Empat
Kebenaran Mulia Sebuah pendekatan Modern
Oleh
: Willy Yandi Wijaya
Salah satu pi lar ajaran Buddha yang
mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti yang tersirat di dalam Empat
Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Di berbagai bagian Sutta Pitaka[1]
dapat kita temukan cara berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep
Empat Kebenaran Mulia. Cara berpikir tersebut adalah:
- Memahami Suatu Masalah dan menganalisa masalah tersebut
- Menyadari dan menemukan ada penyebab masalah tersebut
- Mengetahui bahwa masalah dapat teratasi dan mencari cara penyelesaiannya
- Menemukan cara mengatasi masalah tersebut dan Menjalankan caranya
Hal tersebut menunjukkan kecerdasan
Sang Buddha dan cara berpikir yang logis. Empat Kebenaran Mulia disadari oleh
Buddha Gautama ketika beliau mencapai pencerahan :
“Ketika pikiranku yang
terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda, bebas dari
ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak
terganggu, aku mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda[2].
Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’,
‘Inilah asal mula penderitaan’, ‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah jalan
menuju berhentinya penderitaan’; Secara langsung aku mengetahui sebagaimana
adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-noda’, ‘Inilah berhentinya
noda-noda’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”[3]
Empat Kebenaran Mulia ini adalah
ajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Sang Buddha dalam khotbah pertamanya
di Benares[4]. Selain itu Empat Kebenaran Mulia juga adalah ajaran khusus para
Buddha[5], yang berarti setiap Buddha selalu mengajarkan 4 Kebenaran Mulia ini
walaupun dengan bahasa yang berbeda atau sistematisasi pembagian ajaran yang
berbeda.
Empat
Kebenaran Mulia tersebut adalah sebagai berikut:
- Kebenaran Mulia tentang adanya ‘penderitaan’ (dukkha)
- Kebenaran Mulia tentang penyebab penderitaan
- Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan
- Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan
Di
sini akan dibahas masing-masing perbagian sesuai dengan sutta-sutta[6]
dalam Tripitaka, khususnya Sutta Pitaka.
Diagram 4 kebenaran mulia dan Jalan
Mulia Berunsur Delapan
Kebenaran
Mulia tentang Adanya ‘Penderitaan’ (dukkha)
Kata penderitaan yang digunakan di
sini mewakili kata dukkha, walaupun tidak sepenuhnya dapat mewakili
makna kata dukkha. Sebelum lebih lanjut membahas tentang
penderitaan (dukkha), kita akan melihat definisi dukkhayang
ada di dalam Kitab Suci Tripitaka.
“Kelahiran adalah penderitaan;
menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah
penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan
(ketidaksenangan) dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa
yang diinginkan adalah penderitaan Dengan kata lain Lima kelompok kehidupan (Pancakhandha)
yang dipengaruhi kemelekatan adalah penderitaan (dukkha).”[7]
Definisi dukkha
(penderitaan) di dalam Kitab Tripitaka terdapat di dalam beberapa sutta.
Pengulangan yang berkali-kali menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap
Empat Kebenaran Mulia, salah satunya memahami bahwa hidup itu diliputi dukkha
(penderitaan)
Memang jika diterjemahkan sebagai
penderitaan, kata dukkha akan membuat seolah-olah bahwa agama
Buddha memandang hidup adalah pesimis. Namun, dukkha bukan hanya
berarti penderitaan dalam artian biasa. Penderitaan disini yang dimaksud adalah
penderitaan dari ketidakpuasan seseorang terhadap suatu hal, padahal apapun
pasti berubah. Dukkha bisa diartikan sebagai penderitaan karena
tidak bisa menerima perubahan.
Sebelum membahas lebih jauh
tentang dukkha, perlu diketahui bahwa ciri semua hal yang ada di
dunia ini bersifat ‘selalu berubah’. Ini adalah sesuatu yang pasti. Perubahan
selalu terjadi, entah disadari atau tidak, diakui atau tidak. Perubahan itu
kemudian lebih lanjut dijabarkan dalam kerangka buddhisme sebagai tilakkhana
(tiga corak umum). Tiga corak umum mempunyai arti bahwa tiga hal tersebut pasti
dan selalu berlaku, yakni ketidakkekalan (anicca), penderitaan atau
ketidakpuasan (dukkha), dan tidak ada diri/sesuatu yang tetap (anatta).
Ketiganya tak lain mewakili realitas dunia yang selalu berubah.
Jadi dukkha sebenarnya
adalah cara pandang manusia terhadap perubahan itu. Dukkha adalah
penderitaan atau ketidakpuasan karena manusia tidak bisa hidup kekal (anicca).
Konsep perubahan diwujudkan dari 3 sisi pandang yaitu:
- Bagi alam atau benda mati dikatakan sebagai anicca (tidak kekal)
- Bagi cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri dikatakan sebagai dukkha (menderita karenamerasakan perubahan)
- Bagi manusia atau mahkluk hidup dikatakan sebagai anatta (tidak ada diri yang tetap abadi tanpa perubahan atau roh/jiwa yang kekal tanpa perubahan)
Jadi dukkha di sini
menjadi jelas jika memandangnya dari sudut manusia terhadap diri sendiri dan
itu berartidukkha lebih tepat dikatakan sebagai penderitaan karena cara
pandang yang salah terhadap kenyataan. Dengan kata lain dukkha
terjadi karena manusia masih bersifat subjektif dalam memandang realitas segala
sesuatu, yaitu perubahan.
Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan
Sebelumnya telah dijelaskan
bahwa perasaan tidak puas karena kehilangan atau perubahan itulah
yang dinamakan dukkha. Dengan pemahaman terhadap penderitaan (dukkha)
seperti itu, kita dapat melihat bahwa penderitaan tersebut diakibatkan oleh
‘perasaan tidak puas’. Di dalam konteks buddhis, dinamakan tanha. Tanhaadalah
nafsu keinginan yang melekat. Melekat artinya jika tidak mendapatkan, maka akan
menderita. Kita perlu memahami dengan jelas keinginan biasa dan keinginan yang
melekat. Contohnya adalah seorang anak kecil yang ingin mainan. Ia terus ingin
dan ingin padahal faktor penunjang untuk mendapatkan mainan tersebut tidak ada.
Akhirnya anak tersebut menangis dan ia merasa menderita. Seandainya
anak tersebut hanya ingin, namun ia sadar bahwa kenapa orang tuanya tidak
membelikannya, keinginannya menjadi hal yang wajar dan tidak melekat. Sama
seperti Sang Buddha yang masih ingin makan, namun tidak melekat pada makanan.
Sang Buddha tidak menderita ketika tidak mendapat makanan, namun bukan berarti
Sang Buddha tidak ingin makan. Seandainya Sang Buddha tidak ingin makan, maka
proses makan tidak akan ada dan akan merugikan dirinya sendiri.
Akar dari keinginan yang melekat
adalah ketidaktahuan (avijja). Ketidaktahuan (avijja) adalah
ketidaksadaran pada suatu momen (saat ini) akan realitas dunia ini yang selalu
berubah. Contohnya adalah anak kecil yang ingin mainan tersebut. Seandainya
anak kecil tersebut mengerti bahwa keinginannya hanya sesaat dan belajar dari
pengalaman sebelumnya bahwa mainan tersebut lama-kelamaan akan membuatnya bosan
juga, ia akan terbebas dari keinginan yang melekat. Jadi ketika keinginan
datang menghampiri, kita harus hati-hati untuk tidak terikat kepadanya.
Pikiran dan renungkan dengan bijak apakah keinginan tersebut betul-betul kita
butuhkan atau hanya untuk memuaskan keserakahan kita.
Kebenaran
Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan
Di dalam sammaditthi sutta[8]
dikatakan berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan penghentian tanpa sisa,
penyerahan, pelepasan, membiarkan pergi, dan penolakan nafsu keinginan. Jadi
Sang Buddha mengajarkan bahwa keinginan berlebihan yang melekat dapat
dihilangkan dari pikiran kita. Ketika keinginan manusia menjadi wajar, tidak melekat,
tidak serakah maka kebahagiaan sejati (nibbana) telah ia alami.
Nibbana sebagai kedamaian atau kebahagiaan sejati adalah ketika
penderitaan lenyap, ketika akar penderitaan yaitu keserakahan (lobha),
kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha) telah lenyap.
Itulah Nibbana, kebahagiaan sejati yang saat ini dapat kita alami
karena sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dapat kita hancurkan
saat ini juga dengan ketidakserakahan atau ketidakmelekatan (berdana),
ketidakbencian atau cinta kasih dan welas asih, serta dengan kebijaksanaan
sejati.
Sang Buddha mengatakan bahwa beliau
hanyalah seorang penunjuk jalan menuju kebahagiaan sejati (nibbana).
Beliau mengajarkan bagaimana melatih diri untuk mengendalikan sifat-sifat
negatif. Buddha tidak bisa membawa sesorang ke Nibbana karena nibbana
hanyalah sebuah kondisi batin (pikiran, perasaan) yang berbeda pada setiap
orang. Yang dapat membuat diri kita mengalami nibbana (kebahagiaan
sejati) adalah diri sendiri dengan melatih seperti yang diajarkan beliau yakni
Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jadi berhentinya penderitaan (dukkha) sama
artinya dengan tercapainya nibbana.
Kebenaran
Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan
Sang Buddha memberikan gambaran akan
realitas kehidupan, yakni ketidakpuasan atau penderitaan, penyebabnya dan
setiap orang dapat mencapai kebahagiaan sejati (nibbana) saat ini juga
dengan melenyapkan penderitaan (dukkha). Untuk dapat mencapai
kebahagiaan sejati, Buddha mengajarkan suatu cara yang dapat dilakukan setiap
orang. Cara tersebut dinamakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Inilah jalan yang
akan membawa siapapun kepada kebahagiaan sejati jika telah sempurna
dilaksanakan dan telah menjadi bagian dari setiap tindakan yang dilakukan
seseorang baik dari agama, ras, suku apa pun juga. Jadi ketika cara pandang
seseorang serta tindakannya sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan—baik ia
seorang beragama atau tidak—pasti kebahagiaan sejati akan dialaminya.
Kedelapan bagian dari kesatuan jalan
yang saling terjalin tersebut adalah pandangan benar, pikiran atau niat benar,
ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian atau penghidupan benar, upaya
benar, perhatian atau perenungan benar, dan konsentrasi atau kesadaran benar.
Kita memandang kedelapannya sebagai satu kesatuan seperti seutas tali yang
terjalin yang saling memengaruhi. Kita melihatnya sebagai sebuah kesatuan yang
tidak terpisahkan. Ketika suatu perbuatan yang dilakukan baik, hal tersebut
berarti pikirannya baik. Ketika sebuah ucapan seseorang bermanfaat, berarti
pikirannya dipenuhi oleh cinta kasih. Pikirannya benar (positif) karena
pandangannya benar. Sehingga kedelapannya adalah satu kesatuan dengan pusat
talinya adalah pandangan benar.
Daftar Pustaka
Kitab suci agama buddha. 2004. Majjhima Nikaya 1. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2005. Majjhima Nikaya 2. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2006. Majjhima Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2002. Petikan Anguttara Nikaya 2. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan DHAMMAGUNA.
Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.
Kitab suci agama buddha. 2004. Majjhima Nikaya 1. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2005. Majjhima Nikaya 2. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2006. Majjhima Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
Kitab suci agama buddha. 2002. Petikan Anguttara Nikaya 2. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan DHAMMAGUNA.
Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.
Catatan Kaki
[1] Sutta Pitaka adalah bagian dari Tripitaka (Kitab Suci Agama Buddha)
[2] noda-noda=tiga akar kejahatan yaitu: keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin (moha)
[3] Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42 (dua-duanya persis sama)
[4] MN 141.2
[5] MN 56.18
[6] Sutta adalah ucapan Buddha Gotama yang tertulis di dalam Kitab Suci Tripitaka
[7] Definisi ini dapat ditemukan di dalam Anguttara Nikaya (AN) VI,63 atau MN 9.15 atau MN 28 atau MN 141.1 atau Samyutta Nikaya (SN) 56.11 (semuanya sama persis)
[8] MN 9.17
[1] Sutta Pitaka adalah bagian dari Tripitaka (Kitab Suci Agama Buddha)
[2] noda-noda=tiga akar kejahatan yaitu: keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin (moha)
[3] Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42 (dua-duanya persis sama)
[4] MN 141.2
[5] MN 56.18
[6] Sutta adalah ucapan Buddha Gotama yang tertulis di dalam Kitab Suci Tripitaka
[7] Definisi ini dapat ditemukan di dalam Anguttara Nikaya (AN) VI,63 atau MN 9.15 atau MN 28 atau MN 141.1 atau Samyutta Nikaya (SN) 56.11 (semuanya sama persis)
[8] MN 9.17
Sumber:
http://willyyandi.wordpress.com/2008/04/12/empat-kebenaran-mulia/
0 komentar:
Posting Komentar