Pages

Selasa, 18 Maret 2014

Makalah Politik Dalam Agama Buddha

Makalah Politik Dalam Agama Buddha
Oleh: Putradi
Npm: 11110139



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Politik
Politik adalah “Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain” (Anwar, 2002:360).
Sejarah filsafat politik seperti Socrates (470-399 SM) sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran. Politikdimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan dan kesantunan, diukur dari keutamaan moral. Dalam dunia politik praktisi pemahaman yang mengandaikan kebaikan individual ini belum mencukupi. Meski ungkapan pernyataan Soekarno seperti “bila politikus jujur, maka Indonesia akan makmur”. Validitas kebenaran hal ini, dengan realitas, pernyataan hipotesis itu tidak dijamin terbukti.

Politikus tampaknya sukar menjadi kenyataan, dan tidak bisa dipertaruhkan. Nilai-nilai agama bersangkutan dengan spiritualitas dan moralitas, dan berkaitan dengan norma-normanya berhubungan dengan kebenaran. Namun nilai-nilai itu amat kurang bersentuhan dengan kebenaran, misalnya mampu menepatka moralitas dalam politik. Seperti yang dikatakan oleh Mohandas Karamchand Gandhi, bahwa kekuasaan politik bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya satu sarana yang memungkinkan rakyat memperbaiki nasibnya dalam setiap bidang kehidupan.
Budaya politik yang demokratis dan pluralis, sehingga timbul penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan. Sebagaimana yang  dikatakan Bung Karno, “Indonesia bukanlah bangsa yang terdiri dari kuli-kuli ataupun bangsa kuli di antara bangsa-bangsa. Perjalanan masih panjang, tetapi harus tetap jalan dan diusahakan terus-menerus sampai mencapai tujuan. Karena itu perlu ada kerjasama yang kuat dan konkrit dari  Semua umat beragama..

B.     Deskripsi Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno di Athena pada abad ke-5 SM. Negara tersebut merupakan sebagai contoh awal dari sebuah sistim yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi politik telah berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistim demokrasi di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, “Demokrasi sebagai asas yang fudamental ... kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyengarakan negara sebagai organisasi tertinggi (Mahfud dalam Hidayatullah, 2000:161).
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara ”Dukungan rakyat kepada pemerintah dapat menjadikan pemerintah membuat kebajikan yang dapat dipercayai rakyat untuk membawa kesejatraan kepadanya” (Syarbaini, 2001:119).
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitan  pembagian kekuasaan dalam suatu negara, dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah “....Demokrasi harus dapat melaksanakan fungsi dan peranya seperti organisasi masyarakat, partai politik, dewan perwakilan rakyat, pemerintahan (eksekutif), birokrasi, dan peradilan” (Syarbaini, 2001:119).
Para ahli demokrasi yang membagi kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif ) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (andependent) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain, ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif.
Keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi. Masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilu legislatif, sesuai hukum dan peraturan. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum secara demokratis.
Benam merah dari demokrasi sebenarnya menurut para ahli”....Rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertingi dari penyengaraan negara dan pemerintah serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau wakilnya melalui lembaga perwakilan” (Hidayatullah, 2000:163).
C.  Sejarah Politik Agama Buddha
Setelah mencapai Kebuddhaan, Sang Buddha menempuh perjalanan ke banyak tempat di India untuk membabarkan Dhamma. Selama proses pembabaran Dhamma, Sang Buddha terlibat dalam berbagai peristiwa yang berkenaan dengan politik. Beliau menyelesaikan perselisihan serta memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual para raja dan para menteri. Keterlibatan dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Beliau juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik, misalnya, saat suku Koliya dan Sakya akan berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk mereka agar tidak melakukannya. Saat raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan cara melakukan percakapan dengan Ananda di depan menteri raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan Rencananya.
Beberapa orang berusaha menggambarkan Sang Buddha sebagai orang yang meninggalkan politik kerajaan untuk menjadi politisi demokratik massa. Hal seperti ini tidaklah ditemukan. Buddhisme akan mengetahui bahwa Sang Buddha menghabiskan seluruh hidupNya dalam peningkatan batin dan pengajaran. Beliau mengajarkan tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan. Inti ajaranNya adalah di pencapaian kesucian dan bukan salah satu bentuk ideologi politik apapun. Sang Buddha menganggap diri-Nya sebagai seorang Tathagatha, dan bukan seorang raja atau politisi. Sang Buddha tidak menyebut dirinyaNya sebagai seorang raja, politisi atau seorang yang hendak memperbaiki keadaan sosial walaupun telah dikenal bahwa Beliau adalah salah satu pembaharu sosial terbesar dalam sejarah manusia.
Dhammapada ayat 75 menyebutkan: “Satu jalan menuju keuntungan duniawi; satu jalan yang lain menuju Nibbana – pembebasan sejati”. Untuk melepaskan keduniawian, dan pada saat yang sama hendak mendapatkan kekuasaan politik serta berusaha memenangkan pemilihan umum adalah keinginan berjalan di dua jalan yang bertentangan.
Yang Mulia Sangarasita menyatakan, “Bagi para biarawan yang hendak menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik, satu-satunya jalan yang terhormat bagi mereka adalah melepaskan jubah”. Dalam Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik. Hal seperti ini bukanlah merupakan persoalan yang kontroversi. Kontroversi baru muncul pada saat para biarawan hendak berpartisipasi dalam politik. Kontroversi ini bukan karena tidak adanya nasihat yang jelas tercantum dalam Kitab Suci tentang hal ini, melainkan karena gagasan awal dan penafsiran terhadap makna politik serta partisipasi seseorang di dalamnya.
Para biarawan yang terlibat dalam politik, tetapi kebanyakan terbatas pada aspek pendidikan dan bagaimana mereka membantu para pemimpin politik menyelesaikan berbagai perselisihan. Bagaimanapun juga, para biarawan adalah pekerja full-time yang sepenuhnya terlibat dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma. Hampir tidak ada waktu dan tenaga untuk urusan-urusan keduniawian. Dalam konteks terminologi modern, politik adalah suatu profesi, demikian juga kebiarawanan. Sesungguhnya adalah hal, yang sulit dipikirkan bila seseorang secara bersamaan terlibat dalam dua profesi yang berbeda tujuannya.
Jaman sekarang para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci. Apapun alasannya, seharusnya tidak menyalahgunakan nama Buddhisme ataupun memutarbalikkan Ajaran Sang Buddha untuk membenarkan para biarawan dalam politik. Para biarawan yang ingin ikut serta dalam politik seharusnya bertanya kepada diri sendiri tujuan dari keikutsertaannya. Memang benar bahwa beberapa biarawan mempunyai tujuan yang tulus untuk menegakkan hak-hak umat Buddha dan mengabdi untuk kepentingan Buddhisme saat mereka bergabung dengan partai-partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum, tetapi gagal melihat bahwa dengan demikian  lebih banyak melakukan kerusakan daripada kebaikan pada Buddhisme.
Hal demikian, karena sifat alami dari politik adalah pemecahan; partisipasi dari satu grup biarawan dalam partai politik akan menyebabkan grup biarawan lainnya bergabung dengan partai politik yang berlawanan; pada akhirnya kondisi ini akan menyebabkan suatu perpecahan dalam Sangha. Saat para biarawan dalam partai politik yang berbeda, membela kepentingan sendiri dan mengutuk partai berlawanan, semua pihak mengutip referensi-referensi dan dukungan dari doktrin-doktrin Ajaran Sang Buddha, jadi dapat membayangkan kerusakan yang dilakukan kepada Buddhisme.    
D.    Politik Menurut Agama Buddha
Politik dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami seperti sebuah kereta yang  tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Bila roda kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, maka akan menjadi kekuasaan yang korup, dan dalam kondisi ini Sangha atau komunitas spiritual, harus mengimbanginya dengan roda kebenaran.
Sulak ahli politik mengungkapkan, bahwa peran Sangha untuk mengimbangi roda kekuasaan dengan roda kebenaran sering tidak berjalan. Sebaliknya banyak bikkhu yang ikut terjun dan menjadi pendukung kekuasaan dan kemapanan yang korup, sebab semua ”....Politik pada hakekatnya adalah pertarungan kekuasaan, dan hal yang paling pokok dari kekuasaan adalah kekerasan” (Wijaya-Mukti. 2003:491).
Agama Buddha menjaga jarak terhadap politik ”Buddha tidak berusaha mempengaruhi kekuasaan politik untuk menyiarkan ajaranya, tidak juga mengijinkan ajaranya disalah gunakan untuk menguasai kekuasaan politik”  (Wijaya-Mukti, 2003:491).

E.     Demokrasi Menurut Agama Buddha
Hakekat sejati demokrasi adalah kedaulatan rakyat, bahwa setiap manusia adalah sama. Hal ini merupakan antitesis dari Hefeodalisme purba di mana raja atau penguasa sebagai dewa atau wakil Tuhan harus ditaati. Buddhis menolak konsep ini, karena menurut Dharma, setiap orang dilahirkan sama merupakan akar dari demokrasi (Daniel, 2008).
Sangha sendiri merupakan wujud dari demokrasi (Johan, 2004). Istilah ini telah ada sejak sebelum zaman Buddha. Sangha  merupakan sebuah bentuk dari republik, suatu organisasi demokratis yang berlaku di salah satu negara kecil di India Utara. Negara Sakya milik Buddha dan negara Koliya yang berbentuk sangha, memilih perwakilan untuk memerintah. Sangha para bhikkhu yang didirikan Buddha merupakan tiruan dari sistem yang ada saat itu dalam bentuk yang paling maju. Sangha terbuka untuk siapa saja, baik laki-laki perempuan, kelas atas maupun bawah.
Sangha merupakan kunci dari prinsip-prinsip demokrasi di dalam Buddhis (Johan, 2004). Salah satu tokoh pembebasan Buddhis yang secara keras mengkritik keberadaan Sangha masa kini adalah Dr. Ambedkar, Bapak konstitusi India. Saat Dr. Ambedkar diminta untuk berbicara pada Konferensi Persaudaraan Buddhis Dunia (WFB) ke-4 di Kathmandu, dengan tegas ia berkata: “Bila saya boleh menyimpulkan, bila ada marabahaya yang muncul terhadap Dharma di negara-negara Buddhis, maka kesalahan harus diarahkan kepada para Bikkhu, karena secara pribadi melihat kalau mereka tidak menjalankan tugas yang diembannya”.
Demokrasi di dalam Buddhis amat fundamental. Manusia harus memiliki kesadaran atas dirinya sendiri dan masyarakat, Sangha diminta untuk meninggalkan peran kebikkhuannya dengan menjalankan peran kebodhisattvaannya yang akan memanfaatkan ketidakstabilan untuk mendukung suatu perubahan.
Wujud demokrasi dalam bertoleransi menurut agama Buddha tampak telah dilaksanakan oleh Raja Asoka Wardhana (300-232 SM) telah mendekritkan toleransi umat beragama yang pertama di dunia, sebagai bentuk bahwa setiap agama harus bersikap toleransi yang sangat penting untuk berdemokrasi. Isi pilar Raja Asoka Wardhana yaitu:
”Bilamana kita menghormati agama kita sendiri, janganlah kita mencemoh dan menghina agama lainnya, Seharusnya kita menghargai pula agama-agama lainnya. Dengan demikian agama kita akan jadi berkembang, disamping itu kita juga memberikan bantuan bagi agama-agama lainnya. Siapa yang menghormati agamanya sendiri tetapi menghina agama-agama lainnya dengan pikiran bahwa dengan berbuat demikian ia merasa telah melakukan hal-hal yang baik bagi agamanya sendiri maka sebaliknya hal ini akan memberikan pukulan kepada agamanya dengan serius”.


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan 
Negara-negara didunia dalam menjalankan roda pemerintahanya selalu berpolitik, akan tetapi tidak semua negara menjalankan demokrasi. Agama Buddha menjaga jarak terhadap politik ”Buddha tidak berusaha mempengaruhi kekuasaan politik untuk menyiarkan ajaranya, tidak juga mengijinkan ajaranya disalah gunakan untuk menguasai kekuasaan politik”  (Wijaya-Mukti, 2003:491).
 Berbeda dengan demokrasi, dalam pandangan agama Buddha sangat fudamental hal ini sejalan dengan Pancasila, karena lebih mengedepankan tujuan yang ingin dicapai dalam berdemokrasi yang tidak bertentangan dengan dharma tentunya yang tidak merugikan berbagai macam sisi seperti individu, maupun orang lain. Asas demokrasi selalu mengedepankan kepentingan rakyat, maka dari itu rakyat diberikan kebebasan untuk memilih dan menuangkan aspirasinya dipemerintahan sesuai dengan aturan yang berlaku di negara tempat tinggalnya.

B.  Saran
Sebagai umat yang beragama Buddha, hendaknya memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang politik dan demokrasi. Khusus di Indonesia setiap warga negara bebas untuk memilih dan dipilih menjadi pejabat dipemerintahan, ini menandakan bahwa, pengetahuan tentang politik dan demokrasi sangat dibutuhkan.
Agama Buddha mendukung demokrasi, karena pada dasarnya bersifat adil yang diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat yang tidak memandang status sosial, maka dari itu harapan penyusun sebagai umat Buddha, agar dapat menjalankannya demokrasi sesuai aturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan dharma.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Desi. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Amellia. Surabaya.

Diputra, Oka.1985. Citra Agama Buddha dalam Falsafah Pancasila: Danau Batur. Jakarta.

Hidayatullah, Syarip. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: IAIN Jakarta Press. Jakarta.

Johan, Daniel. 2008. Buddhisme dan Proses Demokratisasi di Indonesia. Jakarta. Interfideionline.or.id. http://www.interfidei.or.id (Diakses tanggal 9 September 2008).

Suguno. Pandangan Agama Buddha Tentang Demokrasi. Bogor. buddhistonline.com. http://www.buddhistonline.com (Diakses tanggal 17 April 2008).

Sutawan, Komang. 2008. Kajian Perilaku Konsumtif Dalam  Pandangan Agama Buddha. Skripsi tidak diterbitkan. Bandar Lampung. STIAB Jinarakkhita.

Syahrial, Syarbaini. 2001. Pendidikan Pancasila Diperguruan Tinggi: Ghalia Indonesia. Jakarta.

Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Berebut Kerja Berebut Surga: Yayasan Pembangunan dan Ekayana Buddhist Center. Jakarta.

Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma: Yayasan Pembangunan dan Ekayana Buddhist Center. Jakarta.

0 komentar: