Makalah Aliran madhyamika
Oleh : Putradi
Npm : 1110139
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terdapat banyak
aliran agama Buddha. Agama Buddha pecah menjadi berbagai macam aliran namun
dengan begitu cara pengembangan ajaran Dhamma tidak saling bertentangan. Aliran
Madhyamika dan Aliran Sukavati termasuk dari perpecahan dari agama Buddha.
Antara abad
I dan II masehi, Nagarjuna dan Arya Dewa mempelopori pandangan filsafat sunyata
yang juga disebut kaum Madhyamika. Aliran filsafat ini berkembang dengan baik
sekali di India Utara sehingga abad yang ketuju dengan para filsuf yang
terkenal seperti Candrakirti, Dignaga dan sebagainya. Pada abad ke V masehi,
Kumarajiva memperkenalkan aliran ini ke Tiongkok dengan menterjemahkan
Madhyamika sastra ke dalam bahasa Tionghoa sehingga berkembang terus sampai
abad VII dan kemudian di perkenalkan ke Korea dan Jepang.
Di Tiongkok
dan Jepang berkembang pula aliran Sukhavati, aliran ini tidak tidak menitik beratkan
pelajaran atau penyelidikan sutra-sutra yang berat atau meditasi yang berat,
tetapi yang terpenting adalah pematuhan terhadap sila terutama yang berhubungan
dengan pancasila. Dan meyakini bahwa dengan penyerahan diri serta bertobat
dengan mengulangi sebutan mulia “Namo Amitabha Buddha (Namo O Mi To Hut/ O Mi
Tho Fo)” akan membangkitkan kebuddhaan yang terdapat di dalam diri dan
mengaktifkannya untuk melakukan kebajikan dalam maitri-karuna.
Dengan
banyaknya aliran-aliran mahayana yang berkembang ini ajaran Dhamma tidak saling
bertentangan dan tetap berpegang pada pokok-pokok ajaran dalam mahayana.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas maka timbul permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan aliran Madhyamika?
2. Bagaimana perkembangan aliran Sukhavati?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah mendeskripsikan
aliran Madhiyamika dan aliran Sukhavati.
D. Manfaat
Setelah mempelajari makalah mahayana ini diharapkan mahasiswa dapat
mengkaji dan memahami isi dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Aliran
Madhyamika dan aliran Sukhavati yang merupakan bagian dari aliran mahayana. Serta
memberikan pemahaman yang baru bagi mahasiswa maupun para pembaca umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Madhyamika
Filsafat
Madhiyamika yaitu yang berhubungan dengan diluar pengetahuan dan pengalaman
manusia biasa, bukan skeptis atau
agnosticsm (suatu pandangan yang beranggapan dengan rasio dan materi seseorang
dapat mengenal kebenaran Absolut), tetapi merupakan suatu keterbukaan untuk
setiap orang yang ingin mengenal dan merealisasikan kebenaran. Absolut dapat
mengerti melalui kategori dari pikiran ialah fenomena dan mengupas kategori ini
ialah Absolut. Aliran Madhyamika dikenal dengan sebutan sunyavada. Aliran yang
konsisten dengan jalan tengah Buddha (Majjhima patipada) dalam tatanan
filosofis ini terkenal dengan ajarannya tentang sunya (kekosongan ), sehingga
disebut sunyavada.
Tokoh utama pendiri
aliran yang bersumber kepada prajna-paramita sutra ini adalah Nagarjuna yang
diperkirakan hidup sekitar abad pertama Masehi. Tokoh utama aliran Madhyamika
lainnya, Arya dewa dengan karyanya catuh sataka, serta penerus-penerusnya
seperti Buddhapalita, Bhavaviveva, Candrakirti dan Santideva.
Nagarjuna, tokoh
terbesar dalam aliran Mahayana menulis berjilid-jilid komentar atas
prajna-paramita sutra, yang terkenal sebagai Mahaprajna-paramita-sutra (Risalah
besar tentang kebijaksanaan sempurna). Ajaran aliran ini berpengaruh luas
terhadap aliran-aliran Mahayana lainnya. Di cina ajaran aliran Madhyamika
berkembang berkat kumarajiva yang sekitar tahun 402-405 menterjemahkan kedalam
bahasa cina mahaprajnaparamita-sutra karya Nagarjuna.
Sejumlah tulisan
karya Nagarjuna merupakan isi ajaran aliran Madhyamika. Diantarnya terdapat dua
risalah kefilsafatan Nagarjuna, yaitu:
1. Mulamadhyavartani-karika atau pokok-pokok
jalan tengah,
2. Vigrahavyavartani atau penghindaran
Bantahan-bantahan.
Risalah-risalah
kefilsafatan lainnya, misalnya:
1. Sunyata-saptati (tujuh puluh bait tentang
kekosongan )
2. Yuksti-sastika (Enam puluh bait tentang
pertautan )
3. Vaidalyaprakarana (keterangan tentang
vaidalya sutra)
4. Suhrlekha (surat persahabatan)
5. Rajaparikatha-Ratnamala karangan-karangan
permata Nasehat kepada Raja)
6. Catuhstava (empat Himme)
7. Dasabhumivibhasa-satra
8. Ratnavali
9. Pratityasamutpadahrdaya
10. Vigrahavyavartani.
Terdapat tiga teks
penting karya Nagarjuna yang ditemukan dalam bahasa Cina, dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dalam tradisi Madhyamika Cina serta aliran-aliran
seperti Tanah Suci, Sukhavati. Ketiga teks adalah:
1. Mahaprajnaparammita-sastra; penjelasan
tentang (sutra) kesempurnaan kebijaksanaan.
2. Dasabhumivibhasa-sastra; penjelasan
tentang pencerahan melalui sepuluh tahapan Bodhisattva.
3. Dvadasadvara-sastra; penjelasan tentang
Duabelas rangkaian pintu-masuk.
Risalah yang
ketiga, bila digabung dengan karika dan dengan catuh sataka karya Arya Dewa,
merupakan tiga-risalah yang menjadi sumber atau garis keturunan Madhyamika di
atas timur; San-lun dii Cina, atau
Sanron-Shu di Jepang. Aliran Madhyamika merujuk kembali kepada karakter ajaran
Sang Buddha sebagai Madhyamapratipad atau Jalan
Tengah. Karenanya, Nagarjuna menamakan sistem filsafatnuya dengan nama
Madhyamaka atau Madhayama-sastra, nama yang tepat untuk ajaran yang maksudnya,
sedangkan Madhyamika adalah para penganutnya.
Prajnaparamita
sutra yang menjadi sumber aliran Madhyamika adalah sutra tentang kebijaksanaan
sempurna, yang melimputi:
1. Astasahasrika
2. Satasahasrika
3. Pancavimsatisahasrika
4. Astadasasahasrika
5. Hrydaya
sutra
6. Varjracchedika sutra.
Ajaran aliran
Madhyamika tidak bisa dipisahkan dari Nagarjuna, karenanya perumusan aliran
Madhyamika yang berarti jalan tengan tidak bisa dilepaskan dari sejarah
intelektuil dan spirituil pendirinya, Nagarjuna yang mengalami tradisi
Abhidharma dan Prajnaparamita. Kaum Abhidharma menjalankan praktik buddhis awal dengan mendefinisikan dan
merenungkan faktor-faktor kerja sama (dharma) dalam muncul dan lenyapnya segala
sesuatu (realitas). Teks-teks Abhidharma, yang dipelajari Nagarjuna dalam
aliran Sarvastivadin (leluhur mahayana, pemisahan dari kaum sthaviravada) ia
menganalisa, menjelaskan, dan mensistematisasikan ajaran Kanonik awal Sang
Buddha menerangkan tentang keberadaan, sebab-sebab dan kondisi-kondisinya,
serta kebebasan dari kebodohan dan penderitaan.
Bagi kaum
Abhidharma, usaha untuk itu bukanlah bersifat spekulatif, melainkan harus
teruji dalam pengalaman meditasi melalui suatu persepsi langsung terhadap
faktor-faktor yang mengkondisikan kemelekatan pribadi dan penipuan diri,
kekhayalan. Misalnya penyadaran yang waspada atas kesementaraan fakto-faktor
indriawi, mental, dan pikiran dalam kognisi (kesadaran penganalan), serta suatu
skema klasifikasi yang rinci dan beragam untuk memilih keadaan-keadaan persepsi
dan kognitif yang sesaat, serta penjabaran kondisi-kondisi yang berlangsung
dalam kemunculan dan kelenyapan segala sesuatu.
Hasil dari analisa
demikian, adalah penyadaran-langsung (dalam vipasana bhavana) bahwa manusia
tidak memiliki esensi-kekal (atman), dan bahwa hal-hal yang nampaknya substansi
hanya gabungan interaksi (pengaruh silang) faktor-faktor material, mental, dan
emosional yang terus menerus berubah. Dalam Prajnaparamita sutra, Nagarjuna
menemukan bahwa kesempurnaan kebersamaan terjadi atas pemahaman bahwa segala
sesuatu adalah kosong (sunya), bahwa
tiada entitas-entitas yang swa-ada dan tiada ciri-ciri hakiki dalam diri
seseorang ataupun dalam faktor-faktor kehidupan. Kebijaksanaan yang membebaskan
adalah penghindaran terus menerus atas kemelekatan bahkan ini pun berlaku
terhadap cita-cita spirituil seperti pencapaian nirvana kesempurnaan,
kebijaksanana, atau latihan jalan Bodhisatva. Dinyatakan bahwa kesempuurnaan
kebijaksanaan (prajnaparamita) pada dasarnya berhubungan dengan ”cara-cara
bijak” (upaya kausalia) untuk membantu pencerahan semua makhluk. Pendekatan
kontemplatif dalam kondisi Prajnaparamita ini adalah, dimana faktor-faktor
kehidupan (dharma) tidak lagi dianggap sebagai objek persepsi yang penting
dalam meditasi, karena objek-objek tersebut tidak memiliki ciri-ciri hakiki
(sunya). Pembahasan tentang kausalitas yang menjelaskan kemunculan keberadaan
dianggap hanya suatu pemahaman terbatas atas hakikat segala sesuatu dan bukan
wawasan terang sejati.
Wawasan terang
tertinggi dirumuskan sebagai penyadaran bahasanya terdapat ketidak munculan,
ketidak-lenyapan kehidupan. Sedangkan mengenai gagasan spirituil adalah bukanya
keterlepasan dari kehidupan berkondisi (nirvana), karena usaha ini menyatakan
adanya suatu pembedaan hakiki antara nirvana dan samsara, melainkan dalam
cita-cita Bodhisatva dengan penyadaran atas ketidak-berinti (nisvabhava) segala
sesuatu dan kebebasan semua makhluk. Nagarjuna dalam karyanya mungulas
Prajnaparamita Sutra memberikan peranan sentral terhadap gagasan mengenai
kekosongan (sunyata). Menurutnya, penyadaran spirituil terdalam memerlukan
penggalaman bahwa segala sesuatu yang ada adalah kosong (sunya). Dalam Mulamadyhamika Karika, Nagarjuna
menyatakan bahwa pengalaman atas kekosongan (sunyata). Hal ini senada dengan
pernyataan Buddha bahwa siapa yang menyelami Pratitysamutpada adalah menyelami
Dharma.
Kejeniusan dan
kreatifitas Nagarjuna dalam mengangkat pemikiran filosofis ajaran Buddha
tertuang dalam ajaran-ajarannya yang membentuk aliran Madhyamika.
Ajaran-ajarannya tersebut diantaranya adalah:
1.
Dialektika-Negatif-logis
dalam Tetralemma (Empat Dimensi Masalah) seperti: segala sesuatu yang ada adalah: a). Bukan tak ada, b). Bukan ada, c).
Bukan ada dan bukan tak ada, d). Bukan ada atau bukan-tak-ada.
Kemudian apakah
dunia itu a). Kekal, b). tidak kekal, c). kekal dan tidak kekal, d). tidak
kekal atau bukan tidak kekal.
Adapun empat
alternatif berdasar atau Catuskoti atau Tetralemma Dialektika Nagarjuna yang
masing-masing mencerminkan tesis: a). Positif, b). Negatif, c). Conjungtif, d).
Disjungtif.
Apapun pilihan
dari keempat alternatif tersebut bukanlah kebenaran, masing-masing keempatnya
termasuk pandangan yang spekulatif, entah itu Sasvata-vada; afirmasi yang
absolut, atau Ucchedavada; penolakan yang absolut. Conjungtif adalah perpaduan
semu, karenanya tidak mungkin begitu pun disjungtif, nihilisme sempurna. Jalan
tengah (Madhyamika pratipad) diajukan untuk menghindari kemutlakan keempat
alternatif tersebut, guna mengatasi kemelekatan, pandangan ekstrim yang
sifatnya kritis; mengkritik keempat alternatif tersebut sebagai suatu yang
mustahil menjangkau realitas (prasannapada atau reducitio adabsurdum). Realitas
mengatasi pemikiran. Dengan dialektikanya Nagarjuna menghindari jebakan-jebakan
dogmatisme yang dibangun atas rasio, realitas hanya terpahami dengan tumbuhanya
Prajna yang telah mengenali kemustahilan rasio.
2. Identifikasi Pratityasamutpada dengan
Sunyata
3. Kejelasan pemahaman tentang dua tingkat
kebenaran (konvensional dan Absolut atau Samvrti Satya dan Paramartha Satya),
yang mempunyai fungsi-fungsinya masing-masing dan manfaat bagi ketidak-
melekatan.
4.
Realitas
dan aktualisasi pemahaman kekosongan (sunyata) dalam kehidupan dan dunia
empiris. Bahwa kehidupan (dengan sesama) merupakan wadah tidak penyelaman dan
pemahaman sunyata.
Nagarjuna dengan
aliran Madhyamikanya menganjurkan tiada henti terhadap: kebijakan pribadi
seperti penghormatan terhadap peninggalan-peninggalan Sang Buddha, kasih sayang
terhadap makhluk-makhluk menderita, kepatuhan terhadap moral. Pengemabangan
sikap-sikap yang mendukung Prajna, seperti ketenangan, ketidak-takutan,
ketidak-terikatan, dan sikap bersahabat, serta pemahaman dan penghargaan yang
positif terhadap dunia empiris yang tercermin dalam pergaulan dengan ilmu
pengetahuan dan perwujudan komunitas hidup bersama yang membawa kedamaian,
ketentraman, dan kesejahteraan.
Tri-sastra
merupakan sebuah sekte yang mewarisi pandangan Madhyamika dari Nagarjuna. Terdapat Filsafat yang berisi tiga tujuan
utama dari pandangan Tri-sastra yaitu:
1. Menyangkal pandangan-pandangan yang salah
dan menegakkan pandangan yang benar.
2. Membedakan Samvrti Satya/ Sammutti Sacca
(kebenaran umum) dan paramartha Satya (kebenaran mutlak).
3. Mengenal delapan jalan tengah penyangkalan: tidak lahir, tidak kekal, tidak
sama, tidak datang, tidak lenyap, tidak terputus, tidak ada, tidak pergi.
Dialektika Madhyamika dimaksudkan sebagai alat
untuk mengatasi dogmatisme, juga berfungsi sebagai kritik dari teori-teori
(sunyata sarva-drstinam) sehingga dikatakan bahwa dialektika sendiri merupakan
filsataf. Metode madhyamika bersifat negatif, tetapi bukan hasilnya yang
negatif. Penyangkalan terhadap pandangan-pandangan dari kenyataan bukanlah
penyangkalan terhadap kenyataan, mereka menyangkal pandangan-pandangan yang
keliru secara dialektika sebagai alat tersebut merealisasikan kenyataan.
Menurut kaum
Madyamika, pembebasan terakhir hanya akan dapat direalisasikan melalui
pengertian terhadap sunya, yaitu dengan melepaskan semua pandangan, pendirian
serta pendapat. Tidak dapat memaksa orang lain untuk menerima apa yang kita
anggap positif mengenai pandangan kita dan menentang orang lain. Hal tersebut
tergantung pada usaha orang untuk mengerti dan merealisasikan suatu pandangan,
karena sifat-sifat dari pembatasan dan menentukannya, terbawa oleh sifat
dualisme itulah akar dari samsara.
Nagarjuna berkata
secara dialektik ”bila aku” telah ditentukan, maka keadaan lawannya, akan
menentangnya, dengan pembagian-pembagian dari ”aku” dan ”bukan aku’; maka
kemelekatan dan kebencian akan timbul. Samsara justru berada sepanjang
kemelekatan terhadap aku, keadaan, (paksa) mengakibatkan keadaan yang
berlawanan (pratipaksa) sedangkan dari keduanya mereka adalah nyata. Dengan perkataan, dengan berpegangnya pada
pandangan akan timbul kemelekatan dan kebencian.
B. Aliran Sukhavati
Aliran Sukhavati
adalah aliran Buddhis yang berdasarkan bakti puja terhadap Amitabha Buddha
sebagai salah satu Dhyani Buddha yang berada di sebelah barat/loka ini yang
disebut Sorga Sukhavati (alam yang penuh kebahagiaan, ketenangan, kedamaian). Aliran
ini tidak menitik beratkan pelajaran atau penyelidikan sutra-sutra yang berat
atau meditasi yang berat, tetapi yang terpenting adalah pematuhan terhadap sila
terutama yang berhubungan dengan pancasila serta sila yang berhubungan dengan
apa yang dilakukan oleh ucapan, badan
jasmani, dan pikiran.
Dengan bakti
terhadap Amitabha Buddha serta Avalokitesvara dan Mahasthmaprata Bodhisatva
serta Bodhisatva lainnya, seseorang dengan pasrah dan khusus menyerahkan diri pada
kekuatan maitri-karuna (kasih sayang dan welas asih) Amitabha Buddha beserta
Bodhisattva Mahasattva lainnya. Didalam bakti puja dan tanpa memikirkan hal-hal
yang bersifat rasional. Yang ada hanyalah bakti puja dan penyerahan total
terhadap maitri-karuna (kasih sayang dan welas asih) Amitabha Buddha serta
Bodhisatva lainnya dan secara psikologis berusaha membebaskan pikirannya
sendiri dari kekalutan dan kegelisahan. Segala pemikiran dikesampingkan, yang
penting penyerahan diri serta bertobat dengan mengulangi sebutan mulia “Namo
Amitabha Buddha (Namo O Mi To Hut/ O Mi Tho Fo)”. Pengulangan sebutan mulia
tersebut akan membangkitkan kebuddhaan yang terdapat di dalam diri dan
mengaktifkannya untuk melakukan kebajikan dalam maitri-karuna.
Dunia kita ini
penuh dengan hal-hal yang yang menyedihkan, yang tidak menyenangkan, hal-hal
yang tidak kekal, karena itu seseorang,
jika seseorang tidak dapat megatasi penderitaan-penderitaannnya dan
kesulitannay, harus menyerahkan diri sepenuhnya di atas jalan bakti puja dengan
mencari sesuatu ketenangan batin, kedamaian hati dan ‘kekekalan’: dengan
demikian, pemikiran yang rasional dikesampingkan. Dengan pematuhan terhadap
sila, itu berarti setiap manusia harus bertanggung jawab terhadap
perbuatannaya, perbuatan yang dilakukan melalui ‘ucapan’, ‘badan jasmani’, dan
‘pikiran’. Banyak kejadian didunia ini serta karma yang berubah justru
dilakukan oleh manusia melalui ucapan, badan jasmani dan pikiran. Dengan
penyerahan diri di dalam bakti puja juga berarti seseorang harus memperhatikan
apa yang dia lakukan di dalam kehidupannya. Ini bukan berarti dengan bakti puja
seseorang berusaha meloloskan diri dari perbuatan-perbuatan tidak baiknya.
Dengan metode
penyerahan diri di dalam bakti puja dan pelaksanaan sila didalam kehidupan sehari-harinya,
seseorang berusaha untuk menjadi manusia yang baik sesuai dengan pandangan
buddhis.
Aliran atau sekte
Sukhavati ini sangat populer, karena aliran ini menitik beratkan pemujaan
terhadap Amithabha. Dikatakan Amitabha tinggal di Sukhavati, yang berarti alam
atau bumi yang penuh dengan kebahagiaan. Sukhavati juga berarti kebahagiaan
terluhur atau tanah suci Buddha Amitabha.
Dalam aliran ini
dikenal istilah Buddha ksetra, yang berati adalah daerah kekuasaan atau alam
Buddha; berupa suatu sistem dunia dimana seorang Buddha tertentu tinggal
mengajarkan dharma pada makhluk-makhluk untuk membantu mereka mencapai
pencerahan batin.
Buddhaksetra
tersebut diluar dari triloka atau tiga rangkaian dunia yang terdiri dari: dunia
keinginan atau kamaloka, dunia bentuk atau rupaloka, dan dunia niskala atau
arupaloka. Karenanya Buddhaksetra tersebut bersifat ideal dan lokuttara (adi
duniawi, transenden), dan dikenal dengan sebutan Tanah Suci. Sukhavati tempat
Buddha Amitabha.
Amitabha sendiri
secara harafiah berarti: sinar atau cahaya yang tak terbatas. Ini berarti,
sewaktu seseorang dengan hati yang iklas dan khusus menyebut Namo Amitabha
Buddha pada waktu saat itu, moment pikirannya atau kesadarannya terarah pada
maitri karuna yang tak terbatas, laksana cahayanya yang menerangi segala
penjuru dalam semesta ini. Tanah cuci Sukhavati merupakan manifestasi Tathata
atau kedemikian. Keyakinan terhadap Buddha Amitabha merupaka hasil kontemplasi
yang dalam atas hakejat-Biddha, dimana semua ciri luar Sakyamuni dan semua kondisi
kehidupan duniawinya ditinggalkan, dan yang tersisa adalah Buddha ideal dengan
Pencerahan-Sempurna-Nya, yakni Yang Tak Terbatas (Amita) yang identik dengan
Tathata.
Amitabha secara
dimensi ruang berarti Cahaya-Tanpa-Batas atau disebut juga Amitayus. Bila ideal
mengenai nirvana yang tanpa ruang dan tanpa waktu, tanpa kelahiran dan tanpa
kematian. Tidak berubah atau tidak bergelombang itu terealisis, maka tidak lain
adalah Yang Tak Terbatas (Amita). Makhluk manusia masih berada dalam lingkup
fenomena dimana pengalamannya masih dibatasi oleh kategori-kategori pikiran.
Dan disyarati oleh kebodohan yang bersifat samvrti (duniawi, terbatas), dan
tidak dapat menjangkau Yang Mutlak (Dharmata). Yang mutlak pun tidak
mengajarkan kebenaran, karena Yang Mutlak adalah kebenaran itu sendiri. Hanya
seorang makhluk yang bersifat duniawi dan adi duniawi, satu kaki dalam fenomena
dan satu kaki dalam Yang Mutlak, baru dapat mengetahui yang mutlak dan
menunjukan jalan kepada makhluk-makhluk lain.
Karenanya
dibedakanlah antara Tathata (yang nyata, kebenaran mutlak) dan Tathagata yang
mengetahui kebenaran (Buddha). Atas dasar maha karuna (belaskasihan), seorang
buddha turun dari kedudukannya yang mulia untuk mengajarkan kebenaran pada
semua makhluk. Mereka yang menyebut Namo Amitabha Buddha adalah orang yang
membangkitkan kebuddhaan dalam dirinya dengan penuh kasih sayang dan welas asih
terhadap semua makhluk. Semasa hidup tekun menyebut Namo Amitabha Buddha,
melaksanakan pancasila, Maitri dan Karuna agar terlahir di sukhavati.
Sutra-sutra yang
menjadi pedoman aliran Sukhavati antara lain:
1. Amitabha Sutra
2. Maha Sukhavati Vyuha
3. Amitayus Dhyana Sutra
Filsafat buddha
yang berdasarkan maitri karuna telah berurutan berakar di semua sekte atau
aliran buddhis lainnya. Hal tersebut lebih ditonjolkan di dalam pemikiran
filsafat mahayana. Hal ini dapat terlihat di dalam pemikiran cita-cita
bodhisatva yang berusaha untuk menyempurnakan dirinya di dalam dasabhumi dan
berusaha sekuat untuk mengembangkan maitri karuna yang tidak terhingga tehadap
semua makhluk hidup tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri.
Bakti puja
terhadap Amitabha dilakukan secara simbolis, figuris, serta personalis sebagai
gambaran dari ketuhanan yang maha esa dan surgavati sebagai gambaran dari
nirvana secara pemikiran awam dan filosofis.
Sumber utama
mengenai mitologi Amitabha dan Kitab Suci Utama dari aliran sukhavati meliputi:
1. Sukhāvati-Vyūha-Sūtra (atau
Sutra-Amitabha teksa pendek terjemahan: Kumarajiva).
2. Māha-Sukhāvati-Vyūha-Sūtra
(atau Sutra-Amitābha teks panjang terjemahan Bhiksu Yueh-Chih Lokaraksha tahun
186 M., Bhiksu Sanghavarman tahun 252 M.).
3. Amitāyurdhyāna-Sūtra (Sutra
mengenai Meditasi terhadap Surga Sukhavati, terjemahan dari Sansekerta ke
bahasa Mandarin oleh Kalayasa tahun 424 M.).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian
diatas mengenai aliran Madhyamika dan aliran Sukhavati yang merupakan bagian
dari aliran mahayana, dapat disimpulkan bahwa aliran Madhiyamika adalah aliran
mahayana yang didirikan oleh Nagarjuna dan Arya Dewa (Abad I-II). Aliran ini
berpedoman pada hukum-hukum kesunyataan terutama yang membicarakan tentang
sesab-akibat (Pratityasamutpada), aliran ini berintikan tentang menyangkal yang
keliru dan menegakkan yang benar, penekanan pada arti penting terhadap
smavrtisatya dan paramartha satya, dan 8 metode untuk menyangkal secara
dialektika, yaitu: Tidak dilahirkan, tidak lenyap, tidak langgeng, tidak putus,
tidak sama, tidak berbeda, tidak datang dan tidak pergi. Aliran ini banyak
berkembang di Tiongkok.
Selain itu
terdapat pula aliran mahayana Sukhavati yang berpedoman pada Amitabha Sutra,
Maha Sukhavati Vyuha, Amitayus Dhyana Sutra. Dalam ajaran ini menitik beratkan bakti kepada Amitabha Buddha
yang berdiam di Sukhavati. Aliran ini banya berkembang di Tiongkok dan Jepang.
B. Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, penyusun memberikan saran kepada pembaca untuk dapat
memahami dan mengerti serta mampu menganalisis dari aliran Madhyamika dan
aliran Sukhavati yang merupakan bagian dari aliran mahayana.
DAFTAR PUSTAKA
Jo Priastana, Dhammasukha.
1999. Pokok-Pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri.
Ming, Chau. 1987. Beberapa
Aspek Tentang Agama Buddha Mahayana. Jakarta
T. Suwarto. 1995. Buddha
Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Buhdayana Mahayana Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar