Makalah Politik Dalam Agama Buddha
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Deskripsi Politik
Politik
adalah “Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan
tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu
negara atau terhadap negara lain” (Anwar, 2002:360).
Sejarah filsafat politik seperti Socrates (470-399 SM) sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran. Politikdimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan dan kesantunan, diukur dari
keutamaan moral. Dalam dunia politik praktisi pemahaman yang mengandaikan kebaikan individual ini belum mencukupi. Meski ungkapan
pernyataan Soekarno seperti “bila politikus jujur, maka Indonesia akan makmur”.
Validitas kebenaran hal ini, dengan realitas, pernyataan hipotesis itu tidak
dijamin terbukti.
Politikus tampaknya sukar menjadi kenyataan, dan tidak bisa dipertaruhkan.
Nilai-nilai agama bersangkutan dengan spiritualitas dan moralitas, dan
berkaitan dengan norma-normanya berhubungan dengan kebenaran. Namun nilai-nilai
itu amat kurang bersentuhan dengan kebenaran, misalnya mampu menepatka
moralitas dalam politik. Seperti
yang dikatakan oleh Mohandas Karamchand Gandhi, bahwa kekuasaan politik
bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya satu sarana yang memungkinkan rakyat
memperbaiki nasibnya dalam setiap bidang kehidupan.
Budaya
politik yang demokratis dan pluralis, sehingga timbul penghormatan dan penghargaan
terhadap perbedaan. Sebagaimana yang dikatakan
Bung Karno, “Indonesia bukanlah bangsa yang terdiri dari kuli-kuli ataupun
bangsa kuli di antara bangsa-bangsa. Perjalanan masih panjang, tetapi harus
tetap jalan dan diusahakan terus-menerus sampai mencapai tujuan. Karena itu
perlu ada kerjasama yang kuat dan konkrit dari
Semua umat beragama..
B.
Deskripsi Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani
Kuno di Athena pada abad ke-5 SM. Negara tersebut merupakan sebagai contoh awal
dari sebuah sistim yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti
dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi politik telah
berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistim demokrasi di
banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata,
yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, “Demokrasi sebagai asas yang fudamental ... kenegaraan yang secara
esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyengarakan
negara sebagai organisasi tertinggi (Mahfud dalam Hidayatullah, 2000:161).
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci
tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi
saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara
”Dukungan rakyat kepada pemerintah dapat menjadikan pemerintah membuat
kebajikan yang dapat dipercayai rakyat untuk membawa kesejatraan kepadanya”
(Syarbaini, 2001:119).
Demokrasi menempati posisi vital dalam
kaitan pembagian kekuasaan dalam suatu
negara, dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam ini menjadi sangat
penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan
pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk
masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah
seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah “....Demokrasi harus
dapat melaksanakan fungsi dan peranya seperti organisasi masyarakat, partai
politik, dewan perwakilan rakyat, pemerintahan (eksekutif), birokrasi, dan
peradilan” (Syarbaini, 2001:119).
Para ahli demokrasi yang membagi kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif ) untuk diwujudkan dalam
tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (andependent) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain, ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan
kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif.
Keputusan legislatif dibuat oleh
masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi. Masyarakat
yang diwakilinya (konstituen) dan
yang memilihnya melalui proses pemilu legislatif, sesuai hukum dan peraturan. Selain
pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya
pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum secara demokratis.
Benam merah dari demokrasi sebenarnya
menurut para ahli”....Rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu
keputusan dan kebijakan tertingi dari penyengaraan negara dan pemerintah serta
pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakan yang dilakukan secara langsung oleh
rakyat atau wakilnya melalui lembaga perwakilan” (Hidayatullah, 2000:163).
C. Sejarah Politik Agama Buddha
Setelah
mencapai Kebuddhaan, Sang Buddha menempuh perjalanan ke banyak tempat di India
untuk membabarkan Dhamma. Selama proses pembabaran Dhamma, Sang Buddha terlibat
dalam berbagai peristiwa yang berkenaan dengan politik. Beliau menyelesaikan
perselisihan serta memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual para raja dan
para menteri. Keterlibatan dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan
politik. Beliau juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik, misalnya,
saat suku Koliya dan Sakya akan berperang demi penggunaan air sungai, Sang
Buddha membujuk mereka agar tidak melakukannya. Saat raja Ajattasattu mencoba
menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan cara melakukan
percakapan dengan Ananda di depan menteri raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji
tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang Buddha meyakinkan Raja untuk
membatalkan Rencananya.
Beberapa
orang berusaha menggambarkan Sang Buddha sebagai orang yang meninggalkan
politik kerajaan untuk menjadi politisi demokratik massa. Hal seperti ini
tidaklah ditemukan. Buddhisme akan mengetahui bahwa Sang Buddha menghabiskan
seluruh hidupNya dalam peningkatan batin dan pengajaran. Beliau mengajarkan
tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan. Inti ajaranNya adalah di
pencapaian kesucian dan bukan salah satu bentuk ideologi politik apapun. Sang
Buddha menganggap diri-Nya sebagai seorang Tathagatha, dan bukan seorang raja
atau politisi. Sang Buddha tidak menyebut dirinyaNya sebagai seorang raja,
politisi atau seorang yang hendak memperbaiki keadaan sosial walaupun telah
dikenal bahwa Beliau adalah salah satu pembaharu sosial terbesar dalam sejarah
manusia.
Dhammapada
ayat 75 menyebutkan: “Satu jalan menuju keuntungan duniawi; satu jalan yang
lain menuju Nibbana – pembebasan sejati”. Untuk melepaskan keduniawian, dan
pada saat yang sama hendak mendapatkan kekuasaan politik serta berusaha
memenangkan pemilihan umum adalah keinginan berjalan di dua jalan yang
bertentangan.
Yang Mulia
Sangarasita menyatakan, “Bagi para biarawan yang hendak menguasai dan
mempergunakan kekuasaan politik, satu-satunya jalan yang terhormat bagi mereka
adalah melepaskan jubah”. Dalam Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat
berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan
mempergunakan kekuasaan politik. Hal seperti ini bukanlah merupakan persoalan
yang kontroversi. Kontroversi baru muncul pada saat para biarawan hendak
berpartisipasi dalam politik. Kontroversi ini bukan karena tidak adanya nasihat
yang jelas tercantum dalam Kitab Suci tentang hal ini, melainkan karena gagasan
awal dan penafsiran terhadap makna politik serta partisipasi seseorang di dalamnya.
Para biarawan
yang terlibat dalam politik, tetapi kebanyakan terbatas pada aspek pendidikan
dan bagaimana mereka membantu para pemimpin politik menyelesaikan berbagai
perselisihan. Bagaimanapun juga, para biarawan adalah pekerja full-time yang sepenuhnya terlibat dalam
peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma. Hampir tidak ada waktu dan
tenaga untuk urusan-urusan keduniawian. Dalam konteks terminologi modern,
politik adalah suatu profesi, demikian juga kebiarawanan. Sesungguhnya adalah
hal, yang sulit dipikirkan bila seseorang secara bersamaan terlibat dalam dua
profesi yang berbeda tujuannya.
Jaman
sekarang para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam
pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan
berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci. Apapun alasannya,
seharusnya tidak menyalahgunakan nama Buddhisme ataupun memutarbalikkan Ajaran
Sang Buddha untuk membenarkan para biarawan dalam politik. Para biarawan yang
ingin ikut serta dalam politik seharusnya bertanya kepada diri sendiri tujuan
dari keikutsertaannya. Memang benar bahwa beberapa biarawan mempunyai tujuan
yang tulus untuk menegakkan hak-hak umat Buddha dan mengabdi untuk kepentingan
Buddhisme saat mereka bergabung dengan partai-partai politik untuk ikut serta
dalam pemilihan umum, tetapi gagal melihat bahwa dengan demikian lebih banyak melakukan kerusakan daripada
kebaikan pada Buddhisme.
Hal demikian,
karena sifat alami dari politik adalah pemecahan; partisipasi dari satu grup
biarawan dalam partai politik akan menyebabkan grup biarawan lainnya bergabung
dengan partai politik yang berlawanan; pada akhirnya kondisi ini akan
menyebabkan suatu perpecahan dalam Sangha. Saat para biarawan dalam partai
politik yang berbeda, membela kepentingan sendiri dan mengutuk partai
berlawanan, semua pihak mengutip referensi-referensi dan dukungan dari
doktrin-doktrin Ajaran Sang Buddha, jadi dapat membayangkan kerusakan yang
dilakukan kepada Buddhisme.
Politik dan
kekuasaan di dalam Buddhist dipahami seperti sebuah kereta yang tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda
kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran
(dhammacakka). Bila roda kekuasaan
tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, maka akan menjadi kekuasaan yang
korup, dan dalam kondisi ini Sangha atau komunitas spiritual, harus
mengimbanginya dengan roda kebenaran.
Sulak ahli
politik mengungkapkan, bahwa peran Sangha untuk mengimbangi roda kekuasaan
dengan roda kebenaran sering tidak berjalan. Sebaliknya banyak bikkhu yang ikut
terjun dan menjadi pendukung kekuasaan dan kemapanan yang korup, sebab semua
”....Politik pada hakekatnya adalah pertarungan kekuasaan, dan hal yang paling
pokok dari kekuasaan adalah kekerasan” (Wijaya-Mukti. 2003:491).
Agama Buddha
menjaga jarak terhadap politik ”Buddha tidak berusaha mempengaruhi kekuasaan
politik untuk menyiarkan ajaranya, tidak juga mengijinkan ajaranya disalah
gunakan untuk menguasai kekuasaan politik”
(Wijaya-Mukti, 2003:491).
E.
Demokrasi Menurut Agama Buddha
Hakekat
sejati demokrasi adalah kedaulatan rakyat, bahwa setiap manusia adalah sama. Hal
ini merupakan antitesis dari Hefeodalisme purba di mana raja atau penguasa sebagai
dewa atau wakil Tuhan harus ditaati. Buddhis menolak konsep ini, karena menurut
Dharma, setiap orang dilahirkan sama merupakan akar dari demokrasi (Daniel,
2008).
Sangha
sendiri merupakan wujud dari demokrasi (Johan, 2004). Istilah ini telah ada sejak
sebelum zaman Buddha. Sangha merupakan sebuah
bentuk dari republik, suatu organisasi demokratis yang berlaku di salah satu
negara kecil di India Utara. Negara Sakya milik Buddha dan negara Koliya yang
berbentuk sangha, memilih perwakilan untuk memerintah. Sangha para bhikkhu yang
didirikan Buddha merupakan tiruan dari sistem yang ada saat itu dalam bentuk
yang paling maju. Sangha terbuka untuk siapa saja, baik laki-laki perempuan,
kelas atas maupun bawah.
Sangha
merupakan kunci dari prinsip-prinsip demokrasi di dalam Buddhis (Johan, 2004). Salah
satu tokoh pembebasan Buddhis yang secara keras mengkritik keberadaan Sangha
masa kini adalah Dr. Ambedkar, Bapak konstitusi India. Saat Dr. Ambedkar diminta
untuk berbicara pada Konferensi Persaudaraan Buddhis Dunia (WFB) ke-4 di
Kathmandu, dengan tegas ia berkata: “Bila saya boleh menyimpulkan, bila ada marabahaya
yang muncul terhadap Dharma di negara-negara Buddhis, maka kesalahan harus diarahkan
kepada para Bikkhu, karena secara pribadi melihat kalau mereka tidak menjalankan
tugas yang diembannya”.
Demokrasi di dalam
Buddhis amat fundamental. Manusia harus memiliki kesadaran atas dirinya sendiri
dan masyarakat, Sangha diminta untuk meninggalkan peran kebikkhuannya dengan
menjalankan peran kebodhisattvaannya yang akan memanfaatkan ketidakstabilan
untuk mendukung suatu perubahan.
Wujud demokrasi dalam bertoleransi menurut agama Buddha tampak telah
dilaksanakan oleh Raja Asoka Wardhana (300-232 SM) telah mendekritkan toleransi
umat beragama yang pertama di dunia, sebagai bentuk bahwa setiap agama harus
bersikap toleransi yang sangat penting untuk berdemokrasi. Isi pilar Raja Asoka
Wardhana yaitu:
”Bilamana kita menghormati agama kita
sendiri, janganlah kita mencemoh dan menghina agama lainnya, Seharusnya kita
menghargai pula agama-agama lainnya. Dengan demikian agama kita akan jadi berkembang,
disamping itu kita juga memberikan bantuan bagi agama-agama lainnya. Siapa yang
menghormati agamanya sendiri tetapi menghina agama-agama lainnya dengan pikiran
bahwa dengan berbuat demikian ia merasa telah melakukan hal-hal yang baik bagi
agamanya sendiri maka sebaliknya hal ini akan memberikan pukulan kepada
agamanya dengan serius”.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Negara-negara
didunia dalam menjalankan roda pemerintahanya selalu berpolitik, akan tetapi
tidak semua negara menjalankan demokrasi. Agama Buddha menjaga jarak terhadap
politik ”Buddha tidak berusaha mempengaruhi kekuasaan politik untuk menyiarkan
ajaranya, tidak juga mengijinkan ajaranya disalah gunakan untuk menguasai
kekuasaan politik” (Wijaya-Mukti,
2003:491).
Berbeda dengan demokrasi, dalam pandangan
agama Buddha sangat fudamental hal ini sejalan dengan Pancasila, karena lebih
mengedepankan tujuan yang ingin dicapai dalam berdemokrasi yang tidak
bertentangan dengan dharma tentunya
yang tidak merugikan berbagai macam sisi seperti individu, maupun orang lain. Asas demokrasi selalu mengedepankan
kepentingan rakyat, maka dari itu rakyat diberikan kebebasan untuk memilih dan
menuangkan aspirasinya dipemerintahan sesuai dengan aturan yang berlaku di
negara tempat tinggalnya.
B. Saran
Sebagai umat yang beragama Buddha, hendaknya memiliki kesadaran dan
pengetahuan yang cukup tentang politik dan demokrasi. Khusus di Indonesia
setiap warga negara bebas untuk memilih dan dipilih menjadi pejabat
dipemerintahan, ini menandakan bahwa, pengetahuan tentang politik dan demokrasi
sangat dibutuhkan.
Agama Buddha mendukung demokrasi, karena pada dasarnya bersifat adil yang
diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat yang tidak memandang status sosial,
maka dari itu harapan penyusun sebagai umat Buddha, agar dapat menjalankannya demokrasi
sesuai aturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan dharma.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Desi. 2002. Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia: Amellia. Surabaya.
Diputra, Oka.1985. Citra Agama Buddha dalam Falsafah Pancasila: Danau Batur. Jakarta.
Hidayatullah, Syarip. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: IAIN Jakarta
Press. Jakarta.
Johan, Daniel. 2008. Buddhisme dan Proses
Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta. Interfideionline.or.id. http://www.interfidei.or.id
(Diakses tanggal 9 September 2008).
Suguno. Pandangan Agama Buddha Tentang Demokrasi. Bogor. buddhistonline.com. http://www.buddhistonline.com
(Diakses
tanggal 17 April 2008).
Sutawan, Komang. 2008. Kajian Perilaku Konsumtif
Dalam Pandangan Agama Buddha. Skripsi
tidak diterbitkan. Bandar Lampung. STIAB Jinarakkhita.
Syahrial,
Syarbaini. 2001. Pendidikan Pancasila
Diperguruan Tinggi: Ghalia Indonesia. Jakarta.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Berebut Kerja Berebut Surga: Yayasan
Pembangunan dan Ekayana Buddhist Center. Jakarta.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma: Yayasan
Pembangunan dan Ekayana Buddhist Center. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar