Manjusri adalah Bodhisattva kebijaksanaan yang sesungguhnya telah mencapai
kebuddhaan. Ada dua perwujudan dari Bodhisattva Manjusri, yaitu perwujudan
pertama menggambarkan tangan kanannya memegang pedang (lambang kebijaksanaan
yang mendalam) sedangkan tangan kirinya memegang setangkai bunga teratai biru
yang diatasnya terdapat naskah suci (Lambang pengetahuannya tentang jalan yang
tak terbatas). Perwujudan kedua menggambarkan Bodhisattva Manjushri dengan
tangan kirinya memegang setangkai bunga teratai biru dengan naskah suci
diatasnya, seperti perwujudan diatas dan tangan kanannya dalam sikap Varada
Mudra (telapak tangan menghadap keatas, diletakkan pada lutut kanan).
Dalam Buddhisme
Mahayana Vajrayana, Bodhisattva Manjusri merupakan Bodhisattva yang paling
utama dari kedelapan Bodhisattva utama, yang terdiri dari: Manjusri, Vajrapani,
Avalokitesvara, Ksitirdarbha, Sarvanivarana-Viskanbhi, Akasagarbha, Maitreya
dan Samantabadra.
Untuk mendapatkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam, seseorang
harus bermeditasi pada bodhisattva Manjusri dan membaca mantranya secara terus
menerus hingga tercapainya kebijaksanaan. Hal ini pernah dialami oleh Acarya
Shantideva ketika beliau belajar di Nalanda. Beliau adalah salah seorang
bhikkhu yang sangat sulit melafal naskah-naskah suci. Kemudian gurunya
menganjurkan agar beliau membaca mantra suci Bodhisattva Manjusri.
Siang dan malam Acarya Shantideva membaca mantra itu, hingga akhirnya
Bodhisattva menampakkan diri dan berkata :
“Apakah yang kamu lakukan Shantideva?”
“Besok pagi
saya harus dapat menghafalkan sutra, itulah sebabnya saya memohon kepada yang
suciBodhisattva Manjusri”, jawab Shantideva.
“Apakah kamu
tidak mengenal saya?”, tanya Bodhisattva
Manjusri.
“Tidak Bhante,
saya tidak mengenal Bhante,”Jawab Shantideva.
“saya
Bodhisattva Manjushri”
“Oh” Shantideva
terkejut.
“Kemarilah,
saya akan memberikan siddhi kebijaksanaan luhur untuk memudahkan engkau
menghafal sutra besok pagi dan saya juga akan memberikanmu pengetahuan”, kata
Bodhisattva Manjushri dan menghilang.
Keesokan harinya Acarya Shantideva dapat menghafalkan sutra dengan baik dan
dari tubuhnya memancarkan praba yang memukau hadirin yang menyaksikannya.
Para Acarya di dalam menulis naskah-naskah ajaran selalu memohon Adisthana
dari Bodhisattva Manjusri. Beliau sering dipanggil dengan “Namo Arya Manjushri
Kumarabhuta” yang biasanya diletakkan pada awal (barisan pertama) penulisan
naskah, dengan harapan naskah itu dapat membawa mereka yang membacanya
menemukan kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam.
Dalam Tantra tertinggi (Anutara Yoga Tantra) Bodhisattva Manjushri
Kumarabhairava dilaksanakan secara luas. Hal ini terbukti dengan begitu banyak
arca-arca Vajrabhairava maupun Manjushri Kunarabhuta dari masa tersebut. Arca
ini bisa kita dapatkan juga di komplek vihara Plaosan, pada ruang sebelah kiri
dimana arca Manjusri ada bersama arca Bodhisattva Vajrapani dan Sang Buddha
Sakyamuni.
BODHISATTVA
MANJUSRI
Nama Bodhisattva Manjusri adalah perkataan bahasa Sansekerta yang artinya
“nasib baik yang mendatangkan kesuksesan yang menakjubkan”. Di dalam agama
Buddha Mahayana Bodhisattva Manjusri dianggap pribadi Maha Agung yang telah
memiliki kebijaksanaan tinggi diantara para Bodhisattva. Oleh karena itu
Bodhisattva Manjusri sering menjadi “Ibu” dari segala Buddha, menjadi guru dari
Bodhisattva yang jumlahnya tak terbilang, mendidik dan membuat umat mencapai
keberhasilan.
Bodhisattva Manjusri atau disebut Wen Shu Phu Sa merupakan pencerminan
watak kebijaksanaan yang luar biasa. Ia adalah Bodhisattva pertama yang disebut
dalam kitab-kitab suci, dan merupakan Bodhisattva terkemuka dan terpenting
dalam kalangan Buddha Mahayana. Di dalam Mahayana, bijaksana dan welas asih
adalah dua watak yang sangat penting. Manjusri adalah Bodhisattva kebijaksanaan
dan pengetahuan, sebab itu ia dianggap terkemuka, sejajar dengan Avalokitesvara
Bodhisattva atau Kuan Yin yang merupakan Bodhisattva belas kasih.
Menurut versi Tionghoa, manjusri Bodhisattva telah memperoleh petunjuk dari
Sakyamuni Buddha bahwa tanggung jawab dan tugas utamanya adalah untuk
mengajarkan dan menunjukkan jalan keselamatan bagi penduduk Tiongkok. Sebab itu
ia memilih gunung Wu Tai San di propinsi Shan Shi, menjadi salah satu dari
empat gunung suci Buddhisme dia Tiongkok. Orang Tionghoa menganggap Manjusri
Bodhisattva sebagai seseorang arsitek surgawi yang memberikan penerangan dan
kecerdasan bagi siapa saja yang giat menjalankan Dharma. Sebab itu ia juga disebut
“Wen Shu Se Li Phu Sa atau disingkat “Wen Shu Phu Sa”. Dengan pedangnya yang
disebut pedang kebijaksanaan ia menyibak kegelapan menyelimuti manusia.
Lambangnya yang lain adalah buku kebijaksanaan, sering digambarkan sebagai
gulungan kertas tipis yang diikat dengan tali sutra.
Wen Phu Sa dianggap sebagai guru kebijaksanaan dan pengetahuan secara umum
ditampilkan dalam keadaan samadi diatas seekor singa yang berbulu hijau. Singa
ini melambangkan nafsu liar yang hanya dapat ditundukkan dengan meditasi. Sebab
itu, melaksanakan meditasi adalah suatu keharusan bagi mereka yang ingin
mencapai bathin yang tenang dan terkendali. Dan Wen Shu Phu Sa adalah
Bodhisattva yang dapat membantu mereka dalam mengatasi hambatan-hambatan rohani
dalam menjalankan Dharma. Sebab itu gunung Wu Tai Shan yang menjadi tempat
tinggalnya, menjadi tempat berkumpul para penganutnya, karena mereka percaya
ditempat inilah para Bodhisattva berkumpul, walaupun untukmencapai puncak Wu
Tai Shan harus melalui perjalanan yang sulit dan berliku-liku, namun mereka
melakukannya karena ingin merasakan suatu ketentraman batin “sempurna” dengan
mencapai kuil Wen Shu yang berada di puncak gunung tersebut.
Ada banyak kesaksian tentang penampakan sinar-sinar ajaib yang disaksikan
oleh banyak orang yang melakukan pemujaan di puncak gunung tersebut. Oleh orang
awam mungkin hal ini dianggap halusinasi dari mereka yang mengalami kelelahan
karena mendaki puncak tersebut. Tetapi harus diingat bahwa kebanyakan
orang-orang yang naik ke sana adalah mereka yang ingin mencari “kebijaksanaan”
dan umumnya telah menjalani meditasi dengan tekun, sehingga tidak mudah goyah
dan tidak mempunyai pikiran yang tidak stabil sehingga mudah terpengaruh oleh
gejala-gejala yang dapat menimbulkan halusinasi itu.
Kelenteng yang khusus diperuntukkan untuk pemujaan Wen Shu Phu Sa jarang
ada, kecuali yang di Wu Tai Shan itu. Tapi patung-patungnya banyak terlihat di
kelenteng-kelenteng yang bercorak Buddhisme. Wen Shu Phu Sa seringkali
ditampilkan dalam bentuk tiga serangkaian dengan Sakyamuni Buddha dan Pu Sien
Phu Sa, atau yang bersama dengan Kuan Yin Phu Sa dan Pu sien Phu Sa. Dalam
bentuk tiga serangkaian dengan Kuan Yin biasanya, baik Pu Sien Phu Sa dan Wen
Shu Phu Sa ditampilkan dalam wujud wanita, Wen Shu Phu Sa naik hingga hijau dan
Pu Sien naik gajah putih Wen Shu Phu Sa melambangkan segi kebijaksanaan, Pu
Sien sebagai lambang kegiatan cinta kasih yang sempurna dan Kuan Yin sebagai
lambang maha pengasih dan penyayang. Ketiganya merupakan kesempurnaan dari
ajaran Buddhisme Mahayana.
Dalam kisah puteri Miao Shan, singa hijau Wen Shu Phu Sa diceritakan
sebagai penjelmaan Dewa Api dan Gajah Putih Pu Sien adalah Dewa Air. Kedua dewa
ini menangkap rombongan raja Miao Zhuang yang akan berjiarah ke Xiang Shan,
tempat Miao Shan menjadi Bodhisattva, kedua kakak perempuannya juga diangkat
mendampinginya. Miao Shu (dalam versi yang lain disebut Miao Qing) diangkat
sebagai Wen Shu Phu Sa dan Miao Yin diangkat menjadi Pu Sien Phu Sa.
Hari lahir Wen Shu Phu Sa di rayakan pada tanggal 4 bulan 4 Imlek. Meskipun
bagi orang awam kurang mendapat perhatian, tapi bagi pengikut Buddhis aliran
Chan (Zen) menganggapnya sebagai hari besar yang diperingati secara khusus
setiap tahunnya.
PANGERAN DHARMA
MANJUSRI
BODHISATTVA
Menurut pemahaman Buddhisme Mahayana, Bodhisattva Manjusri diwujudkan
sebagai sosok Bodhisattva yang memegang sebatang pedang kebijaksanaan
(perlambang pemutus kekotoran batin) dan mengendarai singa berbulu emas (simbol
keperkasaan menaklukkan kekuatan jahat), kadangkala dilukiskan juga dalam
kondisi duduk di atas bunga teratai (melambangkan kemurnian).
Dalam sutra Avatamsaka, Bodhisattva Manjusri dikenal sebagai salah satu
dari Tiga Makhluk Suci Avatamsaka, yakni: Bodhisattva Manjusri (kiri), Buddha
Sakyamuni (tengah) dan Bodhisattva Samantabhadra (kanan).
Dalam Buddhisme Tiongkok, terdapat beberapa versi dalam penyebutan nama
Bodhisattva Manjusri, diantaranya adalah Wenshushili-Pusa dan Manshusili-pusa,
namun lebih populer dengan sebutan singat Wenshu Pusa. Nama Manjusri sendiri
memiliki beberapa makna, yakni Miaode (kebajikan menakjubkan), Miaoshu (kepala
menakjubkan – karena kebajikannya tertinggi di atas para Bodhisattva) dan
Miaojixiang (berkah Menakjubkan).
Jika Bodhisattva Avalokitesvara dikatakan sebagai manifestasi welas asih
terluhur, maka Bodhisattva manjusri dikenal sebagai manifestasi kebijaksanaan
tertinggi. Ini dikarenakan Bodhisattva Manjusri merupakan Buddha masa lalu yang
terus menerus bermanifestasikan dengan kekuatan kebijaksanaan sejati. Dalam
kitab Suranggama Samadhi Sutra, Buddha Sakyamuni menjelaskan bahwa bodhisattva
Manjusri merupakan Buddha masa lalu yang bernama Tathagata Longzhong
Shangzunwang.
Bodhisattva Manjusri juga muncul di masa kini sebagai Buddha
Huanxiziangmonibaoji dari tanah suci Buddha Changxi (kegembiraan abadi),
(Angulimala Sutra, bab 4). Pada sisi lain, juga bermanifestasi dalam wujud
Bodhisattva Manjusri sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Selain itu, ketika Buddha Amitabha masih berstatus sebagai seorang raja
Cakravartin, saat itu Bodhisattva Manjusri merupakan putera mahkota ketiga.
Buddha Ratnagarbha di masa itu meramalkan bahwa Manjusri akan menjadi Buddha
dengan nama Tathagata Samanthadarsin (Karuna Pundarika Sutra, bab 3).
Dengan semua manifestasi ini, Bodhisattva Manjusri mempertunjukkan
kebijaksanaan sempurna dan upaya kausalya (metode tepat dan praktis) membimbing
semua makhluk agar tergerak untuk membangkitkan Bodhicitta mencapai penerangan
sempurna. Itulah sebabnya, Bodhisattva Manjusri dijuluki sebagai ibu para
Buddha dari tiga masa dan guru para Buddha.
Pada masa kehidupan Buddha Sakyamuni, Bodhisattva Manjusri terlahir di
kerajaan Kosala sebagai anak dari seorang kasta Brahmana bernama Fande
(kebajikan Brahma). Tubuhnya berwarna keemasan, memiliki 32 fisik manusia
unggul dan dilahirkan dari sisi sebelah kanan tubuh ibunya. Makna nama
MiaoJixiang (berkah menakjubkan) berasal dari munculnya sepuluh peristiwa
sepuluh peristiwa menakjubkan saat kelahirannya, yakni: turun Amrta (air
surgawi) dari langit; muncul tujuh permata dari dalam tanah; padi dalam lumbung
berubah menjadi beras emas; tumbuh bunga teratai di halaman rumah; cahaya
gemilang memenuhi rumah; ayam menetaskan burung hong; kuda melahirkan kirin;
sapi melahirkan anak sapi langka; babi melahirkan longtun (babi berwujud naga);
muncul gajah bergading enam.
Manjusri dikenal memiliki kebijaksanaan dan kemampuan berbicara yang
unggul, sanggup mengalahkan para penganut dari 96 aliran tirtika dalam hal
perdebatan. Setelah menjadi siswa Buddha Sakyamuni, Manjusri berhasil menguasai
suatu tingkat samadhi Shuranggama. Dengan kekuatan samadhi Shuranggama ini
Manjusri melakukan berbgaia metode yang sangat bijaksana dalam membimbing para
makhluk, bahkan setelah 450 tahun Parinirvana Buddha Sakyamuni, Manjusri masih
tetap melakukan tugas pengajaran Dharma. Dalam jajaran siswa tingkat
Bodhisattva, beliau menduduki posisi sebagai siswa yang paling terkemuka dalam
hal kebijaksanaan. Oleh karena itu, beliau juga dijuluki sebagai pangeran
Dharma Manjusri. Sekitar tiga ratusan sesi pembabaran filosofi Mahayana oleh
Buddha Sakyamuni, Manjusri selalu hadir sebagai ketua dari komunitas
Bodhisattva.
Dalam Vimalakirti Nirdesa Sutra misalnya, saat para siswa Sravaka dan
Bodhisattva merasa berkecil hati untuk bertemu Vimalakirti karena tidak sanggup
berhadapan dengan kemampuan berbicaranya yang menakjubkan, Manjusri tampil
mengemban tugas ini. Pertemuannya dengan Vimalakirti menjadi sebuah ajang
perbincangan Dharma yang menakjubkan. Tidak hanya dalam satu sutra, dalam
berbagai sutra juga tercantum tentang kemampuan pembabaran Dharma yang dimiliki
Manjusri yang dapat dipastikan akan membuat kita berdecak kagum. Buddha
Sakyamuni sendiri kerap menceritakan kehidupan lalu Bodhisattva Manjusri,
bahkan dalam salah satu kehidupan lampau, Sakyamuni pernah menjad murid
Manjusri.
Dimata penganut Buddhisme Tiongkok, Bodhisattva Manjusri memiliki posisi
yang cukup istimewa. Perlu diketahui bahwa di Tiongkok terdapat empat Gunung
Buddha yang diyakini sebagai tempat pembabaran Dharma empat Bodhisattva Agung,
yakni Putuo Shan (Bodhisattva Avalokitesvara), Jiuhua Shan (Bodhisattva
Ksitigarbha), Emei Shan (Bodhisattva Samantabadra), sedang Wutai Shan atau juga
dikenal dengan sebutan Qingliang Shan (gunung sejuk) sebagai tempat pembabaran
Dharma Bodhisattva Manjusri.
Dalam Avatamsaka Sutra bagian “Kediaman Para Bodhisattva” disebutkan, “Di
wilayah Timur, terdapat gunung Qingliang (gunung sejuk). Semenjak lama gunung
ini menjadi tempat kediaman para Bodhisattva, dan sekarang ini Bodhisattva
Manjusri bersama sekelompok Bodhisattva lain sejumlah 10.000 orang menetap di
gunung ini untuk membabarkan Dharma.” Kemudian dalam Ratna-garbha Dharani Sutra
disebutkan, “pada saat itu, Bhagava berkata kepada Bodhisattva Guyhapada:
setelah Parinirvanaku, diarah timur laut dari Jambudwipa terdapat sebuah negeri
bernama Mahacina. Di negeri ini terdapat pegunungan yang bernawa Wuding (lima puncak).
Bodhisattva Manjusri berdiam di tempat ini untuk membabarkan Dharma kepada para
makhluk hidup. Terdapat juga makhluk dewa, naga, yaksha, raksasa, kinnara,
maharoga, manusia dan makhluk bukan manusia yang jumlahnya tak terbatas
mengelilinginya, menghormati dan memberi persembahan.”
Berbagai kisah keajaiban tentang jelmaan Beliau tidak henti-hentinya
bertebaran di seantero Wutai Shan. Baik sebagai wujud orang tua maupun anak
kecil, Manjusri menggunakan berbagai upaya kausalya untuk menjalin ikatan jodoh
karma dengan para makhluk hidup. Bahkan tokoh kharismatik Master Xuyun pun
dalam perjalanan san bu yi bai (tiga langkah satu sujud) ke Wutai Shan sempat
mendapat pertolongan dari Bodhisattva Manjusri dalam wujud seorang pengemis.
Patriak ke 4 dari mazhab Sukhavati, Master Fazhao, juga pernah bertemu dengan
Bodhisattva Manjusri beserta kemegahan viharanya di sebuah hutan yang tidak
dapat dilihat secara kasat mata saat berkunjung ke Wutai Shan.
Semua kisah yang bernuansa metafisik ini sungguh di luar jangkauan
pemahaman kita. Namun sebagai seorang umat Buddha yang berpandangan benar,
hendaklah kita melihat segala mukjijat yang dilakukan Bodhisattva Manjusri
sebagai upaya kausalya. Bodhisattva Manjusri adalah Bodhisattva adalah
Bodhisattva kebijaksanaan tertinggi, pada sisi lain kebijaksanaan itu mengalir
menjadi berbagai wujud tubuh penjelmaan yang semata-mata ditujukan demi manfaat
dan kebahagiaan semua makhluk. Tetapi, manifestasi Bodhisattva Manjusri
sebenarnya tidak hanya sebatas di Wutai Shan atau pada bentuk-bentuk tubuh
jelmaan saja. Saat kebijaksanaan transenden muncul dalam batin setiap makhluk
hidup, maka disitulah tempat bersemayam yang sesungguhnya dari Bodhisattva
Agung ini. Sat hati dan pikiran kita dalam keadaan bersih dan murni, disitulah akan
tertampak Pangeran Dharma ini.
****
0 komentar:
Posting Komentar