Bersama
Ven S. Dhammika
1. Agama lain menerima gagasan
tentang hal yang benar dan yang salah dari perintah “Tuhan”. Anda umat Buddha,
tidak percaya akan Tuhan sebagai suatu pribadi, jadi bagaimana Anda tahu mana
yang benar dan mana yang salah?
Semua pikiran, ucapan, atau
perbuatan yang dilandasi keserakahan, kebencian, dan itikad buruk yang
menjauhkan dari pencapaian kesucian – Nibbana, adalah hal yang salah. Sedangkan
pikiran, ucapan, atau perbuatan yagn dilandasi cinta kasih, welas asih, dan
kebijaksanaan, yang mendukung penyucian jalan ke Nibbana adalah hal yang baik.
Dalam
agama theosentris, benar salahnya suatu perbuatan biasanya dinilai dari
kesesuaiannya dengan perintah Tuhan (yang termaktub dalam kitab suci). Namun dalam
agama humanosentris seperti agama Buddha, untuk mengetahui yang baik dan yang
buruk, Anda harus mengembangkan pengertian dan kesadaran diri secara mendalam.
Tata susila yang didasarkan pada pengertian dan kebijaksanaaan senantiasa lebih
unggul dibanding berdasarkan ketaatan pada perintah semata. Untuk membedakan
hal yang baik dan yang buruk, umat Buddha berpedoman pada tiga hal: tujuan,
akibat yang menimpa diri sendiri, dan akibat yang akan menimpa orang lain.
Apabila suatu tindakan bertujuan baik (dilandasi cinta kasih, welas asih dan
kebijaksanaan); apabila berguna bagi diri sendiri dan orang lain untuk
mengembangkan cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan, maka tindakan
tersebut adalah bermanfaat, baik, dan patut diteladani. Tentu saja ada berbagai
pertimbangan. Kadang kita bermaksud melakukan suatu tujuan mulia, tetapi bisa
jadi tindakan tersebut tidak bermanfaat batin diri sendiri maupun bagi orang
lain. Kadang tujuan kita jauh dari kebaikan, namun tindakan kita justru
menguntungkan orang lain. Di kesempatan lain, tindakan kita sama sekali tak
bertujuan baik, hanya menguntungkan diri sendiri, namun menyebabkan penderitaan
pihak lain. Dalam hal ini, tindakan kita merupakan campuran antara hal yang
baik dan yang buruk. Apabila kita bertujuan buruk, tak berguna bagi diri
sendiri, tak bermanfat bagi orang lain, hal seperti ini adalah buruk. Sedangkan
bila tujuan kita baik, dan tindakan kita bermanfaat baik bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain, hal ini sungguh baik.
2.
Jadi agama Buddha memiliki aturan moralitas?
Benar.
Umat Buddha memiliki lima dasar moralitas umat Buddha yang disebut sebagai
Panca Sila (dari bahasa Pali : lima dasar moralitas),
Sila pertama adalah menghindari pembunuhan atau menyakiti segala bentuk kehidupan;
Sila kedua adalah menghindari pencurian atau mengambil yang tidak diberikan;
Sila ketiga adalah menghindari tindakan asusila (penyelewengan seksual);
Sila keempat menghindari diri dari berbohong dan berkata yang tidak benar (berkata kasar, fitnah, dll);
Sila kelima, menghindari diri dari penggunaan bahan-bahan yang dapat menyebabkan melemahnya atau berkurangnya kesadaran/ketagihan.
Sila pertama adalah menghindari pembunuhan atau menyakiti segala bentuk kehidupan;
Sila kedua adalah menghindari pencurian atau mengambil yang tidak diberikan;
Sila ketiga adalah menghindari tindakan asusila (penyelewengan seksual);
Sila keempat menghindari diri dari berbohong dan berkata yang tidak benar (berkata kasar, fitnah, dll);
Sila kelima, menghindari diri dari penggunaan bahan-bahan yang dapat menyebabkan melemahnya atau berkurangnya kesadaran/ketagihan.
3.
Tentu saja suatu ketika kita perlu membunuh. Misalnya memberantas serangga
pembawa wabah penyakit, atau membunuh demi mempertahankan diri.
Mungkin
hal itu baik bagi Anda. Tetapi bagaimana dengan makhluk yang Anda bunuh?
Seperti halnya Anda, mereka juga berharap untuk tetap hidup. Tindakan membunuh
mungkin bermanfaat bagi diri sendiri (baik), namun tak elak lagi merugikan
makhluk lain (buruk). Jadi suatu ketika mungkin perlu membunuh, namun sekali
lagi hal ini tidaklah benar-benar baik. Umat Buddha berusaha menghargai semua
bentuk kehidupan, dan melatih diri sebisa mungkin tidak menyakiti makhluk
apapun.
4.
Anda juga memperhatikan semut dan kutu?
Umat
Buddha berusaha mengembangkan sikap welas asih yang tidak membeda-bedakan,
melingkupi seluruh bentuk kehidupan. Kami melihat dunia sebagai suatu kesatuan
dimana setiap makhluk dan segala sesuatu menempati fungsinya masing-masing.
Kami sangat berhati-hati untuk tidak merusak atau mengganggu keseimbangan alam.
Lihatlah budaya mengeksploitasi alam yang disertai perusakan, manusia mengambil
semuanya, tak bersisa, manusia berusaha menguasai dan menundukkan alam.
Keseimbangan alam terganggu. Udara segar, tanah, sungai, dan laut tercemari;
hewan dan tumbuhan mendekati kepunahan; bahkan iklim pun berubah. Seandainya
saja manusia tidak terlalu serakah, situasi yang mencemaskan ini mungkin tidak
akan terjadi. Kita semua seharusnya berusaha lebih menghargai kehidupan. Inilah
yang dikatakan oleh Sila Pertama.
5.
Mengenai berdusta, mungkinkah hidup tanpa berdusta?
Jika
benar-benar tidak mungkin hidup dalam masyarakat atau berbisnis tanpa berdusta,
hendaknya kita tidak merugikan orang lain. Umat Buddha berupaya melatih diri
untuk hidup lebih jujur dan berterus terang. Sekali lagi, Pancasila Buddhis
bukan merupakan suatu dogma semata, melainkan lebih sebagai tuntunan sikap
terhadap diri sendiri, sesama, dan alam semesta.
6.
Baiklah, bagaimana dengan alkohol? Saya kira minum sedikit saja tidak akan
memabukkan.
orang
minum alkohol dengan bukan untuk suatu rasa. Ada yang minum untuk mencari
pelarian dari tekanan hidup, ada juga yang minum untuk pergaulan. Sedikit saja
alkohol bisa memperngaruhi atau mengganggu kesadaran diri, apalagi dalam jumlah
besar, alkohol sangat merusak tubuh dan pikiran.
7.
Apakah minum alkohol sedikit saja dikatakan melanggar sila? Bukanlah itu hal
yang sepele?
Memang
sepele. Tetapi bila untuk hal-hal yang sepele saja Anda tidak bisa, berarti
tanggung jawab dan tekad Anda tidak cukup kuat; bagaimana mungkin Anda bisa
melatih diri untuk hal-hal yang lebih besar?
8.
Pancasila Buddhis bersifat negatif. Pancasila memuat hal-hal yang hendaknya
tidak dilakukan, tetapi tidak mengatakan hal-hal yang hendaknya dilakukan.
Pancasila
merupakan dasar moralitas umat Buddha, jadi belum mencakup semuanya. Kita mulai
belajar mengenali kebiasaan buruk alamiah kita dan berusaha untuk
menghentikannya. Itulah fungsi Pancasila sebagai dasar. Setelah kita berhenti
berbuat buruk, kemudian kita mulai berbuat baik. Sebagai contoh, berbicara.
Sang Buddha menganjurkan agar mulai dengan manahan diri untuk tidak berbicara
tidak benar.
Selanjutnya,
kita berbicara dengan benar, halus, sopan, dan pada saat yang tepat. Beliau
bersabda:
“Meninggalkan
pembicaraan yang tidak benar, dia menjadi pembicara kebenaran, dapat
diandalkan, dapat dipercaya, dia tidak memperdayai dunia. Meniggalkan
pembicaraan yang jahat, dia tidak mengulang di sana apa yang dia dengar di
sini, tidak mengulang di sini apa yang dia dengar di sana, dalam upaya memecah
belah mesyarakat. Dia mendamaikan yang bermusuhan dan mengakrabkan kembali yang
berseteru. Keharmonisan adalah kegembiraannya, keharmonisan adalah
kebahagiaannya, keharmonisan adalah kasih sayangnya, inilah yang mendorong dia
berbicara. Meninggalkan pembicaraan yang kasar, dia berbicara tanpa cela,
nyaman didengar, ramah tamah, menggembirakan hati, halus tutur katanya, disukai
banyak orang. Meninggalkan obrolan kosong, dia berbicara pada saat yang tepat,
apa yang sebenarnya, tidak bertele-tele, mengenal Dhamma dan kedisiplinan. Dia
membicarakan hal yang bermanfaat dan berharga, sesuai dengan keadaannya, pantas
untuk diungkapkan, dirumuskan dengan baik, dan tepat pada sasarannya.” (MI 179)
Sumber: http://www.dhammacakka.org/forum/archive/index.php?t-
0 komentar:
Posting Komentar