Anapanasati Bhavana
“ Namo Tassa Bhagavato
Arahato Sammasambuddhassa”
Salam
Damai dan Cinta Kasih … ,
Dihalaman ini kami akan
menyajikan uraian dari ajaran Sang Guru Agung, Guru para Deva dan Manussa,
ialah Sang Buddha Gotama, mengenai Anapanasati yang merupakan bagian dari
sepuluh (10) Anussati. Uraian ini kami ambil dari buku “Kammatthana ;
Objek-objek Perenungan dalam Meditasi”, yang ditulis dan disusun ulang oleh
Bhikkhu Guttadhamo, dan diterbitkan oleh Vihara Tanah Putih, pada moment
Vesakha Puja, 2006.
Anapanasati adalah salah
satu dari empat-puluh (40) pokok Kammatthana yang sesuai dengan orang yang
memiliki Moha-Carita dan VIttaka-Carita, tetapi tidak cocok bagi orang yang
pelupa.Anapanasati, artinya
“kesadaran terhadap pernapasan”. Meditasi ini adalah latihan batin yang utama
dalam agama Buddha yang banyak dijelaskan dalam kitab suci dan dijelaskan
terinci dalam kitab Atthakatha. Sang Buddha sendiri
menganjurkan sebagai satu metode yang lengkap untuk mencapai Nibbana, memujinya
sebagai “Kediaman Agung” ( Ariya-Vihara ), “Kediaman-Brahma” ( Brahma-Vihara )
; Samyutta-Nikaya,V.326.Di dalam hubungan ini
dituliskan dalam Mahasaccaka-Sutta bahwa Bodhisatta Gautama mencapai dan
berdiam dalam keadaan Jhana pertama (I) sewaktu ia masih kanak-kanak, suatu
pencapaian yang disebabkan oleh pelaksanaan meditasi Anapanasati ini. Kenyataan
ini memperlihatkan dengan jelas bahwa Anapanasati adalah meditasi Buddhis.
Baik Visuddhimagga maupun
kitab Yogacara menerangkan anapanasati sebagai “Mula-Kammatthana” ; latihan
pokok atau asal-mula dari meditasi Jhana. Meditasi ini telah memberikan bantuan
yang paling besar, tidak hanya pada Buddha-Gautama saja, tetapi juga pada semua
Buddha yang mendahului Beliau dalam meraih Pencerahan-Sempurna dan untuk
mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan mereka. Karena itu Anapanasati dapat
dianggap sebagai Kammatthana asli Buddhis yang ditulis di dalam literature
Pali.
Berbeda dengan pokok-pokok
meditasi lainnya, Anapanasati meliputi metode Samatha maupun Vipassana. Dalam
nikaya-nikaya terdapat dalam empat (4) kategori yang berbeda. Dalam
Satipatthana Sutta (Digha Nikaya,II,290, Majjhima Nikaya,I.59 ), di antara
empat (4) Satipatthana, dalam Girimananda Sutta ( Anguttara Nikaya,V.109 ),
diantara sepuluh (10) Sanna, sebagai Anapanasati sendiri dalam Anapanasati
Sutta ( Majjhima Nikaya,II.79 ), dan Anapanasati Samadhi dalam Anapana Samyutta
( Samyutta Nikaya,V.317 ).
Anapanasati sendiri
biasanya terdiri dari enam-belas (16) tahap latihan, kecuali dalam Satipatthana
hanya terdapat empat (4) tahap pertama yang merupakan bagian dari
Kayanupassana. Dalam Girimananda Sutta terdapat dalam urutan ke-10 dengan judul
Anapanasati. Dalam Anapanasati Sutta dalam perwujudan dengan empat (4)
Satipatthana dan kombinasinya dengan tujuh (7) Bojjhanga membentuk system
latihan yang lengkap untuk merealisasi Nibbana. Latihan dengan nama Anapanasati
Samadhi juga terdapat dalam Vinaya ( Vinaya,III.70 ).Dari data-data diatas ,
kelihatan bahwa mulai dari tahap permulaan latihan ini disebutkan dengan nama
Anapanasati sebagai bagian yang sangat penting dari latihan para siswa. Tetapi,
kita tidak menemukan penjabaran dalam Abhidhamma sebagai kerangka latihan yang
terpisah walaupun mampu menimbulkan lima (5) tahap pencapaian Rupa-Jhana.
Anapanasati dimasukkan
dalam system Samadhi sebagai suatu Kammatthana yang dapat digunakan dalam dua
cara. Pertama, Anapanasati dilaksanakan bersama-sama dengan latihan-latihan
lainnya sebagai suatu cara yang mutlak untuk mendapatkan ketenangan jasmani dan
batin. Kedua, diantara empat-puluh (40) pokok Kammatthana, Anapanasati sesuai
bagi mereka yang bersifat suka melantur ( mengkhayal ), atau pikirannya yang
selalu terganggu oleh rangsangan-rangsangan ke-indriya-an. Anapanasati dipilih
sebagai suatu jalan khusus bagi individu-individu yang demikian. Kesesuaian itu
terdapat dalam kenyataannya bahwa metoda Kammatthana ini berada dalam suatu
posisi yang berlawanan langsung dengan sifat-sifat yang demikian. Meskipun
demikian, perlu diingat bahwa tidak ada metode meditasi yang tidak membawa kesucian
batin dan kebahagiaan. Salah satu syarat-syarat
yang terpenting bagi mereka yang menginginkan untuk bermeditasi adalah memiliki
badan yang sehat serta batin yang bersih, karena bilamana badan tidak sehat,
maka praktek meditasi akan dapat kendala bahkan akan mengalami bahaya.
Kesakitan yang paling
sedikit pun pada jasmani dapat mengganggu pikiran dalam usahanya untuk mencapai
konsentrasi. Seperti yang telah terbukti pada Godhika Thera (Samyutta
Nikaya,I.20). Apabila batin tidak tenang dan berhamburan dengan pikiran-pikiran
jahat, maka meditasi akan sia-sia seperti yang dialami oleh Meghiya Thera yang
gagal untuk memusatkan pikirannya karena terus menerus muncul pikiran jahat,
terutama hawa nafsu, kebencian dan pikiran-pikiran yang merugikan. Maka Sang Buddha
menganjurkan padanya untuk mempraktekkan Anapanasati, untuk menghilangkan
Vitakka-vitakka ( pikiran-pikiran jahat, seperti disebutkan diatas ).
Pelaksanaan Anapanasati,
yang dilakukan berdasarkan garis-garis yang diberikan di dalam kitab-kitab
suci, tidak hanya cenderung untuk menghilangkan kesukaran-kesukaran yang
berhubungan dengan batin dan jasmani, tetapi juga mengatur badan jasmani,
sehingga dapat digunakan bilamana pun diinginkan sebagai alat yang kompleks
bagi batin yang lebih luhur. Dari empat-puluh (40) objek
Kammatthana, Anapanasati adalah satu-satunya objek yang sesuai untuk batin yang
penuh daya khayal, atau batin mereka yang senantiasa diganggu oleh emosi-emosi
indrawi. Anapanasati ini cara yang dipilih sebagai jalan yang khusus untuk mereka
yang demikian. Meskipun demikian, tidak ada metode meditasi yang tidak
menimbulkan kesucian batin dan kebahagiaan.
1. PENGERTIAN
ISTILAH-ISTILAH
Sebelum
kita membicarakan segi praktek dari meditasi ini seperti yang diberikan dalam
kitab-kitab suci, harus dikuasai lebih dahulu istilah-istilah teknik dan
memberikan arti yang tertentu pada mereka demi kejelasan, karena terdapat suatu
perbedaan pandangan berkenaan dengan penggunaan istilah-istilah “ana” dan
“apana” di dalam komentar-komentar, dan kebingungan-kebingungan yang tidak
perlu yang mungkin disebabkan dengan penggunaan istilah-istilah dengan
memberikan bermacam-macam arti pada mereka.
Kammatthana
ini disebutkan dalam kitab-kitab Buddhis sebagai “Anapanasati-Samadhi”, suatu
gabungan dari empat istilah-istilah teknik “Ana” dan “Apana”, “sati” dan
“Samadhi” yang berarti “konsentrasi yang diperoleh dengan menyadari berdasarkan
kesadaran sewaktu memperhatikan “ana” (nafas-masuk), atau “apana” (nafas
keluar), atau nafas masuk maupun nafas keluar”.
Di
sini , “Ana” dan “Apana” adalah dua objek-objek kesadaran yang terpisah, yang
berkenaan dengan “Assana” ( menarik nafas ) dan “Passana” ( mengeluarkan nafas
). Di dalam hubungan ini kita dapat mencatat “anan’ti-assaso, no passaso, apananti-passaso,
no assaso” , yaitu : “ana adalah assasa, terpisah dari passana, apana adalah
passasa, terpisah dari assasa “ ( Patisambhida-Magga,I.172 ).
Di
dalam komentar dari Patisambhida-Magga (hal.320) yang dimaksudkan dengan “ana”
adalah udara yang dihisap ( abhantaram pavisa-navato ) , dan “apana” adalah
udara yang dikeluarkan ( bathinikkhamana-vato ). “Apana” ditentukan sebagai
“apetam anato” , yaitu “apara” adalah apa yang berbeda dari “ana”.
Penempatan
yang sama, menarik nafas dan mengeluarkan nafas , diberikan pada kata-kata
“assasa” dan “passasa” secara berturut-turut. “Assasa” adalah “menarik nafas”
dan “passasa” adalah “mengeluarkan nafas”.
Tetapi
komentar pada Vinaya, yang digunakan oleh Buddhagosa Thera di dalam
Visuddhimagga-nya, memberikan arti-arti yang berlawanan. Disana “assasa” adalah
“ mengeluarkan nafas” , dan “Passasa” adalah “menarik nafas”. Masih banyak lagi
penafsiran yang diberikan oleh para acariya yang saling berlawanan, rasanya
tidak perlu dibahas lebih jauh disini.
Dari
dua macam nafas, nafas masuk dan nafas keluar ke luar, tidak dapat disangkal
yang membantu kehidupan jasmani. Dalam hal ini, dapat diakui bahwa pemasukan
nafas sebagai suatu kegiatan yang penting. Dan juga, kata “ana” yang sama
dengan “pana” (Sanskerta : Prana ) berasal dari akar “an(a)” yang setara dengan
“panane”. Yang berarti “menghidupkan” seharusnya digunakan untuk arus nafas
masuk yang vital ini.
Nafas
keluar, sebagai udara yang habis nilainya, pemberi kehidupan dan yang secara
wajar harus dikeluarkan dari jasmani, sehingga udara yang segar dapat
menggantikannya,, secara wajar menempati suatu posisi yang kedua. Kata “apana”
sebagai yang berbeda dari “ana” (apetam anato ), harus digunakan untuk arus
tanpa kehidupan dalam nafas keluar.
Dan
juga, pada saat kematian, nafas yang terakhir adalah nafas keluar. Karena itu,
dengan melihat bahwa kematian datang setelah kehidupan, dan bukan sebaliknya,
nampaknya lebih masuk akal untuk mengambil “assaasa”, yang berhubungan dengan
fungsi arus-kehidupan “ana”, sebagai nafas masuk, dan “passasa” yang
berhubungan dengan arus tanpa kehidupan “apana” sebagai nafas keluar.
Kita
lebih senang menerjemahkan “assasa” ( Sansekerta : Asvasa ) “nafas masuk” dan
“passasa” ( Sansekerta : “Prasvasa” ) “nafas keluar”. Kita juga mendapat
penguatan akan hal ini, baik berkenaan dengan kepentingan yang relative dari
dua kata-kata dan urutan dimana mereka harus diambil serta arti yang diberikan
pada mereka di dalam Kitab Patisambhida-Magga, karya Sariputta Thera. Terhadap
“ana”, “apana”.
Harus
dipahami bahwa kesadaran terhadap “ana”, “apana”, atau keduanya, meliputi
“anapanasati”. Dengan demikian kesadaran apakah pada nafas masuk atau nafas
keluar, membentuk Kammatthana di dalam tingkat permulaan, sampai siswa menjadi
sadar akan kedua-duanya sebagai kemajuan-kemajuan meditasi. Praktek Anapanasati
akan membawa pada pemusatan pikiran yang dinyatakan sebagai
“Anapanasati-Samadhi”.
2. METODE
MENURUT KITAB SUCI
Berikut
ini adalah kotbah yang menerangkan “Anapanasati-Samadhi” sebagai suatu pokok
meditasi Samadhi dan memberikan suatu keterangan tentang metode praktek
meditasi serta enam-belas (16) tingkat-tingkat perkembangannya. Khotbah ini
menjadi sumber darimana ditarik keterangan-keterangan yang diberikan di dalam
kitab-kitab komentar, kita akan memberikannya di sini di dalam bentuk aslinya (
sejauh mungkin di dalam terjemahan ).
“Para
bhikkhu, konsentrasi pada kesadaran terhadap pernafasan apabila dikembangkan
dan dipraktekkan, membawa pada keadaan kedamaian, keagungan, kemanisan, dan
kebahagiaan, segera itu menyebabkan setiap pikiran jahat melemah dan
menenangkan pikiran”.
“
Dan bagaimanakah, dengan dikembangkan dan dipraktekkan…, menenangkan pikiran ?
Di sini, dalam daerah ini, seorang bhikkhu, setelah pergi ke suatu hutang, di
bawah sebatang pohon, atau sebuah rumah kosong, duduk dengan kaki bersila,
mempertahankan badannya tegak dan menempatkan kesadaran dihadapan ( pada ujung
hidung ).
Dengan
sadar ia menarik nafas, dengan sadar ia mengeluarkan nafas :
1. Waktu menarik nafas panjang,
ia sadar : “saya menarik nafas panjang”. Mengeluarkan nafas panjang, ia
sadar : “ Saya mengeluarkan nafas panjang.”
2. Waktu menarik nafas pendek, ia sadar : “
Saya menarik nafas pendek”. Mengeluarkan nafas pendek, ia sadar : “Saya
mengeluarkan nafas pendek”.
3. “Dengan menyadari seluruh pernafasan (
mulai masuk sampai akan keluar ), saya akan menarik nafas”. Demikianlah ia
melatih dirinya, “ Dengan menyadari seluruh pernapasan, saya akan
mengeluarkan nafas”. Demikian ia melatih dirinya.
4. “Dengan menenangkan pernafasan, saya
akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan menenangkan
unsure badan ( dari pernafasan ), saya akan mengeluarkan nafas” ;
demikianlah ia melatih dirinya.
5. “Dengan mengalami kegembiraan (piti),
saya akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan mengalami
kegembiraan (piti), saya akan mengeluarkan nafas”, demikian ia melatih
dirinya.
6. “Dengan mengalami kebahagiaan (sukha),
saya akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan mengalami
kebahagiaan (sukha), saya akan mengeluarkan nafas”. Demikian ia melatih
dirinya.
7. “Dengan mengalami unsur-unsur pikiran (
citta-sankhara ), saya akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan
mengalami unsure-unsur pikiran, saya akan mengeluarkan nafas”, demikian ia
melatih dirinya.
8. “Dengan menenangkan unsure-unsur
pikiran, saya akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan
menenangkan unsure-unsur pikiran, saya akan mengeluarkan nafas”, demikian
ia melatih dirinya.
9. “Dengan menyadari (keadaan) batin, saya
akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan menenangkan
(keadaan) batin, saya akan mengeluarkan nafas”, demikian ia melatih
dirinya.
10. “Dengan menggembirakan batin, saya
akan menarik nafas”. Demikian ia melatih dirinya. “Dengan menggembirakan
batin, saya akan mengeluarkan nafas”, demikian ia melatih dirinya.
11. “Dengan memusatkan batin, saya akan
menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan memusatkan batin,
saya akan mengeluarkan nafas”. Demikian ia melatih dirinya.
12. “Dengan membebaskan batin, saya akan
menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan membebaskan batin,
saya akan mengeluarkan nafas”, demikian ia melatih dirinya.
13. “Dengan merenungkan ketidak-kekalan,
saya akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan
merenungkan ketidak-kekalan, saya akan mengeluarkan nafas”, demikian ia
melatih dirinya.
14. “Dengan melihat kebebasan terhadap
kenafsuan, saya akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan
melihat kebebasan terhadap kenafsuan, saya akan mengeluarkan nafas”, demikian
ia melatih dirinya. “Dengan melihat pengakhiran ( dari asava-asava ), saya akan
mengeluarkan nafas”, demikian ia melatih dirinya.
15. “Dengan melihat seluruh kebebasan,
saya akan menarik nafas”, demikian ia melatih dirinya. “Dengan melihat
seluruh kebebasan, saya akan mengeluarkan nafas”, demikian ia melatih
dirinya.
“
Para Bhikkhu, konsentrasi pada kesadaran terhadap pernafasan ini, apabila
dikembangkan dan dilaksanakan, akan membawa kepada kedamaian, keagungan,
kemanisan dan kebahagiaan. Segera menyebabkan setiap pikiran-pikiran jahat
lenyap dan menenangkan pikiran.” ( Majjhima Nikaya,III.82, Samyutta
Nikaya,V.311,Vinaya,III.70 ).
Metode
untuk mempraktekkan meditasi ini, adalah khas Buddhis dan sama sekali tidak
sama dengan metode dari system non-Buddhis. Akan tetapi, terdapat suatu system
pengontrolan pernafasan yang dikenal sebagai “Pranayama” yang merupakan dasar
dari “Hatha-Yoga”. Dari masa yang tak terbayangkan lamanya petapa-petapa di
India mempraktekkan suatu bentuk pengontrolan pernafasan. Bentuk yang paling
keras dari latihan ini, dikenal di dalam kitab-kitab suci Buddhis sebagai
“Apanaka-Jhana”, “Kegiuran tanpa pernafasan”, dicatat di dalam Mahasaccaka
Sutta ( Majjhima Nikaya,I,24 ), dalam hubunganannya dengan “usaha yang agung” (
Mahapadana ) dari Sang Buddha sebelum pencerahan sempurna-Nya.
Beliau
menyadari bahwa latihan ini hanya akan membawa kepada penyiksaan jasmani dan bukan
jalan yang menuju pencerahan sejati. Kemudian beliau meninggalkan dan kembali
pada metode yang pernah ia praktekkan di masa kanak-kanak di bawah pohon jambu
dan dengan latihan itu Beliau mencapai Jhana pertama (I).
Pengalaman
ini menunjukkan pada-Nya bahwa metode itu membawa kebahagiaan dan penyucian
dari asava-asava. Dalam wejangan berikut ini, kita mendapatkan kata-kata
sebagai berikut :
“Para
Bhikkhu, kemudian saya menggunakan sebagian besar waktu-Ku di dalam praktek
Anapanasati-samadhi ini, dan setelah saya mempraktekkan itu, badan-Ku maupun
mata-Ku tidak menjadi lemah, sebagai hasil dari itu batinku menjadi bebas dari
asava-asava.” (Samyutta Nikaya ,V.317 ).
Siswa
yang menjalankan meditasi ini menurut metode yang telah diberikan, akan segera
mengalami hasil yang sama. Maka khotbah di atas menyatakan hal itu sebagai
“Damai, Agung, Manis, dan Bahagia”. Kata-kata ini menerangkan corak-corak dari
pokok meditasi Anapanasati ini, sebagai hal yang berbeda dari pokok-pokok
meditasi jasmani lainnya, seperti sepuluh (10) kekotoran-kekotoran lainnya dari
Kayagatasati.
Siswa
yang bermeditasi pada pokok-pokok Asubha ini, sebelum mereka mencapai pada
kesuksesan yang mutlak, mereka kadang-kadang merasa jijik pada badan jasmani
mereka sendiri dan mencari cara-cara yang salah untuk melepaskan diri darinya,
tepat seperti lima ratus bhikkhu dari Vesali yang mencari senjata untuk
membunuh diri mereka sendiri.
Pada
kesempatan inilah, bahwasannya Sang Buddha memberikan khotbah yang telah
dicatat diatas berkenaan dengan meditasi Anapanasati dan meletakkan peraturan
Parajika ke-tiga (3), menyatakan bahwasannya seorang bhikkhu yang membunuh
dirinya sendiri harus dikeluarkan dari anggota Sangha ( Vinaya, III.68,70,
Vinaya Atthakatha , 398 ).
Tidak
seperti pokok-pokok meditasi ini, Anapanasati adalah benar-benar damai, tenang,
sunyi, dan bahagia di dalam nilai dasarnya. Sang Siswa akan terus-menerus
merasakan kesegaran dan ketenangan melalui bantuannya, dan tak pernah akan
merasa puas, karena keadaan kedamaiannya yang agung. Karena itu prakteknya
tidak mengakibatkan banyak kesukaran atau bahaya seperti di dalam system Hatha
Yoga.
Dari
masa permulaan sekali, itu menenangkan baik batin maupun jasmani, setiap
noda-noda batin akan melenyap, pengetahuan penuh tentang vipassana akan dicapai,
dan akhirnya siswa akan menyadari hasilnya yang tertinggi, kebahagiaan Nibbana.
LATIHAN
: BAGIAN PERTAMA
Meditasi
Anapanasati telah dijelaskan dalam tingkat-tingkat, seperti ditunjukkan dalam
khitbah yang telah dikutipkan diatas. Di dalam komentar-komentar mereka telah
dibagi menjadi empat (4) bagian, tiap-tiap bagian terdiri atas empat (4)
latihan-latihan.
Bagian
pertama, yang termasuk proses latihan permulaan, terdiri empat (4)
latihan-latihan yang berkenaan dengan praktek Kammatthana, yang amat sesuai
bagi seorang siswa yang baru saja mulai, sedangkan tbagian lainnya meliputi
perkembangannya lebih jauh di dalam metode Vipassana.
Tujuan
utama dari bagian itu adalah menempatkan kesadaran, permulaan yang penting bagi
pencapaian kebijaksanaan, empat tingkat-tingkat Anapanasati berturut-turut
mencakup empat (4) dasar-dasar dari kesadaran (Satipatthana ) : 1.Badan
jasmani, 2.perasaan-perasaan, 3.pikiran-pikiran, dan, 4.objek-objek batin.
Siswa
yang mengambil jalan meditasi, harus mempraktekkan bagian pertama sebagai
Kammatthananya yang utama, dan setelah ia mencapai Jhana ke-empat (4), ia harus
mengembangkan vipassana bagi pencapaian tingkat Arahat bersama-sama dengan
“Empat Pengetahuan yang Tinggi” ( Patisambidha ).
Pada
permulaan, siswa yang telah menyelesaikan latihannya di dalam kesucian Sila dan
disiplin lainnya yang penting, harus menerima Kammatthana ini dari seorang Guru
yang telah berpengalaman dalam mencapai Jhana-Jhana dengan cara praktek yang
sama. Gagal untuk mendapatkan ini, ia harus belajar secara terperinci dari
seorang yang mampu menerangkan pengetahuannya tentang kitab-kitab suci.
Setelah
pertama-tama mempelajari pokok meditasi secara mendalam,, ia harus memilih
salah satu dari tiga jenis tempat tinggal seperti yang diterangkan di dalam kitab-kitab
suci, tempat tinggal di dalam sebuah hutan, di bawah sebatang pohon, atau di
dalam sebuah rumah yang sunyi. Batin yang telah terbiasa diterima melalui
indria-indria tidak mempunyai kemauan untuk berkonsentrasi pada suatu objek
yang demikian lebut seperti anapanasati, tetapi berlari mengikuti jalan yang
salah seperti sapi jantan yang senang berkelahi atau seekor sapi jantan yang
berbahaya.
Penggembala
yang ingin menjinakkan seekor anak sapi liar, harus memisahkan dari ibunya dan
mengikatnya pada suatu tiang yang kuat. Walaupun ia gelisah dan berusaha untuk
melepaskan diri, ia tidak mampu berbuat demikian dan akhirnya berdiam pada
tiang itu. Dalam cara yang sama, ia yang ingin melatih batinnya, pertama-tama
harus menyingkirkan batinnya dari lapangan objek-objek indria dimana batinnya
terbiasa mengembara dan kemudian membawanya pada kesunyian.
Mengikatkan
disana dengan tali pada masuk dan keluar nafas, ia harus melatihnya sampai
menjadi siap untuk konsentrasi. Untuk tujuan inilah Sang Buddha menganjurkan
untuk meditasi di tiga (3) tempat tinggal yang khusus. Siswa harus memilih
salah satu diantara mereka yang paling sesuai dengan udara dan kondisi badan
jasmaninya. Suatu tempat tinggal di dalam sebuah hutan atau dibawah pohon
adalah lebih sesuai bagi meditasi ini. Apabila mereka sukar mendapatkan sebuah
hutan atau sebatang pohon, maka sekurang-kurangnya ia harus berada pada suatu
jarak lima ratus (500) bahu ( sekitar lima (5) mile ) dari sebuah desa dan
harus bertempat tinggal di dalam sebuah rumah yang jauh dari semua
gangguan-gangguan.
Dengan
bertempat-tinggal dalam salah satu dari tempat-tempat yang sesuai ini, setelah
memotong rintangan-rintangan yang kecil, dan setelah melaksanakan semua
tugas-tugasnya, ia harus mempergunakansikap yang paling sesuai bagi
meditasinya. Ia duduk bersila, seperti yang diterangkan di dalam kitab-kitab
suci, mempertahankan badan bagian atas supaya tegak, dan membiarkan badan
bertumpu pada tulang punggung dengan mempertahankan dada, leher dan kepala
tegak lurus. Posisi ini akan memastikan bahwasannya kulit, otot-otot dan
urat-urat dari badannya tidak tertekuk dan pikiranya tidak akan terganggu oleh
perasaan-perasaan tidak enak yang mungkin timbul. Siswa dapat duduk dengan cara
lainnya yang akan memberikan posisi yang lebih menyenangkan baginya.
Kemudian
ia harus menghilangkan dari batinnya semua nafsu indria, dan memusatkan
perhatiannya pada objek meditasi, menempatkan kesadaran pada ujung hidung dan
menjaga nafas yang masuk dan keluar, seakan-akan ia berdiri dibelakangnya.
Dalam
kitab dinyatakan : “Ia duduk bersila, badan tegak, menempatkan kesadaran
dihadapannya. Dengan sadar ia menarik nafas, dengan sadar ia mengeluarkan
nafas”. Ini menyelesaikan prosedur tentang memusatkan perhatian pada objek
meditasi dan pengaturan badan dan pikiran untuk praktek Kammatthana.
Proses-proses
pernafasan yang berbeda.
“
Menarik nafas panjang ia sadar, saya menarik nafas panjang. Mengeluarkan nafas
panjang, ia sadar ; saya mengeluarkan nafas panjang.”
“Menarik
nafas pendek…Mengeluarkan nafas pendek… .”
Ini
adalah permulaan praktek yang sesungguhnya dari Anapanasati. Mengenali dan
membedakan antara kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam pernafasan, pemahaman
yang membuat siswa sadar.
Menurut
Patisambhida Magga (I.177) terdapat sembilan cara siswa menarik dan
mengeluarkan nafas panjang, ia mengetahui bahwa sedang berbuat demikian :
1.
Ia menarik nafas panjang,
2.
Ia mengeluarkan nafas panjang,
3.
Menarik dan meneluarkan nafas panjang, masing-masing dalam waktu yang diberikan.
Dengan berbuat demikian ia merasa bahwa pernafasannya secara berangsur-angsur
menjadi tenang dan damai, kemudian timbullah “keinginan” untuk meneruskan,
dengan keinginan ini.
4.
Ia menarik nafas
5.
Ia mengeluarkan nafas
6.
Menarik dan mengeluarkan nafas, masing-masing merupakan sebuah nafas panjang,
tetapi lebih tenang daripada sebelumnya. Dalam tingkat ini ia menjadi
bergembira. Dengan pikiran penuh kegembiraan.
7.
Ia menarik nafas
8.
Ia mengeluarkan nafas
9.
Menarik dan mengeluarkan nafas yang benar-benar tenang dan damai. Disini batin
menjadi berpindah dari gagasan nafas panjang dan berada di dalam keseimbangan.
Dalam
tingkat ini pernafasan benar-benar telah menjadi halus, batin mencapai
Patibhaga-Nimitta dank arena itu berpindah dari pernafasan semula. Nafas
panjang yang timbul dalam sembilan cara ini dinamakan “Kaya”, “badan-jasmani”,
kesadaran yang berdasarkan pada pengertian itu adalah “Sati”, perenungan
terhadap corak-coraknya, seperti ketidak-kekalan, dan lain-lain, adalah
pengetahuan. Baginya yang mencapai pengetahuan ini di dalam salah satu dari
sembilan (9) cara-cara ini sampai pada kesempurnaan dari meditasi Satipatthana
berkenaan dengan perenungan terhadap badan jasmani dan anapanasati termasuk di
dalamnya.
Selanjutnya,
yaitu pernafasan pendek, juga mencakup metode sembilan (9) tingkat-tingkat
pengetahuan yang sama seperti yang telah diterangkan di atas. Perbedaannya
adalah yang kedua lebih halus daripada yang pertama, karena itu menunjukkan
pernafasan pendek yang memerlukan waktu pendek sesuai dengan jasmaniah dari
siswa meditasi.
Jadi
siswa dengan mengetahui dua macam pernafasan dalam dua tingkat, mengetahui
mereka masing-masing dalam sembilan cara. Maka ia menimbulkan kesadaran yang
membawa ke Jhana dengan jalan Samadhi dank e Vipassana dengan Satipatthana.
Semua keadaan-keadaan ini adalah berdasarkan pada empat kegiatan-kegiatan yang
berbeda dari unsure materi udara yang sama pada ujung hidung dalam bentuk nafas
panjang dan nafas pendek, nafas keluar panjang dan pendek.
Menyadari
Pernafasan
“Dengan
menyadari seluruh badan jasmani (jumlah nafas), saya akan menarik nafas… akan
mengeluarkan nafas. Demikian ia melatih dirinya.”
Latihan
ini lebih sukar daripada latihan yang sebelumnya. Di sini siswa harus melakukan
tiga hal ;
1.
Mencatat pernafasan sewaktu masuk dan keluar.
2.
Membedakan tiga bagian-bagiannya, permulaan, pertengahan dan akhir,
3.
Melatih batinnya.
Dalam
hal pergerakan yang disebabkan oleh nafas masuk, ujung hidung adalah permulaan
dari jalannya, jantung adalah pertengahan dan pusar adalah akhir. Dengan
pergerakan nafas keluar, pusar adalah permulaan, jantung adalah pertengahan dan
ujung hidung adalah akhir. Setelah mempunyai pengertian jelas akan hal ini, ia
menarik nafas dan mengeluarkan nafas, sedangkan batin berhubungan dengan
pengertian yang berdasarkan pada pencerapan terhadap seluruh pernafasan (kaya)
yang semuanya diungkapkan secara batin sebagai , “dengan menyadari seluruh
badan pernafasan saya akan menarik nafas…, mengeluarkan nafas.”
Bagi
sebagian orang, permulaan dari badan assasa dan passasa jelas, tetapi tidak di
pertengahan atau di akhir. Bagi orang lainnya, pertengahan adalah jelas, tetapi
tidak pada permulaan dan akhir. Juga pada orang lainnya, akhir adalah jelas,
tetapi tidak pada permulaan atau pada pertengahan. Bagi beberapa orang lain
semua tahap adalah jelas, tidak ada sesuatu yang dibingungkan.
Siswa
yang mencapai tujuan tercapai dalam praktek ini, harus seperti yang disebutkan
paling akhir. Oleh sebab itu dikatakan, “Dengan menyadari seluruh badan jasmani
saya akan menarik nafas…”. Karena itu ia melakukan suatu usaha untuk tidak
menjadi bingung atau merasa kecewa pada suatu tahap, tetapi melatih batin dalam
suatu latihan yang lebih tinggi untuk memahami semua hal-hal yang serupa.
Karena
itu dikatakan “Ia melatih dirinya”, yang juga berarti bahwa melalui kesadaran
yang berhubungan dengan pengetahuan penuh terhadap pernafasan, ia mengembangkan
konsentrasi dan kebijaksanaan yang tinggi, yang sebelumnya mutlak memerlukan
latihan kesucian. Demikianlah ia menyelesaikan tiga rangkaian latihan.
Menenangkan
Pernafasan
“Dengan
menenangkan unsure badan jasmani saya akan menarik nafas…akan mengeluarkan
nafas. Demikian ia melatih dirinya”.
Dalam
latihan ini, siswa sampai pada tingkat terakhir dari metode Samadhi, yang
mengalami ketenangan badan jasmani yang menyeluruh dan dengan itu ia mencapai
Samadhi penuh.
Assasa
dan passasa disebabkan oleh batin, tetapi tidak dapat ada tanpa badan jasmani.
Tepat seperti tukang besi yang menyebabkan puputan terbuka dan tertutup serta
angina menghebus keluar darinya, baik tukang besi maupun alat adalah penting
untuk menghasilkan hembusan angina ini, maka untuk berfungsi “assasa” dan
“passasa” harus ada jasmani, batin dan pikiran. Jadi, walaupun pernafasan
digerakkan oleh batin, itu adalah disebut “Kaya-Sankhara” ( Majjhima
Nikaya,I.296, Samyutta-Nikaya,IV.293, Yamaka,229 ). Yang berarti “kompleks
jasmaniah” atau “unsure jasmaniah”. Apabila badan jasmani dan batin tertekan
atau tidak terkontrol, maka kaya-sankhara adalah kasar dan dalam. Pernafasan
menjadi demikian cepat dan berat sehingga lubang hidung tidak cukup, sehingga
perlu bantuan dari mulut. Tetapi, apabila mereka terkontrol, tenang dan lunak,
nafas menjadi tenang dan halus sehingga seseorang dapat merasakan fungsinya.
Apabila
seseorang berlari cepat membawa suatu barang-barang berat, atau melakukan
usaha-usaha jasmaniah lainnya yang semacam itu, nafas menjadi memburu, tetapi
apabila ia beristirahat, duduk di bawah keteduhan, minum air atau memandikan
dirinya, maka nafasnya menjadi halus, tenang dan lunak. Dalam cara yang sama,
dengan latihan meditasi badan dan batin sebelumnya gelisah, menjadi tenang, dan
pernafasannya yang kasar menjadi hilang. Kemudian dalam tingkat pertama itu
mengatur irama nafas yang menimbulkan ketenagnan badan jasmani dan mendorong
pikiran menjadi tenang dan berfungsi dengan halus.
Karena
itu siswa mengontrol nafas dalam cara demikian supaya tidak memenuhi rongga
lubang hidung dengan sejumlah udara yang dalam dan padat, tetapi menarik dan
mengeluarkan nafas dengan satu pengertian untuk menghindari kekasaran dan
kebanyakan udara dalam pernafasannya, demikian ia membuat suatu usaha untuk
mempertahankan irama pernafasan sampai ia mencapai Jhana.
Karena
proses pernafasan digerakkan oleh pikiran, gaya berfungsinya tergantung pada
keadaan pikiran pada saat tertentu, menjadi kacau apabila pikiran terganggu,
dan halus apabila pikiran tenang. Apabila pikiran secara berangsur-angsur
mencapai tingkat-tingkat Jhana, pernafasan akan menjadi lebih halus pada tiap-tiap
tingkat berikutnya. Dalam Jhana ke-empat nafas menjadi luar biasa tenang dan
kemudian berhenti berfungsi. Dalam Samyutta Nikaya IV.293, disebutkan :
“Apabila
seseorang mencapai Jhana ke-empat (4) unsure jasmaniah (kaya-sankhara) dari
assasa dan passasa menjadi lenyap.”
Jadi
unsure badan pernafasan yang kasar yang timbul sebelum meditasi secara
berangsur-angsur berkurang dari tingkat Upacara-Samadhi sampai pada Jhana
pertama dan secara mutlak akan lenyap di dalam tingkat Jhana ke-empat (4).
Karena tiap-tiap tingkat itu dicapai melalui metode Samatha.
Dalam
metode Vipassana unsure badan pernafasan yang timbul sebelum pokok meditasi itu
dipahami, adalah kasar dan berat. Selama proses perkembangan pandangan terang
itu menjadi tenang dan lebih halus. Apabila batin mencapai pengetahuan penuh
dan mengerti tiga-corak (Ti-lakkhana) fenomena, maka pada saat itu pernafasan
mencapai titik ketenangannya yang terakhir, dan batin mencapai konsentrasi
penuh pada pokok meditasi Anapanasati.
Jadi,
dalam dua tingkat ini unsure jasmaniah dan pernafasan dikatakan telah benar
menjadi tenang. Dalam pengertian untuk mencapai keadaan ini dikatakan “Ia
mempraktekkan kesadaran terhadap nafas masuk dan nafas keluar”. Karena itu :
“Dengan menenangkan unsure jasmaniah, saya akan menarik nafas…akan mengeluarkan
nafas.” Demikian ia melatih dirinya.
Demikian
keterangan tentang empat (4) latihan yang pertama dari meditasi Anapanasati
yang berdasarkan pada Sutta dan komentar dari Sutta tersebut.
Metode-metode
yang terdapat di dalam Atthakatha (Komentar)
Terdapat
beberapa metode di luar Sutta yang berhubungan dengan empat (4) rangkaian
latihan Anapanasati ini yang telah digunakan sebagai cara khusus untuk
memusatkan perhatian permulaan pada pokok meditasi ini. Dalam Visuddhimagga
dierangkan di dalam urutan sebagai berikut :
1. Ganana
; menghitung
2. Anubhandhana
; mengikuti proses dengan sadar.
3. Phusana
; mencatat kontak pernafasan,
4. Thapana
; menempatkan pikiran pada tanda
5. Sallakkhana
; merenungkan corak-corak utama perpindahan batin dari kesadaran yang rendah
kepada yang tinggi.
6. Parisuddhi
; kesucian atau mengalami hasil,
7. Patissana
; merenungkan pada pencapaian-pencapaian.
Dari
kesemuanya ini, lima yang pertama adalah cara yang digunakan untuk menempatkan
kesadaran pada pokok pernafasan, sedangkan tiga yang terakhir adalah yang
menandai hasil-hasil.
Menghitung
Pernafasan
Penghitungan
akan merupakan suatu bantuan yang besar bagi siswa permulaan yang tidak
terbiasa untuk mengkonsentrasikan pikiran pada satu titik pernafasan untuk
dihitung harus penuh dan normal. Sebelum mulai menghitung, lebih baik menarik
beberapa pernafasan yang lambat dan lama, pertama-tama dengan menarik nafas dan
memenuhi badan jasmani sejauh selaput dada kemudian mengeluarkan perlahan-lahan
dan mengosongkan udara yang dimasukkan dari badan jasmani.
Pengulangan
akan hal ini untuk beberapa saat akan memberikan ketenangan badan jasmani dan
membangkitkan otak untuk berfungsi dengan halus. Kemudian mulai menarik dan mengeluarkan
nafas, pertama-tama siswa meditasi harus menghitung dari satu sampai lima, dan
kemudian dari satu sampai sepuluh, atau pun ia melakukan suatu perhentian di
dalam proses.
Karena
apabila ia berhenti dibawah lima, pikiran yang timbul dalam suatu jarak
terbatas atau suatu masa jarak yang pendek akan menjadi gelisah, seperti
sekumpulan ternak ditutup di dalam sebuah kandang. Tetapi apabila ia pergi
lebih dari sepuluh (10) pikiran akan melekat pada jumlah, bukan pada
pernafasan. Apabila prose situ terpatah, yaitu, apabila ia menghitung “satu,
tiga, lima” , atau “dua, empat, enam” dan selanjutnya , atau apabila ia
berhenti menghitung dan kemudian mulai lagi setelah beberapa saat, pikirannya
menjadi bingung, merasa heran apakah proses penghitungan telah mencapai
penyelesaian atau belum. Karena itu, ia harus menghindarkan kesalahan-kesalahan
ini didalam penghitungannya.
Ia
pertama-tama harus menghitung dengan perlahan-lahan mengikuti dari seorang
pengukur beras. Ia yang mengukur beras memenuhi keranjang dan mengosongkannya,
mengatakan “satu”. Sewaktu mengisi kembali ia mengulang, “Satu, satu”, “dua,
dua”, dan selanjutnya.
Dengan
cara yang sama, siswa meditasi, baik sewaktu mengambil nafas masuk atau nafas
keluar sebagai titik permulaannya, seperti yang ia pikir sesuai, harus mulai
menghitung “satu” dan mengulangnya sampai nafas yang selanjutnya datang,
seperti “satu, satu”, “dua, dua”, dan demikian seterusnya sampai “sepuluh,
sepuluh”, mencatat pernafasan sewaktu mereka muncul secara berturut-turut.
Setelah
ia menghitung demikian, nafas masuk dan nafas keluar menjadi jelas dan terang
pada batinnya. Kemudian ia harus meninggalkan proses penghitungan yang lambat
dan mulai menghitung secara cepat-tepat, seperti “satu, dua, tiga, empat,
lima…sepuluh”. Pernafasan yang telah menjadi jelas karena cara penghitungan
sebelumnya (lambat) sekarang bergerak dengan cepat dan berulang-ulang,
seakan-akan bau-bauan dicium dan dinafaskan dengan sengaja.
Kemudian
mencatat pergerakan ayunan dari pernafasan dan janganlah berusaha mencoba untuk
mempertahankan mereka di dalam dadanya ataupun mengeluarkan mereka, tetapi
harus mencatat mereka sewaktu mereka mencapai lubang hidung, dan menghitung
dengan cepat, “satu, dua, tiga, empat, lima ; satu, dua, tiga, empat, lima,
enam ; satu, dua , tiga, empat, lima, enam, tujuh ; … delapan; sembilan ;
sepuluh”.
Apabila
pokok meditasi maka berhubungan dengan proses penghitungan ini, penghitungan
ini sendiri akan memungkinkan pikiran untuk menjadi terpusat dan seluruh
pikiran akan ditempatkan pada pokok itu, tepat seperti sebuah perahu di dalam
suatu arus yang deras dipertahankan arahnya dengan cara pengemudian dayung. Di
dalam proses menghitung secara cepat ini, pokok meditasi menyerupai seperti
suatu arus udara yang terus menerus muncul pada ujung hidung.
Mencatat
kelangsungan yang tidak terganggu itu ia harus menghitung dengan cepat seperti
sebelumnya, tanpa memberikan perhatian pada udara yang berada di dalam atau di
luar badan jasmani. Karena, apabila ia membiarkan pikiran masuk bersama dengan
nafas masuk, pikiran akan menjadi bingung, tertumbuk dengan udara di dalam.
Apabila ia membiarkan pikirannya pergi keluar menyertai nafas keluar, itu akan
menjadi berhamburan dengan bermacam-macam pikiran.
Hanya
dengan perkembangan dari kesadaran yang dipusatkan pada titik dimana udara
mengadakan kontak maka siswa akan mencapai kesuksesan dalam praktik ini. Karena
itu, sampai tanpa bantuan hitungan, kesadarannya terpusatkan pada objek
assasa-assasa, siswa harus melanjutkan menghitung. Menghitung hanya membantu
tujuan pengontrolan pikiran yang mengejar objek-objek dari luar, dan dengan
demikian menempatkan kesadaran pada pernafasan sebagai objek meditasi batin.
Jadi
metode menghitung ini, seperti yang dipraktekkan ummat-ummat Buddhis, terdiri
dari dua proses yang masing-masing dilakukan di dalam dua cara, seperti yang
telah diterangkan diatas. Bagan berikut ini akan menjadikan lebih jelas bagi
siswa yang baru saja mulai.
Bagan
tentang perhitungan pernafasan :
Normal
; objek, satu nafas, masuk atau keluar penghitungan perlahan dengan (i)
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
Nafas
perlahan : (ii) 1,1,2; 2,2,3; 3,3,4; 4,4,5; 5,5,6; 6,6,7; 7,7,8; 8,8,9; 9,9,10.
Dikembangkan
ke Kammatthana : objek, lubang hidung penghitungan cepat : (iii)
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
Dengan
satu nafas : (iv) 1,2,3,4,5,6,7; 1,2,3,4,5,6,7. 1,2,3,4,5,6,7,8 ;
1,2,3,4,5,6,7,8,9 ; 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 .
Sistem
ini harus digabungkan dengan nafas masuk dan nafas keluar, dengan menarik dan
mengeluarkan nafas pendek, dan dengan menarik dan mengeluarkan nafas panjang.
Anubandhana
atau mengikuti proses
Dalam
latihan ini siswa harus menghentikan penghitungan dan mengikuti pernafasan
dengan sadar. Dengan berbuat demikian, janganlah ia memberikan perhatian pada
permulaan atau pertengahan atau pun akhir dari pernafasan seperti yang ia
lakukan di bagian ke-tiga (3) dari ke-empat (4) latihan yang pertama.
Dalam
Patisambhidha Magga (165) disebutkan : “Pikiran dari mereka yang mengikuti
dengan perhatian pada permulaan, pertengahan dan akhir dari nafas masuk,
menjadi berhamburan dalam jasmaninya. Pikiran dari mereka yang mengikuti
nafas-keluar, menjadi terganggu diluar”. Oleh sebab itu,, dalam mengarahkan
perhatian untuk mengikuti pernafasan ia harus mencatat tempat yaitu, lubang hidung
tempat udara mengadakan kontak sewaktu masuk dan keluar. Dalam metode
menghitung ia telah mencatat titik-titik persentuhan dengan menghitung mereka
bersama-sama dengan pernafasan.
Disini
ia mencoba mengikuti pernafasan tidak dengan bantuan hitungan, tetapi dengan
kesadaran saja, mencatat hanya pada kontak dari pernafasan dan menempatkan
pikiran seakan-akan menjaga pada lubang hidung. Tepat seperti penjaga pintu
hanya mencatat mereka yang datang ke pintu, maka pikiran dipertahankan demikian
pada pintu pernafasan dan mencatat mereka hanya dengan sentuhan mereka seewaktu
mereka berjalan masuk dan keluar, tetapi tidak memperhatikan pada tahap-tahap
mereka, apakah permulaan, pertengahan, ataukah akhir karena mereka bukan
tugasnya dalam latihan ini.
Terdapat
perumpamaan gergaji sebagai sebuah ilustrasi dari cara ini dalam Patisambhidha
Magga (i.170). Seperti seseorang menggergaji sepotong balok ia hanya sadar
terhadap gigi-gigi gergaji yang kontak dengan balok tersebut, tetapi ia tidak
menunjukkan perhatiannya pada gigi-gigi lainnya yang berlaku ketika
menggergajinya ataupun bukan tidak sadar terhadap mereka. Maka Sang Bhikkhu
duduk dengan kesadaran yang terpusatkan pada ujung hidung atau mulut bagian
atas sebagai tanda pernafasan bagian luar, dan ia tidak menunjukkan
perhatiannya pada pernafasan yang datang dan pergi, karena mereka telah
diketahuai olehnya di dalam tingkat sebelumnya.
Jadi,
mengikuti pernafasan dengan kesadaran adalah sadar akan adanya pernafasan
dengan merasakan kontak dengan lubang hidung atau bibir bagian atas yang
merupakan dasar dari perhatiannya. Pernafasan dari seseorang yang hidungnya
panjang, adalah menyentuh pada ujuh hidung. Mereka yang mempunyai sebuah hidung
pendek, adalah bibir bagian atas. Karenanya ia harus memusatkan perhatian pada
tanda-tanda itu dengan pikiran “inilah tempat mereka menyentuh”. Inilah apa
yang dimaksudkan di dalam kitab dengan “menempatkan kesadaran di depan “
(Pari-mukkhan, tepat di depan ).
Dua
bagian selanjutnya (3) phusana atau sentuhan dan (4) tapana/menempatkan adalah
termasuk di dalam latihan mengikuti proses pernafasan seperti yang telah
diterangkan diatas, dank arena itu mereka tidak diterangkan sebagai latihan
yang terpisah. Di sini perintah “menempatkan pikiran pada tanda” harus
dimengerti sebagai penempatan pikiran pada objek dari kesadaran : yaitu tanda
pernafasan darimana Patibhagga Nimitta timbul.
Nimitta-nimitta
yang digambarkan dalam bermacam-macam bentuk.
Jadi
apabila siswa memperhatikan pada pokok meditasi ini dalam empat cara ini,
setelah masa pendek, Patibhagga Nimitta timbul dan kemudian Appana, disini
disebut “Tapana” yang dicapai bersama-sama dengan factor-faktor Jhana. Pada
beberapa orang proses pernafasan yang kasar secara berangsur-angsur berkurang
di dalam proses penghitungan dan dengan demikian batin dan jasmani menjadi
tenang. Pada saat itu jasmani menjadi ringan, seakan-akan naik ke udara. Dari
saat pernafasan yang kasar telah menjadi tenang, pikiran timbul dan mencatat
tanda pernafasan yang terus menjadi tambah halus sebagai objeknya.
Tidak
seperti pokok-pokok kammatthana yang lain, yang menjadi lebih jelas dan lebih
terang setelah mereka berkembang, pokok meditasi anapanasati ini menimbulkan
kehalusan yang sangat setelah berkembang. Pernafasan itu bahkan dapat tidak
terasakan dan siswa mungkin merasakan bahwa ia telah berhenti bernafas sama
sekali.
Bila
pernafasan telah tidak dapat dirasakan, siswa janganlah berpindah dari tempat
duduknya karena merasa heran, “ apakah kammatthana itu telah hilang dari diriku
atau haruskah saya bertanya kepada Sang Guru ?” karena apabila ia pergi dan
dengan mengubah posisinya maka Kammatthananya telah hilang dan ia harus mulai
dari permulaan lagi. Karena itu ia harus tetap berada di tempat duduk yang sama
dan membawanya dengan memusatkan pikiran pada titik asalh dari tanda
pernafasan.
Dengan
memperhatikan secara perhatian penuh, ia sadar akan adanya pernafasan sewaktu
mereka menyentuhkan lubang hidungnya. Jadi dengan demikian ia memperoleh
Patibhagga Nimitta dari pernafasan yang berada dalam keadaan yang paling halus.
Anapanasati adalah pokok meditasi yang paling halus dan sukar serta tidak
sesuai bagi seseorang yang daya ingatnya dan intuisinya lemah.
Seperti
yang dikatakan di dalam Samyutta Nikaya V.337. “Para Bhikkhu, saya tidak
menganjurkan perkembangan anapanasati bagi seorang pelupa dan kurang dalam
pemahaman dengan jelas”.
Oleh
sebab itu, diperlukan kesadaran yang penuh dan pengertian yang cepat. Siswa
harus selalu memeprtahankan kesadarannya pada titik dimana terdapat persentuhan
dengan pernafasan.
Setelah
ia mempraktikkan secara demikian, dalam waktu yang pendek, nimitta akan muncul.
Cara kemunculannya adalah bermacam-macam sesuai dengan sifat batin. Pada
beberapa orang nimitta itu muncul dengan suatu sentuhan lunak seperti selembar
kain katun atau angina sepoir-sepoi dingin, pada beberapa orang lainnya seperti
sebuah bintang, sebuah rugby bundar atau sebutir mutiara pada beberapa orang
lainnya lagi, itu nampak seperti kotak yang tajam dari sebatang tongkat yang
ditancapkan : orang-orang lainnya merasakan seperti seutas benang panjang, atau
suatu rangkaian bunga-bunga puth atau segumpal awan, pada beberapa orang nampak
seperti sebuah sarang laba-laba, segumpal awan, sebuah bunga teratai, sebuah
roda, atau sebuah bulatan matahari atau bulan.
Menurut
manual dari Yogacara, nimitta dari kammatthana ini muncul seperti air yang
diaduk dengan noda-noda buih dan gelembung-gelembung dalam gelombang, atau yang
lainnya, nampak seperti sejumlah asap yang timbul dan lenyap di dalam
gelombang, atau seperti awan putih di udara. Uggaha nimitta muncul seperti
sebuah kipas permata atau kaca kristal yang dibentangkan di langit, atau bulan
yang timbul di balik celah-celah awan atau yang lainnya, seperti sekawanan
burung jenjang putih bergerak di depan awan gelap. Uggaha nimitta adalah
seratus kali lebih jelas, lebih terang dan lebih murni daripada nimitta.
Kemudian menyusul tiga saat-saat pikiran, parikamma, upacara dan appana.
Di
antara mereka, parikamma adalah seperti seberkas bulu dari ekor burung merak,
upacara adalah agak gelap atau hitam, seperti warna seekor kumbang ; appana
adalah seperti selembar kain katun wol yang mempunyai sentuhan lunak atau
serangkaian bunga-bunga putih seperti bunga melati atau bunga eratai. Dalam
proses praktik siswa harus dengan teliti memperhatikan bentuk-bentuk pikiran
ini dan menarik mereka dari ujung hidung, dan harus secara batin menempatkan
mereka pada hati, dan kemudian di pusar. Setelah itu ia harus menempatkan
mereka di ujung hidung kembali. ( manual hal.43 ).
Tiga
objek-objek yang berbeda
Di
dalam meditasi ini terdapat tiga objek-objek batin yang berbeda : assasa,
pasasa dan nimitta. Dari semua ini assasa dan passasa harus dipelajari secara
mendalam dalam latihan-latihan terdahulu mulai dengan cara menghitung : nimitta
harus diketahui dari tingkat Anubandhana secara merasakan mereka dengan
perhatian khusus dan menempatkan pikiran pada tempat terjadinya kontak. Sebelum
ketiganya ini menjadi jelas dan terang meditasi belum dapat terlaksana.
Walaupun
ketiga objek-objek ini tidak dapat dipisahkan dengan pokok meditasi yang sama,
mereka berbeda antara satu dengan yang lain menurut kondisi pikiran yang timbul
bersama mereka. Pikiran yang timbul dengan nafas keluar mencatat bahwa cara
berfungsinya berbeda dengan nafas masuk. Pikiran yang ditempatkan pada kedua
tanda pernafasan, tidak mencatat nafas masuk maupun nafas keluar, tetapi titik
kontak mereka. Jadi adalah benar untuk dikatakan bahwa tiga hal ini bukanlah
objek-objek pikiran yang sama walaupun mereka berhubungan dengan pokok yang
sama.
Sebelum
keadaan-keadaan yang berbeda ini menjadi jelas dan dimengerti dengan
sepenuhnya, meditasi tidak akan membawa pada “upacara-samadhi” ataupun pada
Jhana. Bukanlah assasa atau passasa yang membawa pada Jhana tetapi nimitta mereka.
Sekalipun demikian, nimitta ini tidak dapat dicapai jika assasa dan passasa
tidak dipelajari secara mendalam.
Apabila
nimitta ini telah terlihat dalam bentuk-bentuk yang telah diterangkan di atas,
siswa harus memberitahukan gurunya yang akan memberikan nasihat lebih jauh
padanya. Ia yang telah mencapai nimitta dalam satu bentuk atau yang lain harus
“melindungi”nya di dalam cara yang telah diterangkan untuk meditasi kasina,
dengan perawatan dan perhatian yang khusus, menggambarkannya secara berulang-ulang
melihat nimitta, suatu latihan yang dikenal sebagai “Thapana” : yaitu setelah
munculnya nimitta itu, ia telah menghitung mengikuti pernafasan atau pun
mencatat sentuhan mereka, tetapi mempertahankan pikirannya pada gambarann yang
diwujudkan di dalam hubungan dengan pernafasan.
Dengan
bertambah dalamnya meditasi, rintangan-rintangan menjadi hilang,
kekotoran-kekotoran batin mereda, kesadaran mapan dan batin terkonsentrasikan
di dalam keadaan upacara Samadhi. Dari tingkat ini, janganlah merenungkan pada
warna atau bentuk dari gambaran, tetapi mengambilnya sebagai konsepsi
perwujudan batin yang berasal dari unsure udara pernafasan, setelah ia
mengembangkan secara berangsur, Jhana ke-empat (4) dan Jhana ke-lima (5) akan
dicapai.
Siswa
yang ingin mengembangkan pokok meditasi yang sama dengan suatu tujuan untuk
pencapaian-pencapaian yang lebih jauh, harus menjadikan batinnya mampu untuk
memperoleh pengetahuan pandangan terang dengan merenungkan tiga corak-corak.
Bangkit dari Jhana ke-empat ia melihat batin dan jasmani sebagai sumber dari
pernafasan : karena berkenaan dengan batin dan jasmani maka nafas itu bergerak.
Kemudian ia membedakan antara pernafasan dan badan jasmani sebagai rupa, bentuk
materi : dan batin serta pikiran sebagai nama, fenomena bukan materi.
Selanjutnya
ia merenungkan corak ketidak-kekalan, penderitaan dan tanpa inti yang kekal.
Dengan mengembangkan pengetahuan ini, memperolehh kebebasan dari kenafsuan
terhadap hal-hal yang hancur dari saat ke saat, ia mencapai kebijaksanaan yang
memindahkan dia kepada perkembangan empat jalan mulia, hasil yang direalisir
pada tingkat Arahat, tujuan terakhir dari latihannya.
Ini
adalah akhir dari praktek konsentrasi dalam anapanasati, dimulai dengan
menghitung dan berakhir dalam penyadaran terhadap hasil tingkat arahat. Disini
berakhirlah empat latihan anapanasati yang pertama.
Latihan
: bagian kedua
Bagian
ini adalah berkenaan dengan empat (4) tingkat-tingkat yang selanjutnya. Bagian
ini menerangkan suatu metode perkembangan meditasi anapanasati pada vipassana,
suatu metode yang dikenal sebagai “VEDANANUPASSANA-SATIPATTHANA” dan termasuk
baik Samadhi maupun Vipassana.
Rumusannya
adalah sebagai berikut :
“
Dengan mengalami kegembiraan, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas.
Demikian ia melatih dirinya. “
Dalam
latihan ini dan latihan-latihan yang lain tak ada system meditasi Kammatthana
yang terpisah, karena mereka berhubungan dengan proses-proses batin dari mereka
yang telah mencapai tingkat-tingkat Jhana dengan latihan-latihan sebelumnya.
Karenanya komentar dari buku itu memberikan rumusan-rumusan dengan
tafsiran-tafsiran yang berikut ini dan menerangkan mereka berkenaan dengan
konteks mereka.
Terdapat
dua (2) cara siswa dapat mengalami kegembiraan atau kegiuran (piti) sewaktu ia
asyik pada kesadaran terhadap pernafasan. Pertama, apabila ia memasuki dua (2)
Jhana yaitu Jhana pertama (I) dan kedua (II) ia akan mengalami kegembiraan
(sukha) karena kesuksesan yang diperoleh dengan penyadaran sempurna terhadap
objek. Kedua, bangkit dari Jhana pertama dan Jhana kedua yang terdapat sukha,
ia merenungkan sukha yang berhubungan denga Jhana menyadari bahwa sukha itu
cepat berlalu dan tidak kekal.
Pada
saat dimana ia menembus corak-coraknya dengan cara Vipassana, ia mengalami
sukha atau piti karena ia tidak berada di dalam kebingunan. Karena itu
dinyatakan di dalam Patisambhidha Magga (I.187) ;
“
Dengan cara menarik nafas suatu nafas panjang, kesadaran tercapai di dalam
dirinya yang menyadari ketenangan dan penunggalan pikiran. Melalui pengetahuain
itu, bersama-sama dengan kesadaran maka dialami kegembiraan…, dengan
mengeluarkan suatu nafas panjang…kegembiraan dialami”.
Demikianlah
siswa mengalami kegembiraan, dan penuh kegembiraan, sepanjang proses
meditasinya dan semua tingkat-tingkatnya missal : merenungkan, menyadari,
merenungkan kembali, memiliki keyakinan, semangat, kesadaran, konsentrasi, dan
lain-lain. Karenanya teks mengatakan :
“
Dengan mengalami kegembiraan, saya akan menarik nafas… saya akan mengeluarkan
nafas. Demikian ia melatih dirinya. “
Kemudian
menyusul rumusan :
“
Dengan menyadari kebahagiaan, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas.
Demikian ia melatih dirinya. “
Latihan
ini menyatakan pada Jhana pertama, Jhana kedua dan Jhana ketiga yang siswa
mengalami kebahagiaan yang ditimbulkan oleh objek kesadaran terhadap pernafasan
dan terangnya pandangan batin. Keterangan rinci selanjutnya harus dimengerti
sama seperti diatas.
“Dengan
mengalami unsure-unsur pikiran, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas.
Demikian ia akan melatih dirinya.”
Dalam
latihan ini siswa menyadari secara sempurna unsure-unsur pikiran (
cittasankhara ) berhubungan dengan semua tingkat-tingkat Jhana. Di sini istilah
Cittasankhara digunakan pada dua kelompok atau Khanda yaitu perasaan dan
pencerapan.
“Dengan
menenangkan unsure-unsur pikiran, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas.
Demikian ia melatih dirinya. “
Dalam
latihan ini siswa melatih dirinya dengan suatu tujuan untuk menenangkan dan
memperhalus sejenis factor-faktor batin yang kasar dan rendah. Mereka terikat
pada perasaan dan pencerapan yang berhubungan dengan “piti” dan “sukha”. Akan
tetapi, “piti” dan “sukha” adalah factor-faktor perasaan yang dapat mengikatnya
pada keadaan Jhana dengan demikian akan merintanginya dari pencapaian-pencapaian
lebih jauh. Oleh sebab itu, mereka dikatakan sebagai sesuatu yang kasar dan
rendah. Karena itu siswa merenungkan sifat ketidak-kekalan dari perasaan dan
pencerapan serta mengembangkan Vipassana, dan dengan demikian menghilangkan
kegembiraan biasa yang di alami dalam Jhana, karenanya teks mengatakan :
“
Dengan menenangkan unsure-unsur pikiran dan lain-lain”.
Empat
tingkat anapanasati ini berlangsung dengan cara “Vedananupassana” ( perenungan
terhadap perasaan ), dank arena itu termasuk pada bagian kedua dari meditasi
Satipatthana.
Latihan
: bagian ketiga.
Bagian
ketiga dari meditasi ini terdiri atas empat tingkat-tingkat berikut membentuk
latihan meditasi Satipatthana yang ketiga, yaitu Cittanupassana, perenungan
terhadap pikiran-pikiran.
“Dengan
menyadari (keadaan) pikiran, saya akan menarik nafas…mengeluarkan. Demikian ia
melatih dirinya.”
Siswa
yang telah mencapai keadaan-keadaan Jhana merenungkan sifat ketidak-kekalan
dari pikiran di dalam tiap-tiap Jhana dan menyadari bahwa pikiran itu
berubah-ubah dari saat ke saat. Dengan pikiran ini ia menarik dan mengeluarkan
nafas.
“
Dengan menggembirakan pikiran, saya akan menarik nafas…mengeluarkann nafas.
Demikian ia melatih dirinya. “
Disini
siswa memperhatikan assasa dan passasa dengan bergembira, menyenangkan dan
membahagiakan pikiran. Dalam tingkat meditasi ini pikiran digembirakan dalam
dua cara :
Pertama,
ia masuk kedalam Jhana pertama dan Jhana kedua yang terdapat kegembiraan. Pada
saat ia telah mencapainya, ia menyenangkan dan menggembirakan pikiran dengan
kegembiraan ini.
Kedua,
bangkit dari Jhana ia merenungkan sifat ketidak-kekalan dari kegembiraan yang
berhubungan dengannya. Jadi pada saat pandangang terang, ia mengambil
kegembiraan sebagai objek dari pikiran dan menyenangkan serta menggembirakan
pikiran. Inilah praktek yang diterangkan sebagai :
“Dengan
menggembirakan pikiran, ia menarik nafas…mengeluarkan nafas.”
“Dengan
memusatkan pikiran, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas. Demikian ia
melatih dirinya.”
Dalam
tingkat ini, pikiran harus terpusatkan dengan baik pada objek dengan Jhana
pertama, Jhana kedua, dan selanjutnya. Dengan memasuki Jhana-Jhana itu dan
kemudian bangkit dari sana, ia merenungkan sifat yang selalu berubah dari
pikiran yang berhubungan dengan jhana-jhana tadi. Pada saat timbulnya pandangan
terang terdapat khanika-samadhi yang disebabkan menyadari corak-corak pikiran.
Dengan cara ini, ia memusatkan pikiran sewaktu ia mempratekkan pernafasan. Hal
ini diringkaskan sebagai :
“
Dengan memusatkan pikiran, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas. Demikian
ia melatih dirinya.”
“
Dengan menyadari pikiran, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas. Demikian
ia melatih dirinya.”
Di
dalam Jhana pertama ia membebaskan pikiran dari rintangan-rintangan. Dengan
cara Jhana kedua pikiran terbebas dari Vitakka dan Vicara : dengan cara Jhana
ketiga pikiran terbebas dari kegembiraan (Piti) : Dengan cara Jhana keempat
pikiran terbebas dari kebahagiaan dan kesakitan ( adukkha masukha ). Dengan
masuk dan bangkit dari Jhana-Jhana itu, ia merenungkan pikiran yang berhubungan
dengan mereka dan mengetahuinya sebagai cepat berlalu dan tidak kekal.
Pada
saat pandangan terang ia menarik nafas, mengeluarkan nafas, membebaskan pikiran
dari faham kekekalan dengan merenungkan terhadap ketidak-kekalan : dari faham
kebahagiaan dengan merenungkan terhadap penderitaan, dari faham “Atta” ( Aku )
dengan merenungkan “tidak-ada-Aku” : dari faham kegembiraan dengan merenungkan
terhadap hal-hal yang menjijikkan : dari kenafsuan terhadap kebebasan : dari
sebab yang saling bergantungan dengan merenungkan penghentian : dari
kemelekatan dengan merenungkan terhadap pelepasan. Karenanya ia diterangkan :
“Dengan menyadari pikiran, ia menarik nafas…mengeluarkan nafas. Demikian ia
melatih dirinya.”
Demikianlah
empat (4) latihan-latihan yang termasuk pada pikiran, Cittanupassana, yang
termasuk pada Satipatthana ketiga.
Latihan
bagian keempat
Keempat
dari bagian yang terakhir dari latihan anapanasati terdiri atas empat tingkat-tingkat
berikut yang termasuk pada Satipatthana keempat, dikenal sebagai
Dhammanupassana, perenungan terhadap objek-objek batin. Yang pertama dari
tingkat-tingkat ini mendapat ungkapan sebagai berikut :
“
Dengan merenungkan terhadap ketidak-kekalan, saya menarik nafas…mengeluarkan
nafas. Demikian ia melatih dirinya.”
Rumusan
ini berkenaan dengan perenungan terhadap ketidak-kekalan (anicca), yang
terdapat dalam lima (5) kelompok kehidupan, yang timbul lenyap dan berubah
adalah corak-corak yang wajar. Dengan mengenali tiap-tiap kelompok kehidupan,
jasmani, perasaan, pencerapan, unsure-unsur batin dan kesadaran adalah
tidak-kekal karena pembawaannya sendiri, siswa menarik nafas, mengeluarkan
nafas. Demikian ia melatih dirinya.
Kemudian
menyusul tingkat kedua :
“
Dengan melihat kebebasan dari hawa nafsu, saya menarik nafas…mengeluarkan
nafas. Demikianlah ia melatih dirinya.”
Dalam
hubungan ini harus diketahui bahwa terdapat dua (2) macam kebebasan (viraga) :
kebebasan yang merupakan ketidak-melekatan terhadap semua hal-hal yang
berkondisi yang semuanya cepat berlalu serta tidak mempunyai kenyataan : serta
Nibbana , kebebasan yang mutlak. Yang pertama adalah pandangan terang yang
menuntun pada terakhir, dan ia yang mempraktekkan kesadaran terhadap pernafasan
akan mengenali kedua jenis-jenis kebebasan maka dinyatakan :
“Dengan
melihat kebebasan dari hawa nafsu ia menarik nafas…mengeluarkan nafas. Demikian
ia melatih dirinya.”
Setelah
itu menyusul tingkat ketiga :
“Dengan
melihat pengakhiran dari Asava-asava, saya akan menarik nafas…mengeluarkan
nafas. Demikian ia melatih dirinya.”
Pengakhiran
ini ada dua macam yaitu sesaat dan mutlak. Pengakhiran sesaat adalah menyatakan
penghancuran asava secara berangsur-angsur pada tingkat-tingkat praktek yang
berbeda. Pengakhiran yang mutlak adalah Nibbana, tujuan terakhir. Dengan
menyadari keduanya ini, siswa melath dirinya di dalam praktek dari kesadaran
terhadap pernafasan.
Akhirnya
sampai pada tingkat keempat :
“Dengan
melihat pelepasan, saya akan menarik nafas…mengeluarkan nafas. Demikian ia
melatih dirinya.”
Disini
istilah pelepasan digunakan pada Vipassana dan juga pada Magga ( Jalan Mulia )
dipandang sebagai “meninggalkan” atau Patinissagga yang dua rangkaian :
meninggalkan dalam arti “penghentian” dan meninggalkan dalam arti mengatasi.
Pertama
pandangan terang, di dalam proses perkembangannya yang berangsur-angsur
menyebabkan pelenyapan kekotoran-kekotoran batin. Kekuatan kekotoran batin
inilah yang menyebabkan kelompok-kelompok kehidupan bergabung. Kedua, pandangan
terang membawa suatu penyadaran terhadap cacat-cacat dari hal-hal berkondisi,
mengarhkan batin ke Nibbana, mengatasi semua keadaan yang rendah dan
kemelekatan-kemelekatan yang sifatnya berlawanan dengan pencapaian tujuan
terakhir yang agung itu. Oleh sebab itu disebut “pelepasan”, kedua-duanya dalam
arti “penghentian” dan dalam “mengatasi”.
Jalan
menuju penghancuran kepada penghentian dari asava-asava membawa batin pada
Nibbana dan dengan demikian mengatasi semua kondisi-kondisi keduniawian. Jadi
adalah suatu “pelepasan” di dalam arti penghentian dan dalam arti “mengatasi”.
Siswa yang dikaruniai pengetahuan dari dua rangkaian pelepasan ini, melatih
dirinya dalam nafas masuk dan nafas keluar, sehingga ia diterangkan : “dengan
melihat pelepasan ia menarik nafas…mengeluarkan nafas. Demikian ia melatih
dirinya.”
Bagian
keempat dari latihan anapanasati ini adalah dianggap sebagai Vipassana murni,
sedangkan tiga bagian lainnya adalah meliputi Samatha dan juga Vipassana. Jadi
perkembangan dari Anapanasati Samadhi yang diterangkan dalam enam-belas (16)
tingkat dan dibagi menjadi empat (4) kelompok, masing-masing berhubungan dengan
salah satu dari empat (4) Satipatthana dan masing-masing dikembangkan sebagai
suatu system meditasi Buddhis yang terpisah.
Meditasi
ini sendiri cenderung pada pencapaian dari semua yang diperlukan untuk
penenangan batin : karena menurut rencana praktek Anapanasati ini menjadi akar
dari mana timbul penyempurnaan pengetahuan dari kebijaksanaan. Inilah
pengertian dari kalimat-kalimat sebagai berikut :
“
Para Bhikkhu, konsentrasi pada kesadaran terhadap pernafasan ini menyempurnakan
empat landasan kesadaran (Satipatthana). Empat landasan kesadaran apabila
dikembangkan menyempurnakan tujuh prinsip-prinsip penerangan (bhojjanga). Tujuh
prinsip penerangan apabila dikembangkan menyempurnakan pengetahuan dan
kebebasan. (Majjhima Nikaya III, 82 ).
Dan
juga ia yang telah mempraktekkan meditasi ini, sadar terhadap terhentinya nafas
yang terakhir : kita dapatkan sabda Sang Buddha seperti berikut :
“ Rahula
apabila kesadaran terhadap pernafasan dikembangkan dalam cara ini,
pernafasan-pernafasan yang terakhir, diketahui apabila mereka berakhir : mereka
tidak berakhir tanpa tidak diketahui.” ( Majjhima Nikaya I.425-426 )
Ini
berarti bahwa pada saat kematian pernafasan yang terakhir akan diketahui dan
dikenali oleh yang telah mempraktekkan Anapanasati Kammatthana ini, dan ia
mampu menyadari akhir dari masa hidupnya telah tiba. Karena itu ia mampu mati
dalam sikap apa pun yang ia inginkan dan persiapkan, seperti seorang bhikkhu
vihara Cittalapabhata di Ceylon, yang mati sewaktu berjalan kesana-kemari di
vihara.
Siswa
yang mempraktekkan Kammatthana Anapanasati ini, sesuai dengan metode-metode
yang telah diterangkan di atas akan mendapat banyak keuntungan-keuntungan
sebagai akibat langsung, dan akhirnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana seperti
Arahat, atau apabila ia ingin menangguhkan pencapaian penerangannya dalam
ke-Buddha-an. Karena itu siswa yang bijaksana harus selalu menempatkan dirinya
dengan bersemangat pada kesadaran terhadap pernafasan, yang akan memberikan
hasil-hasil sedemikian besar dan memuncak di dalam berkah Nibbana.
Demikian resume / wacana
ini kami sajikan. Semoga membawa manfaat bagi anda semua yang ingin melatih
diri menggunakan Anapanasati, yang merupakan bagian dari sepuluh (10) Anussati.
“Sabbe Satta Bhavantu
Sukhitatta!”
( Semoga Semua Makhluk
Hidup Berbahagia! )
0 komentar:
Posting Komentar