiskinan sebagai masalah yang komplek harus melibatkan berbagai faktor
termasuk moralitas penguasa negara, penegakan hukum dan berbagai fenomena
sosial (D.III.69-70). Pada dasarnya manusia tidak lepas dari
kausalitas-kausalitas yang melibatkan norma, moralitas, belas kasih, kesopanan,
kabijaksanaan dan lain sebagainya yang telah menjadi dasar peradaban untuk dapat
memicu kehidupan yang sewajarnya sebagai patokan masing-masing individu agar
tidak terjadi masalah-masalah yang buruk.
Kausalitas-kausalitas
ini didukung oleh pendidikan karena dengan pendidikan seseorang akan lebih tau
secara kondusif hidup dalam masyarakat sosial. Dalam hidup bermasyarakat kita
harus berbagi rasa penderitaan pada sesama sebagai wujud rasa toleransi tidak
hanya pada orang yang di cintai, pada semua mahluk yang merupakan ujian moral
kita sebagai mahluk sosial (Lama,
2003:43).
Masalah ini dapat di tunjukan pada Warga
miskin tidak hanya diperlakukan sebagai objek tetapi sebagai subyek yang
dituntut poduktivitas (A IV.281) dan kepedulian terhadap sesama (A
II. 95; D.III.233).
B.
Saran
Berdasarkan
pemaparan diatas penulis menyarankan kepada semua pihak untuk tidak lupa akan
pentingnya membina diri dan mengenal adanya kesadaran terhadap segala fenomena
yang ada. Walaupun kemiskinan meliputi kehidupan ini, namun apabila kita selalu
melatih kesabaran dalam memupuk kebajikan, moralitas, dan praktik dhamma maka kemerosotan moral akan
terkikis dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anguttara
Nikaya (the book of the gradual sayings). Trans pali-english by Woodward. 1972-1978.
London: PTS.
Daradjat, Zakiah. 1977. Membina
Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta:
Bulan Bintang.
Dhammananda, K. Sri.
2003. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Dhammapada
(the word of the doctrine). Trans pali-english by Norman. 2000.Oxford: PTS
Digha
Nikaya (dialoque of the buddha). Trans pali-english by Rhys davids. 1977b. London: PTS.
Hsing, Yun. 2004. Menjadi
Baik Etika Buddhis Sehari-hari. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Lama, Dalai. 2003.IPendekatan
Kemanusiaan menuju Perdamaian Dunia. Jakarta: Yayasan Dian Dharma.
Majjhima
Nikaya (the middle length sayings). Trans pali-english by Horner. 1989.London: PTS.
Samyutta
Nikaya (the book of kindred sayings) Trans pali-english by Woodward.1980.London: PTS.
Sutta
Nipata (the group of discourses).trans pali-english by Walpola rahula. 1984. London: PTS.
Sunarto & Hartono, Agung. 1998. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Vinaya
Pitaka (the book of discipline). Trans pali-english by Horner. 1966-1975. London: PTS.
Vibhanga
(the book of analysis).
Trans pali english by Patamakyaw Ashin Thittila. 1969. London: PTS.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan
Dharma Pembangunan.
0 komentar:
Posting Komentar