Pages

Selasa, 18 Maret 2014

Makalah Kemiskinan Dan Kemerosotan Moral Dalam Pandangan Agama Buddha

Makalah Kemiskinan Dan Kemerosotan Moral Dalam Pandangan Agama Buddha
Oleh: Putradi
Npm: 11110139


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hidup di tandai dengan ketidak kekalan (anicca), yang tidak kekal ini, menyimpang dari yang di harapkan sehingga menimbulkan ketidak puasan dan penderitaan (dukha). Berbagai masalah yang di hadapi masing-masing manusia  di kehidupan ini menimbulkan banyak kendala-kendala dalam menghadapi tantangan yang semakin mengglobal baik dari lapisan masyarakat bawah, sedang maupun masyarakat kalangan atas. Kebanyakan yang terjadi adalah masalah kemiskinan yang di hadapi kalangan bawah, hal ini juga tidak menuntut kemungkinan untuk kalangan-kalangan yang lainnya seperti kalangan atas meskipun mereka tidak menghadapi kesulitan perekonomian namun banyak terjadi hal yang lebih menyedihkan karena ketamakan atau lobha yang di miliki bisa terjadi kemungkinan mereka akan mengalami kemerosotan moral karena mereka lupa akan pentingnya membina diri dan mengenal adanya kesadaran. Kemiskinan yang terjadi di lapisan masyarakat bukan hanya karena kemiskinan materi namun hal ini bisa saja terjadi pada batin manusia yang di tujukkan dengan kemerosotan moral.

 Kemiskinan adalah salah satu masalah kehidupan yang mengglobal, data statistik dari berbagai belahan dunia menunjukkan permasalahan kemiskinan menjadi salah satu problem utama pada tiap negara. Indonesia sebagai negara berkembang mengalami permasalahan kemiskinan yang serius. Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT).
IDT merupakan Inpres No. 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut men­jadi krisis multidimensional, diluncurkan program daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan program pengentasan kemiskinan perkotaan (P2KP) dan berbagai program lain yang bersifat terencana dan sistemik. Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap tidak bisa bangkit dari kondisi kemiskinannya.
 Secara logis dapat disimpulkan bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan karena tidak diiringi dengan hasil yang signifikan. Sebagai permasalahan kompleks kemiskinan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Berbagai ranah berpikir yang dirasa mampu memberikan jawaban efektif dan membangun bagi pelaksanaan program pengentasan kemiskinan dapat dijadikan salah satu acuan berpikir sebagai bahan pertimbangan. Salah satu ranah berpikir dari berbagai bidang kajian perspektif ilmu sosial adalah kajian keagamaan.
Buddhisme sebagai agama (way of life) dengan penganut minoritas khususnya di Indonesia  mempunyai dasar filosofi bahwa hidup merupakan masalah dan menawarkan jalan pengentasan terhadap permasalahan secara nyata. Kotbah pertama Buddha secara tegas menjelaskan bahwa semua fenomena kehidupan mengandung permasalahan namun dapat diatasi dengan menghilangkan  faktor penyebab masalah (S.V.421-422).  Untuk menghadapi masalah ini perlunya pengertian yang tepat tentang adanya penyadaran terhadap praktek moralitas.
Praktek moralitas sulit dicari satu kesamaan visi karena dalam penggalian maknanya sendiri akan berlainan dikarenakan budaya dan kultur masyarakat yang berbeda. Namun sebagai seorang Buddhis kita sendiri sudah mempunyai awalan dasar yakni Pancasila Buddhis yang menjadi basik dari praktek moralitas itu sendiri. Pedoman ini menjadi sangat penting karena apabila kita tidak mempunyai suatu pedoman, maka manusia tidak bisa memilih yang terbaik untuk dirinya.
Pikiran, merupakan satu point yang perlu diperhatikan disini. Ialah yang memberikan batasan sendiri bagi kita untuk menilai suatu tindakan apakah termasuk dalam moralitas atau sebaliknya. Sebelum kita melakukan suatu tindak laku, hendaknya kita menggunakan Pikiran, apakah ia bermanfaat, membahagiakan dan mendamaikan diri sendiri dan bagi semua makhluk. Hal ini tidak terbatas saja berlaku pada kita sebagai seorang Buddhis, namun bagi semua manusia dan makhluk lain.

B.     Batasan masalah
Sehubungan dengan masalah di atas, agar tidak terlalu meluas maka perlu adanya pembatasan permasalahan dengan tujuan agar menghemat waktu, tenaga,dan biaya dalam mengerjakan tugas makalah. Makalah ini membatasi pada permasalahan sesuai dengan yang di tentukan oleh dosen pembimbing “Kemiskinan dan Kemerosotan Moral Dalam Pandangan Agama Buddha”.

C.    Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian kemiskinan?
2.      Apa pengertian moral?
3.      Apakah sebab-sebab kemiskinan dan kemerosotan moral?
4.      Apakah hubungan kemiskinan dengan kemerosotan moral?
5.      Bagaimana cara mengatasi kemiskinan dan  kemerosotan moral dalam pandangan agama Buddha?

D.    Tujuan
1.       Mendiskripsikan kemiskinan.
2.       Mendiskripsikan moral.
3.       Mendiskripsikan sebab-sebab kemiskinan dan kemerosotan moral.
4.       Mendiskripsikan hubungan kemiskinan dengan kemerosotan moral.
5.       Mendiskripsikan cara mengatasi kemiskinan dan kemerosotan moral dalam pandangan agama Buddha.





E.     Manfaat
 1. Manfaat Teoritis
a)      Menambah wacana bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa STIAB Jinarakkhita tentang kemiskinan dan kemerosotan moral dalam pandangan agama Buddha.
b)      Sebagai bahan kepustakaan bagi STIAB Jinarakkhita.
2.   Manfaat Praktis
Bagi para mahasiswa dan masyarakat umum khususnya umat buddhis agar dapat berpandangan luas ke depan menghadapi permasalahan serta tantangan hidup dengan segala fenomena-fenomena yang terjadi baik yang menyangkut batin, jasmani, dan rohani dan dapat mempraktekan hidup dengan sewajarnya dengan berpedoman pada agama.


BAB II
KEMISKINAN DAN KEMEROSOTAN MORAL
DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
A.    Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu masalah kehidupan yang mengglobal, data statistik dari berbagai belahan dunia menunjukkan permasalahan kemiskinan menjadi salah satu problem utama pada tiap negara. Indonesia sebagai negara berkembang mengalami permasalahan kemiskinan yang serius. Kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti tidak berharta benda; serba kekurangan atau berpenghasilan sangat rendah (KBBI, 1991:660). Kemiskinan berarti suatu keadaan yang serba kekurangan.
Menurut agama Buddha kemiskinan adalah sesuatu yang buruk karena melibatkan dukkha.. Istilah bahasa Pali, dukkha, sebagaimana dapat ditunjukkan melalui argumentasi merupakan konsep agama Buddha yang paling fundamental, tapi sering disalah pahami. Biasanya terjemahan bahasanya adalah “penderitaan, frustasi, ketidakpuasan” , namun, “suatu kondisi kurang kesehatan, kebahagiaan, atau kesejahteraan” barangkali merupakan terjemahan terbaik dalam konteks ini. Ilmu ekonomi yang melibatkan pengumpulan kekayaan materi sebenarnya tersirat dari sabda buddha yang pertama (dhammacakkapavattana suttanta) sebagai bentuk matapencaharian benar (samma ajiva) yang dapat membantu proses pencerahan spiritual (S.V.421-422).
Tujuan jalur Buddhis adalah mengakhiri dukkha semua mahkluk (Vbh.237) dan itu tidak melibatkan membuat perbedaan yang menyolok antara dukkha duniawi dan yang transendental. Sebagai sebuah filsafat dan jalan hidup yang mengusung pelenyapan dukkha, agama Buddha tidak dan tidak boleh menghargai kemiskinan yang merupakan sumber dukkha. Dalam salah satu sabdanya Buddha mengatakan bahwa bagi orang yang menikmati kesenangan indriya, kemiskinan (daliddiya) merupakan kesengsaraan karena akan membawa pada peminjaman dan peningkatan hutang, dan dengan demikian, penderitaan pun bertambah (A.VI.45).
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

B.     Pengertian Kemerosotan Moral
Moral secara umum adalah suatu tindak laku berdasarkan kesepakatan antar individu di dalam lingkungan itu sendiri. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1991:665).
Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu atau kelompok (Sugeng, dkk, 1993:77). Kata ‘moral’ bisa diartikan sama dengan etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral merupakan kendali dalam tingkah laku (Sunarto & Hartono, 1998:168).
Moral, berasal dari kata latin "mos" (jamak mores), yang berarti adat, cara hidup atau kebiasaan, sesungguhnya memiliki arti yang sama dengan etika (ethos) dengan tekanan lebih kepada kelakuan lahiriah. Kata "moral" berarti: 1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; sinonim dengan akhlak, budi pekerti, susíla; 2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; 3) ajaran kesusílaan yang dapat ditarik dari suatu cerita (Wijaya-Mukti, 2003:176).
Moral merupakan ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan. Baik dan buruk suatu tindakan menurut pandangan masing-masing agama berbeda, sehingga dalam membedakan antara tindakan yang baik dan buruk antara pandangan yang satu dengan yang lain tidak sama. Perbedaan baik dan buruk dalam Buddhisme sangat sederhana. Semua tindakan dikategorikan buruk jika bersumber dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (ketidaktahuan). Semua tindakan baik jika bersumber dari alobha (tidak tamak), adosa (tidak benci), dan amoha (tidak bodoh) (D.III.275).
Moral dalam agama Buddha dipersepsikan sebagai síla, bertujuan praktis untuk menuntun orang menuju tujuan akhir yaitu kebahagiaan tertinggi atau kesucian Nibbana. Setiap individu bertanggung-jawab pada keberuntungan maupun ketidak-beruntungannya, sehingga harus mengusahakan pembebasannya sendiri melalui pemahaman dan usaha yang benar (Dhammananda,2003:211).
Teori etika atau moralitas umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip sebagai panduan umum untuk menunjukkan arah menuju pembebasan akhir, dengan perimbangan antara moralitas negatif yang melarang dan moralitas positif yang menganjurkan. Prinsip-prinsip dan rumusan moralitas dapat kita temukan dalam nasehat Buddha (Buddha ovada) kepada para siswa-Nya yang berbunyi: "... janganlah berbuat kejahatan, berbuatlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran ..." (Dhp. 183).
Merosot berarti tergelincir turun; sangat menurun (KBBI, 1991:649). Jadi kemerosotan moral menunjukkan perilaku yang menyimpang dari nilai moral dan norma yang berlaku. Tindak kriminal seperti pemerkosaan, penindasan, perampokan, penodongan, tawuran, dan aksi terorisme hingga kejahatan tingkat tinggi (white colar crime) seperti korupsi, kolusi, nepotisme yang marak akhir-akhir ini menunjukkan ketidakcerdasan atau merosotnya moral manusia. Kejujuran, kebenaran, dan keadilan telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan (ringan maupun berat), diantaranya tidak ada sikap saling menghormati, tenggang rasa, meningkatnya budaya konsumerisme, adu domba, fitnah, menjilat, menipu, berdusta, maupun mengambil hak orang lain.

C.    Sebab-sebab timbulnya kemiskinan dan kemerosotan Moral
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai fenomena yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh munculnya kebencian, keserakahan, maupun ketidaktahuan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab kemerosotan dan ketidak-cerdasan moral, antara lain: (1) kurang tertanamnya rasa keberagamaan dalam masyarakat; (2) keadaan masyarakat yang kurang stabil; (3) pendidikan moral yang kurang terlaksana sebagaimana mestinya; (4) suasana rumah tangga yang kurang baik; (5) pengenalan obat-obatan serta alat-alat anti hamil (kontrasepsi) secara transparan; (6) banyaknya tulisan, gambar, siaran, serta kesenian yang tidak mengindahkan dasar dan tuntunan moral; (7) kurangnya bimbingan untuk mengisi waktu luang (leisure time) dengan cara yang baik, dan membawa ke arah pembinaan moral; (8) kurangnya tempat-tempat bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan remaja (Darajat, 1977: 13).
Cerita dari Cakkavati Sihanada Sutta adalah gambaran sistem kepedulian sosial suatu negara yang kurang sebagai pemicu utama kemiskinan dan berbagai tindak kejahatan. Penegasan yang lain terdapat dalam sabda Buddha ”jika penguasa bersikap adil  dan baik maka  para menteri berlaku adil dan baik, jika para menteri berlaku adil dan baik maka para pejabat eselon akan berlaku adil dan baik, jika  para pejabat eselon akan berlaku adil dan baik maka para bawahan  bersikap adil dan baik, jika para bawahan  bersikap adil dan baik maka rakyat menjadi adil dan baik” (D.III. 26).

D.    Hubungan kemiskinan dengan kemerosotan Moral
Secara tegas Buddha bersabda ”mereka yang pada masa mudanya tidak menjalankan kehidupan benar, mengumpulkan kekayaan akan hidup miskin dan merana seperti bangau tua yang hidup dalam kolam tanpa ikan” (Dhp.155). Kesucian spiritual dan kekayaan bukanlah dua hal yang bertentangan melainkan dapat diatur sehingga saling menyumbangkan makna dan melengkapi, Anathapindika dan Visaka merupakan contoh pengusaha yang kaya pada jaman Buddha dan berhasil mencapai kesucian (Vin.II.158-159; Vin.I.292-294). Dari contoh tersebut dapat dibuktikan bahwa Buddhisme tidak anti terhadap kepemilikan materi dan kekayaan yang dapat menyebabkan kemerosotan moral apabila tidak waspada dan lengah dalam hidup.
Secara lebih tegas lagi Buddha bersabda seperti yang tertuang dalam kitab Anguttara Nikaya tika nipata  bahwa terdapat tingkat kemiskinan dengan perumpamaan bahwa beberapa orang seperti orang yang sepenuhnya buta karena mereka tidak mempunyai visi untuk meningkatkan keadaan materil mereka, tidak juga visi untuk menjalankan kehidupan yang tinggi secara moral. Orang-orang lainnya seperti manusia bermata satu karena, meskipun mempunyai visi untuk meningkatkan kondisi materil mereka, mereka tidak mempunyai visi untuk menjalankan kehidupan yang tinggi secara moral; kelompok ketiga mempunyai visi untuk meningkatkan keduanya. Ajaran-ajaran Buddhis tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa ketika mengukur kemiskinan tidak cukup hanya menilai kondisi-kondisi materil saja. Untuk penilaian kondisi kekurangan yang lebih menyeluruh, kualitas moral kehidupan orang-orang perlu dimasukkan. Namun ini bukan mengecilkan pentingnya mata pertama (kondisi materil).
Berdasarkan sabda Buddha dalam Cakkavattisihanada Sutta terdapat hubungan sebab akibat antara kemiskinan materil dan kemerosotan sosial dan sistem pemerintahan suatu negara. Buddha menceriterakan kisah seorang raja yang pada awalnya memuliakan dan mengandalkan ajaran Buddha, melakukan sebagaimana yang dinasihatkan penasihat kerajaan untuk tidak membiarkan kejahatan terjadi dalam kerajaan dan secara rutin memberikan dana (properti) kepada kaum miskin. Tapi raja kemudian mulai memerintah menurut idenya sendiri dan tidak memberikan properti kepada kaum papa, akibatnya kemiskinan pun meluas. Karena kemiskinan seorang penduduk mengambil barang yang tidak diberikan sehingga ditangkap oleh pihak kerajaan; saat raja menanyakan sebab terjadinya pencurian, penduduk mengatakan bahwa tidak punya harta untuk menyambung hidup. Raja akhirnya memberikan properti dengan mengatakan bahwa properti itu akan cukup untuk melakukan usaha dan menopang keluarganya. Tindakan pencurian yang dilakukan menjadi inspirasi bagi berkembangnya tindakan pencurian dan berbagai bentuk kejahatan lainya, kerajaan menjadi tidak aman dan kacau. Mendengar terjadi banyak pencurian dan kejahatan orang menyiapkan berbagai alat pengaman berupa senjata tajam dan akhirnya terjadi banyak kasus pembunuhan. Dengan demikian, dari tidak memberikan properti pada kaum papa, kemiskinan meluas, dari berkembangnya kemiskinan, pengambilan akan apa yang tidak diberikan meningkat, dari meningkatnya pencurian, meningkatlah penggunaan senjata, dari meningkatnya penggunaan senjata, meningkatlah pembunuhan….” (D.III.69-70).

E.     Cara mengatasi kemiskinan dan kemerosotan moral  dalam pandangan agama Buddha
Buddhisme sebagai sebuah sistem petunjuk untuk menjalani hidup menuju bahagia dalam filosofi awal berdirinya diarahkan pada ranah praktis mengatasi masalah (Vin.I.21). Kedewasaan filosofi buddhis dalam menganalisa suatu masalah kehidupan tercermin dari cara pandang sebab akibat dan kausalitas (S.V.421-422), sehingga permasalahan dapat diatasi dengan benar. Mengumpulkan kekayaan dengan menirukan filosofi lebah yang memperoleh madu tanpa merusak bunga justru menguntungkannya (D.III.187).
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat yang timbul akibat kesenjangan sosial, maka hendaknya setiap orang disadarkan akan kepedulian sosial dan kepekaan lingkungan, karena ‘Orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan diri sendiri adalah yang terbaik.’(Anguttara Nikaya II, 95; Digha Nikaya III, 233).
Selain itu, dalam mencari nafkah hidupnya, seseorang hendaknya selalu dikondisikan untuk mendapatkan penghasilan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, karena hal ini akan memberikan ketenangan dalam hidupnya sendiri maupun keluarganya. Diterangkan dalam Dhamma “….tetapi seseorang yang mengumpulkan kekayaan (1) dengan cara-cara yang sah dan tanpa kekerasan; dan dengan berbuat demikian, (2) memperoleh kenikmatan dan sukacita (3) dan ia membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan-perbuatan baik; dan (4) menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam penyalahgunaannya dan sadar akan tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tidak tercela dalam keempat segi itu” (Samyutta Nikaya IV, 331).
Dalam Kuradanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Memberikan pengarahan dan proaktif dalam jaman kemerosotan moral ini dan dilakukan sejalan dengan memperhatikan tindak tanduk moralitas diri sendiri. Mengenai subjek yang diberikan pengarahan, menerima atau tidak, menjalankan atau tidak, memperhatikan atau tidak, itu semuanya berpulang kepada diri mereka sendiri. Bila bukan kita yang proaktif, siapa lagi? Ibarat, kita meneladani Sang Guru Buddha sebagai penunjuk Jalan.
Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan malalui kekuatan, takkan berhasil.
Suatu perbuatan dilakukan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran yang mengakibatkan kerugian atau menyakitkan, baik bagi diri sendiri atau pihak lain, atau kedua-duanya, dinyatakan tidak baik, hasilnya penderitaan, akibatnya penderitaan. Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan. Perbuatan yang baik tidak merugikan atau menyakitkan, baik bagi diri sendiri atau pihak lain atau keduanya (M.I.415-419).
Moral manusia dalam pandangan agama Buddha sebenarnya di dasarkan pada kehendak (cetana) dan kehendak itu sendiri yang menentukan kamma. Baik dan buruknya suatu tindakan tergantung pada pikiran dan kehendak untuk melakukannya. Hubungan seperti ini  bisa terlihat bagaimana mental, moralitas, dan materi mempengaruhinya, tidaklah mungkin seseorang melakukan pembunuhan dengan hati yang baik karena merenggut kehidupan adalah semata ekspresi luar dari keadaan pikiran yang dikuasai oleh kemarahan, kebencian, atau keserakahan (Dhammananda,2003:213).
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi berbagai fenomena yang terjadi adalah dengan meningkatkan kecerdasan moral sebagai suatu sikap dan sifat individu yang memiliki hasrat untuk bersikap bijaksana, sopan, murah hati, dalam kerelaannya melihat dunia. Bertindak berdasarkan pengetahuan dengan kelembutan hati sebagai suatu bentuk kecerdasan moral, merupakan suatu pengembangan kemampuan atau kesempurnaan manusia dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari berdasarkan pada etika atau síla sebagai landasannya.
Kesadaran moral secara praktis perlu ditumbuhkan sejak dini, dimulai dari keluarga sebagai unsur pokok dan lingkungan sebagai faktor pendorong dalam pelaksanaan pendidikan moral yang diterangkan sebagai perpaduan sistem latihan untuk membentuk batin yang berkualitas dan mampu serta bisa merealisasi kebahagiaan, berfungsi sebagai pendorong dan faktor terpenting dalam melatih diri serta tindakan untuk menghentikan perbuatan yang tidak baik sebagai perwujudan kualitas tanpa cela pada orang bajik atau memiliki síla.
Pengembangannya diwujudkan dalam rumusan latihan sebagai berikut; kemoralan (síla) yang menjadi landasan latihan yang pertama sangat ditekankan dengan maksud membentuk disiplin serta latihan pengendalian atau penarikan diri dari masyarakat yang mutlak diperlukan, tanpa ada kesukaran dilanjutkan dengan pelaksanaan perenungan dan konsentrasi sebagai latihan konsentrasi yang intensif dan mendalam secara khusus mengklaim bahwa pandangan terang yang sampai puncak adalah pengembangan empat kesunyataan mulia sebagai keistimewaannya. Realisasi dari keduanya adalah pencapaian suatu pengetahuan atau kebijaksanaan dengan pandangan atau pemahaman benar dan pikiran benar yang ditunjukkan dengan kebijaksanaan (pañña).


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Segala sesuatunya bila di lakukan dengan pengertian benar dan berpedoman pada tiang agama maka segalanya akan menjadi  lebih baik, dengan menjauhkan sebab-sebab derita yang timbul dari tanha yang menyebabkan dukha hingga kemerosotan batin. Dengan, seseorang yang sabar akan memperoleh kekuatan yang besar. Menjadi sabar dan menahan hinaan tidak berarti menjadi lemah tetapi kesabaran di gunakan untuk membangun pengalaman yang paling negatif seperti kemiskinan dan kemerosotan moral untuk tumbuh dan belajar menjadi bijaksana (Hsing, 2003:10).
Buddhisme sebagai sebuah sistem petunjuk untuk menjalani hidup menuju bahagia dalam filosofi awal berdirinya diarahkan pada ranah praktis mengatasi masalah (Vin.I.21). Kedewasaan filosofi buddhis dalam menganalisa suatu masalah kehidupan tercermin dari cara pandang sebab akibat dan kausalitas (S.V.421-422), sehingga permasalahan dapat diatasi dengan benar.
Mengatasi kemiskinan sebagai masalah yang komplek harus melibatkan berbagai faktor termasuk moralitas penguasa negara, penegakan hukum dan berbagai fenomena sosial (D.III.69-70). Pada dasarnya manusia tidak lepas dari kausalitas-kausalitas yang melibatkan norma, moralitas, belas kasih, kesopanan, kabijaksanaan dan lain sebagainya yang telah menjadi dasar peradaban untuk dapat memicu kehidupan yang sewajarnya sebagai patokan masing-masing individu agar tidak terjadi masalah-masalah yang buruk.
Kausalitas-kausalitas ini didukung oleh pendidikan karena dengan pendidikan seseorang akan lebih tau secara kondusif hidup dalam masyarakat sosial. Dalam hidup bermasyarakat kita harus berbagi rasa penderitaan pada sesama sebagai wujud rasa toleransi tidak hanya pada orang yang di cintai, pada semua mahluk yang merupakan ujian moral kita sebagai mahluk sosial (Lama, 2003:43).
 Masalah ini dapat di tunjukan pada Warga miskin tidak hanya diperlakukan sebagai objek tetapi sebagai subyek yang dituntut poduktivitas (A IV.281) dan kepedulian terhadap sesama (A II. 95; D.III.233). 
   
B.     Saran 
Berdasarkan pemaparan diatas penulis menyarankan kepada semua pihak untuk tidak lupa akan pentingnya membina diri dan mengenal adanya kesadaran terhadap segala fenomena yang ada. Walaupun kemiskinan meliputi kehidupan ini, namun apabila kita selalu melatih kesabaran dalam memupuk kebajikan, moralitas, dan praktik dhamma maka kemerosotan moral akan terkikis dengan sendirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anguttara Nikaya (the book of the gradual sayings). Trans pali-english by Woodward. 1972-1978. London: PTS.
Daradjat, Zakiah. 1977. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta:  Bulan Bintang.
Dhammananda, K. Sri. 2003. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Dhammapada (the word of the doctrine). Trans pali-english by Norman. 2000.Oxford: PTS

Digha Nikaya (dialoque of the buddha). Trans pali-english by Rhys davids. 1977b. London: PTS.
Hsing, Yun. 2004. Menjadi Baik Etika Buddhis Sehari-hari. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Lama, Dalai. 2003.IPendekatan Kemanusiaan menuju Perdamaian Dunia. Jakarta: Yayasan Dian Dharma.
Majjhima Nikaya (the middle length sayings). Trans pali-english by Horner. 1989.London: PTS.

Samyutta Nikaya (the book of kindred sayings) Trans pali-english by Woodward.1980.London: PTS.

Sutta Nipata (the group of discourses).trans pali-english by Walpola rahula. 1984. London: PTS.
Sunarto & Hartono, Agung. 1998. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Vinaya Pitaka (the book of discipline). Trans pali-english by Horner. 1966-1975. London: PTS.

Vibhanga (the book of analysis). Trans pali english by Patamakyaw Ashin Thittila. 1969. London: PTS.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.


0 komentar: