Disusun oleh: Dwi
Rahayu, Putradi,Wistina Seneru
Skolastisisme
dalam Buddhisme timbul, karena adanya kebutuhan untuk mengabadikan
ajaran-ajaran Sang Buddha dan tidak memberikan kesempatan kepada timbulnya
perpecahan. Salah satu cara yang dipakai adalah mengumpulkan dan
mengkelaskan ajaran-ajaran dasar dari Sang Buddha, seperti terdapat dalam Sañgīti-suttanta, sehingga tidak akan
menimbulkan ketidaksepakatan. Dalam proses pemilihan dan enumerasi
ajaran-ajaran dasar ini, metode pembabaran yang biasa dipakai Sang Buddha
diubah. Pandangan kiasan, anekdot, ilustrasi dan semacamnya, yang memegang
peranan penting dalam penguraian disingkirkan. Perbedaan ini dicatat oleh para
cendekiawan klasik itu sendiri, yang melihat bahwa uraian-uraian itu pada
mulanya diajarkan dengan gaya memutar (sappariyāya
desanā), yang bebas dalam menggunakan kiasan, metafora, dan anekdot,
sedangkan gaya langsung (nippariyāya
desanā) yang menggunakan istilah yang amat terpilih, mementingkan ketepatan
dan tak-personal merupakan ciri dari Abhidharma.
perbedaan
awal hanya antara sutta-sutta (suttanta) dan
pembahasan skolastik (Abhidharma),
dengan berlalunya sang waktu berbagai perbedaan lain kemudian bermunculan.
Sebagai contoh, sutta-sutta dipandang sebagai ajaran-ajaran popular (vohāra
desanā) sedangkan Abhidhamma
dipandang sebagai uraian tentang Realitas Terakhir (paramattha desanā. Pembedaan yang lebih dahulu mengacu hanya
kepada masalah gaya, tetapi yang belakangan berakibat terhadap perbedaan yang
menyangkut isi yang sesungguhnya. Hal ini membawa ke penegasan perbedaan antara
dhamma dan abhidhamma; yang terakhir
didefinisikan sebagai ‘dhamma
spesial’ (abhivisittho dhammo). Jadi
kalau sutta dianggap hanya berkaitan dengan dhamma,
maka Abhidharma dianggap membahas dhamma
yang khusus atau Realitas Tertinggi.
Seorang
cendekiawan Theravāda belakangan mengartikan Abhidhamma sebagai “analisis (dhamma)
menjadi batin dan jasmani” (nāmarūpapariccheda). Menurut pendapatnya,
pembabaran tentang dhamma yang ada
dalam sutta terdiri dari dhamma dalam
pengertian moralitas (sila) dan
pengembangan mental (Samadhi), dan
ajaran tentang disiplin (vinaya)
berkenaan dengan transgresi (āpatti)
dan nontransgresi (anāpatti) sedangkan kawasan Abhidharma adalah analisis realitas
menjadi batin (nāma) dan jasmani (rūpa).
Kaum Sarvâstivādin juga mendefinisikan Abhidharma sebagai “analisis tentang dharma” (dharma pravicaya) dan
menyatakannya sebagai kebijaksanaan murni (amalā
prajna). Dalam kedua tradisi ini,
penerangan (bodhi) dari Sang Buddha
dikatakan terdiri dari dharma-pravicaya
ini atau namarupapariccheda.
Kepercayaan bahrwa Sang Buddha membabarkan Abhidharma
kepada para dewa, dan tidak kepada umat manusia, rupanya merupakan suatu usaha
untuk melambangkan posisinya yang berada di atas itu.
Status
meninggi bagi Abhidharma ini memberi
pertanda akan datangnya awal kecenderungan absolutisme dalam Buddhisme. Batin
dan jasmani kemudian dikenal sebagai Realitas Terakhir. Dalam kenyataannya,
menurut buku pedoman Abhidharma yang
belakangan bahkan nibbana termasuk
dalam kategori batin.
Bila
fenomena dianalisis menjadi dua grup yang berbeda dari realitas batin dan
materi, kaum Abhidhamika haruslah
melengkapinya dengan definisi untuk masing-masing grup tadi. Karena itu,
pikiran (citta) atau bentuk-bentuk
mental (cetasika) didefinisikan
sebagai bukan materi (a-rūpa), dan
materi (rūpa) sebagai bukan mental (a-cetasika, cittavippayutta). Karena
itu pula terjadilah dua alur yang memisah secara tajam antara kedua unsur ini,
membuat kaum Abhidharmika berhadapan dengan beberapa persoalan filosofi yang
pada umumnya berhubungan dengan dualisme.
Salah
satu persoalan utamanya adalah kesulitan dalam menjelaskan proses pencerapan.
Pertanyaanya adalah sebagai berikut. Bagaimana sebenarnya sehingga pikiran yang
mempunyai sifat yang amat berlainan itu ternyata peka terhadap materi?
Persoalan in, walaupun tersirat dalam Abhidhamma-nya pali, sesungguhnya baru
dinyatakan secara tegas oleh Buddhagosa yang berkata:’Di tempat yang mengandung
perbedaan jenis, di sana tak ada rangsangan. Para leluhur (oarānā) menyatakan bahwa rangsangan
indria adalah sama saja, tidak berbeda-beda8.” Untuk menjelaskan
masalah ini, kaum Abhidharmika menggunakan analisis materi (rūpa) seperti yang dikemukakannya pada Buddhisme awal. Menurut
sutta, materi (rūpa) terdiri dari
empat unsur utama (cattāro mahābhūtā)
dan unsur-unsur turunan (upādāya rūpa)9.
Tetapi di dalam sutta-sutta tidak kita dapati usaha berspekulasi terhadap
keadaan sebenarnya dari unsur-unsur utama ini lebih dari sekedar yang dapat
diperoleh melalui pengalaman. Kalau diajukan pertanyaan tentang unsur-unsur
utama ini – tanah, air, api, dan udara – satu-satunya definisi yang diberikan
adalah yang terbatas dalam jangkauan pengalaman, yakni, sikap yang timbul pada
seseorang bila terkena oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, tanah
didefinisikan sebagai sesuatu yang keras (kakkhala)
dan kaku (kharigata) dan seterusnya10.
Tetapi pertanyaan apakah ada sesuatu di balik kekerasan dan kekakuan tadi tidak
pernah diajukan ataupun dijawab, karena hal ini akan bertentangan dengan
pandangan seorang empirik.
Namun
demikian, menurut Abhidharmika, pembedaan antara sesuatu (dhamma) dan ciri-cirinya (lakkhana),
walaupun tidak benar-benar ada, adalah perlu untuk kepentingan pendefinisian
atau penetapan (kappanā). (ini, tentu
saja, dengan melupakan kenyataan bahwa abhidhamma merupakan uraian tentang
Realitas Terakhir, bukan tentang ‘kebenaran biasa’). Analisis serupa inilah
yang membuka jalan bagi munculnya teori ‘zat’ (sabhāva) pada masa theravāda pasca-Buddhagosha atau pun
sarvâstivāda. Ini pula agaknya jalan yang dipakai oleh John Locke, seorang
empirisis inggris, yaitu dengan menyajikan bentuk yang serupa dari dualism lalu
tiba pada gagasan tentang zat. Ia menyatakan :
Gagasan
itu, yang kita beri nama umum zat, bukan apa-apa melainkan dianggap demikian,
tetapi merupakan pendukung yang tak dikenal bagi sifat-sifat yang kita temukan
ada, yang kita bayangkan tidak dapat bertahan, sine re substante, tanpa sesuatu
yang mendukung tadi substantia, yang menurut arti sebenarnya dari kata itu,
berdiri di bawahnya atau menyokong12.
Dengan
cara yang sama, analisis dari kaum Abhidharmika tentang fenomena batin menjadi
dua jenis, pikiran dan bentuk-bentuk mental, akhirnya kaum Abhidharmika
berusaha keras agar dalam menerangkan fenomena batin tidak perlu memasang
semacam substrat yang dapat memberikan kesempatan bagi usaha penggabungan
tertentu terhadap unsur-unsur mental yang berbeda (sabbasaŋgāhaka)14. Bentuk-bentuk mental karenanya
didefinisikan sebagai “semua yang berhubungan dengan pikiran (citta-sampayutta) dan muncul dalam
pikiran (citta bhavā)”15.
Cara pengenalan pikiran yang demikian yaitu sebagai suatu kesatuan yang berbeda
terhadap bentuk-bentuk mental akhirnya membawanya ke pandangan substansialis
tentang fenomena batin.
Inilah
dualisme yang merupakan ciri dari keseluruhan filsafat Abhidharma. Meskipun
sang ‘diri’ atau bila menggunakan ungkapan dari Gilbert Ryle, ‘setan dalam
mesin’ dilenyapkan, mesin itu sendiri akan menjadi substansi, Realitas
Terakhir, suatu status yang tidak dipunyai Buddhisme awal.
Gagasan-gagasan
ini membentuk landasan yang sama untuk kedua tradisi Abhidharma, yakni
Theravāda dan sarvâstivāda, yang pada umumnya ditentang oleh kaum sautrāntika.
Yang terakhir berusaha keras tetap setia kepada sutta yang asli.inilah yang
menjadikan nama mereka, sautrāntika (sūtrānta-ika). Mereka memandang sutta
sebagai sumber primer (sūtrapramanika),
sedangkan kaum sarvâstivādin menyatakan Abhidharma sebagai sumber primer (sāstrapramamika). Tetapi meskipun
mereka bergantung kepada sutta, kaum sautantrika menerima pula beberapa doktrin
tertentu yang tidak diketemukan di sana, melainkan yang dapat dipandang sebagai
produk perkembangan belakangan. Doktrin-doktrin ini antara lain adalah doktrin
tentang saat (kharavāda) dan atomisme
(paramānuvāda), yang diketemukan
dalam semua sekolah skolastik Buddhisme – Theravāda pasca Buddhagosha, sarvâstivāda,
dan sautrāntika. Dengan tegas dapat
dinyatakan bahwa mereka tidak dapat diketemukan pada tradisi Theravāda pra-Buddhagosha.
Alih-alih
menggunakan definisi Buddha awal tentang ketidakkekalan (anitya) sebagai muncul (uppāda)
dan lenyap (vaya)dan perubahan
dari apa yang berada (thitassa
aññathatta) (lihat bab 4), kaum Sarvâstivādin, sebagai hasil dari analisis
logika terhadap proses perubahan, mengubah definisi ketidakkekalan menjadi saat
lahir (jāti), static (sthiti), lapuk (jarā) dan mati (nāsa),17
dan mengambil ‘perubahan dari apa yang berada’ sebagai wakil dari dua saat,
statik dan lapuk. Theravāda
pasca-Buddhagosha mengacunya menjadi tiga saat, lahir (uppāda), static (thiti),
hancur (bhaŋga).18 Kaum
Sautrāntika, di pihak lain, menerima dua saat saja, kelahiran (utppāda) dan hancur (vyaya) dan menolak saat statik
dengan harapan dapat lebih setia terhadap teori ketidakkekalan yang ada dalam
Buddhisme awal.19
Sebagai
akibat dari diterimanya teori saat dalam bentuk seperti di atas, para
cendekiawan berhadapan dengan beberapa persoalan filsafat, yang jawabannya
kemudian menimbulkan perbedaan-perbedaan doktrin yang nyata. Dua dari persoalan-persoalan
utama yang harus dihadapi para cendekiawan akibat diterimanya teori saat itu
adalah masalah pencerapan dan kausalitas.
Marilah
kita perhatikan dahulu masalah pencerapan. Kedua sekolah yang melihat adanya
saar statis mengajukan teoripencerapan langsung, karena objek pencerapan
dianggap berada sedikitnya satu saat, objek itu dikatakan masuk ke dalam pusat
perhatian pada saat static ini dan karenanya akan tercerap secara langsung. Di
sini seseorang dapat saja berpendapat bahwa walaupun objek luar itu masuk ke
dalan pusat perhatian pada saat static, pencerapan lengkap tidaklah harus
merupakan hasil dari kontak itu karena pencerapan merupakan proses yang agak
rumit yang menyertakan memori, pengenalan, pengertian, atau asimilasi, dan
sebagainya. Oleh karena itu, objek tadi haruslah tinggal lebih dari satu saat
bila seluruh proses pencerapan harus dilengkapi. Bahkan bukan hanya
berkesinambungan keberadaan dan objek itu saja yang harus tersedia, melainkan
juga kesinambungan dari proses mental.
Dalam
rangka menjelaskan persoalan ini, Buddhagosha menyajikan suatu teori yang
cerdik, berdasarkan pernyataan umum yang dibuat Sang Buddha bahwa perubahan
pikiran terjadi lebih cepat daripada badan jasmani20. Dalam
komentarnya tentang Vibhanga, Buddhasgosa mempertahankan pendapat bahwa ada
enam belas saat pikiran yang timbul dan tenggelam selama masa hidup sesaat dari
suatu materi. Saat atau titik saat dari suatu materi yang muncul bersamaan
dengan saat dari pikiran tadi akan mati berbarengan dengan keberadaan saat yang
ketujuhbelas dari pikiran21. Ia mengacu kepada berbagai macam saat
muncul selama proses pencerapan, antara lain memperhatikan, menerima,
memeriksa, menentukan, mencatat objek luar. Compendium filsafat-nya Anuruddha (abhidhammatthasangaha) menguraikan secara
terperinci suatu teori yang mengikuti pola umum yang dibuat oleh Buddhagosa.
Proses
pencerapan, menurut Anuruddha, mulai dengan getaran dari proses bawah-sadar
untuk dua saat, dan pada saat yang kedua pikiran bawah-sadar terpotong.
Saat-saat berikutnya adalah perhatian (yakni perhatian terhadap lima pintu
indria, pancadvaravajjana) sensasi (cakkhuvinnana), asimilasi (sampaticchana), tujuh saat untuk
pengenalan javana), dan dua untuk
pencatatan (tadarammana). Dengan
menambhakan satu saat pikiran pada permulaan proses persepsi, suatu saat
pikiran yang muncul sebelum objek materi mengalami kontak dengan organ indria,
banyaknya saat-saat pikiiran akan berjumlah tujuhbelas22.
Penting
untuk dicatat bahwa sebagai hasil dari analisis tentang proses pencerapan
menjadi saat-saat yang diskrit, kaum Abhidhammika harus meletakkan suatu
keberadaan landasan mental atau substansi yang nantinya akan menyimpan
kesan-kesan yang ditinggalkan oleh objek-objek yang berbeda dan memelihara
kesinambungan saat-saat yang diskrit tadi. Formulasi dari teori proses mental
bawah-sadar ini (bhavanga) karenanya
merupakan hasil langsung. Ia seakan-akan merupakan suatu gudang yang menyimpan
semua kesan-kesan, dan teori bawah-sadar yang sama inilah yang belakangan
berkembang menjadi teori ‘gudang kesadaran’ (alayavijnana)
dari sekolah yogascara (lihat bab 12) dan yang dipandang oleh sekolah-sekolah
buddhisme lainnya sebagai ‘teori substansialis;’ atmavada yang bersembunyi. Yang dimaksud adalah dalam pengertian
substansi mental.
Dengan
menerima konsepsi saat static, kaum sarvastivada juga menyumbangkan ke teori
pencerapan langsung. Menurut abhidharmadipa :
“substansi
yang disebut mata adalah sesuatu yang memiliki sifat melihat (‘yang melihat’).
Padanya dihasilkan kegiatan melihat, ketika kekuatannya terbangun dengan
bangkitnya keseluruhan dari sebab-sebab dan kondisi-kondisinya. Mata tidak
memahami secara lepas dari kesadaran, tidak juga kesadaran mata tahu tentang
objek tanpa dukunga mata yang aktif/ mata maupun kesadaran-mata, dengan bantuan
perlengkapan seperti cahaya, bekerja-sama secara berbarengan membuka kesempatan
datangnya pencerapan akan objek tertentu. Objek itu, mata, dan kesadaran-mata,
serta cahaya, mengejawantahkan kekuatannya, yakni menjadi aktif dan menyala
secara bersama-sama. Objeknya muncul, mata melihat, dan kesadaran mata
mengetahuinya. Inilah yang disebut dengan pengetahuan langsung tentang sesuatu
objek.23
Jadi
kaum sarvâstivādin maupun kaum theravādin belakangan telah berusaha untuk
membenarkan kenyataan pencerapan langsung ataupun keberadaan yang sesungguhnya
dari suatu objek.
Kaum
Sautrāntika yang menolak konsepsi tentang saat statik di pihak lain terpaksa
menerima teori pencerapan tak-langsung. Berdasarkan alasan bahwa suatu objek
mesti berada terus bila ia harus bersedia untuk dapat dikenal, kaum Sautrāntika
berpendapat bahwa karena baik objek ataupun kesadaran adalah tanpa durasi,
maka, tak mungkin aka nada pencerapan langsung terhadap onjek-objek luar. Komentar
yang pernah ada di Abhidharmadipa yang merujuk kepada argumen yang diajukan
oleh kaum Sautrāntika adalah sbb:
“Organ-organ
dan objek-objek dari lima kesadaran indria, yang disebabkan oleh yang terakhur,
termasuk kedalam waktu lampau. Bilamana objek tertentu dan mata berada,
kesadaran penglihatan tidak ada. Bilamana kesadaran penglihatan berada, mata
dan objek-objeknya tidak berada. Dengan tidak hadirnya durasi mereka maka taka
da kemungkinan untuk mengenali suatu objek. “24
Hal
ini membuat mereka menyimpulkan bahwa ‘semua pencerapan adalah tidak langsung’ (apratyaksa).25 Kaum
sautantrika bertahan bahwa subjek mampu menerima kesan kesamaan dari suatu
objek. Apa yang dikenalsi langsung adalah kesan ini atau wakil dari suatu objek
dan bukan objek itu sendiri, yang pada saat pengenalan, merupakan suatu
benda dari masa lalu. Objek itu disimpulkan hanya berdasarkan kesan indria.
Inilah gambaran dari teori pencerapan, atau teori inferabilitas (dapat
disimpulkan) tentang objek luar (bāhyâthânumeyavāda)26.
Teori-teori ini merupakan beberapa dari teori pencerapan yang berkembang dari
teori saat.
Penerimaan
teori atom (paramânu) juga
menimbulkan banyak sekali persoalan-persoalan bersifat logika bagi para
cendekiawan, yang mengakibatkan lawan-lawannya, kaum madhyamika, mengambil
keuntungan dari kelemahan-kelemahan jawaban-jawaban mereka untuk membenarkan
transendentalisme Mahāyāna.
Kaum
sarvâstivādin menjunjung suatu teori bahwa suatu objek pencerapan adalah suatu
agregat dari atom-atom (paramânusaŋghāta).
Mereka percaya bahwa atom-atom berada secara individual, dan bahwa bilamana
mereka berada dalam bentuk agregat (saŋghātarūpa).
Tetapi agregat ini tidak merupakan satuan (eka); ia merupakan keanekaan
belaka (aneka). Kaum Sarvâstivādin
baru, dipimpin oleh Sanghabdara, mencoba untuk menghindar dari paradox ini
dengan bersikeras bahwa “tiap-tiap atom sendiri bila mereka tidak bergantung
pada yang lainnya atau tidak berhubungan dengan lainnya (anyanirapeksa) adalah tidak dapat dicerap (atindriya), tetapi mereka dapat ditangkap indria-indria bila
berada bersama-sama (bahavah) dan
bila mereka saling bergantung satu sama lain (parasparapeksa) untuk keberadaannya.”27 Kaum
Sautrāntika, walaupun menuntut bahwa objek luar tidak dapat dicerap secara
langsung, menyebutkan juga tentang atom-atom yang membentuk objek. Mereka
bertahan bahwa atom-atom adalah unit-unit yang tak dapat dibagi lagi yang dapat
bergabung atau bercampur bersama-sama untuk membentuk suatu obyek. Jadi
sementara kaum Sarvâstivādin percaya akan pengelompokan dari atom-atom,maka
kaum Sautrāntika menyokong penggabungan (samyoga)
atom-atom.28 Suatu kritik terhadap teori-teori yang berveda ini
dapat diketemukan dalam alambanapariksa-nya
Dinnaga, dan yang menarik untuk dicatat adalah bahwa ia mengemukakan argument
empiric untuk menolak teori-teori atomik ini.29
Perbedaan
yang paling utama antara Buddhisme awal dan sekolah-sekolah yang belakangan ini
adalah yang berkenaan dengan penafsiran tentang kausalitas. Di sisni, perbedaan
yang timbul juga diakibatkan oleh diterimanya teori saat (ksana), yang membuat para cendekiawan mengalami kesulitan dalam
menerengkan kesinambungan kausal.
Timbulnya
konsepsi tentang substansi dalam tradisi Abhidharma sudah ditunjukkan di muka.
Kaum Sarvâstivādin menggunakan konsep ini sepenuhnya untuk menerangkan problem
kesinambungan dari fenomena, yang mereka uraikan menjadi keberadaan yang
bersifat sesaat. Ada empat teori yang berbeda yang disarankan oleh empat
guru-guru sarvastivada yang terkenal, yakni Dharmatara, Ghosaka, Vasumitra, dan
Buddhadeva.30
Dharmatara
mengajukan suatu teori tentang perubahan keberadaan. Ia berpendapat bahwa
bilaman suatu dharma melalui tiga
periode waktu, aka nada perubahan terhadap keberadaan atau keadaan, tidak
terhadap substansinya. Hal ini dilukiskan dengan perumpamaan tentang emas, yang
dapat dilihat dalam berbagai bentuk atau rupa, padahal emas itu sendiri tidak
berubah.
Ghosaka
megemukakan suatu teori tentang perubahan ciri atau aspek (laksananyathatva). Suatu dharma
dari masa lalu, menurut pendapatnya, memiliki ciri ke-lalu-an, tetapi tidak
memiliki ciri ke-sekarang-an dan ke-mendatang-an, seperti seorang laki-laki
yang terikat kepada seorang wanita, tetapi pada saat yang bersamaan tidak
terikat pada wanita yang lain.
Yang
diajukan Vasumitra adalah suatu teori tentang perubahan kondisi (avasthanyathatva), ia berpandangan
bahwa suatu dharma yang melalui tiga
periode waktu, setelah tiba pada tiap keadaan atau kondisi, disebut lalu,
sekarang, atau mendatang. Keadaannya atau kondisinya ditentukan oleh efisiensi
kausal atau aktivitas kausal (arthakriya-kritva).
jika efisiensi kausal hadir, ia disebut sekarang, jika efisiensi kausal
tidak ada lagi, ia disebut lalu, dan jika efisiensi itu belum terwujud ia
disebut mendatang. Dengan cara yang sama, sebuah mata uang yang diletakkan
dalam grup seratus mata uang disebut sebagai satu dari seratus, jika diletakkan
dalam tumpukan dari seribu ia disebut satu dari seribu.
Akhirnya,
Buddhadeva mengajukan suatu teori tentang perubahan dari hubungan (anyonyathatva). Suatu dharma disebut lalu dalam hubungannya
dengan sekarang dan mendatang, sekarang dalam hubungannya dengan yang lalu dan
mendatang, dan mendatang dalam hubungannya dengan yang lalu dan sekarang. Ia
seperti wanita yang menjadi ibu dalam hubungan dengan putrinya dan menjadi
putri dalam hubungannya dengan ibunya sendiri.
Menurut
keempat teori itu, ada suatu aspek dari dharma yang berubah, sedangkan yang
lainnya tetap tak berubah. Yang tidak berubah itu adalah landasan atau
substansi (dravya) dari
sesuatu. Doktrin inilah, yang mempertahankan pendapat bahwa ‘keberadaan’ (astitva) substansi dari ‘segala
sesuatu’ (sarva) yang tetap tidak
berubah selama tiga periode dari waktu lalu, sekarang dan mendatang, yang
memberi kaum sarvastivadin nama yang demikian.
Teori
yang menyatakan bahwa ‘substansi’ adalah tetap dan tidak berubah dipergunakan
untuk menerangkan kaitan antara sebab dan akibat. Sebagai contoh, suatuargumen
menyebutkan bahwa benih manga menumbuhkan pohon manga dan bukan pohon yang
lainnya. ‘ke-mangga-an’ dari pohon manga ada karena ‘ke-mangga-an’ diketemukan
dalam benih manga. ‘ke-mangga-an’ adalah substansi atau ‘sifat bawaan’ yang
mengaitkan benih itu dan pohonnya. Identitas karenanya dipertahankan
berlandaskan pada ‘sifat bawan’, dan teori yang kemudian dikenal sebagai teori
identitas kausalitas. Ia hampir mirip dengan teori sebab-akibatnya sankhya yang
juga dilandasi oleh konsepsi tentang substansi asal yang dipandang sebagai
landasan paling mendasar dari segala sesuatu.
Kaum
Sautrāntika menolak teori ‘subsatansi’ atau ‘sifat bawaan’, dengan menyebutnya
sebagai teori ‘diri’ yang tersembunyi. Untuk mengatakan bahwa sesuatu muncul
karena sifat bawaannya sendiri adalah berarti mengatakan ia muncul dari ‘diri’.31
dengan menolak substansi dan secara bersamaan menerima teori saat, tertinggal
tugas buat kaum Sautrāntika untuk menjelaskan kesinambungan kausal. Mereka
berpendapat bahwa keberadaan hanyalah suatu rangkaian dari saat-saat, satu saat
mengikuti yang lainnya tanpa istirahat atau celah. Suatu benih bukanlah apa-apa
melainkan suatu rangkaian dari titik-titik waktu, muncul dan lenyap, membentuk
penampilan suatu benih. Tetapi kemudian mereka harus menjelaskan asal dari
rangkaian tadi, bagaimana suatu rangkaian benih dapat menimbulkan rangkaian
pohon. Akibat pertanyaan itu, kaum Sautrāntika berpendapat bahwa rangkaian
benih yang mulanya tidak berada, dapat menjadi berada. Abhidharmakosavyakhya dari vasibhandhu merujuk ke suatu pernyataan
dalam Paramarthasunyatasutra (yang
dikutip kaum sautantrika, yang menolak suatu dharma dapat berada selama antara
masa lalu dan mendatang). Bunyinya adalah sbb :
Sewaktu
organ penglihatan (mata) diproduksi, ia tidak berasal dari tempat lain;
Sewaktu
ia lenyap ia tidak pergi untuk disimpan di tempat lain.
(akibatnya)
sesuatu menjadi, setelah tidak ada sebelumnya; setelah menjadi, ia menjadi
tidak ada.32
Tambahan
pula, menurut Siksamuccaya dari Sāntideva, “sesuatu menjadi setelah tidak ada sebelumnya dan
setelah menjadi berhenti ada, karena ia tidak mempunyai substansi.33
Ini berarti bahwa dengan menolak substansi kaum Sautrāntika terpaksa harus
mengakui produksi atau kemunculan suatu akibat yang sebelumnya tidak ada, dan
hal ini tentulah sama dengan teori non-identitas kausalitas yang diajukan oleh
sekolah Vaisesika. Satu-satunya bentuk sahih dari kausalitas untuk kaum
Sautrāntika karenanya adalah hubungan yang kerap atau berurutan-segera (samanantarapratyaya. Ini serupa dengan
teori kausalitas yang diajukan oleh seorang filsuf Inggris, David Hume, yang
menguraikan keberadaan menjadi kesan-kesan sesaat.
Kaum
Theravādin, agaknya juga telah menyumbang ke
teori yang serupa, seperti dapat ditunjukkan dari pernyataan Buddhagosha:
Ia
memahaminya demikian:”tidak ada tumpukkan atau gudang dari materi (yang verada)
dan pikiran yang belum muncul sebelum kemunculannya sendiri. Sewaktu ia muncul,
ia tidak berasal daro tumpukkan atau gudang apa pun, dan sewaktu ia musnah, ia
tidak pergi kea rah mana pun. Tidak ada tempat penyimpanan di mana pun bagi
tumpukkan atau gudang atau timbunan dari yang telah musnah. Melainkan
sebagaimana taka da gudang, sebelum kemunculannya, dari suara yang muncul yang
muncul bila kecapi dimainkan, tidak juga ia berasal dari gudang apapun ketika
ia muncul, tidak juga ia pergi kea rah mana pun ketika ia musnah, tidak juga ia
bertahan dalam suatu gudang ketika ia telah musnah, tetapi sebaliknya, dengan
tidak pernah ada sebelum kecapi dimainkan, leher kecapi dan usaha yang tepat
dari seseorang, dan setelah ada, ia lenyap – begitulah semua keadaan materi dan
immateri, tidak pernah ada, dibawa menjadi ada; setelah ada mereka lenyap.”34
Meskipun
pandangan serupa ini juga ada dalam Buddhisme awal,35 namun perlu
diingat bahwa dalam Buddhisme awal keberadaan tidak disederhanakan menjadi
saat-saat seperti yang terjadi dalam sekolah-sekolah Theravāda dan Sautrāntika. Dalam Buddhisme awal yang dimaksudkan
sebagai jawaban bagi pertanyaan metafisika yang berimplikasi beradanya akibat
dalam sebab sebelum ia mewujudkan diri.
Walaupun sekolah-sekolah yang belakangan ini menerima teori di atas untuk
alasan yang sama, mereka kebbanyakan menolak kaitan antara sebab dan akibat
karena adanya teori saat mereka. Bagi kaum Buddha awal tidak ada masalah dalam
mengkaitkan sebab dan akibat karena mereka menganut teori keberadaan empirik.
Keterikatan yang sangat terhadap teori saat, suatu teori yang dalam kalangan
filsafat India lebih bersifat metafisika daripada empiric, membuat kaum
Sautrantika berada dalam keadaan yang sulit. Dengan cara yang sama, David Hume,
sebagai akibat dari teori saat dan atom-nya, terpaksa harus menolak setiap
bentuk kausalitas alih-alih sekedar antesenden. Filsuf Buddha Nagarjuna seperti
juga pemikir Hindu Sankara dengan cepat mengambil keuntungan dari kelemahan ini
untuk membenarkan teori-teori transcendental mereka.
Seperti teori identitas kausalitas dari kaum sarvastivadin dapat dipandang
sebagai suatu teori metafisik, begitu pula teori non-identitas dari kaum
sautrantika, yang akhirnya menolak kausalitas. Teori-teori metafisik ini di
antara yang lainnya, merupakan teori yang paling dikritik oleh Nagarjuna.
Hal-hal seperti ini, pada akhirnya, merupakan beberapa akibat dari
skolastisisme, yang muncul setelah dicapainya Parinirvana oleh Sang Buddha.
Dalam lingkungan kehidupan religious, sekolah-sekolah Hinayana menekankan
doktrin jalan mulia berunsur delapan, sementara Mahāyāna mendapat kesempatan untuk
mengembangkan konsepsi bodhisattva-nya.
Perkembangan bertahap mulai dari moralitas, menuju ke konsentrasi dan berpuncal
pada pengetahuan atau pandangan terang merupakan teman dari tulisan Buddhagosha
yang terkenal ‘Jalan Kesucian’ (visuddhimagga).
Pencapaian ke-arahat-an tetap
merupakan tujuan kehidupan religious, dan perbedaan antara Sang Buddha dan arahat tidak ditegaskan seperti yang
dilakukan pengikut-pengikut Mahāyāna.
0 komentar:
Posting Komentar