Makalah Pandangan Agama Buddha Mengenai Euthanasia
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Beberapa waktu yang lalu masalah euthanasia mulai sering
dibicarakan oleh masyarakat indonesia.Euthanasia secara sederhana dapat
diartikan sebagai bentuk pengakhiran hidup kepada seseorang yang mengalami
sakit berat/parah dengan kematian tenang dan mudah atas nama perikemanusiaan.
Berkembang nya polemik di masyarakat antara masalah hak
asasi manusia dengan kepercayaan bahwa awal dan akhir hidup manusia ada di
tangan tuhan.Penyebab kasus euthanasia menjadi hal yang cukup menarik untuk
dibahas.Adanya teknologi canggih dibidang medis,maka apa yang menurut ukuran
masa lalu seharusnya orang dikatakan sudah mati,kini dia dapat bertahan hidup
walaupun hanya secara vegetatif. Oleh karena itu,setiap orang mempunyai hak
hidup,maka setiap orang juga mempunyai hak untuk memilih kematian yang di
anggap menyenangkan bagi dirinya.Kematian yang menyenangkan inilah yang
kemudian memunculkan istilah euthanasia.Dalam euthanasia orang yang melakukan
tidak dapat dikatakan sebagai pembunuh karena euthanasia dibedakan dari
pembunuhan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan,
maka yang jadi permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. .
Bagaimanakah euthanasia ditinjau dari agama islam ?
2. Bagaimanakah
euthanasia ditinjau dari agama hindu ?
3. Bagaimanakah
euthanasia ditinjau dari agama budha ?
C. Tujuan penulisan makalah
Makalah ini diajukan
dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas kelompok,bertujuan untuk
memperoleh gambaran tentang materi euthanasia.
D. Manfaat penulisan makalah
Kegunaan
penulisan makalah ini diharapkan akan memberikan masukan secara teoritis.
Aspek teoritis makalah ini diharapkan dapat memperluas tentang pengetahuan
mengenai materi euthanasia ini sehingga kita dapat tercegah dari gangguan itu
dan kita menjadi lebih tahu tentang euthanasia.
BAB
II
Pembahasan
A. Pengertian Euthanasia
Istilah
euthanasia berasal dari bahasa yunani, yaitu yaitu terdiri dari dua kata: “Eu”
yang berarti baik, dan “Thanatos” yang berarti mati. (Derek, Aan 1986 : 3).
Jadi maksud mati disini yaitu kematian secara baik. “Orang romawi tidak
menunggu sampai mereka sakit, setiap saat mereka dapat mengambil keputusan
untuk mati, sekali pun dalam masa puncak, sehingga mereka hanya akan memiliki
kenangan yang indah tentang kehidupan”. (Jo, 2000 : 192).
Berbagai
alasan kemanusiaan untuk melakukan tindakan euthanasia akhirnya sebagian negara
barat ada yang mengesahkan/menglegalkan tindakan euthanasia tersebut. Di
Indonesia sendiri euthanasia tidak dibenarkan, baik secara hukum maupun secara
agama. Dokter yang melakukan euthanasia dapat dikenakan tuduhan direncanakan.
Sedangkan pembunuhan yang direncanakan dapat dikenakan hukuman pidana
pembunuhan yang diatur dalam hukum Pidana pasal 340 yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua tahun”. (Andi Hamzah, 2004 : 134)
Dalam agam buddha
terdapat tiga jenis nafsu keinginan (tanha) yaitu, keinginan untuk
memuaskan nafsu inra (kama tanha), keinginan untuk hidup terus (bhava tanha)
dan keinginan untuk mengakhiri hidup (vibhava tanha). Bunih diri adalah salah
satu dari nafsu keinginan (tanha), yaitu vibhava tanha. Keinginan ini muncul
karena ia melihat bahwa kehidupan ini dengan pandangan pesimis artinya semua
yang dijalani membuatnya kecewa dan tidak pernah memuaskan, hingga akhirnya ia
memiliki pandangan bahwa hidup semua masalah dapat diselesaikan dengan
kematian. Dalam dhamma dijelaskan bahwa kematian bukan akhir dari penderitaan,
namun kematian adalah bentuk dari penderitaan. Dengan demikian bahwa
menyelesaikan masalah dengan bunuh diri adalah suatu indakan yang salah.
Euthanasia adalah
“tindakan dokter melepas pasien atau mengangkat tangan sehubungan
ketidakmampuannya menyembuhkan jenis penyakit yang diderita pasien”.(Buddha
Dhamma Kontekstual, 2000). Tindakan semacam ini semakin banyak dilakukan dengan
seizin pasien atau keluarga pasien. Tindakan euthanasia banyak dilakukan karena
penyakit yang diderita pasien tidak mungkin lagi untuk disembuhkan dan
keterbatasan biaya yang dimiliki keluarga adalah hal yang melatar belakangi
tindakan euthanasia. Namun seperti yang terjadi pada pasien.
B. Pandangan
Agama Buddha mengenai Euthanasia
Sesuai
dengan yang dijelaskan di atas bahwa euthanasia juga tindakan yang dilakukan
dengan permintaan pasien. Dengan demikian tindakan semacam ini juga disebut
sebagai bunuh diri. Dalam Engglish Pali Dictionary, kata bunuh diri
diartikan sebagai Attavada, attagatha…(Buddhadatta, 1995 : 515). Dalam
ajaran buddha dijelaskan bahwa kita hendaknya dapat melaksanakan sila dengan
baik, karena melaksanakan sila dapar terlahir di alam bahagia. Sang Buddha
menjelaskan bahwa:
“.....Bagi orang yang melaksanakan sila (kebajikan moral) akan mendapat
pahala dan kekayaan akan bertambah besar. Orang yang rajin mengerjakan apa yang
harus dikerjakan, berkelakuan baik dan memiliki keyakinan yang kuat, tidak
berbuat hal-hal yang memalukan dalam masyaraka, apakah dia dari golongan
kesatrya, para Brahmana, perumah tangga atau pun pertapa. Jika mereka
meninggal, mereka akan meninggal dengan tenang dan pada saat kehancuran
tubuh mereka setelah kematian, mereka akan terlahir kembali dalam keadaan
bahagia di alam surga (suggati)”. (Tim Penterjemah 1979 : 16-17).
Umat awam melaksanakan sila jumlahnya lima sila, isi sila
yang pertama adalah menghindari membunuh makhluk hidup. Suatu perbuatan dapat dikatakan
sebagai pembunuhan apabila memenuhi liam syarat yaitu:
1. ada makhluk hidup lain (pamo)
2. mengetahi bahwa makhluk itu hidup (panasannita)
3. berniat untuk membunuh (vadhakacittam)
4. melakukan usaha untuk membunuh (upakamo)
5. makhluk iti mati melalui usahanya (tena maranam). (Teja
S.M. Rashid, 1997 : 31-32).
Euthanasia bila dilihat dari sudut pandang agama buddha
berarti termasuk dalam pembunuhan manusia, walaupun pasien sendiri yang
menghendaki untuk dibunuh. Euthanasia adalah pembunuhan yang dilakukan dengan
kehendak (cethana). Euthanasia juga termasuk dalam tindakan bunuh diri, Sang
Buddha menetapkan tindakan membunuh manusia dan bunuh diri adalah termasik
pelanggaran parajika. dalam Vinaya pitaka III, dijelaskan bahwa:
“Bhikkhu siapapun yang dengan sengaja membunuh seorang manusia atau
menganjurkan seseorang untuk bunuh diri, termasuk orang yang terkalahkan dan
tidak lagi dalam pesamuan (dipecat dari sangha)”. (Horner, 1970 ).
Sang Buddha menetapkan peraturan tersebut berkenaan
dengan sejumlah bhikkhu yang merasa cemas, menderita, muak, dan jijik dengan
badan jasmani. Kejemuan dan kebosanan inilah yang menyebabkan para bhikkhu
melakukan bunuh diri atau minta kepada orang lain untuk membunuh. akibat dari
melakukan pembunuhan akan terlahir dialam menderita dan apabila terlahir
sebagai manusia maka akan terlahir dengan usia yang tidak panjang. Dalam Majjhima
Nikaya, dijelaskan bahwa:
“seorang wanita atau pria yang membunuh mekhluk hidup, kejam dan gemar
memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada smakhluk hidup, akibat
perbuatan yang dilakukannya itu dapat membawanya ke alam-alam rndah atau neraka
yang penuh dengan kesedihan dan penderitaan. Apabila terlahir kembali sebagai
manusia, di mana saja ia akan bertumimbal lahir, maka umurnya tidaklah akan
panjang.”. (Majjhima Nikaya 135).
Pandangan umum ada yang mengatakan bahwa kematian seorang
bayi adalah kematian yang suci, karena bayi tersebut belum melakukan perbuatan
jahat. Namun berbeda dengan pandangan agama Buddha yang mengenal adanya hukum
kelahiran kembali, artinya manusia hidup tidak hanya sekarang ini. Dengan
demikian bahwa kematian seorang bayi berarti buah kamma dari kehidupan yang
lampau, sehingga bayi tersebut memiliki umur pendek. Seperti yang dijelaskan di
atas bahwa umur pendek adalah akibat dari melakuakn pembunuhan terhadap makhluk
hidup. Jan Sanjivaputta menjelaskan, terdapat enam cara atau usaha
melakukan pembunuhan yaitu:
1. Pembunuhan yang dilakukan oleh diri sendiri
2. dengan menyuruh orang lain
3. dengan mengunakan senjata
4. dengan membuat perangkap yang permanen
5. dengan mengunakan ilmu perdukunan
6. dengan mengunakan kemampuan batin. (Manggala, 2002)
Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa, suatau
tindakan dapat dikatakan sebagai pembunuhan bukan hanya yang dilakukan oleh
diri sendiri tetapi juga pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara tersebut di
atas.
Agama Buddha adalah agama yang mengajarkan cinta kasih
(metta), yaitu cinta kasih yang universal kepada semua makhluk termasuk pada
diri sendiri. Euthanasia adalah tindakan yang salah yaitu merugikan diri
sendiri dan orang lain. bagaimana kita dapat memancarkan cinta kasih kita
kepada semua makhluk jika kita memiliki rasa cinta kepada diri sendiri. Sang
Buddha memiliki cinta kasih yang universal, dalam Digha Nikaya, Brahmajala
Sutta, dijelaskan bahwa “Tidak membunuh makhluk hidup, Samana Gotama
menjauhkan diri dari membunuh, ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia
malu melakukan kekerasan karana cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya
kepada semua makhluk”. (Tim Penterjemah, 1992 : 4).
Sang Buddha sangat mencintai kehidupan, beliau telah
menghindari untuk tidak membunuh makhluk. Demikian kita hendaknya meneladani
sifat-sifat Sang Buddha untuk tidak melakukan tidakan membunuh makhluk.
Demikian juga kita hendaknya untuk tidak melakukan membunuh diri sendiri.
“Kehidupan adalalah tidak pasti, tetapi kematian adalah pasti”. (Lanny Angawati,
1999 : 144). Kematian adalah suatu proses yang pasti akan datang pada setiap
makhlukn tanpa kita memintanya, jadi salah jika kita mempercepat
datangnya kematian dengan jalan bunuh diri. Sebab-sebab kematian dalam agama
Buddha ada empat macam yaitu:
1. Ayukkhaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya
usia,
2. Kammakaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya
kamma
3. Ubhayakkaya-marana, kematian yang disebabkan oleh
habisnya kamma dan usia,
4. Upacchedaka-marana, kematian yang disebabkan oleh
gangguan yang lain, sedangkan usia dan kamma belum habis. (Panjika, 1994 : 141)
Dari penjelasan di atas berarti Euthanasia atau tidnakan
bunuh diri, termasuk dalam kriteria yang keempat yaitu Upacchedaka-marana,
artinya kematian suatu makhluk karena gangguan lain bukan karena habisnya usia
dan kamma.
C. Akibat Euthanasia (bunuh diri)
Untuk pelaku bunih diri dapat terbebas dari jelaratan
hukum karena mereka meninggal, namun bagi mereka yang membantu melakukan
tindakan euthanasia dapat dijerat oleh hukum. Manusia yang melakukan bunuh diri
dapat terbebas dari jeratan hukum tetapi, mereka tidak akan terbebas dari kamma
yang telah dilakukannya. Tidak ada makhluk apapun yang dapat menghindari akibat
dari perbuatan yang mereka lakukan. Dalam Dhammapada dijelasklan bahwa:
“Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunug, atau di manapun
ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari
akibat perbuatan jahatnya”. (Tim Penterjemah, 2002 : 54).
D. Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan
hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari
seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus
mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak
sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan
pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk
memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan
informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang
jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus
orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain
disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus
menghargai pendapat-pendapat tersebut.
E. Kewajiban perawat dalam kasus
euthanasia
1. memfasilitasi klien dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya
2. membantu proses adaptasi klien terhadap
penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
3. mengoptimalkan
system dukungan
4. membantu klien untuk menemukan
mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
5. membantu
klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan
keyakinannya.
F. Beberapa aspek
euthanasia.
1. Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif
dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP
Pidana.
2. Aspek Hak Asasi.
Hak
asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi
tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya
justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari
aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu
Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan
penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan
untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala
upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang
lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli
ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu
memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim
dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak
ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan
dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang
umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah
lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya,
kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal
seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya
baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan
dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa
hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil
untuk menopangnya.
G. Euthanasia dipandang dari aspek hukum
di Indonesia
Berdasarkan
hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum,
hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada
Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari
ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif
terdapat pada pasal 344 KUHP.
1. Pasal
344 KUHP
barang
siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun. Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa
pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
2. Pasal
338 KUHP
barang
siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati,
dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3. Pasal
340 KUHP
Barang
siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, di hukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
4. Pasal
359
Barang
siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya
lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya
juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk
berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
5. Pasal
345
Barang
siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan
penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini,
maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan
tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.
H. Kode Etik Indonesia
1. Berpindah
ke alam baka dengan tenang daN aman tanpa penderitaan dan bagi Mereka
yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2. Waktu
hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat
penenang
3. Mengakhiri
penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya
BAB
III
Penutup
- Kesimpulan
Euthanasia merupakan suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena dengan tujuan meringankan penderitaan baik dengan cara positif maupun negatif. Perbuatan itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan.
B. Saran
Setelah
kita mengetahui pengertian euthanasia dan euthanasia menurut ajaran
agama-agama, kita hendaklah mengamalkan hal yang sudah kita ketahui menurut
agama yang kita anut, agar ilmu yang kita pelajari menjadi bermanfaat.
Daftar
Pustaka
http://satriomadangsego.blogspot.com/2012/03/euthanasia-dilihat-dari-sudut-pandang.html
0 komentar:
Posting Komentar