(Unggul dalam menjalankan latihan keras)
Y.A.Maha Kassapa terlahir sebagai putera tunggal Brahmana Kapila dan
isterinya Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan.
Setelah dewasa orangtuanya menyuruhnya menikah, Pipphali menolak dengan
berkata, “selama ayah dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu.
Setelah itu saya akan meninggalkan hidup keduniawian.” Karena orangtuanya
mendesak terus untuk menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan
ia akan menikah apabila ditemukan seorang gadis secantik gadis dalam lukisan
itu. Banyak orang yang dikirim untuk mencari gadis seperti yang ada dilukisan
itu. Di kota Sagala mereka bertemu Bhadda Kapilani, gadis yang sesuai dengan
lukisan itu dan juga belum mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhadda Kapilani
menikah dan hidup bersama sampai orangtua Pipphali meninggal dunia.
Setelah kematian orangtuanya, Pipphali dan Bhadda Kapilani memutuskan untuk
meninggalkan kehidupan keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong
rambut, membawa mangkuk, dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena tidak
pantas berjalan bersama-sama, maka mereka memutuskan untuk berpisah di
persimpangan jalan. Pipphali menuju ke arah kiri dan Bhadda Kapilani menuju ke
arah kanan.
Dalam perjalanan, Piphali melihat Sang Buddha sedang duduk di kaki pohon
Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di satu sisi serta
memohon diterima sebagai murid. Sang Buddha mentahbiskannya dengan memberikan
tiga nasihat.
O Kassapa, engkau harus selalu ingat, bahwa engkau harus hidup sederhana dan
patuh kepada bhikkhu yang lebih tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua,
engkau mendengarkan Dharma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya.
Ketiga, engkau harus menyadari dan memperhatikan tubuhmu sebagai obyek
meditasi.”
Pada perjalanan kembali, Kassapa memohon untuk menukar jubahnya yang baru
dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Dapat memakai jubah Sang Buddha, maka
Kassapa memutuskan untuk melaksanakan latihan Duthanga (tinggal di hutan).
Delapan hari kemudian ia mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat. Sedangkan
Bhadda Kapilani menuju ke sebuah vihara di Titthiyas dekat Jetavana. Dia
tinggal disana selama 6 tahun. Kemudian setelah Maha Prajapati Gotami diijnkan
untuk menerima penahbisan sebagai bhikkhuni. Tak lama kemudian, ia mencapai
Arahat dan merupakan siswa yang terkemuka diantara para bhikkhuni yang dapat
mengingat kehidupan-kehidupan lampau.
Y.A.Kassapa sering dijadikan suri tauladan tentang sikap yang baik dari
seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau
selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan dana makanan, selalu memakai
jubah bekas (pembungkus maya), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup
menjauhi masyarakat yang ramai, dan terkenal sangat rajin.
Y.A.Kassapa merupakan salah satu siswa utama Sang Buddha yang masih hidup
setelah wafatnya Sang Buddha dan merupakan bhikkhu yang dihormati karena
kesungguhannya dalam melakukan pelatihan yang keras. Selain itu, beliau
merupakan satu-satunya bhikkhu yang bertukar jubah dengan Sang Buddha dan
memiliki tanda dari 32 tanda manusia agung yang dimiliki Sang Buddha dan
mencapai parinibbhana (meninggal dunia) pada usia 120 tahun.
RIWAYAT
PARA ARIYA:
ARAHAT
MAHA KASSAPA
pada waktu perabuan Sang Buddha-Sarira
di Citakadhara, Makuta Bandhara Cetiya terjadi suatu kejadian aneh, yaitu pada
waktu jenasah Sang Buddha hendak diperabukan, dimana segala sesuatu telah siap,
akan tetapi upacara perabuan harus ditunda untuk sementara waktu sambil
menunggu kedatangan Yang Mulia Maha Kassapa yang berusia tua, yang sedang dalam
perjalanan dari kota Pava ke Kusinara, untuk memberi kesempatan kepada Beliau
terlebih dahulu untuk memberi penghormatan terakhir pada Sang Buddha.
Setelah upacara perabuan selesai, Yang Mulia Kassapa mengumpulkan para
Arahat yang hadir dalam upacara tersebut untuk mengadakan pesamuan (Sanggayana)
secepat mungkin demi mencegah perpecahan dalam agama dan kecemasan para siswa
yang bisa terjadi setelah Sang Buddha wafat; juga untuk memperkuat prinsip
dasar agama dalam sistem yang diteruskan oleh para bhikkhu Sangha sebagai wakil
dari Mahaguru Sang Buddha untuk masa selanjutnya.
Mahathera tertua itu adalah yang mulia Kassapa, yang akan kita pelajari
riwayat hidupnya serta aktivitas beliau.
Kehidupan orang
biasa
Nama asli Yang Mulia Kassapa adalah Pipphali, seorang putra dari seorang
brahmana bernama Kapila keturunan Kassapa. Kassapa lahir di desa Mahatittha,
dekat kota Rajagraha di Propinsi Magadha, Jambudipa.
Pipphali lahir sebelum Buddhis era ±100 tahun. Beliau sangat disayangi oleh
ayah dan ibunya.
Dalam suatu selang waktu, Pipphali terlahir di saat belum ada Buddha
Sasana. Kebanyakan penduduk Jambudipa beragama Brahma, suatu doktrin yang mengajarkan
bahwa Sang Brahmana menciptakan dunia dan segala isinya, juga yang membuat
supaya manusia memperoleh kesengsaraan atau kebahagiaan; ini dinamakan :Brahma Likita.
Siapa saja yang menginginkan Sang Brahma memberi apa saja kepadanya, atau
menginginkan sengsara, seharusnya melaksanakan upacara Pujayanna. Pada saat
yang bersamaan ada orang yang meninggalkan keduniawian untuk menjadi rahib guna
mencari kebebasan dari dukkha, dan banyak lagi yang menjadikan dirinya sebagai
guru yang mengajarkan tentang doktrin di desa Uruvela yang tidak begitu jauh
dari desa Maha Tittha, juga ada asrama para mahaguru yang berdampingan di tepi
Sungai Neranjara. Mereka itu sering mengakui dirinya sebagai orang penting,
seorang Arahanta dan merupakan orang yang mengetahui doktrin-doktrin yang lebih
penting dari doktrin lainnya.
Pipphali di samping mendapat pelajaran tentang pengetahuan, mata
pencaharian yang sesuai dengan yang dilakukan nenek moyang, juga mendapat
bimbingan tentang ajaran doktrin supaya yakin terhadap doktrin Brahmana dan
senantiasa mempraktikkan doktrin tersebut secara tekun.
Pada waktu ia berumur 20 tahun, pemuda Pipphali menikah dengan
Bhaddakapilani, seorang putri keturunan Brahmana yang berusia 16 tahun. Mereka
hidup harmonis dan setelah orang tuanya meninggal, ia menjadi pewaris yang
menurunkan keturunan yang baik, menjadi orang yang kaya dan dihargai oleh para
keluarga serta kawan-kawannya.
Pada saat menjelang tua, ia belum dikaruniai anak. Dengan demikian ia
berunding dengan isterinya tentang kehidupan dan aktivitasnya. Akhirnya mereka
berpendapat bahwa kekayaan dan keturunan telah diurus dan diteruskan dengan
baik, sesuai dengan kewajiban penerus yang baik. Mata pencaharian telah
berkembang maju sehingga bertambah banyak. Tetapi tidak ada gunanya
mengumpulkan harta yang akan menjadi beban bagi orang lain dikemudian hari.
Kini seharusnya mengatur harta dan pekerjaan, memberi wewenang kepada mereka
yang patut menerimanya, dan setelah itu masing-masing akan meninggalkan
keduniawian untuk mencari kebebasan dari dukkha sesuai dengan tradisi Brahmana.
Harta yang ada dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk orang lain, dan diri
sendiri akan memperoleh perdamaian batin pada akhir kehidupan.
Akhirnya Pipphali dan isterinya melaksanakan apa yang telah dirundingkan
yaitu mengatur harta dan kemudian mereka berpisah untuk menjadi rahib yang
mencari perdamaian dan kebahagiaan sesuai dengan doktrin Brahmana pada waktu
itu.
Bertemu dengan
Sang Guru
Pipphali yang sekarang menjadi rahib sebenarnya belum saatnya untuk
dibimbing dan dididik oleh seorang guru, sebab ia masih ragu apakah
doktrin-doktrin tersebut dapat membawa dirinya terbebas dari dukkha yang
sesungguhnya. Ia hanya mempunyai cita-cita akan menjadi seorang rahib dan
menyerahkan hidupnya kepada Sang Arahanta yang sebenarnya, dan apabila Sang
Arahanta itu ada di dunia ini, kemanapun juga ia akan mencarinya sampai
bertemu.
Pada suatu hari, pada waktu beliau sedang berjalan dari kota Nalanda ke
kota Rajagraha, ibukota dari Magadha, beliau bertemu dengan Sang Buddha yang
sedang duduk di bawah pohon beringin yang besar, yang dikenal dengan nama
Bahuputtanigrodha, yang terletak di sebuah desa diantara perbatasan ibukota
Rajagraha dan kota Nalanda. Rahib Pipphali melihat Sang Buddha yang berwajah
cerah sekali dan memiliki sikap tenang yang patut untuk dihormati. Kemudian
beliau menghadap ke arah dimana Sang Buddha duduk.
Disitulah Sang Buddha menyambut rahib Pipphali yang tua, yang berasal dari
golongan lain. Ketika mendengar pokok Sacca Dharma yang diutarakan oleh Sang
Bhagava, muncullah keyakinan terhadap Sang Buddha, ia yakin akan terbebas dari
dukkha yang sebenarnya. Kemudian ia menyatakan dirinya menjadi pemeluk
Buddhasasana pada saat itu juga.
Sang Buddha menerima rahib Pipphala sebagai Buddha Mamaka dan pada suatu
kesempatan Sang Buddha memanggil Pipphali dengan nama keturunan (Kassapa) untuk
kepentingan nama yang lama kepada Pipphali. Oleh karena itu maka para Bhikkhu
Sangha dan para umat memanggil beliau dengan nama “Kassapa”, sesuai dengan
panggilan dari Sang Buddha.
Pada waktu selanjutnya, ada juga bhikkhu lain yang bernama Kassapa. Karena
inilah maka semua orang kemudian memanggil rahib Pipphali dengan nama “Maha
Kassapa”. Dengan demikian nama yang terdahulu tidak dipakai lagi.
Penahbisan dan
pencapaian Arahat
Rahib Maha Kassapa tidak membuang waktu sia-sia setelah Sang Buddha
menerimanya sebagai Buddhasasanika (pemeluk agama Buddha). Ia memohon untuk
Upasampada (pentahbisan menjadi Bhikkhu) menjadi seorang bhikkhu dalam Agama
Buddha pada saat itu.
Pentahbisan menjadi bhikkhu pada waktu itu belum diijinkan oleh Sang Buddha
untuk dilakukan secara pesamuan Sangha dengan mengadakan Sanghakamma (kegiatan
para bhikkhu yang sesuai dengan vinaya). Pentahbisan pada saat itu hanya dengan
satu cara, yaitu Sang Buddha mengijinkan seseorang menjadi bhikkhu yang disebut
ehi bhikkhu upasampada. Tetapi dalam memberikan upasampada kepada Maha Kassapa
ini, Sang Buddha menggunakan metode lain dimana Maha Kassapa menerima nasihat
Sang Buddha. Cara ini disebut Ovadapatiggahana-Upasampada. Sang Buddha
menggunakan metode ini karena Maha Kassapa telah berusia lanjut dan juga telah
menjadi rahib dari ajaran lain.
Dalam pentahbisan menjadi seorang bhikkhu dalam Buddha Sasana, Maha Kassapa
harus mengendalikan dan menyesuaikan diri misalnya harus menghormati bhikkhu
yang lebih dahulu ditahbiskan walaupun bhikkhu itu lebih muda usianya.
Disamping itu metode untuk melatih pikiran menurut Ajaran Sang Buddha berbeda dengan
ajaran lain.
Dengan demikian Sang Buddha memberikan upasampada dengan tiga nasihat
sebagai berikut:
“Duhai Kassapa, setelah engkau ditahbiskan dengan tiga nasihat sebagai
berikut:
- harus merasa malu dan segan terhadap para bhikkhu lain, baik yang lebih senior, yang sederajat, maupun yang lebih muda.
- harus memperhatikan sewaktu menerima ajaran dan menganalisa maksud serta pokok ajaran dengan penuh hormat.
- harus menganalisa Sankhara (badan jasmani/pancakhanda) dari dirimu.”
Maha Kassapa menerima nasihat dari Sang Buddha dengan rasa hormat. Setelah
Sang Buddha berpisah dengannya, ia berusaha melaksanakan nasihat itu dengan
sungguh-sungguh, yaitu: melepaskan Ditthi-mana (tinggi hati, kesombongan) dan
tidak merendahkan orang lain, siap untuk menerima nasihat dari para bhikkhu
lain walaupun mereka lebih muda; ia harus berusaha keras untuk melatih pikiran
dengan sungguh-sungguh. Dan pada hari kedelapan sejak hari upasampada Beliau
mencapai Arahat, yaitu kesucian tertinggi yang terbebas dari semua kilesa (kekotoran
batin).
MAHA KASYAPA
Diantara pembentukan kitab suci dan pencerahan di luar
kitab suci
Setiap pribadi orang itu memang unik, masing-masing punya kekayaan
pengalaman hidupnya sendiri. Begitulah kalau kita membaca dan menyimak
kehidupan sebagai tokoh bodhi, siswa-siswa Hyang Buddha. Membaca kisah hidup
mereka, terutama pengalaman pencapaian kesucian dan pencerahannya, sungguh akan
memperkaya pengalaman rohani kita. Banyak peristiwa kehidupannya yang menarik
dan mengesankan, dimana kita dapat menimba percikan-percikan penderahannya.
Mereka juga mungkin bisa kita jadikan teladan atau idola. Tetapi justru
karena kita mengerti setiap orang itu unik, kitapun menjadi sadar bahwa
bagaimanapun kita berteladan kepadanya, kita bukanlah duplikat darinya. Sang
Buddha memang memberikan jalan, namun kita sendirilah yang harus menjalaninya.
Proses pencerahan kebodhian itu tidak pernah persis sama, karena diri kita
masing-masing memiliki keunikannya. Banyak peristiwa yang tampaknya
kontradiktif yang terjadi yang justru memperkaya kehidupan seseorang. Maha
Kasyapa adalah satu diantara sekian banyak siswa-siswa Hyang Buddha yang
memiliki pengalaman dan peristiwa kehidupan yang menarik dan mengagumkan itu.
Pemimpin Sidang
Agung
Maha Kasyapa semula dikenal sebagai pertapa yang bernama Pipphali. Pipphali
adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kasyapa yang bernama Kapila. Ayahnya
beristerikan Sumanadevi yang berasal dari desa Mahattha di negara Magadha.
Pipphali bertemu dengan Sang Buddha ketika Sang Buddha beristirahat di
bawah pohon beringin bahuputtaka, perbatasan antara Rajagraha dan Nalanda.
Pipphali menghampiri Sang Buddha, dan setelah mengetahui yang diajak berbicara
adalah seorang Buddha, ia pun kemudian memohon untuk diterima menjadi murid.
Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasihat: ”Oh
Kasyapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana
dan patuh kepada para bhikkhu yang lebih tua, yang muda dan yang setengah tua.
Kedua, engkau harus mendengarkan Dharma dengan baik, memperhatikannya dan
merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu
dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi”.
Setelah ditahbiskan, Kasyapa mohon menukar jubahnya yang baru dengan jubah
Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan
perjalanannya menuju Rajagraha.
Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas
Sang Buddha, Kasyapa kemudian dengan tekun melaksanakan meditasi Dhutanga.
Dikatakan bahwa pada hari kedelapan ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha Kasyapa sering dijadikan suri tauladan tentang sikap yang baik dari
seseorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi Bhikkhu sampai berusia
lanjut, Maha Kasyapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan,
selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat); merasa puas dengan pemberian yang
sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin
sekali.
Ketika ditanya, mengapa ia menjalani kehidupan keras, Maha Kasyapa
mengatakan bahwa ia berbuat semua itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya
sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain kelak di kemudian hari.
Maha Kasyapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang yang benar-benar
ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Maha
Kasyapa (Kasyapa Agung).
Tiga bulan setelah Sang Buddha parinibbana, Maha Kasyapa mengetuai sidang
agung (Sanghasamaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa
Sattapani, kota Rajagraha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu
dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan selama 45
tahun ditempat-tempat berlainan dan kepada orang-orang yang berlainan.
Himpunan semua tata tertib dan khotbah Sang Buddha itu kemudian dibakukan
menjadi kitab suci Agama Buddha yang terkelompok dalam Vinaya dan Sutta Pitaka.
Bisa di katakan Maha Kasyapa yang memimpin sidang agung itu adalah tokoh yang
berperan besar bagi terbakukannya kitab suci. Maha Kasyapa meninggal pada usia
120 tahun.
Di luar kitab
suci
Ironisnya, nama yang sama ini sering disebut-sebut sebagai tokoh yang
mengawali timbulnya Chan Buddhisme atau Zen Buddhisme, suatu aliran Buddhis
yang mengajarkan bahwa Dharma itu mengatasi kata-kata, menitik beratkan
pencapaian pencerahan secara intuitif spontan, dan transmisi pencerahan yang di
luar kitab suci.
Chan Buddhism atau Zen Buddhisme yang termasuk dalam Mazhab Mahayana ini
seakan-akan meniadakan hubungan dengan ajaran-ajaran Buddha yang kemudian hari
menjadi teks, terbakulah menjadi kitab suci yang sidangnya dipimpin oleh Maha
Kasyapa itu. Dalam Chan Buddhism, ajaran Sang Buddha selama 45 tahun mengajar
dan dicatat dalam kitab suci (Tri Pitaka) yang tak terbatas itu tidak memiliki
hubungan awal mula dengan Chan, yang justru bermunculanChan ini bermula karena
Maha Kasyapa.
Menurut kisahnya, suatu hariketika Sang Buddha sedang mengajar di puncak
burung hering, Grdhrakuta, daerah Rajagraha, sedang menaiki tahtanya. Beliau
memetik setangkai bungan (bunga kumbala), dan menunjukkan kepada yang hadir
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Peristiwa ini tidak ada seorang pun yang
memahami maknanya, kecuali Maha Kasyapa yang menanggapinya dengan senyum.
Melihat Maha Kasyapa tersenyum, Sang Buddha kemudian berkata, “Aku memiliki
mata Dharma dari doktrin yang benar dan pikiran yang indah akan nirvana. Bentuk
yang sejati sebenarnya adalah kekosongan dan pintu Dharma yang halus. Semua ini
telah aku wariskan kepada Maha Kasyapa.” Kejadian ini dianggap sebagai awal
mula dari tumbuhnya aliran Chan.
Pewarisan pencerahan dalam Chan terjadi tanpa menggunakan bahasa lisan atau
tertulis, tetapi diteruskan langsung dari pikiran ke pikiran. Istilah Chan
sendiri adalah bentuk ringkas dalam bahasa China untuk istilah Dhyana yang
berarti meditasi atau bisa diterjemahkan sebagai perenungan yang hening.
Pada beberapa aliran Agama Buddha bergantung pada bantuan luar untuk
mencapai tingkat kebuddhaan, seperti pada teks-teks ajaran atau kitab suci. Ada
sebuah syair yang ditulis pada masa dinasti Tang di Cina, entah siapa penulisnya,
yang kiranya mencerminkan tentang intisari ajaran Chan itu.
“Sebuah warisan
di luar kitab-kitab suci. Tak tergantung pada kata-kata dan aksara. Langsung
mengarah pada pikiran (manusia). Mengerti hakikat dirinya sendiri dan menyadari
kebuddhaan.”
di dalam Chan justru sebaliknya, benar-benar hanya tergantung pada diri
sendiri. Para guru Chan percaya bahwa melihat sifat diri dan mencapai tingkat
Kebuddhaan adalah masalah pribadi perorangan. Tidaklah mungkin untuk menyadari
dalan tanpa bergantung pada yang lain.
Jaminan terbaik adalah bertanggung jawab pada diri sendiri dan berusaha
sendiri. Seseorang tidak dapat menemukan Dharma di luar pikirannya. Setiap
orang dibekali dengan sifat diri. Jika seseorang mencarinya dari dalam, ia akan
segera sadar, segera bangkit. Itulah jalan Dharma, dan dalam Chan itulah
kehidupan!.
0 komentar:
Posting Komentar