Pages

Selasa, 02 Oktober 2012

Zen budhisme


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlY77Etxbn6KLKDX9A5JqB-hvuRp5_I9jTtk62sYfmbdoG7mLSJeGD9KhighdlAprgHvqyKYH5a7nLwNaURRaLlJLoSAB6Skk4ej4qTSrM4RmhusjwRwUW3qV0N3QkelW5KROtKXrP5Bs/s320/metal_buddha_statue1-1280x1024.jpg
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
C’han atau Zen merupakan aliran Budhisme yang lebih menitikberatkan pada meditasi atau pengalaman langsung. Sehingga dalam hal ini penyusun membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan meditasi atau pengalaman langsung, dan Zen ini apabila dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka praktisi akan lebih menerima manfaat yang sebenarnya dari pada yang hanya mempelajari kitab suci.
Penyusunan makalah bertujuan agar para pembaca dapat memahami dan mengetahui ajaran Zen, serta dapat melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.  


B.     Rumusan Masalah
      Bagaimanakah ajaran yang terkandung dalam C’han atau Zen Buddhisme?

C.    Batasan Masalah
      Menjelaskan ajaran yang terkandung dalam C’han atau Zen Buddhisme.

D.    Tujuan
      Memberikan pemahaman mengenai ajaran C’han atau Zen Buddhisme.

E.     Manfaat
      Ajaran Zen Buddhisme yang sudah dipahami diharapkan dapat memberikan pemahaman dan dilaksanakan atau dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zen Budhisme
Zen merupakan sebuah kata jepang, dalam kata cina yaitu c’han-na, dan dalam bahasa sansekerta yang berarti Dhyana yang secara umum berarti pelatihan atau pengalaman meditasi. Zen Buddhisme adalah sebuah aliran dalam agama Buddha yang menekankan pentingnya meditasi. Zen juga mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha yang berintikan tentang transisi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa.
Dalam kehidupan lampau sang Buddha, pada waktu itu sang Buddha sedang duduk dihadapan sekumpulan siswanya yang diam tenang menanti beliau bersabda, tetapi beliau tak bersabda sepatah kata pun. Ditengah keheningan beliau mengangkat sekuntum bunga dan memperhatikan reaksi siswa-siswanya. Sementara semua yang hadir tetap diam tak mengerti tindakan beliau, Kasyapa adalah salah satu seorang siswanya yang tertua tersenyum mengerti ungkapan beliau. Peristiwa tersebut tidak mudah untuk dijelaskan yaitu komunikasi spiritual tingkat tinggi yang terjadi antara Sang Buddha dengan Kasyapa adalah sebuah pewarisan atau transmsi proses pencerahan pikiran yang tidak lagi memerlukan kata-kata sebagai media. Hal itu hanya terjadi dari pikiran yang cerah sempurna kepada pikiran yang hampir sempurna yang hanya memerlukan sentuhan halus untuk membimbingnya.
Transmisi ini berlangsung turun temurun dari murid ke murid, mula-mula dari Buddha kepada Kasyapa kemudian dari Kasyapa kepada Ananda, dan seterusnya sehingga berjumlah 28 orang yaitu: 1) Sakyamuni Buddha, 2) Maha Kasyapa, 3) Ananda, 4) Sanavasa, 5) Upagupta, 6) Dhritaka, 7)Micchaka, 8) Buddhanandi, 9)Buddhamitra, 10) Bhiksu Parsva, 11) Punyayasas, 12) Asvaghosha, 13) Bhiksu Kapimala, 14) Nagarjuna, 15) Kanadeva, 16) Arya Rahulata, 17) Samghanandi, 18) Samghayasas, 19) Kumarata, 20) Jayata, 21) Vasubhandhu, 22) Manura, 23) Hakkenayasas, 24) Bhiksu Sinha, 25) Vasasita, 26) Punyamitra, 27) Prajnatara, 28) Bodhidharma.
Sesepuh Zen India ke-5 (Upagupta) bagaimana Upagupta Thera berhasil meyakinkan kembali Dewa Mara untuk mengucapkan aspirasinya menjadi Sammasambuddha. Diceritakan bahwa pada saat akan dilakukan konsili Buddha ke-3 yang disponsori oleh Raja Asoka. Mogaliputta Thera yang mengetuai konsili ini bahwa konsili buddhis kali ini akan diganggu oleh Dewa Mara yang berasal dari sorga Parranimmitavassavati. Tetapi Mogaliputta Thera tahu hanya seorang bhikkhu yang bernama Upagupta yang bersemayam di laut Selatan yang mampu mengatasi Dewa Mara ini. Maka diutuslah orang untuk mengundang Upagupta Thera.
Pada saat pelaksanaan konsili. Dewa Mara dengan keangkuhannya menciptakan badai dan angin kencang untuk mengacaukan suasana konsili. Tetapi Upagupta Thera dengan kesaktian (Abhinna) mengembalikan semua pada tempatnya.
Dewa Mara kemudian merubah dirinya menjadi Naga dan menyerang Upagupta Thera. Upagupta juga merubah dirinya menjadi Garuda raksasa yang balik menyerang Mara. Naga yang kalah bertarung kemudian melarikan diri ke pegunungan himalaya dan dikejar oleh Garuda (Upagupta) yang pada akhirnya Naga berhasil ditaklukkan oleh Garuda (Upagupta) tetapi Dewa Mara dengan ego-nya masih tidak merasa takluk kepada Upagupta Thera.
Akhirnya Upagupta dengan kesaktiannya menciptakan bangkai anjing yang bau membusuk dan dikalungkan ke kepala Dewa Mara. Dewa Mara berusaha melepaskan tetapi tidak berhasil. Merasa tidak berhasil didunia, Dewa Mara kemudian lari ke Sorga Catumaharajika dan mencari Dewa Catumaharajika. Tetapi Dewa Catumaharajika mengatakan bahwa Dewa Mara dari Sorga yang lebih tinggi tidak dapat melepasakan kalung bangkai anjing itu, maka mereka juga tidak akan mampu.
Dewa Mara kemudian naik ke sorga Tavatimsa dan mencapai Dewa Sakka. Tetapi Dewa Sakka juga tidak dapat melepaskan kalung bangkai anjing itu. Dan dikatakan bahwa hanyalah Upagupta Thera sendiri yang bisa melepaskan bangkai anjing tersebut. Akhirnya dengan terpaksa Dewa Mara kembali menemui Upagupta Thera dan memohon untuk dilepaskan kalung bangkai anjing tersebut. Upagupta Thera kemudian memberikan wejangan kepada Dewa Mara tentang aspirasi dewa Mara untuk menjadi seorang samma sambuddha di masa mendatang. Dewa Mara kemudian tersadar dan mengucapkan kembali aspirasinya untuk menjadi samma sambuddha di masa mendatang dan Upagupta Thera kemudian melepaskan kalung tersebut.
Upagupta Thera kemudian berkata bahwa pertemuan mereka ini diakibatkan adanya ikatan karma antara mereka berdua pada masa lampau.
C’han Buddhisme tumbuh di Cina, dan diperkembangkan dalam mazhab Mahayana melalui filsafat dan kebudayaan Tionghoa yaitu Konfucuisme dan Taoisme yang akhirnya berkembang dijepang (Zen Buddhisme) dan terwujud konkrit dalam beberapa ciri khas kebudayaan jepang. Dua aliran filsafat yang mendasari kebudayaan Tionghoa mempengaruhi pertumbuhan C’han Buddhisme yaitu Konfucuisme yang bersifat positif terhadap relitas dunia dan kemanusiaan serta bersifat pragmatis, dan Taoisme yang bersifat mistik mengatasi intelek.
Filsafat Konfucuisme dekat dengan masalah-masalah yang konkrit, menghindari pikiran-pikiran spikulatif, dan menekankan segala keberadaan hubungan manusia pada tempatnya dan waktunya saat ini. Taoisme terdapat gagasan yang terkenal yaitu Wu-wei yang artinya tidak bertindak dan membiarkan hal-hal terjadi (menurut hukum-hukum sendiri). Kejahatan menurut tokoh utama terjadi bila manusia berusaha untuk memaksakan kehendaknya melawan hukum-hukum tersebut. Tao juga dapat dibandingkan dengan sunyata atau kekosongan dalam aliran Madhyamika.
Lao Tzu tokoh utama dalam Taoisme menyatakan bahwa Tao merupakan kekosongan itu bukanlah bersifat negatif. Dalam Madhyamika yang dipelopori Nagarjuna yang terkenal dengan metodenya yaitu prasannappada, dialektik kritis untuk memperlihatkan kemustahilan dari intelek atau penipuan-penipuan yang terkandung dalam pikiran intelektif, maka Zen sama sekali tidak mengembangkan suatu sistem filosofis yang mengandalkan intelek, melainkan terjun langsung dalam meditasi yang mengatasi pikiran.
Tokoh utama C’han Buddhisme adalah Bohiddharma, seorang Bhikkhu dari India Utara yang merantau ke Cina (Boddhidharma juga dikenal sebagai perintis perguruan kungfu biara Shaolin). Zen Buddhisme lahir dan tumbuh membesar di bumi Cina (kemudian di Jepang) semenjak kedatangan Boddhidharma (Ta Mo/Daruma/Tat Mo Cou Su) pada tahun 620.
Boddhidharma menurunkan ajaran Dhyana kepada muridnya, Hu K’o  yang menjadi sesepuh kedua aliran C’han di Cina yang dikenal enam sesepuh yaitu : 1) Boddhidharma, 2) Hui Khe, 3) Shen Chie, 4) Tao Sin, 5) Hung Jen, 6) Hui Neng. Setelah Hui Neng sistim pewarisan sesepuh atau Patriarch ditiadakan, terdapat beberapa juga Zen Master yang terkenal diantaranya: Master Han San, Fa Jung, Upasaka Ph’ang, dan Master Ma Tsu.
Zen diasosiasikan sebagai ajaran yang mengatasi kata-kata, karena kata-kata tidaklah identik dengan kebenaran. Kata-kata dan kebenaran adalah ibarat jari telunjuk dan bulan. Jari telunjuk dapat menunjuk bulan, tetapi bukan bulan itu sendiri. Begitu pula dengan kata-kata hanya menunjuk kebenaran, tetapi bukan kebenaran itu sendiri. Dasar filsafat Zen yang mengatasi kata-kata diungkapkan dalam syair yang berbunyi:
Disampaikan diluar kitab suci
Tanpa mempergunakan kata-kata atau tulisan
Langsung tertuju kepada hati/jiwa manusia
Mengenai sifat asli hati itu sendiri adalah Buddha.
Syair yang ditulis oleh Hui Neng (yang menyebabkan menjadi pewaris sesepuh ke enam di Cina) sering diungkapkan sebagai contoh dari yang telah memahami inti Zen Buddhisme yang mengatasi kata-kata, dan mengatasi syair yang ditulis oleh Shen Siu yaitu:
Tubuh adalah pohon Bodhi
Hati bagaikan cermin yang berbingkai
Setiap saat rajin membersihkannya
Hingga tidak terkotori debu
Setelah mengetahui syair Shen Siu, Hui Neng menulis:
Bodhi sesungguhnya tidak berpohon
Cermin jernihpun bukanlah berbingkai
Pada awalnya memang tiada sesuatupun
Bagaikan debu dapat mengotori.
Ajaran Zen membimbing pembebasan pikiran dari ketergantungan terhadap kata-kata juga pengetahuan dan beralih untuk menyelami kepada pikiran sejati kita sendiri. Dalam Zen kehidupan tidak untuk dirumuskan dalam konsep yang abstrak atau dibatasi dalam kungkungan antara apa yang boleh dan yang tidak boleh, melainkan untuk dijalani dengan mempercayakan kepada tumbuhnya cahaya kebajikan dari pikiran sejati, bukan dari segala jenis pengetahuan tangan kedua.
Empat keistimewaan dari C’han atau Zen, karya Edward Conze yang merupakan kutipan dari karya Maha Pandita Dr. Harsa Swabodhi dari terjemahan Budhism sebagai berikut:
1.      Aspek tradisional Budhisme tidak dihiraukan
Zen mengarah kepada keBuddhaan secara langsung, dimengerti diluar tradisi tertulis, gambar-gambar, arca-arca, kitab suci, upacara, dan tata cara tidak diperhatikan. Zen berpendapat: Apa gunanya menghitung kekayaan orang lain, sebab memandang sifat pembawaan pribadi itulah C’han atau Zen.
2.      Bertentangan dengan aspek spekulasi metafisika
Pengikut C’han /Zen tidak menghabiskan waktu didalam perenunngan metafisika bahkan mereka berusaha untuk menghilangkan penggunaan akal (rasio). C’han/Zen lebih mengutamakan pandangan terang secara langsung dari pada ajaran-ajaran yang sukar diketahui dan dimengerti. Kebebasan dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Bhiksu Hsuan Chien mencapai penerangan sewaktu melihat gurunya memadamkan api lilin.
3.      Penerangan serta merta/Satori
Menurut Hui Neng, mencapai penerangan bukan dengan cara berangsur-angsur tetapi merupakan suatu proses seketika itu juga, ini sering disalah artikan dan bukan berati proses persiapan sama sekali tidak ada dan tidak diperlukan. Demikian juga dengan penerangan yang berati dapat dicapai dengan waktu yang singkat. Mengharapkan dengan melalui cara hidup yang amat sederhana atau meditasi adalah seperti’’menggosok batu bata agar dapat dijadikan cermin’’, bukanlah pengumpulan pahala yang mengakibatkan penerangan, tetapi dengan suatu pengenalan sifat diri sendiri semata-mata.

4.      Proses penyangkalan
Kaum Zen berpendapat bahwa kehidupan Buddhis hanya dapat dipenuhi dalam proses penyangkalan. Sang Buddha berada dalam kehidupan sehari-haridan hal tersebut seharusnya dipandang sebagai datang dan perginya secara bebas dan tidak terikat, itulah yang dimaksud dengan pandangan luhur. Jikalau seorang hendak berjalan, berjalanlah! Apabila seorang hendak duduk, duduklah!
Menurut Dr. Edward Conze didalam bukunya Buddhisme: Zen merupakan suatu perkembangan metafisika mahayana yang disesuaikan dengan prajna paramita dan konsep yogacara serta dipengaruhi unsur-unsur Confucianisme dan Taoisme serta dibina dan dibentuk kembali menurut kondisi dan situasi negeri tiongkok, Korea dan Jepang.

B.     Aliran-Aliran Zen
C’han/Zen berkembang menurut metode yang berbeda atau keadaan tepat diantaranya sebagai berikut:
1.      Aliran Lin Chi
Aliran ini dikembangkan oleh Master Lin Chi (850 M), yang telah banyak belajar Sutra dari bermacam-macam aliran Buddhis serta Vinaya. Aliran ini berkembang secara cepat dan umum dan hingga saat ini masih berpengaruh. Di Jepang aliran ini cukup kuat denga sebutan Rinzai Shyu.

2.                                                            Aliran Chau Tung
Aliran ini dikembangkan oleh Master Tung San Liang Chie (807-869) dan Chau San (840-901). Dibandingkan dengan dengan aliran Lin Chi aliran tersebut lebih luwes dan lunak. Aliran ini berkembang dengan baik di Jepang dengan sebutan Soto Shyu dan dikorea dengan sebutan Chogye.
3.      Aliran Kuei Yang
Aliran ini dikembangkan olek Kuei San (771-853) dan Yang San (807-883).
4.                                                            Aliran Yun Men
                  Aliran ini dikembangkan oleh Yun Men (862-853).
5.      Aliran Fa Yen
Aliran ini dikembangkan oleh Fa Yen (885-958). Aliran-aliran tersebut tidaklah berbeda  mereka hanya berbeda didalam cara metode dan cara penyampaiannya serta keadaan setempat.

















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Zen Buddhisme merupakan sebuah aliran dalam agama Buddha yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen diasosiasikan sebagai ajaran yang mengatasi kata-kata, karena kata-kata tidaklah identik dengan kebenaran. Kata-kata dan kebenaran adalah ibarat jari telunjuk dan bulan. Kata-kata hanya digunakan untuk menunjuk kebenaran yang berada diatas kata-kata. Ajaran Zen membimbing pembebasan pikiran dari ketergantungan terhadap kata-kata juga pengetahuan dan beralih untuk menyelami pada sejati diri kita sendiri. Dalam Zen, kehidupan tidak untuk dirumuskan dalam konsep yang abstrak atau dibatasi dalam kungkungan anatara apa yang boleh dan yang tidak boleh, melainkan untuk dijalani dengan mempercayakan pada tumbuhnya cahaya kebajikan dari pikiran sejati.

B.  Saran
Penyusun mengharapkan penyusunan makalah C’han atau Zen Buddhisme dapat memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari bagi pembaca pada umumnya dan kepada mahasiswa pada khususnya. Dalam penyusunan makalah tentunya masih terdapat kesalahan dan kekurangan yang belum diketahui oleh penyusun, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak, guna dalam pembenahan atau penyempurnaan makalah yang selanjutnya.  










DAFTAR PUSTAKA


Ming, Chau. 1987. Beberapa Aspek Tentang Agama Buddha Mahayana. Jakarta: Buddhis Bodhi.

Priastana, Jo. Priastana Jo. 1999. Pokok-pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yasodara Putri.

Swabodhi, Harsa. 1979. Buddha Dharma Berbagai Yana. Medan: Yayasan Perguruan Bodhi dan Budaya.

0 komentar: