Pages

Rabu, 19 Maret 2014

Makalah Pandangan Agama Buddha Mengenai Euthanasia

Makalah Pandangan Agama Buddha Mengenai Euthanasia
Oleh: Putradi
Npm: 11110139

 
BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Beberapa waktu yang lalu masalah euthanasia mulai sering dibicarakan oleh masyarakat indonesia.Euthanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk pengakhiran hidup kepada seseorang yang mengalami sakit berat/parah dengan kematian tenang dan mudah atas nama perikemanusiaan.

Berkembang nya polemik di masyarakat antara masalah hak asasi manusia dengan kepercayaan bahwa awal dan akhir hidup manusia ada di tangan tuhan.Penyebab kasus euthanasia menjadi hal yang cukup menarik untuk dibahas.Adanya teknologi canggih dibidang medis,maka apa yang menurut ukuran masa lalu seharusnya orang dikatakan sudah mati,kini dia dapat bertahan hidup walaupun hanya secara vegetatif. Oleh karena itu,setiap orang mempunyai hak hidup,maka setiap orang juga mempunyai hak untuk memilih kematian yang di anggap menyenangkan bagi dirinya.Kematian yang menyenangkan inilah yang kemudian memunculkan istilah euthanasia.Dalam euthanasia orang yang melakukan tidak dapat dikatakan sebagai pembunuh karena euthanasia dibedakan dari pembunuhan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang jadi permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      .      Bagaimanakah euthanasia ditinjau dari agama islam ?
2.      Bagaimanakah euthanasia ditinjau dari agama hindu ?
3.      Bagaimanakah euthanasia ditinjau dari agama budha ?
C.    Tujuan penulisan makalah
Makalah ini diajukan dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas kelompok,bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang materi euthanasia.
D.    Manfaat penulisan makalah
Kegunaan penulisan makalah ini diharapkan akan memberikan masukan secara teoritis.  Aspek teoritis makalah ini diharapkan dapat memperluas tentang pengetahuan mengenai materi euthanasia ini sehingga kita dapat tercegah dari gangguan itu dan kita menjadi lebih tahu tentang euthanasia.

BAB II
Pembahasan
A.    Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa yunani, yaitu yaitu terdiri dari dua kata: “Eu” yang berarti baik, dan “Thanatos” yang berarti mati. (Derek, Aan 1986 : 3). Jadi maksud mati disini yaitu kematian secara baik. “Orang romawi tidak menunggu sampai mereka sakit, setiap saat mereka dapat mengambil keputusan untuk mati, sekali pun dalam masa puncak, sehingga mereka hanya akan memiliki kenangan yang indah tentang kehidupan”. (Jo, 2000 : 192).
Berbagai alasan kemanusiaan untuk melakukan tindakan euthanasia akhirnya sebagian negara barat ada yang mengesahkan/menglegalkan tindakan euthanasia tersebut. Di Indonesia sendiri euthanasia tidak dibenarkan, baik secara hukum maupun secara agama. Dokter yang melakukan euthanasia dapat dikenakan tuduhan direncanakan. Sedangkan pembunuhan yang direncanakan dapat dikenakan hukuman pidana pembunuhan yang diatur dalam hukum Pidana pasal 340 yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua  tahun”. (Andi Hamzah, 2004 : 134)
Dalam agam buddha terdapat tiga jenis nafsu keinginan (tanha) yaitu, keinginan untuk memuaskan nafsu inra (kama tanha), keinginan untuk hidup terus (bhava tanha) dan keinginan untuk mengakhiri hidup (vibhava tanha). Bunih diri adalah salah satu dari nafsu keinginan (tanha), yaitu vibhava tanha. Keinginan ini muncul karena ia melihat bahwa kehidupan ini dengan pandangan pesimis artinya semua yang dijalani membuatnya kecewa dan tidak pernah memuaskan, hingga akhirnya ia memiliki pandangan bahwa hidup semua masalah dapat diselesaikan dengan kematian. Dalam dhamma dijelaskan bahwa kematian bukan akhir dari penderitaan, namun kematian adalah bentuk dari penderitaan. Dengan demikian bahwa menyelesaikan masalah dengan bunuh diri adalah suatu indakan yang salah.
Euthanasia adalah “tindakan dokter melepas pasien atau mengangkat tangan sehubungan ketidakmampuannya menyembuhkan jenis penyakit yang diderita pasien”.(Buddha Dhamma Kontekstual, 2000). Tindakan semacam ini semakin banyak dilakukan dengan seizin pasien atau keluarga pasien. Tindakan euthanasia banyak dilakukan karena penyakit yang diderita pasien tidak mungkin lagi untuk disembuhkan dan keterbatasan biaya yang dimiliki keluarga adalah hal yang melatar belakangi tindakan euthanasia. Namun seperti yang terjadi pada pasien.
B.     Pandangan Agama Buddha mengenai Euthanasia
Sesuai dengan yang dijelaskan di atas bahwa euthanasia juga tindakan yang dilakukan dengan permintaan pasien. Dengan demikian tindakan semacam ini juga disebut sebagai bunuh diri. Dalam Engglish Pali Dictionary, kata bunuh diri diartikan sebagai Attavada, attagatha…(Buddhadatta, 1995 : 515). Dalam ajaran buddha dijelaskan bahwa kita hendaknya dapat melaksanakan sila dengan baik, karena melaksanakan sila dapar terlahir di alam bahagia. Sang Buddha menjelaskan bahwa:
“.....Bagi orang yang melaksanakan sila (kebajikan moral) akan mendapat pahala dan kekayaan akan bertambah besar. Orang yang rajin mengerjakan apa yang harus dikerjakan, berkelakuan baik dan memiliki keyakinan yang kuat, tidak berbuat hal-hal yang memalukan dalam masyaraka, apakah dia dari golongan kesatrya, para Brahmana, perumah tangga atau pun pertapa. Jika mereka meninggal, mereka akan meninggal dengan tenang dan pada saat  kehancuran tubuh mereka setelah kematian, mereka akan terlahir kembali dalam keadaan bahagia di alam surga (suggati)”. (Tim Penterjemah 1979 : 16-17).
Umat awam melaksanakan sila jumlahnya lima sila, isi sila yang pertama adalah menghindari membunuh makhluk hidup. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan apabila memenuhi liam syarat yaitu:
1.      ada makhluk hidup lain (pamo)
2.      mengetahi bahwa makhluk itu hidup (panasannita)
3.      berniat untuk membunuh (vadhakacittam)
4.      melakukan usaha untuk membunuh (upakamo)
5.      makhluk iti mati melalui usahanya (tena maranam). (Teja S.M. Rashid, 1997 : 31-32).
Euthanasia bila dilihat dari sudut pandang agama buddha berarti termasuk dalam pembunuhan manusia, walaupun pasien sendiri yang menghendaki untuk dibunuh. Euthanasia adalah pembunuhan yang dilakukan dengan kehendak (cethana). Euthanasia juga termasuk dalam tindakan bunuh diri, Sang Buddha menetapkan tindakan membunuh manusia dan bunuh diri adalah termasik pelanggaran parajika. dalam Vinaya pitaka III, dijelaskan bahwa:
“Bhikkhu siapapun yang dengan sengaja membunuh seorang manusia atau menganjurkan seseorang untuk bunuh diri, termasuk orang yang terkalahkan dan tidak lagi dalam pesamuan (dipecat dari sangha)”. (Horner, 1970 ).
Sang Buddha menetapkan peraturan tersebut berkenaan dengan sejumlah bhikkhu yang merasa cemas, menderita, muak, dan jijik dengan badan jasmani. Kejemuan dan kebosanan inilah yang menyebabkan para bhikkhu melakukan bunuh diri atau minta kepada orang lain untuk membunuh. akibat dari melakukan pembunuhan akan terlahir dialam menderita dan apabila terlahir sebagai manusia maka akan terlahir dengan usia yang tidak panjang. Dalam Majjhima Nikaya, dijelaskan bahwa:
“seorang wanita atau pria yang membunuh mekhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada smakhluk hidup, akibat perbuatan yang dilakukannya itu dapat membawanya ke alam-alam rndah atau neraka yang penuh dengan kesedihan dan penderitaan. Apabila terlahir kembali sebagai manusia, di mana saja ia akan bertumimbal lahir, maka umurnya tidaklah akan panjang.”. (Majjhima Nikaya 135).
Pandangan umum ada yang mengatakan bahwa kematian seorang bayi adalah kematian yang suci, karena bayi tersebut belum melakukan perbuatan jahat. Namun berbeda dengan pandangan agama Buddha yang mengenal adanya hukum kelahiran kembali, artinya manusia hidup tidak hanya sekarang ini. Dengan demikian bahwa kematian seorang bayi berarti buah kamma dari kehidupan yang lampau, sehingga bayi tersebut memiliki umur pendek. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa umur pendek adalah akibat dari melakuakn pembunuhan terhadap makhluk hidup.  Jan Sanjivaputta menjelaskan, terdapat enam cara atau usaha melakukan pembunuhan yaitu:
1.      Pembunuhan yang dilakukan oleh diri sendiri
2.      dengan menyuruh orang lain
3.      dengan mengunakan senjata
4.      dengan membuat perangkap yang permanen
5.      dengan mengunakan ilmu perdukunan
6.      dengan mengunakan kemampuan batin. (Manggala, 2002)
Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa, suatau tindakan dapat dikatakan sebagai pembunuhan bukan hanya yang dilakukan oleh diri sendiri tetapi juga pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara tersebut di atas.
Agama Buddha adalah agama yang mengajarkan cinta kasih (metta), yaitu cinta kasih yang universal kepada semua makhluk termasuk pada diri sendiri.  Euthanasia adalah tindakan yang salah yaitu merugikan diri sendiri dan orang lain. bagaimana kita dapat memancarkan cinta kasih kita kepada semua makhluk jika kita memiliki rasa cinta kepada diri sendiri. Sang Buddha memiliki cinta kasih yang universal, dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, dijelaskan bahwa “Tidak membunuh makhluk hidup, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh, ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu melakukan kekerasan karana cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk”. (Tim Penterjemah, 1992 : 4).
Sang Buddha sangat mencintai kehidupan, beliau telah menghindari untuk tidak membunuh makhluk. Demikian kita hendaknya meneladani sifat-sifat Sang Buddha untuk tidak melakukan tidakan membunuh makhluk. Demikian juga kita hendaknya untuk tidak melakukan membunuh diri sendiri. “Kehidupan adalalah tidak pasti, tetapi kematian adalah pasti”. (Lanny Angawati, 1999 : 144). Kematian adalah suatu proses yang pasti akan datang pada setiap makhlukn tanpa kita memintanya, jadi  salah jika kita mempercepat datangnya kematian dengan jalan bunuh diri. Sebab-sebab kematian dalam agama Buddha ada empat macam yaitu:
1.      Ayukkhaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya usia,
2.      Kammakaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya kamma
3.      Ubhayakkaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya kamma dan usia,
4.      Upacchedaka-marana, kematian yang disebabkan oleh gangguan yang lain, sedangkan usia dan kamma belum habis. (Panjika, 1994 : 141)
Dari penjelasan di atas berarti Euthanasia atau tidnakan bunuh diri, termasuk dalam kriteria yang keempat yaitu Upacchedaka-marana, artinya kematian suatu makhluk karena gangguan lain bukan karena habisnya usia dan kamma.
C.     Akibat Euthanasia (bunuh diri)
Untuk pelaku bunih diri dapat terbebas dari jelaratan hukum karena mereka meninggal, namun bagi mereka yang membantu melakukan tindakan euthanasia dapat dijerat oleh hukum. Manusia yang melakukan bunuh diri dapat terbebas dari jeratan hukum tetapi, mereka tidak akan terbebas dari kamma yang telah dilakukannya. Tidak ada makhluk apapun yang dapat menghindari akibat dari perbuatan yang mereka lakukan. Dalam Dhammapada dijelasklan bahwa: “Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunug, atau di manapun ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya”. (Tim Penterjemah, 2002 : 54).
D.    Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.
E.     Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
1.       memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
2.       membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
3.      mengoptimalkan system dukungan
4.       membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
5.      membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya.
F.      Beberapa aspek euthanasia.
1.      Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
2.      Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3.      Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4.      Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
G.    Euthanasia dipandang dari aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
1.      Pasal 344 KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
2.      Pasal 338 KUHP
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3.      Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di      hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
4.      Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
5.       Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
H.    Kode Etik Indonesia
1.      Berpindah ke alam baka dengan tenang daN aman tanpa penderitaan dan bagi  Mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang
3.      Mengakhiri penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya

BAB III
Penutup

  1. Kesimpulan

Euthanasia merupakan suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena dengan tujuan meringankan penderitaan baik dengan cara positif maupun negatif. Perbuatan itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan.
B.     Saran
Setelah kita mengetahui pengertian euthanasia dan euthanasia menurut ajaran agama-agama, kita hendaklah mengamalkan hal yang sudah kita ketahui menurut agama yang kita anut, agar ilmu yang kita pelajari menjadi bermanfaat.



Daftar Pustaka
http://satriomadangsego.blogspot.com/2012/03/euthanasia-dilihat-dari-sudut-pandang.html


0 komentar: