(TI CHANG WANG
PHU SA)
Nama Ksitigarbha adalah perkataan dari bahasa sansekerta yang mengandung
arti bumi tempat menyimpan ke-sepuluh sutra roda kehidupan. Sang Bodhisattva
ini dikenal secara populer dilingkungan rakyat berbagai bangsa di dunia, karena
beliau telah menyeberangkan, menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita
hingga tiba di pantai Nirvana, sesuai dengan sumpah maha suci beliau yang
berbunyi sebagai berikut:
“kalau bukan aku yang pergi ke neraka untuk menolong roh-roh yang tersiksa
disana, siapa yang akan pergi?......, kalau neraka belum kosong dari
arwah-arwah yang tersiksa, aku tidak akan menjadi Buddha. Hanya bila semua
makhluk telah di selamatkan, barulah mencapai tingkat kebuddhaan”.
Di dalam gambar sering kita jumpai figure/gambar/arca berlian yang berada
di bawah Avalokitesvara Bodhisattva (Kuan Yin Phu Sa) yang diapit oleh kedua
siswa beliau sebagai ayah dan putra yaitu Meng Kung dan Tao Ming. Diantara para
Bodhisattva yang dipuja oleh kaum Mahayana, Ksitigarbha Bodhisattva
satu-satunya yang terlihat dalam wujud sebagai seorang bhiksu lengkap dengan
jubahnya. Menurut pandangan orang Tionghoa, beliau dikatakan sebagai seorang
Bodhisattva yang penuh dengan maitri karuna dan bercita-cita untuk membantu
mereka yang terlahir di alam yang menderita agar dapat meringankan karma-karma
buruk mereka. Sering juga ia dikaitkan dengan sepuluh raja akhirat (she tien
yan wang).
Kesepuluh raja akhirat itu adalah bawahanya langsung, sebab itu ia diberi
gelar you ming jiao chu atau pemuka agama diakhirat. Ia menjadi pelindung para
arwah, membimbing mereka agar insaf dari perbuatannya yang sudah-sudah, dan
tidak akan mengulangi perbuatan tercela itu lagi, agar bisa terbebas dari karma
buruk pada penitisan yang akan datang. Di kalangan rakyat, banyak beredar
kisah-kisah yang ada hubungannya dengan ti cang wang. Diantara kisah-kisah itu
ada banyak juga yang menyamakan ti cang wang dengan mu lien. Kisah mu lien
banyak mengharukan orang, tentang bagaimana ia menolong ibunya dari siksaan di
neraka. Mu lien oleh sementara orang dianggap sebagai ti cang wang.
Sesungguhnya kalau kita meneliti kitab-kitab suci, mu lien adalah murid Buddha
dan masuk ajaran ah luo han atau arahat dan bukannya ti cang wang yang berada
dalam tingkatan Bodhisattva.
Tentang ti cang wang, dalam kitab Buddha tercatat sebagai berikut, ketika
Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya dan masuk nirvana 1500 tahun
kemudian ia menitis kembali ke dunia di Korea, sebagai seorang pangeran dari
keluarga raja negeri Sinlo. Namanya, Jin Qiao Jue (Kim Kiauw Kak-Hokkian).
Sebab itu setelah orang tahu bahwa ia adalah penitisan Buddha, maka mereka
memanggilnya Jin Ti Cang. Konon wataknya sederhana, tidak kemeruk pangkat dan
kemewahan, tapi sangat berbudi, welas asih. Ia sangat gemar mendalami ajaran
Kong-Zi dan Buddha. Pada masa pemerintahan kaisar tang Gao Cong, tahun Yong
Yong We keempat (arti harafiahnya pandai mendengar) belajar menyeberangi
lautan, kemudian sampai dipegunungan Ciu Hua San di propinsi An Hui. Gunung Ciu
Hua Shan sebenarnya adalah miliki Meng Kung. Meng Kung ini sangat berbudi, suka
menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan
makanan vegetarian (Ciak Jay) untuk 100
orang pendeta Buddha.
Tapi, tiap kali ia hanya dapat mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil
memenuhi jumlah yang diinginkannya. Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri
ke gunung untuk mencari pendeta yang ke seratus. Ketika ia melihat Jin Qiao Jue
sedang bersemedi disebuah gubuk, ia segera menghampirinya dan mengundangnya
datang ke rumah untuk bersantap-santap bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Meng
Kung kelihatannya ada karma dengannya, lalu mengabulkan undangannya, tapi
dengan mengajukan satu permintaan. Permintaannya tidak banyak, ia hanya
menginginkan sebidang tanah di Ciu Hua Shan itu, seluas baju Kasanja/kasenja
(Jubah suci pendeta Buddha), melihat permintaan yang hanya sepele itu Meng Kung
langsung menyetujuinya.
Tapi keanehan lalu terjadi. Ternyata ketika Jin Qiao menebarkan baju
Kasenja ke udara, seketika itu juga, baju upasaka itu berubah menjadi sangat
besar sekali sehingga menutupi seluruh pegunungan itu. Begitulah Meng Kung lalu
menyerahkan Ciu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan
tempat ibadah dan mengajarkan Dharma. Meng Kung bahkan menyuruh anak
laki-lakinya ikut menemani Jin Qiao Jue menjadi pendeta. Putra Meng Kung ini
kemudian disebut Tai Ming He Sang (To Beng Hwee Shio-Hokkian). Selanjutnya Meng
Kung pun meninggalkan semua kehidupannya yang penuh kemewahan ikut menjadi
pengikut Jin Qiao Jue dan mengangkat Tao Ming He Sang dan Ming Kung. Jin Qiao
Jue Ti Cang Phu Sa bertapa di gunung Ciu Hua Shan 75 tahun lamanya, dengan
ditemani oleh anjingnya yang setia.
Pada usia 99 tahun beliau meninggal tepat pada tanggal 30 bulan 7 menurut penanggalan Imlek. Ada juga yang
mengatakan bahwa pada waktu itu Ti Cang telah berusia lanjut. Seorang
cendikiawan kenamaan yang bernama Zhu ge Jie bersama temannya sedang bertamasya
ke gunung untuk mencari udara segar. Sampai di atas, Qing Qi Yan melihat Ti
Chang Wang sedang bersamadi dengan tekun, makannya hanya nasi putih yang
dimasak encer diatas tungku dari tanah. Diam-diam timbul rasa hormatnya ia lalu
mendirikan kuil diatas gunung Ciu Hua Shan. Sejak itupara pendeta dari berbagai
tempat mendatangi Ti Chang Wang untuk menerima ajarannya. Jin Qiao Jue
meninggal pada tahun pemerintahan Kaisar Xuan Cong dari dinasti Tang (728 M)
tanggal 30 bulan 7 Imlek.
Inilah sebabnya mengapa setiap jatuh tanggal tersebut masyarakat banyak
membakar hio yang disebut Ti Cang Siang atau dupa Ti Cang. Jenasah Jin Qiao Jue
ditempatkan pada sebuah batu kecil, sampai pada suatu ketika jenasah hendak
dikeluarkan, terjadi keajaiban, dimana jenasah tersebut masih dalam keadaan
baik dan tidak membusuk, wajahnya hanya seperti orang tidur. Pada masa pemerintahan
kaisar Xiao Cong, para penganutnya membangun sebuah pagoda di Nan-Tai (salah
satu puncak di Ciu Hua Shan) dan menempatkan abunya disitu. Tatkala pagoda itu
sudah selesai dibangun dan abu telah ditempatkan, ternyata pagoda itu telah
mengeluarkan sinar yang gilang gemilang, sehingga mengherankan orang yang ada
di situ. Tempat itu kemudian diubah namanya menjadi Shen Kuang Ling yang
berarti bukit Cahaya Malaikat. Sejak itu Ciu Hua Shan menjadi salah satu gunung
suci umat Buddha.
Selain kisah di atas, juga masih ada versi lain yang menceritakan tentang
kelahiran Bodhisattva Ksitigarbha. Dalam salah satu sutra Buddhis yang sangat
terkenak di Tiongkok, Buddha menceritakan bahwa Ksitigarbha pernah terlahir
sebagai putri Brahman yang bernama gadis suci. Ketika ibunya meninggal, ia
sangat sedih hati, karena pada masa hidupnya, ibu gadis suci, sering mengumpat
Triratna, maka dilahirkan dialam neraka. Untuk menyelamatkan ibunya yang
tersiksa dineraka, ia memberikan persembahan kepada Buddha pada masa itu. Ia
berdoa dengan kesungguhan hati agar ibunya dibebaskan dari siksaan neraka, dan
memohon kepada Buddha agar menolongnya.
Pada suatu hari, ketika ia sedang berdoa memohon pertolongan, Buddha
menasehati agar ia segera pulang. Kemudian diperintahkan agar melakukan
meditasi dengan bimbingan Sang Buddha, sehingga ia dapat mengetahui dimana
ibunya berada. Selanjutnya melalui meditasi ia dapat mengunjungi neraka dan
bertemu dengan penjaga neraka. Penjaga neraka tersebut memberitahukan kepadanya
bahwa berkat persembahan dan doanya, ibunya telah dilepaskan dari neraka dan
dimasukkan ke surga. Ia sangat senang dan merasa lega, karena ibunya telah
bebas dari penderitaan. Namun demikian, karena ia melihat makhluk-makhluk
neraka lainnya yang menderita karena siksaan, ia merasa sangat iba hati,
sehingga ia mengatakan: “saya akan berusaha membebaskan semua makhluk neraka
dari penderitaan selama hidup saya”. Semenjak itulah gadis suci itu menjadi
Bodhisattva, dan kemudian dikenal sebagai Bodhisattva Ksitigarbha.
Bodhisattva Ksitigarbha sering dilukiskan dalam keadaan berdiri, tangannya
memegang Cintamani (permata kebijaksanaan) atau Tongkat Bercincin, tongkat
pemberi peringatan (disebut Khakkara). Wajahnya menunjukkan kebajikan. Banyak
pula Bodhisattva Ksitigarbha yang dilukiskan dalam posisi duduk diatas teratai,
tangannya memegang permata menyala yang dianggap berkekuatan dahsyat. Di kepalanya
terdapat mahkota dengan lima lembar daun, setiap daun terdapat lukisan Dhyani
Buddha. Dengan tongkatnya Ksitigarbha dapat membuka pintu neraka, sedangkan
permata di tangannya dapat menerangi kegelapan neraka. Kadang kala kita temui
Bodhisattva Ksitigarbha berdiri dan tangan kirinya memegang mangkok sedekah
(patta) dan tangan kanannya membentuk mudra, sebagai tanda “Jangan takut” dan
memberikan kedamaian semua makhluk.
Penampakan dari manifestasinya Bodhisattva Ksitigarbha, dalam kehidupan
dengan cara meninggalkan kehidupan berumah tangga, berbeda dengan caranya
dengan penampakan Bodhisattva Manjusri dan Samanthabadra. Beliau-beliau itu
bermanifestasi secara berkehidupan rumah tangga yang biasa, sedangkan
Bodhisattva Ksitigarbha menyelamatkan makhluk-makhluk yang masuk ke alam
neraka, dan mengajarkan kepada makhluk-makhluk hidup untuk menghargai Triratna
dan mempercayai hukum sebab akibat, sehingga mereka tidak akan jatuh ke dalam
tiga jalan kejahatan. Beliau juga menasihatkan agar orang menghormati nenek
moyangnya, dan tidak melupakannya.
Ksitigarbha Biodhisattva pernah berjanji kepada Sakyamuni Buddha; “Saya
akan mematuhi ajaranmu untuk melepaskan makhluk-makhluk dari penderitaan, dan
membimbing mereka untuk mencapai kebebasan. Saya akan bekerja keras hingga
Buddha Maitreya datang ke dunia ini”.
Buddha Sakyamuni memberikan nasihat; “Dengarkan baik-baik, jika seseorang
pada waktu akan datang melihat lukisan/pratima Bodhisattva Ksitigarbha;
mendengar sutra Ksitigarbha dan menghafalkannya, memberi persembahan dan
menghormati Bodhisattva Ksitigarbha, mereka akan memperoleh keuntungan selama
hidupnya dan kelak akhirnya akan mencapai kebuddhaan.
0 komentar:
Posting Komentar