Filsafat Buddhis Nirvana
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
Npm: 11110139
Secara
umum tujuan terakhir umat Buddha yaitu mencapai kebahagiaan tertinggi atau
nirvana atau nibbana.Perlu diketahu pula bahwa nibbana atau nirvana merupakan
summum bonum dari Buddhisme dan bahwa seorang yang telah mencapai tujuan
terakhir ini disebut Arahat hal ini diungkapkan oleh cendekiawan Rune E.A Johansson
dalam naskah tafsiran nya. Buddhisme seringkali dipandang sebagai sesuatu yang
bersifat homogen daripada kenyataan yang sebenarnya. Maka dari itu Rune E.A
Johansson menempatkan dirinya dan mulai bertugas mengumpulkan dan menuliskan
semua bukti-bukti dalam Nikaya Pali seobyektif mungkin dan bila mungkin
membiarkannya menjadi jelas dengan sendirinya dan tidak memaksakan penjelasan
dari luar terhadapnya.
Johansson
membuat suatu usaha sendiri yang secara tekun ia lakukan agar dapat setia dalam
usahanya menafsirkan ini,tapi tak beruntung bahwa penafsiran yang sudah berabad abad tentang Nirvana
telah terlalu membebaninya terutama masalah-masalah perbedaan yang serupa yang
mengakibatkan perpecahan antar cendekiawan. Perbedaan penafsiran dapat
dirasakan disebabkan oleh adanya terutama kenyataan bahwa konsepsi Nirvana dalam
Buddhisme awal tidak diperiksa oleh sudut doktrin-doktrin lainnya seperti
kausalitas,karma dan kelahiran kembali tetapi lepas dari mereka.
Konsep Nirvana lebih dari 2500 tahun, selama berabad-abad berbagai
sarjana dan filsuf berusaha menjelaskan konsep ini menggunakan pengetahuan
mereka yang terbatas. Bahkan konsep Nirvana jauh lebih luas dan sulit untuk
menjelaskan dalam hal duniawi. Konsep
awalnya Nirvana dijelaskan oleh Sang Buddha (566-486 SM).Buddha mencapai
Pencerahan, pada usia 35 tahun, kebangkitan dengan sifat sejati dari realitas,
yang adalah Nirvana (Kebenaran Mutlak). Kata Nirvana berasal dari akar makna
'untuk meniup' dan mengacu pada memadamkan api dari keserakahan, kebencian dan
delusi.
Deskripsi mengenai Nirvana atau nibbana dalam Ittivutaka merupakan
sumber yang paling berpengaruh untuk memahami konsep ini. Ada dua bentuk bentuk
konsep Nirvana yaitu Nirvana dengan sisa (Saupadisesa,yaitu Nirvana yang
dicapai dalam kehidupan ini) dan nirvana tanpa sisa (Anupadisesa,yaitu Nirvana dari
arahat yang meninggal).
Marilah kita perhatikan dahulu keadaan dari pencapaian tingkat arahat
dalam kehidupan ini. Uraiannya adalah sebagai berikut: ”Disini para bhikku, seorang
bhikku menjadi seorang mulia yang telah menghancurkan rangsangan yang merusak (menjalani
kehidupan luhur) telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan, menyampingkan
beban,mencapai tujuan mulia, menghancurkan rintangan-rintangan kehidupan dan
terbebas melalui pandangan benar. Ia mengendalikan kelima inderanya melalui
alat tersebut karena mereka belum terhancurkan, ia mengalami rasa yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan dan merasakan kenikmatan dan kesakitan
(atau kebahagiaan dan penderitaan). Berhentinya keinginan, kebencian, dan
kesesatan ini disebut sebagai Nibbana dengan sisa.
Bentuk tertinggi dari meditasi yang dicapai Sang Buddha merupakan
keadaan dari berhentinya pencerapan dan perasaan (sannavedayitani odha) yang
kadang-kadang disebut sebagai keadaan berhenti (nirodhasampati). Pencapaian
keadaan kesadaran tak terbedakan ini merupakan hasil pengendalian pikiran yang
intensif. Bila pikiran dilatih untuk mencapai bukan keadaan tertinggi, melainkan
hanya jhana keempat, pikiran ini akan menjadi luas dan liat, dan yogi itu dapat
membelokkan atau mengarahkan pikirannya untuk mencerap benda-benda yang pada
umumnya diluar jangkauan indera biasa. Pengembangan persepsi ekstrasensori ini
dan pembuktian doktrin-doktrin seperti kelahiran kembali dan tanggung jawab
moral dicapai melalui cara ini.
Tetapi bila seorang yogi mencapai tingkatan meditasi tertinggi,yang
dicirikan dengan berhenntinya pencerapan dan perasaan,tidak dapat dikatakan
bahwa ia merasakan sesuatu ia hanyalah tinggal diam dalam keadaan tersebut
menikmati pesona kedamaian dan ketenangan karena ia tidak terganggu kesan-kesan
yang mengalir kedalam dirinya melalui indrianya. Pesona kedamaian dan
ketenangan ini hanya bersifat sementara. Setelah berdiam beberapa waktu dalam
keadaan demikian yogi itu dapat kembali ke alam yang normal. Seringkali dapat
kita temui acuan kepada kepada Sang Buddha juga arahat yang lain menikmati
bentuk keheningan seperti ini. Kenyataannya menurut Mahaparinibanna Sutta,Sang
Buddha mencapai keadaan ini beberapa waktu sebelum beliau wafat. Kemungkinan
ini merupakan suatu usaha untuk mengatasi kesakitan yang datang menjelang
kematiannya. Yang berikut adalah kesan yang orang dapatkan dari ungkapan
Anuruddha.”Pikirannya teguh,tanpa nafas keluar dan nafas masuk. Ketika orang
bijaksana ini wafat,bebas dari nafsu,telah menemukan kedamaian beliau menahan
nyeri dengan pikiran aktif,pembebasan pikirannya serupa dengan padamnya lampu.”
Kalau demikian apa keadaan sebenarnya dari Nibbana dengan sisa
(saupadisesa) dengan kata lain keadaan sebenarnya dari arahat yang hidup? Dalam
penjelasan tentang prinsip kausal telah disebutkan bahwa menurutb Sang Buddha
ppribadi manusia dan pengalaman manusia terjadi secara bersyarat. Ditegaskan
disana bahwa ketika individu itu dilahirkan,indrianya mulai berfungsi dan
melalui alat ini ia diberikan kesan-kesan baru. Kesan-kesan indria ini atau
data indria (phasa) menghasilkan perasaan
(vedana),menyenangkan,menyakitkan,atau netral. Dari sini secara sederhana
dinyatakan bahwa dari perasaan timbul lah keinginan dan keinginan menimbulkan
kemelekatan.
Dengan menjelaskan proses kausal ini kita tunjukan bahwa dalam proses
ini pencerapan segera muncul nya perasaan,kesadaran diri ikut campur dan
setelah mempengaruhi keseluruhan proses berpuncak pada bangkitnya godaan-godaan
pikiran individu itu kemudian menjadi obyek yang tak beruntung dari godaan
tersebut. Ikut campurnya kesadaran diri yang berpuncak pada kebangkitan
godaan-godaan merupakan hasil dari ketidaktahuan. Ini merupakan pola bagi
manusia biasa dalam berprilaku sewaktu mereka mengadakan kontak dengan dunia
luar. Orang demikian disebut sebagai “orang yang mengikuti arus”
(anusotagami),yakni orang yang menyerah kepada kecenderungannya mengikuti
semuanya.
Yang dapat diperbedakan daripadanya adalah tiga tipe orang. Tipe
pertama umumnya berusaha untuk menjalani kehidupan baik dengan menghindari
perbuatan jahat. Dalam usaha ini ia boleh jadi menderita tetapi tidak menjadi
takut karena penderitaan tersebut. Ia dapat dibandingkan dengan “Yang memasuki
arus” (sotapanna) tetapi dalam konteks ini ia disebut sebagai orang yang
melawan arus (patisotagami). Tipe kedua adalah orang yang telah lanjut dalam
menjalani lintasan kemajuan spiritual dan telah mencapai tingkatan tak-kembali
(anagami) karena ia telah mengahancurkan liam jenis rintangan (samyojana). Tipe
terakhir adalah orang yang telah mencapai penerangan sempurna dan secara
lengkap terbebas dan karenannya tetap tak ternoda oleh dunia ini,seperti orang
yang menyebrang (parangatta) dan akan tetap aman walaupun disekelilingnya penuh
dengan kerusuhan. Orang seperti ini telah melatih pikirannya melalui meditasi
dan mampu mengendalikan sekehendak dirinya.
Dengan mencerap agregat yang membangun pribadi berbatin jasmani sebagai
sesuatu yang tanpa inti (anatta) dan dengan mencegah kesadaran diri menghayutkan
dirinya pada saat munculnya proses pencerapan,seorang siswa Arya yang terdidik
bereaksi terhadap (nibbandatti) bentuk fisik (rupa) perasaan (vedanna)
pencerapan(sanna),bentuk-bentuk mental (sankhara) dan kesadaran (vinnanna).
Dengan bereaksi ia tak terikat ia tebebas dan dalam diri yang terbebas muncul
pengetahuan kebebasan. Hancurlah kelahiran,hidup luhur,selesai sudah apa yang
harus dikerjakan tak ada lagi penjelmaan akan datang.
Ini berarti bahwa dengan menghapus kesadaran diri melalui pengembangan
kebijaksanaan, proses pencerapan yang normal berubah. Dengan tercapainya
konsentrasi mental atau pengekangan (samvara), seseorang mampu mencegah
masuknya gelombang kekotoran(kilesa) seperti keterikatan (raga) dan
ketidaksukaan (patigha). Menurut uraian dalam sutta inilah yang disebut melawan
arus (patisota) pola kausal normal. Namun ini berarti mewakili suatu pola
kausal lain dengan faktor-faktor kausal yang berlainan.
Namun apakah kematian (marana) yang dikemukakan dimuka merupakan bahaya
terbesar yang harus dihadapi manusia didunia ini? Seperti halnya dengan ketidakkekalan
(aniccata),penderitaan (dukkhata) dan ketanpa intian (anattata) dari
benda-benda didunia yang tidak dapat menyebabkan timbulnya kekuatiran atau
rangsangan pada seseorang yang telah mengatasi keinginan (vittaraga),begitu
pula kematian tidak dapat meliputi dirinya. Seperti inilah sikap arahat
terhadap kematian. Kalau demikian apa keadaan sebenarnya dari immortalitas yang
sering disebut itu? Menurut apa yang telah disebutkan sejauh ini immortalitas
atau tanpa kematian hanyalah berarti tanpa kelahiran kembali (apunabbhava).
Dengan dihapuskannya keinginan serta akibatnya berupa kesadaran bahwa ia
terbebas,seseorang tidak akan tertarik lagi kepada keadaan setelah meninggal.
Sang Buddha mengenali dua proses kausal yang satu adalah ditentukan
oleh bentuk-bentuk bersyarat (sankhatta) dan yang lain adalah tidak ditentukan
oleh bentuk-bentuk bersyarat (asankhatta). Terdapat pula lima pancakkandha pada
buddhisme awal yang dimaksudkan untuk mengantikan kepercayaan akan diri yang
tetap,dengan demikian seorang yang mendukung kepercayaan akan suatu “ diri “
pada umumnya cenderung untuk mengartikan arahat meninggal dalam pengertian lima
pancakkhanda, sang Buddha mencegah lima hal ini dengan mengatakan bahwa orang
yang suci (Tathagata) yang sudah meninggal terbebas dari segala hal yang dapat
disebut bentuk (rupa)
Pernyataan bahwa tathagata melepaskan lima pancakkhanda setelah
meninggal dan pancakkhanda hancur seluruhnya tak berarti bahwa ia berada dalam
bentuk lain. Sebagaimana halnya tak mungkin untuk mengetahui apakah tathagata
atau arahat berkelangsungan hidup setelah meninggal. Sang Buddha berpendapat
bahwa ia terhapus, ia akan merasa bersalah dengan mengatakan sesuatu yang tidak
berlandaskan sumber pengetahuan apa pun, dengan cara yang paling masuk akal untuk
menafsirkan pernyataan sang Buddha tentang persoalan ini dan tanpa menjadikan
keliru adalah dengan mengatakan bahwa keadaan arahat setelah kematian tidak
dapt diketahui melalui cara-cara untuk mendapat pengetahuan yang tersedia.
Ada satu bait dalam samyuta-nikaya yang membahas persoalan tentang
keadaan dari arahat ketika kematian, seorang bhikkhu bernama Yamaka dikabarkan
telah salah menafsirkan sang Buddha
dengan menyatakan bahwa menurut sang Buddha “ seorang bhikkhu yang telah
menghancurkan arus-arus akan terpecah-pecah dan hancur ketika tubuh mengurai,
Yamaka mengakui bahwa semua pancakkhandha adalah tidak kekal, lalu sariputta
menyatakan bahwa seorang yang telah menyadari hal ini tiba pada akhir dari
tumimbal lahir, dan seterusnya.
Pernyataan lain dalam nikaya-nikaya pali, yang telah dikutip di muka,
yang dapat dipakai untuk mendukung pandangan bahwa ada bentuk keberadaan yang
lain, yang dicapai arahat setelah meninggal adalah hal yang selalu muncul dan
berkaitan dengan pernyataan mengenai (anna) dari sang Buddha. Bunyinya sebagai
berikut: “ tumimbal lahir telah dihancurkan, kehidupan luhur telah dijalani ,
apa yang harus dikerjakan telah
dikerjakan dan tak ada lagi kecenderungan akan kekinian (yakni
tumimbal-lahir).
0 komentar:
Posting Komentar