BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Buddha
lahir pada abad ke-6 SM. Setelah mencapaiPenerangan Sempurna pada umur 35
sampai Mahaparinibbana pada umur 80, belau menghabiskan seumur hidupnya untuk
berdoa, berkhotbah, dan menyebarkan ajarannya. Selama 44 tahun, beliau mengajar
dan berkhotbah siang dan malam hanya tidur 2 jam sehari.
Buddha berbicara dengan
semua kalangan manusia: raja dan pangeran, brahmana, petani, pengemis, kaum
terpelajar dan orang biasa. Ajarannya disesuaikan dengan pengalaman, tingkat
pemahaman dan kapasitas mental pendengarnya. Apa yang diajarkannya dinamakan
Buddha Vacana. Saat itu tidak dikenal dengan apa yang dinamakan Theravada atau
Mahayana.
Setelah bentuknya
persekutuan Bhikkhu dan Bhikkhuni, Buddha menggariskan aturan-aturan disiplin
tertentu yang disebut Vinaya sebagai pedoman bagi persekutuan tersebut. Semua
ajarannya disebut Dhamma, termasuk juga wacana, sutra, khotbah kepada bhikkhu,
bhikkhuni dan orang biasa.
B. Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini agar para
mahasiswa dapat mengetahui pengertian mahayana serta konsili- konsili yang dibentuk pada saat Buddha Gautama
parinibana.
Dengan mengetahui
pengertian mahayana serta konsili-konsili kita bisa mengembangkan dan
mengajarkannya pada masyarakat pada umumnya.
C.
Manfaat
Semoga
dengan tersusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa sekolah
tinggi ilmu agama buddha dan masyarakat pada
umumnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
mahayana
Mahayana secara harafiah mempunyai arti:
Maha : berarti besar, luas, agung
Yana : berarti kendaraan atau kereta.
Mahayana berarti kendaraan besar yang mengangkut
pengemudi bersama penumpangnya mencapai suatu tempat tujuan yang sama. Ajaran
Buddha membimbing penganut-Nya seperti sebuah kendaraan besar yang mengangkut
pengemudinya bersama-sama para penumpangnya mencapai tempat tujuan yang sama
yaitu Nirvana. Mahayana (berasal dari bahasa Sansekerta , mahāyāna yang secara harafiah berarti
'Kendaraan Besar') adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian
filosofi dan ajaran Sang Buddha. Mahayana, yang dilahirkan di India, digunakan atas tiga pengertian
utama:
Sebagai tradisi yang masih berada,
Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada
hari ini, yang lainnya adalah Theravada. Pembagian ini seringkali
diperdebatkan oleh berbagai kelompok.
Menurut cara pembagian klasifikasi
filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada
tingkat motifasi spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana)
Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau
Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak
dianggap sebagai pendekatan yang sesuai. Menurut
susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur
pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua
lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha
Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.
Walaupun asal-usul keberadaan Mahayana mengacu pada Buddha Gautama, para
sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada abad ke 1 SM.
Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan utama dalam Agama Buddha di India
pada abad ke 5, mulai masa tersebut naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada
catatan prasasti di India. Sebelum abad ke 11 (ketika Mahayana masih berada di
India), Sutra-sutra Mahayana masih berada dalam proses perbaikan. Oleh karena
itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan
ini tidak dianggap oleh para sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.
Dalam
perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran
Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnam dan penganut Agama Buddha Tibet
(etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina
ke Tibet). Aliran Agama Buddha Mahayana
sekarang ini adalah "Pure Land", Zen, Nichiren, Singon, Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran
pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.
Asal Usul Mahayana
1.
Setelah Buddha Parinirvana barulah timbul pengelompokkan
sekte-sekte. Tidak lama setelah Buddha Parinirvana diadakan: Konsili I di
Rajagraha (membahas Dharma dan Vinaya) 543 SM 500 Arahat menyusun kembali
Doktrin ajaran Buddha.
2.
Konsili II di Vaisali 443 SM masa raja Ajatasatu sebagian
merasa perlu merubah beberapa aturan kecil sebagian tidak. Timbul tradisi yang
berbeda Sthaviravada(Theravada 247 SM) dan Mahasanghika (Mahayana 150 SM-100
M).
3.
Konsili III di Pataliputta pada tahun masa Raja Asoka
membahas pendapat yang dianut oleh Sangha.
4. Munculnya Mahayana yang dipelopori
oleh NAGARJUNA dan ARYA DEVA
5. Konsili IV (Titik Perkembangan
Mahayana)
6.
Tahun 78 SM di Kashmir dipimpin oleh Vasumitra dan Asvagosa
dilaksanakan atas anjuran Raja Kanisha. Merupakan titik awal perkembangan
Mahayana, dimana konsili IV ini tidak dihadiri oleh golongan Sarvastivada yang
merupakan sesepuh dari Theravada.
Buddha Dharma hanya ada satu yaitu
ajaran Sakyamuni Buddha yang berdasarkan cara atau metode latihan diri untuk
menjadi Buddha.
Buddha Dharma dibagi menjadi 2 tingkat
sebagai upaya untuk kemudian memberi bimbingan kepada para umat yaitu:
Ajaran yang membimbing umatnya
menjadi Arahat dan Pratyeka Buddha disebut sebagai Hinayana/Theravada (Ajaran
dasar).
Ajaran yang membimbing umatnya
menjadi Bodhisattva dan Samyak-Sambuddha disebut sebagai Mahayana (Ajaran yang
diperluas)
Secara
historis kemunculan mahayana dimulai sejak buddha gautama parinibhana(544 atau
487 SM), dan menjadi lengkap pada abad pertama. Selama setelah parinibhananya
buddha gautama dan menjelang abad tersebut bermuncullah aliran-aliran dalam
agama buddha. Oleh karenanya kemunculan mahayana perlu dilihat dari adanya
konsili-konsili
B. Persamuan Agung Pertama
Sang
Buddha mulai memberikan Vinaya setelah 20 tahun pencapaian Penerangan Sempurna.
Pada waktu itu mulai timbul perilaku bhikkhu-bhikkhu yang bukan saja merugikan
perkembangan spiritualnya sendiri, tetapi juga berpengaruh terhadap citra
Sangha dan agama Buddha pada umumnya.
Dari latar
belakang yang majemuk itu berbagai perilaku yang buruk dan perilaku lainnya
yang tidak sesuai dengan kehidupan seseorang samana menurut pandangan agama
Buddha. Oleh sebab itu, sewaktu Sang
Buddha masih hidup, setiap kali terjadi seorang bhikkhu melakukan perbuatan
yang dapat dicela oleh orang bijaksana, maka Sang Buddha menetapkan suatu
peraturan. Bilamana di kemudian hari ada peraturan itu dilanggar dan di
nyatakan bersalah. Dengan demikian makin lama makin banyak peraturan yang
ditetapkan oleh Sang Buddha. Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana, Arahat
Maha Kassapa melihat perlunya dikumpulkan Dharma yang pernah diajarkan oleh
Sang Buddha agar tidak timbul perselisihan
di kemudian hari di antara para pengikutnya.
Seminggu
setelah Buddha Gotama wafat (483 SM) seorang bhikkhu yang telah berusia tua
yang bernama Subhadda berkata:
“jangan
bersedih kawan-kawan, jangan meratap, sekarang kita terbebasa dari Petapa Agung
yang tidak lagi memberi tahu kita apa yang sesuai untuk di lakukan dan apa yang
tidak, yang membuat hidup kita menderita; tetapi kita sekarang dapat berbuat
apa saja yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi”.
(vinaya pitaka II, 284).
Setelah
mendengar ucapan bhikkhu Subhadda demikian, maka Arahay Maha Kassapa atas
bantua Raja Ajatasatu dari Magada, segera mengundang 500 orang Arahat berkumpul
untuk mengumpulkan semua ajaran Sang Buddha yang diwedarkan-Nya selama ini dan
menyusunnya secara sistematis.
Tiga bulan setelah Buddha
Mahaparinibbana, pengikut terdekatnya menyelenggarakan persamuan di Rajagaha.
Dalam Konsisli pertama ini yang dipimpin oleh Arahat Maha Kassapa yang
berlangsung selama tujuh bulan. Pada konsili pertama ini Arahat Upali mendapat
kehormatan untuk mengulang kembali Vinaya dan Arahat Ananda menulang kembali
Dharma yang disaksikan oleh para Arahat lainnya.
Hanya dua ajaran tersebut – Dhamma
dan Vinaya – yang dibawakan dalam Persamuan Pertama. Walaupun tidak ada
perbedaan pendapat mengenai Dhamma (tidak termasuk Abhidhamma), terdapat
beberapa diskusi mengenai aturan-aturan Vinaya. Sebelum Buddha parinibbana,
beliau memberitahu Ananda bahwa apabila Sangha ingin memperbaiki atau mengubah
beberapa aturan tidak mendasar, mereka dapat melakukannya. Akan tetapi pada
saat itu, Ananda sedang sangat berduka karena Buddha akan segera parinibbana
sehingga Ia tidak menanyakan kepada Buddha aturan-aturan mana yang dimaksudnya
tersebut. Karena anggota-anggota dari persamuan tidak mencapai kata sepakat
mengenai apa yang dimaksud dengan aturan-aturan tidak mendasar, Maha Kassapa
akhirnya menetapkan bahwa aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Buddha tidak
diubah dan tidak ada aturan baru yang ditambahkan. Tidak ada alasan-alasan yang
diberikan untuk itu. Maha Kassapa mengatakan sesuatu, bahwa: “ Bila kita
mengubah aturan-aturan, orang-orang akan berkata bahwa pengikut Yang Mulia
Gautama telah mengubah aturan-aturan bahkan sebelum api pemakaman dinyalakan”.
Dalam persamuan, Dhamma terbagi atas
beberapa bagian dan masing-masing bagian diserahkan kepada pengikut senior dan
murid-muridnya untuk dihafalkan. Kemudian, Dhamma diajarkan oleh guru kepada
murid-muridnya secara lisan. Dhamma dibaca setiap hari oleh sekelompok murid
yang sering memeriksa ulang satu sama lain untuk meyakinkan tidak ada yang
terlewatkan atau ditambahkan. Para ahli sejarah sepakat bahwa tradisi penuturan
lisan lebih akurat daripada tulisan yang dibuat oleh seseorang menurut apa yang
diingatnya setelah beberapa tahun kejadian.
Vinaya adalah sebutan secara
kolektif untuk peraturan latihn, disiplin dan teradisi kebhikkhuan serta
teradisi keviharaan. Dharma dan Vinay yang dikumpulkan dalam Konsisli Pertama
tersebut diterima dan disetujui sebagai
ajaran Sang Buddha. Ajaran inilah sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha
Gautama menjelang Beliau mencapai Parinibbana: ‘Jadikanlah Dhamma dan Vinaya
sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu”.
C. Persamuan Agung Kedua
Seratus tahun kemudian, diadakan Konsili
kedua untuk menyelesaikan perselisihan mengenai Vinaya. Tiga bulan setelah Sang
Buddha mencapai parinibana tidak dirasakan perlu untuk merobah Vinaya, walaupun
Sang Buddha memberikan sangha untuk merobah peraturan-peraturan kecil. Sang
Buddha juga bersabda, jika Vinaya tidak dikurangi dan ditambah maka Sangha akan
hidup rukun dan tidak akan terpecah.
Oleh karena itu ada penjelasan lebih
lanjut mengenai yang mana merupakan peraturan kecil serta dipandang tidak
pantas merubah Vinaya selagi “abu jenazah Sang Buddha masih panas”, maka mereka
tidak mengurangi maupun menambah Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha.
Akan tetapi, seratus tahun kemudian
sekelompok bhikkhu dari Vesali telah merubah beberapa peraturan yang mereka
pandang sebagai peraturan kecil. Kelompok bhikkhu lain menolak perubahan yang
dilakukan oleh bhikkhu-bhikkhu dari Vesali dan tetap berpegang pada Vinaya
sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha yang telah ditetapkan dan diterima
dalam Konsili Pertama.
Menghadapi perkembangan ini, atas
bantuan Raja Kalasoka diselenggarakan Konsili kedua di Vesali yang merupakan
tempat terjadinya penyimpangan Vinaya. Dalam Konsili ini, Dharma dan Vinaya
yang dihafal dan diturunkan secara lisan diucap ulang oleh 700 Arahat. Dalam
Konsili ini bhikkhu-bhikkhu yang menyimpang dari Vinaya yang diberikan oleh
Sang Buddha disalahkan.
Pada Konsili Pertama para Arahat
diakui otoritasnya dalam menentukan mana yang Dharma dan mana yang bukan
Dharma; mana yang Vinaya dan mana yang bukan Vinaya. Akan tetapi, seratus tahun
kemudian dalam Konsili kedua otoritas para Arahat itu digugat oleh sekelompok
bhikkhu yang dipimpin oleh bhikkhu Mahadeva. Mereka berpendapat, bahwa dalam
menentukan Dharma dan Vinaya tidak dibedakan antara Arahat dan bukan Arahat.
Sekelompok yang menggugat otoritas
Arahat (yang jumlahnay besar) memisahkan diri dan mengadakan konsili sendiri.
Kelompok ini dinamakan Mahasanghika (kelompok besar) dan kelompok yang
memandang bahwa para Arahat yang mempunyai otoritas menentukan Dharma dan
Vinaya disebut Staviravada (Sansekerta) atau Teravada (Pali). Dalam
perkembangan selanjutnya Teravada dan Mahasanghika, masing-masing terpecah lagi
dalam berbagi sekte.
Dikatakan
bahwa sebab diadakan konsili ini menyangkut perbedaan soal penafsiran ajaran,
yang menjadikan sangha terpecah menjadi dua golongan: Mahasangika dan Sthaviravada.
Tradisi
Theravadayang berlulur pada golongan Sthaviravada lebih menekankan pada
perbedaan-perbedaan vinaya, sedangkan Mahasangika yang menjadi leluhur Mahayana
menekankan pada soal perbedaan penafsiran pada ajaran.
Golongan
Sthaviravada menyebut golongan Mahasangika sebagai bhikkhu papa (bhikkhu
amoral). Golongan Mahasangika menangkis tuduhan sebagai pelunakan vinaya, dan
menyatakan bahwa vinaya yang dipegangnya adalah sesuai dengan pemahamannya
terhadap jalan tengah Buddha yang merupakan budaya spiritual buddhis yakni
sebagai metode untuk menghindari dua bentuk keekstriman; sikap hedositik
(pemanjaan diri dalam kesenangan-kesenangan inderia) dan ekstisme (peraktek
penyiksaan diri yang berlebihan ).
Dalam
vinaya, metode jalan tengah menyiratkan tekanan kepada disiplin mental
ketimbang pada disiplin fisik, atau
disiplin vinaya secara harafiah.
Setelah
konsili kedua sampai kira—kira abad 1 Masehi merupakan masa dari kemunculan
aliran-aliran atau sekte-sekte dalam agama buddha. Periode ini sering disebut
sebagai periode The School Of Buddhism atau masa munculnya aliran-aliran
pikiran dalam agama buddha, sedangkan masa sebelum itu yaitu semasa hidupnya
Sang Buddha disebut The Primitive Buddhism atau masa Buddhisme Dasar.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mahayan
merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi agama buddha yang ada hari ini,
yang lainnya adalah teravada .pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh
berbagai kelompok. Mahayana juga merujuk pada tingkat motifasi spiritual yang
di kenal juga dengan sebutan bodhisattvayana atau shravakayana.
Mahayana pada
umumnya sebagai perkembangan ajaran buddha yang berdasarkan pada teori
kekosongan(Sunyata) Dan mengarah ke bentuk Bodhisattva Mahluk Suci yang
bertekat untuk menolong semua mahluk tampa pamrih dan menyempurnakan parami.
Pada dasarnya tujuan terakhir dari Aliran Mahayana sama deengan Aliran Terawada
atau pun yang lainnya yaitu memutuskan belenggu batin yang menyebabkan
kemerosotan batin seseorang dan mencapai pencerahan dengan kembali pada Ajaran
Budddha Jalan Mulia Berunsur Delapan.
B.
Saran
Berdasarkan dari
makalah yang di susun penulis semoga dapat bermanpaat bagi para mahasiswa
Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) dan dapat menambah semangat membaca
demi memperluas pengetahuan dalam Buddha dhamma dan tentang mahayana ini demi
memajukan agama Buddha di Indonesia.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan semua mahluk. Penulis menyadari penulisan makalah ini masih
jauh dari sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaam makalah yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar