Makalah Pendidikan Ilmu Pengentahuan Dalam Agama Buddha
Oleh: PutradiNpm: 11110139
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena ilmu
pengetahuan adalah produk dari pendidikan. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia yang membedakan manusia
dari makhluk hidup lainnya. Secara umum makhluk hidup lainya mungkin mengalami
pendidikan tetapi dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh manusia. Binatang
misalnya, belajar hanya dengan mengandalkan insting sedangkan bagi manusia belajar merupakan rangkaian
kegiatan pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.
Pendidikan
merupakan pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama,
mempersiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa
mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang
diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan
dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat
dan peradaban (Bahri, 2007)
Penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan melalui pendidikan dapat meningkatkan kesejahteraan
manusia baik secara fisik maupun mental. Hal ini sesuai dengan ajaran Buddha
yang bertujuan untuk membebaskan makhluk-makhluk agar terbebas dari penderitaan
. “disini yasa tiada yang mencemaskan ,...., tiada yang menyakitkan. Kesini
yasa aku akan mengajarmu” ucap Buddha kepada Yasa (Vin. I, 21).
Manusia
dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Buddhisme memandang, setiap
orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Namun pembawaan itu bukanlah suatu takdir yang tidak dapat
dirubah lagi, pembawaan itu dapat berubah karena adanya pengaruh dari
lingkungan. Lebih jauh lagi ditunjukkan bagaimana perbuatan pada saat sekarang
dapat meniadakan akibat dari perbuatan (karma) lampau. Dengan demikian,
pendidikan merupakan suatu cara untuk mengubah pembawaan manusia. ”Orang yang
bijaksana dapat memilih apa yang baik
dan menghindari apa yang buruk”.
Menurut
agama Buddha pendidikan terjadi karena adanya kebodohan yang menguasai manusia.
Kelahiran kembali kedunia ini sendiri karena adanya lingkaran kebodohan yang
masih mengungkung diri kita. Apabila kebodohan itu sudah dapat di singkirkan maka tumimbal lahir itu
tidak akan terjadi lagi dan kebahagiaan sejati telah di realisasi. Dalam
Dhammapada dikatakan ”yang lebih buruk dari semua noda itu adalah
kebodohan. Kebodohan adalah noda yang
paling buruk. Para Bhikkhu singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tak
bernoda” (Dhp. 243) Petikan Dhammapada diatas dengan jelas telah menunjukkan bahwa
pendidikan adalah mutlak diperlukan oleh manusia agar terbebas dari kebodohan.
Berdasarkan latar belakang belakang masalah diatas maka penyusun tertarik
untuk membahas ”Pendidikan Dan Ilmu
Pengetahuan dalam Agama Buddha”
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah
pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam agama Buddha?
C.
Tujuan
Mendeskripsikan
Agama dan ilmu pengetahuan dalam Agama Buddha.
D. Manfaat
1. Memberikan informasi dan menambah bahan kepustakaan bagi umat Buddha
mengenai Pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam agama Buddha.
2. Menambah bahan kepustakaan Sekolah Tinggi
Ilmu Agama Buddha Jinarakkhitta
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan
adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia sejalan dengan peran
dan fungsinya di dunia ini. Ki Hajar
Dewantara (1977) menyatakan bahwa Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,dan karater), pikiran (intelektualitas)
dan tubuh anak (dalam hadikusumo, 1999).
Menurut Crow and Crow (1975), Pendidikan
adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu, untuk
kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan
sosial bagi generasi kegenerasi (dalam hadikusumo, 1999).
Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 BAB I Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selama ini pendidikan di Indonesia
masih menggunakan metode tradisional dan dikotomis (terjadi pemisahan) antara
pendidikan yang berorientasi iman dan takwa (imtak) dengan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (iptek).
Berdasarkan
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses
kegiatan untuk meneruskan ilmu pengetahuan, adat istiadat tertentu maupun
kebiasaan dari generasi tua kepada generasi di bawahnya dalam rangka membentuk
kualitas pribadi yang lebih baik.
Menurut Buddha
pendidikan adalah hal yang penting sebagai salah satu usaha untuk membebaskan
diri dari penderitaan yang disebabkan oleh kebodohan. Pendidikan adalah
penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku; yang dalam
arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur
hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju
kesempurnaan. “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan
merupakan noda yang paling buruk. Para bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda” (Dhp.243).
Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk menolong
seseorang belajar dan bertanggungjawab, mengembangkan diri atau mengubah
perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarkat. Melalui
ilmu pengetahuan, seseorang memiliki bekal untuk bekerja dan membantu atau
melayani orang lain dengan baik.
B.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
berasal dari bahasa yunani “episteme”
yang berarti pengetahuan dan logos
(teori/ilmu). Cabang dari ilmu filsafat ini
menyelidiki asal, struktur, metode dan keabsahan pengetahuan, dengan
kata lain mempelajari dasa-dasar dan batas-batas pengetahuan manusia (Mukti,
2006:9).
Hingga kini
terdapat tiga aliran epistemologi (ensiklopedi indonesia, 1989) yaitu: 1)
aliran rasionalis (Descrates, Spinoza dan Leibniz), 2) Aliran empiris (Locke,
Berkeley, Hume) dan 3) Aliran kritis (Immanuel Kant) (dalam mukti, 2006).
Manusia
adalah makhluk yang dinamis, karena pada hakikatnya manusia terus berkembang
baik kuantitas maupun kualitasnya. Secara kuantitas manusia berkembang dengan
melahirkan generasi-generasi baru. Secara kualitas manusia senantiasa meningkatkan
pengetahuan yang dimilikinya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Manusia
meningkatkan pengetahuan yang
dimilikinya dengan belajar. Sejak lahir manusia sudah belajar, terutama belajar
beradaptasi dengan lingkungan terdekatnya.
Manusia
meningkatkan pengetahuannya setahap demi setahap. Pada masa lalu untuk
memperudah mendapatkan kebutuhan hidup, manusia mulai memanfaatkan benda-benda
yang ada di sekitarnya misalnya batu. Setahap kemudian manusia beralih membuat
perkakas dengan menggunakan logam dan seterusnya, hingga kemudian ditemukan berbagai
alat modern seperti sekarang ini. Berbagai fasilitas yang kita nikmati saat ini
merupakan hasil pengembangan pengetahuan manusia dari waktu-ke waktu.
Secara umum
ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengamatan dengan alat indra, baik indra
penglihatan, penciuman, perasa, maupun peraba. Namun, yang perlu dipahami
adalah bahwa persepsi indra memiliki keterbatasan, dan bisa saja keliru. Dalam
hal penglihatan misalnya, persepsi yang tidak tepat atas suatu objek dapat menghasilkan ilusi (vipallasa). Ilusi timbul karena
kekeliruan pencerapan yang mengamati (Sanna
vipallasa), kekeliruan pikiran yang mengenali (citta-vipallasa), dan kekeliruan pandangan yang membentuk
gagasan.(Narada. 1979 dalam Mukti 2006: 14).
Pengamatan
indera tidak berdiri sendiri, tetapi secara internal berkaitan dengan aspek
kesehatan dan aspek kejiwaan, seperti kepekaan perasaan, emosi, praduga dan
imajinasi. Hembusan angin yang terasa nyaman bagi orang sehat, akan terasa lain
bagi orang yang sakit (Suharto, dalam Mukti 2206:16).
Jadi
persepsi indera terkadang dapat memberikan pemahaman yang tidak tepat, apalagi
pemahaman yang diperoleh juga berdasarkan keadaaan pikiran, sedangkan keajekan
pikiran sangat sulit dipertahankan seperti digambarkan dalam syair Dhammapada
berikut: “Pikiran itu sungguh sukar di awasi, amat halus dan senang mengembara
sesuka hati, ...” (Dhp.35)
Meskipun
pengetahuan yang diperoleh dengan pengamatan bisa menyebabkan pemahaman yang
tidak tepat, bukan berarti kemudian Buddha menyangsikan begitu saja hal
tersebut, tetapi seseorang hendaknya meragukan dengan sikap kritis dan tidak
mengambil kesimpulan begitu saja terhadap apa yang dianggap benar.
“..., jika
seseorang telah mendengar kemudian mengatakan inilah yang aku dengar, ia
melindungi kebenaran sepanjang tidak secara kategori mengambil kesimpulan bahwa
hanyalah ini yang benar, dan semua yang lainnya keliru. (M.II. 170-171).
Intinya Buddha
mengajarkan agar seseorang selalu datang, melihat dan membuktikan (Ehipassiko) segala sesuatu sehingga
pengetahuan yang diperoleh tidak menimbulkan kesimpang-siuran/ keraguan dalam
dirinya. Jika dicermati, ternyata ada persamaan yang menakjubkan dari metode
yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan umum dan pengetahuan menurut Buddha,
yaitu: observasi/ eksperimen dan ehipassiko
menurut Buddha.
“... oleh
karena itu, warga suku kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang
disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi, atau
sesuatu yang didesas-desuskan, ..., tetapi terimalah kalau engakau sudah
membuktikannya sendiri (A.1.189)
Inti dari
petikan Sutta di atas adalah sama dengan metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan
umum dimana data-data yang diperoleh diteliti, diolah dan dirumuskan sehingga
diyakini kebenarannya sebagai pengetahuan.
C.
Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam
Agama Buddha
Pendidikan
adalah penting untuk membebaskan diri dari kebodohan. “yang lebih buruk dari
semua noda itu adalah kebodohan.
Kebodohan adalah noda yang paling buruk. Para Bhikkhu singkirkan noda
ini dan jadilah orang yang tak bernoda” (Dhp. 243). Setelah kebodohan tidak
lagi menyelimuti batin kita, maka kebahagiaan tertinggi akan terealisasi.
“Memiliki pengetahuan dan ketrampilan merupakan salah satu berkah utama (Sn.
261).
Pendidikan
pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan (D.III,100).
Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, karena pada
hakekatnya semua manusia terlahir sama, yang berbeda adalah kualitas
masing-masing orang berdasarkan usaha sendiri.
Tentang
pentingnya belajar dan meningkatkan pengetahuan yang dimiliki Buddha berkata
“Orang yang hanya belajar sedikit akan menjadi tua seperti sapi jantan,
dagingnya bertambah, tetapi kebijaksannannya tidak berkembang” (Dhp.152).
Belajar sendiri adalah proses evolusi, karena perubahan tingkah laku yang
terjadi memerlukan waktu dan terjadi sepanjang kehidupan manusia.
“Aku tidak
mengatakan bahwa pencapaian yang mendalam datang dengan segera, sebaliknya hal
itu datang melalui suatu latihan yang bertahap, suatu pelaksanaan yang
bertahap, suatu jalan yang bertahap” (M.I.479).
Pengetahuan
yang dimiliki seseorang apabila digunakan secara positif akan sangat bermanfaat
bagi kehidupannya dan kehidupan makhluk lain. “orang yang bijaksana dapat
memilih apa yang baik dan apa yang buruk”.
Buddhisme memandang
ada dua sumber pengetahuan yaitu inferensial (Anumana) dan eksperensial (Pativeda).
Fakta-fakta atau bukti dan kesaksian melalui penarikan kesimpulan
berdasarkan logika merupakan tipe inferensial (Jayasuriya 1976 dalam Mukti
2006:17).
Sedangkan
eksperensial (Pativeda) diperoleh melalui perenungan yang benar (meditasi)
berupa pencapaian. Ilmu pengetahuan dalam agama Buddha diperoleh melalui metode
ehipassiko (datang, lihat dan buktikan),
hal ini sejalan dengan metode ilmiah dalam pengetahuan umum. Buddha berkata
kepada Ananda “Pengetahuan yang objektif atau pengetahuan tentang sesuatu
seperti apa adanya adalah pengetahuan yang tertinggi” (A.V.37).
Perkembangan
ilmu pengetahuan yang begitu pesat dewasa ini jika dikaitkan dengan budhisme
adalah sangat sejalan. Temuan-temuan baru dibidang ilmu pengetahuan apabila dikaitkan
dengan Buddhisme tidak bertentangan, tetapi saling mendukung, karena hal-hal
tersebut telah pula dikenalkan oleh buddha lebih dari 2500 tahun yang lalu.
Ilmu
pengetahuan yang semakin maju dapat semakin meningkatkan kesejahteraan manusia
apabila berjalan di koridor yang sesuai. Hubungan ilmu pengetahuan dan budhisme
digambarkan sebagai berikut “Sains tanpa agama adalah pincang, agama tanpa
sains adalah buta” (Einstein dalam Taniputera, 2003). Pendapat diatas diperkuat
oleh Taniputera ”Ilmu pengetahuan dapat beroperasi tanpa buddhisme, agama dapat
terus berjalan tanpa ilmu pengetahuan. Tetapi manusia membutuhkan keduanya
untuk lebih sempurna dan lengkap” (Taniputera, 2003)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan
adalah proses kegiatan untuk meneruskan ilmu pengetahuan, adat istiadat
tertentu maupun kebiasaan dari generasi tua kepada generasi di bawahnya dalam
rangka membentuk kualitas pribadi yang lebih baik. Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang
sama. Buddhisme memandang, setiap orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan
buruk. Namun pembawaan itu bukanlah suatu takdir yang tidak dapat dirubah lagi,
pembawaan itu dapat berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan. Lebih jauh
lagi ditunjukkan bagaimana perbuatan pada saat sekarang dapat meniadakan akibat
dari perbuatan (karma) lampau. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu cara
untuk mengubah pembawaan manusia.
Tujuan umum
pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang
diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh orang arahat. Mereka mengemban misi
atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan
kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I,21). Secara umum pendidikan
bertujuan untuk melenyapkan kebodohan. Kebodohan adalah sumber penderitaan,. “Yang lebih buruk dari semua noda adalah
kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikkhu, singkirkan
noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda” (Dhp.243). apabila
kebodohan sudah dapat disingkirkan maka kebahagiaan tertinggi terealisasi.
Memiliki
pengetahuan sebagai hasil dari belajar, apabila diterapkan dalam hal-hal
positif adalah sangat bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi
makhluk lain. “Memiliki pengetahuan dan ketrampilan merupakan berkah utama”(Sn
II, 4).
Pengetahuan
yang sudah ada tidak diterima begitu saja oleh umat buddha, tetapi hendaknya
diselidiki kebenarannya sehingga tidak ada lagi keragu-raguan. Metode yang
digunakan untuk mendapatkan pengetahuan dalam agama buddha adalah ehipassiko (datang, lihat dan buktikan)
yang sesuai dengan metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan umum.
B.
SARAN
Agar
kebahagiaan dapat tercapai, manusia hendaknya selalu meningkatkan pengetahuan
dalam dirinya dengan cara belajar. Belajar adalah proses yang terjadi seumur
hidup dan tidak mengenal usia, tempat maupun waktu. Dengan belajar berarti kita
mengikuti jalan buddha. Agar seseorang dapat belajar dan mengembangkan dirinya
maka dibutuhkan kerja sama dan saling bantu membantu dalam mencapai suatu
tujuan. Melalui pengertian yang benar mengenai belajar maka seseorang akan
dapat merealisasikan suatu pengetahuan yang benar sehingga dapat mengkikis
kebodohan dan mereallisasi kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggawati, Lanny dan Wena
Cintiawati. 1999. Sutta-Nipata, kitab
Suci Agama Buddha. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Bahri,
Samsul. 2007. Landasanpendidikan.
(online) (http://pakguruonline. Pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_154.html,
diakses 9 oktober 2008)
Hadikusumo,
Kunaryo. Dkk. 1999. Pengantar pendidikan.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Khemakalyani.
2008. Agama Buddha dan Ilmu Pendidikan.
(http://khemakalyani.blogspot.com/2008/07/agama-Buddha-dan-ilmu-pendidikan.html,
diakses 9 oktober 2008)
Kirthisinghe, Buddhadasa P (Ed). 2004. Agama
buddha dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Aryasuryacandra.
Mukti,
Krisnanda Wijaya. 2006. Wacana
Buddha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.
Supandi,
Cunda. J. (penterjemah). 1997. Dhammapada.
Bandung: Karaniya.
Taniputera,
Ivan. 2003. Sains Modern dan Buddhisme. Jakarta: Karaniya.
0 komentar:
Posting Komentar