Pages

Rabu, 19 Maret 2014

Filsafat Buddhis Nirvana

Filsafat Buddhis Nirvana
 Oleh: Putradi
Npm: 11110139


Secara umum tujuan terakhir umat Buddha yaitu mencapai kebahagiaan tertinggi atau nirvana atau nibbana.Perlu diketahu pula bahwa nibbana atau nirvana merupakan summum bonum dari Buddhisme dan bahwa seorang yang telah mencapai tujuan terakhir ini disebut Arahat hal ini diungkapkan oleh cendekiawan Rune E.A Johansson dalam naskah tafsiran nya. Buddhisme seringkali dipandang sebagai sesuatu yang bersifat homogen daripada kenyataan yang sebenarnya. Maka dari itu Rune E.A Johansson menempatkan dirinya dan mulai bertugas mengumpulkan dan menuliskan semua bukti-bukti dalam Nikaya Pali seobyektif mungkin dan bila mungkin membiarkannya menjadi jelas dengan sendirinya dan tidak memaksakan penjelasan dari  luar terhadapnya.

Johansson membuat suatu usaha sendiri yang secara tekun ia lakukan agar dapat setia dalam usahanya menafsirkan ini,tapi tak beruntung bahwa  penafsiran yang sudah berabad abad tentang Nirvana telah terlalu membebaninya terutama masalah-masalah perbedaan yang serupa yang mengakibatkan perpecahan antar cendekiawan. Perbedaan penafsiran dapat dirasakan disebabkan oleh adanya terutama kenyataan bahwa konsepsi Nirvana dalam Buddhisme awal tidak diperiksa oleh sudut doktrin-doktrin lainnya seperti kausalitas,karma dan kelahiran kembali tetapi lepas dari mereka.
Konsep Nirvana lebih dari 2500 tahun, selama berabad-abad berbagai sarjana dan filsuf berusaha menjelaskan konsep ini menggunakan pengetahuan mereka yang terbatas. Bahkan konsep Nirvana jauh lebih luas dan sulit untuk menjelaskan dalam hal duniawi. Konsep awalnya Nirvana dijelaskan oleh Sang Buddha (566-486 SM).Buddha mencapai Pencerahan, pada usia 35 tahun, kebangkitan dengan sifat sejati dari realitas, yang adalah Nirvana (Kebenaran Mutlak). Kata Nirvana berasal dari akar makna 'untuk meniup' dan mengacu pada memadamkan api dari keserakahan, kebencian dan delusi.
Deskripsi mengenai Nirvana atau nibbana dalam Ittivutaka merupakan sumber yang paling berpengaruh untuk memahami konsep ini. Ada dua bentuk bentuk konsep Nirvana yaitu Nirvana dengan sisa (Saupadisesa,yaitu Nirvana yang dicapai dalam kehidupan ini) dan nirvana tanpa sisa (Anupadisesa,yaitu Nirvana dari arahat yang meninggal).

Marilah kita perhatikan dahulu keadaan dari pencapaian tingkat arahat dalam kehidupan ini. Uraiannya adalah sebagai berikut: ”Disini para bhikku, seorang bhikku menjadi seorang mulia yang telah menghancurkan rangsangan yang merusak (menjalani kehidupan luhur) telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan, menyampingkan beban,mencapai tujuan mulia, menghancurkan rintangan-rintangan kehidupan dan terbebas melalui pandangan benar. Ia mengendalikan kelima inderanya melalui alat tersebut karena mereka belum terhancurkan, ia mengalami rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dan merasakan kenikmatan dan kesakitan (atau kebahagiaan dan penderitaan). Berhentinya keinginan, kebencian, dan kesesatan ini disebut sebagai Nibbana dengan sisa.
Bentuk tertinggi dari meditasi yang dicapai Sang Buddha merupakan keadaan dari berhentinya pencerapan dan perasaan (sannavedayitani odha) yang kadang-kadang disebut sebagai keadaan berhenti (nirodhasampati). Pencapaian keadaan kesadaran tak terbedakan ini merupakan hasil pengendalian pikiran yang intensif. Bila pikiran dilatih untuk mencapai bukan keadaan tertinggi, melainkan hanya jhana keempat, pikiran ini akan menjadi luas dan liat, dan yogi itu dapat membelokkan atau mengarahkan pikirannya untuk mencerap benda-benda yang pada umumnya diluar jangkauan indera biasa. Pengembangan persepsi ekstrasensori ini dan pembuktian doktrin-doktrin seperti kelahiran kembali dan tanggung jawab moral dicapai melalui cara ini.
Tetapi bila seorang yogi mencapai tingkatan meditasi tertinggi,yang dicirikan dengan berhenntinya pencerapan dan perasaan,tidak dapat dikatakan bahwa ia merasakan sesuatu ia hanyalah tinggal diam dalam keadaan tersebut menikmati pesona kedamaian dan ketenangan karena ia tidak terganggu kesan-kesan yang mengalir kedalam dirinya melalui indrianya. Pesona kedamaian dan ketenangan ini hanya bersifat sementara. Setelah berdiam beberapa waktu dalam keadaan demikian yogi itu dapat kembali ke alam yang normal. Seringkali dapat kita temui acuan kepada kepada Sang Buddha juga arahat yang lain menikmati bentuk keheningan seperti ini. Kenyataannya menurut Mahaparinibanna Sutta,Sang Buddha mencapai keadaan ini beberapa waktu sebelum beliau wafat. Kemungkinan ini merupakan suatu usaha untuk mengatasi kesakitan yang datang menjelang kematiannya. Yang berikut adalah kesan yang orang dapatkan dari ungkapan Anuruddha.”Pikirannya teguh,tanpa nafas keluar dan nafas masuk. Ketika orang bijaksana ini wafat,bebas dari nafsu,telah menemukan kedamaian beliau menahan nyeri dengan pikiran aktif,pembebasan pikirannya serupa dengan padamnya lampu.”

Kalau demikian apa keadaan sebenarnya dari Nibbana dengan sisa (saupadisesa) dengan kata lain keadaan sebenarnya dari arahat yang hidup? Dalam penjelasan tentang prinsip kausal telah disebutkan bahwa menurutb Sang Buddha ppribadi manusia dan pengalaman manusia terjadi secara bersyarat. Ditegaskan disana bahwa ketika individu itu dilahirkan,indrianya mulai berfungsi dan melalui alat ini ia diberikan kesan-kesan baru. Kesan-kesan indria ini atau data indria (phasa) menghasilkan perasaan (vedana),menyenangkan,menyakitkan,atau netral. Dari sini secara sederhana dinyatakan bahwa dari perasaan timbul lah keinginan dan keinginan menimbulkan kemelekatan.
Dengan menjelaskan proses kausal ini kita tunjukan bahwa dalam proses ini pencerapan segera muncul nya perasaan,kesadaran diri ikut campur dan setelah mempengaruhi keseluruhan proses berpuncak pada bangkitnya godaan-godaan pikiran individu itu kemudian menjadi obyek yang tak beruntung dari godaan tersebut. Ikut campurnya kesadaran diri yang berpuncak pada kebangkitan godaan-godaan merupakan hasil dari ketidaktahuan. Ini merupakan pola bagi manusia biasa dalam berprilaku sewaktu mereka mengadakan kontak dengan dunia luar. Orang demikian disebut sebagai “orang yang mengikuti arus” (anusotagami),yakni orang yang menyerah kepada kecenderungannya mengikuti semuanya.
Yang dapat diperbedakan daripadanya adalah tiga tipe orang. Tipe pertama umumnya berusaha untuk menjalani kehidupan baik dengan menghindari perbuatan jahat. Dalam usaha ini ia boleh jadi menderita tetapi tidak menjadi takut karena penderitaan tersebut. Ia dapat dibandingkan dengan “Yang memasuki arus” (sotapanna) tetapi dalam konteks ini ia disebut sebagai orang yang melawan arus (patisotagami). Tipe kedua adalah orang yang telah lanjut dalam menjalani lintasan kemajuan spiritual dan telah mencapai tingkatan tak-kembali (anagami) karena ia telah mengahancurkan liam jenis rintangan (samyojana). Tipe terakhir adalah orang yang telah mencapai penerangan sempurna dan secara lengkap terbebas dan karenannya tetap tak ternoda oleh dunia ini,seperti orang yang menyebrang (parangatta) dan akan tetap aman walaupun disekelilingnya penuh dengan kerusuhan. Orang seperti ini telah melatih pikirannya melalui meditasi dan mampu mengendalikan sekehendak dirinya.

Dengan mencerap agregat yang membangun pribadi berbatin jasmani sebagai sesuatu yang tanpa inti (anatta) dan dengan mencegah kesadaran diri menghayutkan dirinya pada saat munculnya proses pencerapan,seorang siswa Arya yang terdidik bereaksi terhadap (nibbandatti) bentuk fisik (rupa) perasaan (vedanna) pencerapan(sanna),bentuk-bentuk mental (sankhara) dan kesadaran (vinnanna). Dengan bereaksi ia tak terikat ia tebebas dan dalam diri yang terbebas muncul pengetahuan kebebasan. Hancurlah kelahiran,hidup luhur,selesai sudah apa yang harus dikerjakan tak ada lagi penjelmaan akan datang.
Ini berarti bahwa dengan menghapus kesadaran diri melalui pengembangan kebijaksanaan, proses pencerapan yang normal berubah. Dengan tercapainya konsentrasi mental atau pengekangan (samvara), seseorang mampu mencegah masuknya gelombang kekotoran(kilesa) seperti keterikatan (raga) dan ketidaksukaan (patigha). Menurut uraian dalam sutta inilah yang disebut melawan arus (patisota) pola kausal normal. Namun ini berarti mewakili suatu pola kausal lain dengan faktor-faktor kausal yang berlainan.
Namun apakah kematian (marana) yang dikemukakan dimuka merupakan bahaya terbesar yang harus dihadapi manusia didunia ini? Seperti halnya dengan ketidakkekalan (aniccata),penderitaan (dukkhata) dan ketanpa intian (anattata) dari benda-benda didunia yang tidak dapat menyebabkan timbulnya kekuatiran atau rangsangan pada seseorang yang telah mengatasi keinginan (vittaraga),begitu pula kematian tidak dapat meliputi dirinya. Seperti inilah sikap arahat terhadap kematian. Kalau demikian apa keadaan sebenarnya dari immortalitas yang sering disebut itu? Menurut apa yang telah disebutkan sejauh ini immortalitas atau tanpa kematian hanyalah berarti tanpa kelahiran kembali (apunabbhava). Dengan dihapuskannya keinginan serta akibatnya berupa kesadaran bahwa ia terbebas,seseorang tidak akan tertarik lagi kepada keadaan setelah meninggal.
Sang Buddha mengenali dua proses kausal yang satu adalah ditentukan oleh bentuk-bentuk bersyarat (sankhatta) dan yang lain adalah tidak ditentukan oleh bentuk-bentuk bersyarat (asankhatta). Terdapat pula lima pancakkandha pada buddhisme awal yang dimaksudkan untuk mengantikan kepercayaan akan diri yang tetap,dengan demikian seorang yang mendukung kepercayaan akan suatu “ diri “ pada umumnya cenderung untuk mengartikan arahat meninggal dalam pengertian lima pancakkhanda, sang Buddha mencegah lima hal ini dengan mengatakan bahwa orang yang suci (Tathagata) yang sudah meninggal terbebas dari segala hal yang dapat disebut bentuk (rupa)

Pernyataan bahwa tathagata melepaskan lima pancakkhanda setelah meninggal dan pancakkhanda hancur seluruhnya tak berarti bahwa ia berada dalam bentuk lain. Sebagaimana halnya tak mungkin untuk mengetahui apakah tathagata atau arahat berkelangsungan hidup setelah meninggal. Sang Buddha berpendapat bahwa ia terhapus, ia akan merasa bersalah dengan mengatakan sesuatu yang tidak berlandaskan sumber pengetahuan apa pun, dengan cara yang paling masuk akal untuk menafsirkan pernyataan sang Buddha tentang persoalan ini dan tanpa menjadikan keliru adalah dengan mengatakan bahwa keadaan arahat setelah kematian tidak dapt diketahui melalui cara-cara untuk mendapat pengetahuan yang tersedia.
Ada satu bait dalam samyuta-nikaya yang membahas persoalan tentang keadaan dari arahat ketika kematian, seorang bhikkhu bernama Yamaka dikabarkan telah salah menafsirkan  sang Buddha dengan menyatakan bahwa menurut sang  Buddha “ seorang bhikkhu yang telah menghancurkan arus-arus akan terpecah-pecah dan hancur ketika tubuh mengurai, Yamaka mengakui bahwa semua pancakkhandha adalah tidak kekal, lalu sariputta menyatakan bahwa seorang yang telah menyadari hal ini tiba pada akhir dari tumimbal lahir, dan seterusnya.
Pernyataan lain dalam nikaya-nikaya pali, yang telah dikutip di muka, yang dapat dipakai untuk mendukung pandangan bahwa ada bentuk keberadaan yang lain, yang dicapai arahat setelah meninggal adalah hal yang selalu muncul dan berkaitan dengan pernyataan mengenai (anna) dari sang Buddha. Bunyinya sebagai berikut: “ tumimbal lahir telah dihancurkan, kehidupan luhur telah dijalani , apa yang harus dikerjakan telah  dikerjakan dan tak ada lagi kecenderungan akan kekinian (yakni tumimbal-lahir).







0 komentar: