Pages

Selasa, 20 November 2012

Makalah Aliran Madhyamika

Makalah Aliran madhyamika
Oleh : Putradi
Npm : 1110139

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Terdapat banyak aliran agama Buddha. Agama Buddha pecah menjadi berbagai macam aliran namun dengan begitu cara pengembangan ajaran Dhamma tidak saling bertentangan. Aliran Madhyamika dan Aliran Sukavati termasuk dari perpecahan dari agama Buddha.

Antara abad I dan II masehi, Nagarjuna dan Arya Dewa mempelopori pandangan filsafat sunyata yang juga disebut kaum Madhyamika. Aliran filsafat ini berkembang dengan baik sekali di India Utara sehingga abad yang ketuju dengan para filsuf yang terkenal seperti Candrakirti, Dignaga dan sebagainya. Pada abad ke V masehi, Kumarajiva memperkenalkan aliran ini ke Tiongkok dengan menterjemahkan Madhyamika sastra ke dalam bahasa Tionghoa sehingga berkembang terus sampai abad VII dan kemudian di perkenalkan ke Korea dan Jepang.
Di Tiongkok dan Jepang berkembang pula aliran Sukhavati, aliran ini tidak tidak menitik beratkan pelajaran atau penyelidikan sutra-sutra yang berat atau meditasi yang berat, tetapi yang terpenting adalah pematuhan terhadap sila terutama yang berhubungan dengan pancasila. Dan meyakini bahwa dengan penyerahan diri serta bertobat dengan mengulangi sebutan mulia “Namo Amitabha Buddha (Namo O Mi To Hut/ O Mi Tho Fo)” akan membangkitkan kebuddhaan yang terdapat di dalam diri dan mengaktifkannya untuk melakukan kebajikan dalam maitri-karuna.
Dengan banyaknya aliran-aliran mahayana yang berkembang ini ajaran Dhamma tidak saling bertentangan dan tetap berpegang pada pokok-pokok ajaran dalam mahayana.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka timbul permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana perkembangan aliran Madhyamika?
2.      Bagaimana perkembangan aliran Sukhavati?
C.    Tujuan
Adapun tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah mendeskripsikan aliran Madhiyamika dan aliran Sukhavati.
D.    Manfaat
Setelah mempelajari makalah mahayana ini diharapkan mahasiswa dapat mengkaji dan memahami isi dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Aliran Madhyamika dan aliran Sukhavati yang merupakan bagian dari aliran mahayana. Serta memberikan pemahaman yang baru bagi mahasiswa maupun para pembaca umumnya.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aliran Madhyamika
Filsafat Madhiyamika yaitu yang berhubungan dengan diluar pengetahuan dan pengalaman manusia  biasa, bukan skeptis atau agnosticsm (suatu pandangan yang beranggapan dengan rasio dan materi seseorang dapat mengenal kebenaran Absolut), tetapi merupakan suatu keterbukaan untuk setiap orang yang ingin mengenal dan merealisasikan kebenaran. Absolut dapat mengerti melalui kategori dari pikiran ialah fenomena dan mengupas kategori ini ialah Absolut. Aliran Madhyamika dikenal dengan sebutan sunyavada. Aliran yang konsisten dengan jalan tengah Buddha (Majjhima patipada) dalam tatanan filosofis ini terkenal dengan ajarannya tentang sunya (kekosongan ), sehingga disebut sunyavada.
Tokoh utama pendiri aliran yang bersumber kepada prajna-paramita sutra ini adalah Nagarjuna yang diperkirakan hidup sekitar abad pertama Masehi. Tokoh utama aliran Madhyamika lainnya, Arya dewa dengan karyanya catuh sataka, serta penerus-penerusnya seperti Buddhapalita, Bhavaviveva, Candrakirti dan Santideva.
Nagarjuna, tokoh terbesar dalam aliran Mahayana menulis berjilid-jilid komentar atas prajna-paramita sutra, yang terkenal sebagai Mahaprajna-paramita-sutra (Risalah besar tentang kebijaksanaan sempurna). Ajaran aliran ini berpengaruh luas terhadap aliran-aliran Mahayana lainnya. Di cina ajaran aliran Madhyamika berkembang berkat kumarajiva yang sekitar tahun 402-405 menterjemahkan kedalam bahasa cina mahaprajnaparamita-sutra karya Nagarjuna.
Sejumlah tulisan karya Nagarjuna merupakan isi ajaran aliran Madhyamika. Diantarnya terdapat dua risalah kefilsafatan Nagarjuna, yaitu:
1.      Mulamadhyavartani-karika atau pokok-pokok jalan tengah,
2.      Vigrahavyavartani atau penghindaran Bantahan-bantahan.

Risalah-risalah kefilsafatan lainnya, misalnya:
1.      Sunyata-saptati (tujuh puluh bait tentang kekosongan )
2.      Yuksti-sastika (Enam puluh bait tentang pertautan )
3.      Vaidalyaprakarana (keterangan tentang vaidalya sutra)
4.      Suhrlekha (surat persahabatan)
5.      Rajaparikatha-Ratnamala karangan-karangan permata Nasehat kepada Raja)
6.      Catuhstava (empat Himme)
7.      Dasabhumivibhasa-satra
8.      Ratnavali
9.      Pratityasamutpadahrdaya
10.  Vigrahavyavartani.
Terdapat tiga teks penting karya Nagarjuna yang ditemukan dalam bahasa Cina, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tradisi Madhyamika Cina serta aliran-aliran seperti Tanah Suci, Sukhavati. Ketiga teks adalah:
1.      Mahaprajnaparammita-sastra; penjelasan tentang (sutra) kesempurnaan kebijaksanaan.
2.      Dasabhumivibhasa-sastra; penjelasan tentang pencerahan melalui sepuluh tahapan Bodhisattva.
3.      Dvadasadvara-sastra; penjelasan tentang Duabelas rangkaian pintu-masuk.
Risalah yang ketiga, bila digabung dengan karika dan dengan catuh sataka karya Arya Dewa, merupakan tiga-risalah yang menjadi sumber atau garis keturunan Madhyamika di atas timur;  San-lun dii Cina, atau Sanron-Shu di Jepang. Aliran Madhyamika merujuk kembali kepada karakter ajaran Sang Buddha sebagai Madhyamapratipad atau Jalan  Tengah. Karenanya, Nagarjuna menamakan sistem filsafatnuya dengan nama Madhyamaka atau Madhayama-sastra, nama yang tepat untuk ajaran yang maksudnya, sedangkan Madhyamika adalah para penganutnya.
Prajnaparamita sutra yang menjadi sumber aliran Madhyamika adalah sutra tentang kebijaksanaan sempurna, yang melimputi:
1.      Astasahasrika
2.      Satasahasrika
3.      Pancavimsatisahasrika
4.      Astadasasahasrika
5.      Hrydaya  sutra
6.      Varjracchedika sutra.
Ajaran aliran Madhyamika tidak bisa dipisahkan dari Nagarjuna, karenanya perumusan aliran Madhyamika yang berarti jalan tengan tidak bisa dilepaskan dari sejarah intelektuil dan spirituil pendirinya, Nagarjuna yang mengalami tradisi Abhidharma dan Prajnaparamita. Kaum Abhidharma menjalankan praktik buddhis awal dengan mendefinisikan dan merenungkan faktor-faktor kerja sama (dharma) dalam muncul dan lenyapnya segala sesuatu (realitas). Teks-teks Abhidharma, yang dipelajari Nagarjuna dalam aliran Sarvastivadin (leluhur mahayana, pemisahan dari kaum sthaviravada) ia menganalisa, menjelaskan, dan mensistematisasikan ajaran Kanonik awal Sang Buddha menerangkan tentang keberadaan, sebab-sebab dan kondisi-kondisinya, serta kebebasan dari kebodohan dan penderitaan.
Bagi kaum Abhidharma, usaha untuk itu bukanlah bersifat spekulatif, melainkan harus teruji dalam pengalaman meditasi melalui suatu persepsi langsung terhadap faktor-faktor yang mengkondisikan kemelekatan pribadi dan penipuan diri, kekhayalan. Misalnya penyadaran yang waspada atas kesementaraan fakto-faktor indriawi, mental, dan pikiran dalam kognisi (kesadaran penganalan), serta suatu skema klasifikasi yang rinci dan beragam untuk memilih keadaan-keadaan persepsi dan kognitif yang sesaat, serta penjabaran kondisi-kondisi yang berlangsung dalam kemunculan dan kelenyapan segala sesuatu.
Hasil dari analisa demikian, adalah penyadaran-langsung (dalam vipasana bhavana) bahwa manusia tidak memiliki esensi-kekal (atman), dan bahwa hal-hal yang nampaknya substansi hanya gabungan interaksi (pengaruh silang) faktor-faktor material, mental, dan emosional yang terus menerus berubah. Dalam Prajnaparamita sutra, Nagarjuna menemukan bahwa kesempurnaan kebersamaan terjadi atas pemahaman bahwa segala sesuatu  adalah kosong (sunya), bahwa tiada entitas-entitas yang swa-ada dan tiada ciri-ciri hakiki dalam diri seseorang ataupun dalam faktor-faktor kehidupan. Kebijaksanaan yang membebaskan adalah penghindaran terus menerus atas kemelekatan bahkan ini pun berlaku terhadap cita-cita spirituil seperti pencapaian nirvana kesempurnaan, kebijaksanana, atau latihan jalan Bodhisatva. Dinyatakan bahwa kesempuurnaan kebijaksanaan (prajnaparamita) pada dasarnya berhubungan dengan ”cara-cara bijak” (upaya kausalia) untuk membantu pencerahan semua makhluk. Pendekatan kontemplatif dalam kondisi Prajnaparamita ini adalah, dimana faktor-faktor kehidupan (dharma) tidak lagi dianggap sebagai objek persepsi yang penting dalam meditasi, karena objek-objek tersebut tidak memiliki ciri-ciri hakiki (sunya). Pembahasan tentang kausalitas yang menjelaskan kemunculan keberadaan dianggap hanya suatu pemahaman terbatas atas hakikat segala sesuatu dan bukan wawasan terang sejati.
Wawasan terang tertinggi dirumuskan sebagai penyadaran bahasanya terdapat ketidak munculan, ketidak-lenyapan kehidupan. Sedangkan mengenai gagasan spirituil adalah bukanya keterlepasan dari kehidupan berkondisi (nirvana), karena usaha ini menyatakan adanya suatu pembedaan hakiki antara nirvana dan samsara, melainkan dalam cita-cita Bodhisatva dengan penyadaran atas ketidak-berinti (nisvabhava) segala sesuatu dan kebebasan semua makhluk. Nagarjuna dalam karyanya mungulas Prajnaparamita Sutra memberikan peranan sentral terhadap gagasan mengenai kekosongan (sunyata). Menurutnya, penyadaran spirituil terdalam memerlukan penggalaman bahwa segala sesuatu yang ada adalah kosong (sunya). Dalam Mulamadyhamika Karika, Nagarjuna menyatakan bahwa pengalaman atas kekosongan (sunyata). Hal ini senada dengan pernyataan Buddha bahwa siapa yang menyelami Pratitysamutpada adalah menyelami Dharma.
Kejeniusan dan kreatifitas Nagarjuna dalam mengangkat pemikiran filosofis ajaran Buddha tertuang dalam ajaran-ajarannya yang membentuk aliran Madhyamika. Ajaran-ajarannya tersebut diantaranya adalah:
1.      Dialektika-Negatif-logis dalam Tetralemma (Empat Dimensi Masalah) seperti: segala sesuatu yang ada  adalah: a). Bukan tak ada, b). Bukan ada, c). Bukan ada dan bukan tak ada, d). Bukan ada atau bukan-tak-ada.
Kemudian apakah dunia itu a). Kekal, b). tidak kekal, c). kekal dan tidak kekal, d). tidak kekal atau bukan tidak kekal.
Adapun empat alternatif berdasar atau Catuskoti atau Tetralemma Dialektika Nagarjuna yang masing-masing mencerminkan tesis: a). Positif, b). Negatif, c). Conjungtif, d). Disjungtif.
Apapun pilihan dari keempat alternatif tersebut bukanlah kebenaran, masing-masing keempatnya termasuk pandangan yang spekulatif, entah itu Sasvata-vada; afirmasi yang absolut, atau Ucchedavada; penolakan yang absolut. Conjungtif adalah perpaduan semu, karenanya tidak mungkin begitu pun disjungtif, nihilisme sempurna. Jalan tengah (Madhyamika pratipad) diajukan untuk menghindari kemutlakan keempat alternatif tersebut, guna mengatasi kemelekatan, pandangan ekstrim yang sifatnya kritis; mengkritik keempat alternatif tersebut sebagai suatu yang mustahil menjangkau realitas (prasannapada atau reducitio adabsurdum). Realitas mengatasi pemikiran. Dengan dialektikanya Nagarjuna menghindari jebakan-jebakan dogmatisme yang dibangun atas rasio, realitas hanya terpahami dengan tumbuhanya Prajna yang telah mengenali kemustahilan rasio.
2.      Identifikasi Pratityasamutpada dengan Sunyata
3.      Kejelasan pemahaman tentang dua tingkat kebenaran (konvensional dan Absolut atau Samvrti Satya dan Paramartha Satya), yang mempunyai fungsi-fungsinya masing-masing dan manfaat bagi ketidak- melekatan.
4.      Realitas dan aktualisasi pemahaman kekosongan (sunyata) dalam kehidupan dan dunia empiris. Bahwa kehidupan (dengan sesama) merupakan wadah tidak penyelaman dan pemahaman sunyata.
Nagarjuna dengan aliran Madhyamikanya menganjurkan tiada henti terhadap: kebijakan pribadi seperti penghormatan terhadap peninggalan-peninggalan Sang Buddha, kasih sayang terhadap makhluk-makhluk menderita, kepatuhan terhadap moral. Pengemabangan sikap-sikap yang mendukung Prajna, seperti ketenangan, ketidak-takutan, ketidak-terikatan, dan sikap bersahabat, serta pemahaman dan penghargaan yang positif terhadap dunia empiris yang tercermin dalam pergaulan dengan ilmu pengetahuan dan perwujudan komunitas hidup bersama yang membawa kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
Tri-sastra merupakan sebuah sekte yang mewarisi pandangan Madhyamika dari Nagarjuna. Terdapat Filsafat yang berisi tiga tujuan utama dari pandangan Tri-sastra yaitu:
1.      Menyangkal pandangan-pandangan yang salah dan menegakkan pandangan yang benar.
2.      Membedakan Samvrti Satya/ Sammutti Sacca (kebenaran umum) dan paramartha Satya (kebenaran mutlak).
3.      Mengenal delapan jalan tengah  penyangkalan: tidak lahir, tidak kekal, tidak sama, tidak datang, tidak lenyap, tidak terputus, tidak ada, tidak pergi.
 Dialektika Madhyamika dimaksudkan sebagai alat untuk mengatasi dogmatisme, juga berfungsi sebagai kritik dari teori-teori (sunyata sarva-drstinam) sehingga dikatakan bahwa dialektika sendiri merupakan filsataf. Metode madhyamika bersifat negatif, tetapi bukan hasilnya yang negatif. Penyangkalan terhadap pandangan-pandangan dari kenyataan bukanlah penyangkalan terhadap kenyataan, mereka menyangkal pandangan-pandangan yang keliru secara dialektika sebagai alat tersebut merealisasikan kenyataan.
Menurut kaum Madyamika, pembebasan terakhir hanya akan dapat direalisasikan melalui pengertian terhadap sunya, yaitu dengan melepaskan semua pandangan, pendirian serta pendapat. Tidak dapat memaksa orang lain untuk menerima apa yang kita anggap positif mengenai pandangan kita dan menentang orang lain. Hal tersebut tergantung pada usaha orang untuk mengerti dan merealisasikan suatu pandangan, karena sifat-sifat dari pembatasan dan menentukannya, terbawa oleh sifat dualisme itulah akar dari samsara.
Nagarjuna berkata secara dialektik ”bila aku” telah ditentukan, maka keadaan lawannya, akan menentangnya, dengan pembagian-pembagian dari ”aku” dan ”bukan aku’; maka kemelekatan dan kebencian akan timbul. Samsara justru berada sepanjang kemelekatan terhadap aku, keadaan, (paksa) mengakibatkan keadaan yang berlawanan (pratipaksa) sedangkan dari keduanya mereka adalah nyata. Dengan perkataan, dengan berpegangnya pada pandangan akan timbul kemelekatan dan kebencian.
B.     Aliran Sukhavati
Aliran Sukhavati adalah aliran Buddhis yang berdasarkan bakti puja terhadap Amitabha Buddha sebagai salah satu Dhyani Buddha yang berada di sebelah barat/loka ini yang disebut Sorga Sukhavati (alam yang penuh kebahagiaan, ketenangan, kedamaian). Aliran ini tidak menitik beratkan pelajaran atau penyelidikan sutra-sutra yang berat atau meditasi yang berat, tetapi yang terpenting adalah pematuhan terhadap sila terutama yang berhubungan dengan pancasila serta sila yang berhubungan dengan apa yang  dilakukan oleh ucapan, badan jasmani, dan pikiran.
Dengan bakti terhadap Amitabha Buddha serta Avalokitesvara dan Mahasthmaprata Bodhisatva serta Bodhisatva lainnya, seseorang dengan pasrah dan khusus menyerahkan diri pada kekuatan maitri-karuna (kasih sayang dan welas asih) Amitabha Buddha beserta Bodhisattva Mahasattva lainnya. Didalam bakti puja dan tanpa memikirkan hal-hal yang bersifat rasional. Yang ada hanyalah bakti puja dan penyerahan total terhadap maitri-karuna (kasih sayang dan welas asih) Amitabha Buddha serta Bodhisatva lainnya dan secara psikologis berusaha membebaskan pikirannya sendiri dari kekalutan dan kegelisahan. Segala pemikiran dikesampingkan, yang penting penyerahan diri serta bertobat dengan mengulangi sebutan mulia “Namo Amitabha Buddha (Namo O Mi To Hut/ O Mi Tho Fo)”. Pengulangan sebutan mulia tersebut akan membangkitkan kebuddhaan yang terdapat di dalam diri dan mengaktifkannya untuk melakukan kebajikan dalam maitri-karuna.
Dunia kita ini penuh dengan hal-hal yang yang menyedihkan, yang tidak menyenangkan, hal-hal yang tidak kekal, karena itu  seseorang, jika seseorang tidak dapat megatasi penderitaan-penderitaannnya dan kesulitannay, harus menyerahkan diri sepenuhnya di atas jalan bakti puja dengan mencari sesuatu ketenangan batin, kedamaian hati dan ‘kekekalan’: dengan demikian, pemikiran yang rasional dikesampingkan. Dengan pematuhan terhadap sila, itu berarti setiap manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannaya, perbuatan yang dilakukan melalui ‘ucapan’, ‘badan jasmani’, dan ‘pikiran’. Banyak kejadian didunia ini serta karma yang berubah justru dilakukan oleh manusia melalui ucapan, badan jasmani dan pikiran. Dengan penyerahan diri di dalam bakti puja juga berarti seseorang harus memperhatikan apa yang dia lakukan di dalam kehidupannya. Ini bukan berarti dengan bakti puja seseorang berusaha meloloskan diri dari perbuatan-perbuatan tidak baiknya.
Dengan metode penyerahan diri di dalam bakti puja dan pelaksanaan sila didalam kehidupan sehari-harinya, seseorang berusaha untuk menjadi manusia yang baik sesuai dengan pandangan buddhis. 
Aliran atau sekte Sukhavati ini sangat populer, karena aliran ini menitik beratkan pemujaan terhadap Amithabha. Dikatakan Amitabha tinggal di Sukhavati, yang berarti alam atau bumi yang penuh dengan kebahagiaan. Sukhavati juga berarti kebahagiaan terluhur atau tanah suci Buddha Amitabha.
Dalam aliran ini dikenal istilah Buddha ksetra, yang berati adalah daerah kekuasaan atau alam Buddha; berupa suatu sistem dunia dimana seorang Buddha tertentu tinggal mengajarkan dharma pada makhluk-makhluk untuk membantu mereka mencapai pencerahan batin.
Buddhaksetra tersebut diluar dari triloka atau tiga rangkaian dunia yang terdiri dari: dunia keinginan atau kamaloka, dunia bentuk atau rupaloka, dan dunia niskala atau arupaloka. Karenanya Buddhaksetra tersebut bersifat ideal dan lokuttara (adi duniawi, transenden), dan dikenal dengan sebutan Tanah Suci. Sukhavati tempat Buddha Amitabha.
Amitabha sendiri secara harafiah berarti: sinar atau cahaya yang tak terbatas. Ini berarti, sewaktu seseorang dengan hati yang iklas dan khusus menyebut Namo Amitabha Buddha pada waktu saat itu, moment pikirannya atau kesadarannya terarah pada maitri karuna yang tak terbatas, laksana cahayanya yang menerangi segala penjuru dalam semesta ini. Tanah cuci Sukhavati merupakan manifestasi Tathata atau kedemikian. Keyakinan terhadap Buddha Amitabha merupaka hasil kontemplasi yang dalam atas hakejat-Biddha, dimana semua ciri luar Sakyamuni dan semua kondisi kehidupan duniawinya ditinggalkan, dan yang tersisa adalah Buddha ideal dengan Pencerahan-Sempurna-Nya, yakni Yang Tak Terbatas (Amita) yang identik dengan Tathata.
Amitabha secara dimensi ruang berarti Cahaya-Tanpa-Batas atau disebut juga Amitayus. Bila ideal mengenai nirvana yang tanpa ruang dan tanpa waktu, tanpa kelahiran dan tanpa kematian. Tidak berubah atau tidak bergelombang itu terealisis, maka tidak lain adalah Yang Tak Terbatas (Amita). Makhluk manusia masih berada dalam lingkup fenomena dimana pengalamannya masih dibatasi oleh kategori-kategori pikiran. Dan disyarati oleh kebodohan yang bersifat samvrti (duniawi, terbatas), dan tidak dapat menjangkau Yang Mutlak (Dharmata). Yang mutlak pun tidak mengajarkan kebenaran, karena Yang Mutlak adalah kebenaran itu sendiri. Hanya seorang makhluk yang bersifat duniawi dan adi duniawi, satu kaki dalam fenomena dan satu kaki dalam Yang Mutlak, baru dapat mengetahui yang mutlak dan menunjukan jalan kepada makhluk-makhluk lain.
Karenanya dibedakanlah antara Tathata (yang nyata, kebenaran mutlak) dan Tathagata yang mengetahui kebenaran (Buddha). Atas dasar maha karuna (belaskasihan), seorang buddha turun dari kedudukannya yang mulia untuk mengajarkan kebenaran pada semua makhluk. Mereka yang menyebut Namo Amitabha Buddha adalah orang yang membangkitkan kebuddhaan dalam dirinya dengan penuh kasih sayang dan welas asih terhadap semua makhluk. Semasa hidup tekun menyebut Namo Amitabha Buddha, melaksanakan pancasila, Maitri dan Karuna agar terlahir di sukhavati.
Sutra-sutra yang menjadi pedoman aliran Sukhavati antara lain:
1.      Amitabha Sutra
2.      Maha Sukhavati Vyuha
3.       Amitayus Dhyana Sutra
Filsafat buddha yang berdasarkan maitri karuna telah berurutan berakar di semua sekte atau aliran buddhis lainnya. Hal tersebut lebih ditonjolkan di dalam pemikiran filsafat mahayana. Hal ini dapat terlihat di dalam pemikiran cita-cita bodhisatva yang berusaha untuk menyempurnakan dirinya di dalam dasabhumi dan berusaha sekuat untuk mengembangkan maitri karuna yang tidak terhingga tehadap semua makhluk hidup tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri.
Bakti puja terhadap Amitabha dilakukan secara simbolis, figuris, serta personalis sebagai gambaran dari ketuhanan yang maha esa dan surgavati sebagai gambaran dari nirvana secara pemikiran awam dan filosofis.
Sumber utama mengenai mitologi Amitabha dan Kitab Suci Utama dari aliran sukhavati meliputi:
1.    Sukhāvati-Vyūha-Sūtra (atau Sutra-Amitabha teksa pendek terjemahan: Kumarajiva).
2.    Māha-Sukhāvati-Vyūha-Sūtra (atau Sutra-Amitābha teks panjang terjemahan Bhiksu Yueh-Chih Lokaraksha tahun 186 M., Bhiksu Sanghavarman tahun 252 M.).
3.    Amitāyurdhyāna-Sūtra (Sutra mengenai Meditasi terhadap Surga Sukhavati, terjemahan dari Sansekerta ke bahasa Mandarin oleh Kalayasa tahun 424 M.).

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Berdasarkan uraian diatas mengenai aliran Madhyamika dan aliran Sukhavati yang merupakan bagian dari aliran mahayana, dapat disimpulkan bahwa aliran Madhiyamika adalah aliran mahayana yang didirikan oleh Nagarjuna dan Arya Dewa (Abad I-II). Aliran ini berpedoman pada hukum-hukum kesunyataan terutama yang membicarakan tentang sesab-akibat (Pratityasamutpada), aliran ini berintikan tentang menyangkal yang keliru dan menegakkan yang benar, penekanan pada arti penting terhadap smavrtisatya dan paramartha satya, dan 8 metode untuk menyangkal secara dialektika, yaitu: Tidak dilahirkan, tidak lenyap, tidak langgeng, tidak putus, tidak sama, tidak berbeda, tidak datang dan tidak pergi. Aliran ini banyak berkembang di Tiongkok.
Selain itu terdapat pula aliran mahayana Sukhavati yang berpedoman pada Amitabha Sutra, Maha Sukhavati Vyuha, Amitayus Dhyana Sutra. Dalam ajaran ini  menitik beratkan bakti kepada Amitabha Buddha yang berdiam di Sukhavati. Aliran ini banya berkembang di Tiongkok dan Jepang.
B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun memberikan saran kepada pembaca untuk dapat memahami dan mengerti serta mampu menganalisis dari aliran Madhyamika dan aliran Sukhavati yang merupakan bagian dari aliran mahayana.



DAFTAR PUSTAKA

Jo Priastana, Dhammasukha. 1999. Pokok-Pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri.

Ming, Chau. 1987. Beberapa Aspek Tentang Agama Buddha Mahayana. Jakarta

T. Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Buhdayana Mahayana Indonesia.

0 komentar: