Pages

Jumat, 02 November 2012

Bodhisattva kstigarbha


(TI CHANG WANG PHU SA)
 
Nama Ksitigarbha adalah perkataan dari bahasa sansekerta yang mengandung arti bumi tempat menyimpan ke-sepuluh sutra roda kehidupan. Sang Bodhisattva ini dikenal secara populer dilingkungan rakyat berbagai bangsa di dunia, karena beliau telah menyeberangkan, menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita hingga tiba di pantai Nirvana, sesuai dengan sumpah maha suci beliau yang berbunyi sebagai berikut: 


“kalau bukan aku yang pergi ke neraka untuk menolong roh-roh yang tersiksa disana, siapa yang akan pergi?......, kalau neraka belum kosong dari arwah-arwah yang tersiksa, aku tidak akan menjadi Buddha. Hanya bila semua makhluk telah di selamatkan, barulah mencapai tingkat kebuddhaan”.

Di dalam gambar sering kita jumpai figure/gambar/arca berlian yang berada di bawah Avalokitesvara Bodhisattva (Kuan Yin Phu Sa) yang diapit oleh kedua siswa beliau sebagai ayah dan putra yaitu Meng Kung dan Tao Ming. Diantara para Bodhisattva yang dipuja oleh kaum Mahayana, Ksitigarbha Bodhisattva satu-satunya yang terlihat dalam wujud sebagai seorang bhiksu lengkap dengan jubahnya. Menurut pandangan orang Tionghoa, beliau dikatakan sebagai seorang Bodhisattva yang penuh dengan maitri karuna dan bercita-cita untuk membantu mereka yang terlahir di alam yang menderita agar dapat meringankan karma-karma buruk mereka. Sering juga ia dikaitkan dengan sepuluh raja akhirat (she tien yan wang).

Kesepuluh raja akhirat itu adalah bawahanya langsung, sebab itu ia diberi gelar you ming jiao chu atau pemuka agama diakhirat. Ia menjadi pelindung para arwah, membimbing mereka agar insaf dari perbuatannya yang sudah-sudah, dan tidak akan mengulangi perbuatan tercela itu lagi, agar bisa terbebas dari karma buruk pada penitisan yang akan datang. Di kalangan rakyat, banyak beredar kisah-kisah yang ada hubungannya dengan ti cang wang. Diantara kisah-kisah itu ada banyak juga yang menyamakan ti cang wang dengan mu lien. Kisah mu lien banyak mengharukan orang, tentang bagaimana ia menolong ibunya dari siksaan di neraka. Mu lien oleh sementara orang dianggap sebagai ti cang wang. Sesungguhnya kalau kita meneliti kitab-kitab suci, mu lien adalah murid Buddha dan masuk ajaran ah luo han atau arahat dan bukannya ti cang wang yang berada dalam tingkatan Bodhisattva.

Tentang ti cang wang, dalam kitab Buddha tercatat sebagai berikut, ketika Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya dan masuk nirvana 1500 tahun kemudian ia menitis kembali ke dunia di Korea, sebagai seorang pangeran dari keluarga raja negeri Sinlo. Namanya, Jin Qiao Jue (Kim Kiauw Kak-Hokkian). Sebab itu setelah orang tahu bahwa ia adalah penitisan Buddha, maka mereka memanggilnya Jin Ti Cang. Konon wataknya sederhana, tidak kemeruk pangkat dan kemewahan, tapi sangat berbudi, welas asih. Ia sangat gemar mendalami ajaran Kong-Zi dan Buddha. Pada masa pemerintahan kaisar tang Gao Cong, tahun Yong Yong We keempat (arti harafiahnya pandai mendengar) belajar menyeberangi lautan, kemudian sampai dipegunungan Ciu Hua San di propinsi An Hui. Gunung Ciu Hua Shan sebenarnya adalah miliki Meng Kung. Meng Kung ini sangat berbudi, suka menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan makanan vegetarian (Ciak Jay) untuk 100  orang pendeta Buddha.

Tapi, tiap kali ia hanya dapat mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil memenuhi jumlah yang diinginkannya. Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri ke gunung untuk mencari pendeta yang ke seratus. Ketika ia melihat Jin Qiao Jue sedang bersemedi disebuah gubuk, ia segera menghampirinya dan mengundangnya datang ke rumah untuk bersantap-santap bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Meng Kung kelihatannya ada karma dengannya, lalu mengabulkan undangannya, tapi dengan mengajukan satu permintaan. Permintaannya tidak banyak, ia hanya menginginkan sebidang tanah di Ciu Hua Shan itu, seluas baju Kasanja/kasenja (Jubah suci pendeta Buddha), melihat permintaan yang hanya sepele itu Meng Kung langsung menyetujuinya.

Tapi keanehan lalu terjadi. Ternyata ketika Jin Qiao menebarkan baju Kasenja ke udara, seketika itu juga, baju upasaka itu berubah menjadi sangat besar sekali sehingga menutupi seluruh pegunungan itu. Begitulah Meng Kung lalu menyerahkan Ciu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan tempat ibadah dan mengajarkan Dharma. Meng Kung bahkan menyuruh anak laki-lakinya ikut menemani Jin Qiao Jue menjadi pendeta. Putra Meng Kung ini kemudian disebut Tai Ming He Sang (To Beng Hwee Shio-Hokkian). Selanjutnya Meng Kung pun meninggalkan semua kehidupannya yang penuh kemewahan ikut menjadi pengikut Jin Qiao Jue dan mengangkat Tao Ming He Sang dan Ming Kung. Jin Qiao Jue Ti Cang Phu Sa bertapa di gunung Ciu Hua Shan 75 tahun lamanya, dengan ditemani oleh anjingnya yang setia.

Pada usia 99 tahun beliau meninggal tepat pada tanggal 30 bulan  7 menurut penanggalan Imlek. Ada juga yang mengatakan bahwa pada waktu itu Ti Cang telah berusia lanjut. Seorang cendikiawan kenamaan yang bernama Zhu ge Jie bersama temannya sedang bertamasya ke gunung untuk mencari udara segar. Sampai di atas, Qing Qi Yan melihat Ti Chang Wang sedang bersamadi dengan tekun, makannya hanya nasi putih yang dimasak encer diatas tungku dari tanah. Diam-diam timbul rasa hormatnya ia lalu mendirikan kuil diatas gunung Ciu Hua Shan. Sejak itupara pendeta dari berbagai tempat mendatangi Ti Chang Wang untuk menerima ajarannya. Jin Qiao Jue meninggal pada tahun pemerintahan Kaisar Xuan Cong dari dinasti Tang (728 M) tanggal 30 bulan 7 Imlek.

Inilah sebabnya mengapa setiap jatuh tanggal tersebut masyarakat banyak membakar hio yang disebut Ti Cang Siang atau dupa Ti Cang. Jenasah Jin Qiao Jue ditempatkan pada sebuah batu kecil, sampai pada suatu ketika jenasah hendak dikeluarkan, terjadi keajaiban, dimana jenasah tersebut masih dalam keadaan baik dan tidak membusuk, wajahnya hanya seperti orang tidur. Pada masa pemerintahan kaisar Xiao Cong, para penganutnya membangun sebuah pagoda di Nan-Tai (salah satu puncak di Ciu Hua Shan) dan menempatkan abunya disitu. Tatkala pagoda itu sudah selesai dibangun dan abu telah ditempatkan, ternyata pagoda itu telah mengeluarkan sinar yang gilang gemilang, sehingga mengherankan orang yang ada di situ. Tempat itu kemudian diubah namanya menjadi Shen Kuang Ling yang berarti bukit Cahaya Malaikat. Sejak itu Ciu Hua Shan menjadi salah satu gunung suci umat Buddha.

Selain kisah di atas, juga masih ada versi lain yang menceritakan tentang kelahiran Bodhisattva Ksitigarbha. Dalam salah satu sutra Buddhis yang sangat terkenak di Tiongkok, Buddha menceritakan bahwa Ksitigarbha pernah terlahir sebagai putri Brahman yang bernama gadis suci. Ketika ibunya meninggal, ia sangat sedih hati, karena pada masa hidupnya, ibu gadis suci, sering mengumpat Triratna, maka dilahirkan dialam neraka. Untuk menyelamatkan ibunya yang tersiksa dineraka, ia memberikan persembahan kepada Buddha pada masa itu. Ia berdoa dengan kesungguhan hati agar ibunya dibebaskan dari siksaan neraka, dan memohon kepada Buddha agar menolongnya.

Pada suatu hari, ketika ia sedang berdoa memohon pertolongan, Buddha menasehati agar ia segera pulang. Kemudian diperintahkan agar melakukan meditasi dengan bimbingan Sang Buddha, sehingga ia dapat mengetahui dimana ibunya berada. Selanjutnya melalui meditasi ia dapat mengunjungi neraka dan bertemu dengan penjaga neraka. Penjaga neraka tersebut memberitahukan kepadanya bahwa berkat persembahan dan doanya, ibunya telah dilepaskan dari neraka dan dimasukkan ke surga. Ia sangat senang dan merasa lega, karena ibunya telah bebas dari penderitaan. Namun demikian, karena ia melihat makhluk-makhluk neraka lainnya yang menderita karena siksaan, ia merasa sangat iba hati, sehingga ia mengatakan: “saya akan berusaha membebaskan semua makhluk neraka dari penderitaan selama hidup saya”. Semenjak itulah gadis suci itu menjadi Bodhisattva, dan kemudian dikenal sebagai Bodhisattva Ksitigarbha.

Bodhisattva Ksitigarbha sering dilukiskan dalam keadaan berdiri, tangannya memegang Cintamani (permata kebijaksanaan) atau Tongkat Bercincin, tongkat pemberi peringatan (disebut Khakkara). Wajahnya menunjukkan kebajikan. Banyak pula Bodhisattva Ksitigarbha yang dilukiskan dalam posisi duduk diatas teratai, tangannya memegang permata menyala yang dianggap berkekuatan dahsyat. Di kepalanya terdapat mahkota dengan lima lembar daun, setiap daun terdapat lukisan Dhyani Buddha. Dengan tongkatnya Ksitigarbha dapat membuka pintu neraka, sedangkan permata di tangannya dapat menerangi kegelapan neraka. Kadang kala kita temui Bodhisattva Ksitigarbha berdiri dan tangan kirinya memegang mangkok sedekah (patta) dan tangan kanannya membentuk mudra, sebagai tanda “Jangan takut” dan memberikan kedamaian semua makhluk.

Penampakan dari manifestasinya Bodhisattva Ksitigarbha, dalam kehidupan dengan cara meninggalkan kehidupan berumah tangga, berbeda dengan caranya dengan penampakan Bodhisattva Manjusri dan Samanthabadra. Beliau-beliau itu bermanifestasi secara berkehidupan rumah tangga yang biasa, sedangkan Bodhisattva Ksitigarbha menyelamatkan makhluk-makhluk yang masuk ke alam neraka, dan mengajarkan kepada makhluk-makhluk hidup untuk menghargai Triratna dan mempercayai hukum sebab akibat, sehingga mereka tidak akan jatuh ke dalam tiga jalan kejahatan. Beliau juga menasihatkan agar orang menghormati nenek moyangnya, dan tidak melupakannya.

Ksitigarbha Biodhisattva pernah berjanji kepada Sakyamuni Buddha; “Saya akan mematuhi ajaranmu untuk melepaskan makhluk-makhluk dari penderitaan, dan membimbing mereka untuk mencapai kebebasan. Saya akan bekerja keras hingga Buddha Maitreya datang ke dunia ini”.
Buddha Sakyamuni memberikan nasihat; “Dengarkan baik-baik, jika seseorang pada waktu akan datang melihat lukisan/pratima Bodhisattva Ksitigarbha; mendengar sutra Ksitigarbha dan menghafalkannya, memberi persembahan dan menghormati Bodhisattva Ksitigarbha, mereka akan memperoleh keuntungan selama hidupnya dan kelak akhirnya akan mencapai kebuddhaan.

0 komentar: