Pages

Selasa, 18 Maret 2014

Pemanasan Global Dalam Pandangan Agama Buddha

Pemanasan Global Dalam Pandangan Agama Buddha
Oleh: Putradi

Npm:11110139



bab i
pendahuluan

A.   Latar Belakang Masalah
Setiap kehidupan manusia, energi mempunyai peranan yang penting. Dapat dikatakan, setiap aktivitas manusia memerlukan energi. Energi yang diperlukan terdiri dari berbagai bentuk, kuantitas dan kualitas. Bertambahnya jumlah penduduk dunia dengan cepat dan perkembangan teknologi di berbagai sektor tentu saja akan menyebabkan meningkatnya konsumsi energi. Dalam laporan Badan Energi Dunia (International Energy Agency) tahun 2004, dikatakan bahwa peningkatan energi dunia mengalami kenaikan rata-rata sebesar 1,6% setiap tahunnya (Sembiring, 2008:2).
Laporan British Petroleum tahun 2005, dikatakan bahwa total kebutuhan energi dunia pada akhir tahun 2004 mencapai 10.244,4 juta ton minyak bumi. Angka itu setara dengan 6,67% dari total cadangan energi dunia yang berhasil ditemukan hingga tahun 2004 (162 miliar ton). Dari jumlah cadangan energi tersebut, sekitar 87,7% berasal dari sumber energi fosil (minyak bumi, gas alam dan batu bara), 6,1% berasal dari sumber energi nuklir, 6,2% dipenuhi oleh tenaga air dan sisanya berasal dari energi matahari, angin dan ombak.

Pada masa sekarang bumi ini mengalami perubahan cuaca yang tidak sesuai dengan perubahan iklim sepanjang tahun. Ini juga disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri yang tidak mencintai alam semesta ini, dan ini merupakan peradaban kemajuan manusia. Di sinilah muncul bahwa manusia adalah mahluk sempurna dan mahluk luar biasa. Marxisme juga menyatakan sains sebagai penyelamat kehidupan. Dan manusia, pada akhirnya menjadi penguasa segala bidang, baik dari sosial, ilmu pengetahuan, sampai-sampai menjajah bulan. Sadar tidak sadar pada saat bersamaan manusia menjadi tuan penguasa alam, penguasa dirinya sendiri-bebas.
Kekuasaan diatas kekuasaan kekuatan rasionalitas manusia tidak bisa dipungkiri lagi, dan kekuasaan dan kekuatan merupakan tujuan utama manusia tanpa harus memikirkan dampak dari kehidupan ekologis. Namun, bukan pesimis sains sudah terbukti tidak lagi mengenal batas kemanusian dan ekosistim kehidupan. Ternyata sains di abad globalisasi ini berbeda dengan tujuan yang diharapkan. Ilmuwan tetap mengatakan dengan kredo humanistik bahwa pekerjaannya demi kebaikan manusia sebagai alat untuk menyelamatkannya.
Ekspoitasi alam terus berlanjut meskipun peraturan lingkungan hidup terbaru muncul dalam masyarakat Internasional, produk ramah lingkungan, dan banyaknya perjuangan organisasi pencinta lingkungan dunia, namun deforestasi hutan, kepunahan satwa liar dalam jutaan tahun tak pernah berhenti. Pada Juli 2000, para Ilmuwan yang mencapai kutub Utara diatas kapal pemecah es Rusia Yamal berhadapan dengan suatu pemandangan yang aneh dan mengerikan suatu permukaan air terbuka luas, selebar satu mil, sebagai pengganti es tebal berabad-abad menutupi Samudra Artik (New York Times, (19/08), Tahun 2000). Terbukti, apakah bisa sains dan sistim ekonomi kapitalis globalisasi mempunyai solusi untuk mengatur iklim global terkendali lagi, membuat terumbu karang terbaru, membikin ozone buatan yang bisa melindungi kehidupan mendatang dari pemanasan global.
Adanya bencana artificial manusia bukan murni alam merupakan bukti dari pemanasan global yang dibuat manusia abad ini. Para Ilmuwan yang bertanggungjawab atas riset mereka tidak hanya secara intelektual namun juga secara moral. Sains juga menciptakan produk-produk baru seperti apa yang diungkapkan Jean Baudrillad bahwa di bagian lain dari Samudera Atlantik, kodok-kodok dan tikus tanpa kepala sedang dikloning di laboratorium-laboratorium pribadi, yang dilakukan sebagai persiapan untuk pengkloningan tubuh-tubuh manusia tanpa kepala yang nantinya akan dipergunakan sebagau sumber-sumber donasi organ tubuh.
Belum lagi, akibat dari sains melahirkan spesies baru yakni terjadi pada kasus Henrietta Lacks, sel-sel tumor yang diambil sebagai sampel dari tubuhnya yang kemudian dikembangbiakan di sebuah laboratorium akan terus berlanjut berkembang biak tanpa batas. Bahkan, sel-sel tersebut membentuk spesemen luar biasa dan mematikan sehingga menyebar ke seluruh dunia dan bahkan bisa hidup di luar angkasa, yaitu di permukaan Satelit AS Discoverer 17. Secara tidak sadar, kita dibunuh oleh perbuatan kita sendiri sebagai manusia. Manusia itu memang tidak pilih-pilih kasih; dia sendiri dengan senang hati akan bersedia menjadi kelinci percobaan seperti halnya makhluk-makhluk yang lain, baik yang hidup maupun yang mati.
Manusia dengan penuh semangat bermain-main dengan masa depannya sendiri sebagai sebuah spesies persis sebagaimana dia bermain-main dengan masa depan dari semua makhluk yang lain. Dalam upaya pencariannya yang membuta untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih besar lagi, manusia telah memprogram kehancurannya sendiri dengan keganasan yang sama kejamnya dengan caranya menghancurkan segala hal yang lain. Anda hampir-hampir tak bisa menuduh manusia itu sebagai bersifat egosentris. Manusia mengorbankan dirinya seperti juga mengorbankan segenap spesies lainnya dalam sebuah takdir yang asing dan bersifat coba-coba.
Percobaannya yang mengeluarkan Budget (anggaran nasional) banyak menelurkan bencana – bencana efek pengaruh global warning. Lantas, ujungnya bisa saja jaman es abad lalu kembali lagi yang menghancurkan kehidupan dinosaurus. Bukan berarti penulis pesimis, dan ini bisa saja mungkin terjadi bahwa dunia peradaban modern berjalan mundur bukan maju seperti perhitungan peledakan bom menuju titik awal yakni 0 artinya, menuju kehancuran. Selain itu, Penyakit era globalisasi pun semakin kompleks, mulai dari penyakit jiwa ( Schizoprhenia), AIDS, SARS belum lagi kanker kulit akibat dari radiasi matahari tidak bisa disembuhkan oleh para ahli-ahli di bidangnya tersebut.
Global warning merupakan pintu akhir dari segala batas menuju kepunahan spesies manusia dan organisme lainnya. Oleh karena itu, meski dunia terlambat menanggapinya, bencana-bencana tidak bisa dicegah dengan alat secanggih apapun yang siap menghancurkan ekosistim kehidupan bumi. Meskipun, bakal ada revolusi secara radikal, namun penulis tanpa harus menjadi pesimis memprediksi bahwa ini adalah proses involusi manusia dan mahluk hidup lainnya, seperti ilmu gravitasi yang ditemukan Ensteins bahwa benda jatuh kebawah, namun dewasa ini benda kembali pada asalnya, bukan lagi jatuh ke bawah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah penjelasan pemanasan global dalam pandangan Agama Buddha?
C.  Tujuan Kajian
1.    Mendeskripsikan pemanasan global secara umum.
2.    Mendeskripsikan sebab dan dampak dari pemansan global
3.    Mendeskripsikan tujuan pengendalian dan solusi terhadap pemansan global.
4.    Menghubungkan dengan Agama Buddha.
D.  Manfaat Kajian
1.    Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan masukan bagi penulis dan pembaca yang dapat memperkaya pengetahuan teori tentang pemanasan global yang terjadi pada bumi ini dan dianggap sebagai bencana alam.
2.    Manfaat Praktis
Hasil kajian dapat digunakan sebagai sumber acuan berpikir praktis bagi mahasiswa dalam menganalisa suatu permasalahan secara rasional dan memberikan gambaran secara rinci tentang Pemanasan Global dan dapat mengetahui bagaimana menghadapi dan mengendalikan terhadap pemanasan global.


bab ii
PembASAN


A.      Pengertian Pemanasan Global
Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global (global warming) sebagai bentuk ketidakseimbangan ekosistem bumi merupakan kondisi meningkatnya suhu rata-rata global permukaan bumi yang terjadi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (karbondioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, sulfur heksafluorida) di atmosfer. Emisi ini dihasilkan terutama dari pembakaran bahan-bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta penggundulan dan pembakaran hutan. Efek rumah kaca sebagai suatu bentuk sistem ekosistem di bumi justru sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup di bumi. Tanpanya bumi akan menjadi lebih dingin. Akan tetapi, sistem tersebut akan bersifat merusak jika berlebihan dalam artian efek rumah kaca telah menghasilkan sejumlah panas yang berlebih dibandingkan dengan kondisi normalnya.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Negara-negara maju terutama dari sektor industrinya adalah penyumbang terbesar pemanasan global. Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan total populasi hanya sekitar 20% penduduk dunia mengonsumsi 59,1 persen energi dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa sebenarnya telah mengupayakan penanggulangan pemanasan Global melalui KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Jeneiro, yang kemudian diamandemen melalui Protokol Kyoto pada tahun 1997 dan KTT UNFCC Desember tahun lalu di Bali. Dimana negara – negara industri secara kolektif diharuskan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka sebesar 5,2 persen dibandingkan pada tahun 1990 pada tahun 2008 hingga 2010. Namun, Protokol Kyoto menjadi tidak efektif karena AS (konsumen hampir sepertiga energi dunia) tidak pernah meratifikasi protokol tersebut. Amerika Serikat sebenarnya pernah menyetujui Protokol Kyoto, namun pada tahun 2001 saat Presiden George W Bush berkuasa,  pemerintahannya membatalkan persetujuan  atas Protokol Kyoto. Walaupun saat Protokol Kyoto ditandatangani, Pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton sangat berambisi agar negara-negara industri dapat menurunkan emisi gas kacanya sebesar 7 persen. 
B.       Penyebab Dari Pemanasan Global
Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik

1.    Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet. Mars, Venus, dan benda langit beratmosfer lainnya (seperti satelit alami Saturnus, Titan) memiliki efek rumah kaca, tapi artikel ini hanya membahas pengaruh di bumi. Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.
Energi yang masuk ke bumi mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
Menurut perkiraan, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin. banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.. Bumi secara konstan menerima energi, kebanyakan dari sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh dari bumi itu sendiri, yakni melalui energi yang dibebaskan dari proses radioaktif (Holum, 1998:237). Sinar tampak dan sinar ultraviolet yang dipancarkan dari matahari. Radiasi sinar tersebut sebagian dipantulkan oleh atmosfer dan sebagian sampai di permukaan bumi. Di permukaan bumi sebagian radiasi sinar tersebut ada yang dipantulkan dan ada yang diserap oleh permukaan bumi dan menghangatkannya

2.    Efek Umpan Balik

Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat. Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

3.    Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
    Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
C.      Dampak Dari Pemanasan Global
1.   Perubahan Iklim/cuaca yang semakin ekstrim
NASA menyatakan bahwa pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim bumi. Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat.
Tanpa diperkuat oleh pernyataan NASA di atas-pun Anda sudah dapat melihat efeknya pada lingkungan di sekitar kita. Anda tentu menyadari betapa panasnya suhu disekitar Anda belakangan ini. Anda juga dapat melihat betapa tidak dapat di prediksinya kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah hujan. Anda juga dapat mencermati kasus-kasus badai ekstrim yang belum pernah melanda wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Tahun-tahun belakangan ini kita semakin sering dilanda badai-badai yang mengganggu jalannya pelayaran dan pengangkutan baik via laut maupun udara.
Bila fenomena dalam negeri masih belum cukup bagi Anda, Anda juga dapat mencermati berita-berita internasional mengenai bencana alam. Badai topan di Jepang dan Amerika Serikat terus memecahkan rekor baru dari tahun ke tahun. Anda dapat mencermati informasi-informasi ini melalui media masa maupun internet. Tidak ada satu benua pun di dunia ini yang luput dari perubahan iklim yang ekstrim ini.
perubahan iklim menjadi sebuah trend tersendiri pada berbagai kalangan hingga hari ini. mulai dari kelompok pelajar yang ditugasi oleh gurunya untuk mencari pengetahuan tentang perubahan iklim, hingga sekelompok mahasiswa yang membuat talkshow sederhana tentang perubahan iklim.
katanya, perubahan iklim diakibatkan oleh pemanasan global. saat lapisan ozon semakin menipis, dan meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer, maka panas matahari terkurung dalam lapisan permukaan bumi. suhu permukaan bumi pun meningkat. maka kemudian, terjadi pencairan es di kutub dan berbagai puncak dunia, hingga menjadikan permukaan air laut meninggi. Lalu bagaimana dengan kejadian banjir dan kekeringan pada saat bersamaan di tempat yang tak berjauhan? apakah juga diakibatkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global? ataukah ini hanya menjadi sebuah fenomena yang sepertinya lebih diakibatkan oleh kondisi iklim mikro pada sebuah kawasan?
Belum lagi, bahwa kemudian saat ini memang pada kondisi terdekat bumi dengan matahari, dimana hal ini menjadikan terjadina peningkatan suhu matahari yang masuk ke dalam atmosfer bumi. dan kondisi inilah yang kemudian sangat dimanfaatkan untuk menaikan isu tentang kebutuhan akan kawasan yang tetap berpepohonan, dan pertarungan diantara negara industri.
Aliran dana untuk mengatasi dan mengurangi dampak perubahan iklim sangat deras mengalir. tak cukup hanya dengan sebuah mekanisme semata. tapi lebih jauh dari itu, masing-masing membangun kriteria dan prasyarat, yang kemudian dikerjakan oleh budak-budak proposal.
Perubahan iklim pemanasan global, haruslah dilihat dengan lebih tenang. tanpa juga mengabaikan sebuah kondisi hilangnya lahan kehidupan akibat proyek-proyek utang atas nama pemanasan global. transaksi dilakukan, dengan dilegalisasi oleh aparat pemerintah. harus ada keberanian untuk terus mengatakan, bahwa perubahan iklim pemanasan global, hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur di senja hari.
Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[21]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
2.      Meningkatnya Level Permukaan Laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
3.      Gelombang Panas menjadi Semakin Ganas
Pemanasan Global mengakibatkan gelombang panas menjadi semakin sering terjadi dan semakin kuat. Tahun 2007 adalah tahun pemecahan rekor baru untuk suhu yang dicapai oleh gelombang panas yang biasa melanda Amerika Serikat. Daerah St. George, Utah memegang rekor tertinggi dengan suhu tertinggi mencapai 48 Celcius! (Sebagai perbandingan, Anda dapat membayangkan suhu kota Surabaya yang terkenal panas ‘hanya’ berkisar di antara 30-37 Celcius). Suhu di St. George disusul oleh Las Vegas dan Nevada yang mencapai 47 Celcius, serta beberapa kota lain di Amerika Serikat yang rata-rata suhunya di atas 40 Celcius. Daerah Death Valley di California malah sempat mencatat suhu 53 Celcius!.
Serangan gelombang panas kali ini bahkan memaksa pemerintah di beberapa negara bagian untuk mendeklarasikan status darurat siaga 1. Serangan tahun itu memakan beberapa korban meninggal (karena kepanasan), mematikan ratusan ikan air tawar, merusak hasil pertanian, memicu kebakaran hutan yang hebat, serta membunuh hewan-hewan ternak.
Pada tahun 2003, daerah Eropa Selatan juga pernah mendapat serangan gelombang panas hebat yang mengakibatkan tidak kurang dari 35.000 orang meninggal dunia dengan korban terbanyak dari Perancis (14.802 jiwa). Perancis merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak karena tidak siapnya penduduk dan pemerintah setempat atas fenomena gelombang panas sebesar itu. Korban jiwa lainnya tersebar mulai dari Inggris, Italia, Portugal, Spanyol, dan negara-negara Eropa lainnya. Gelombang panas ini juga menyebabkan kekeringan parah dan kegagalan panen merata di daerah Eropa.
Mungkin kita tidak mengalami gelombang-gelombang panas maha dahsyat seperti yang dialami oleh Eropa dan Amerika Serikat, tetapi melalui pengamatan dan dari apa yang Anda rasakan sehari-harinya. Anda dapat juga merasakan betapa panasnya suhu di sekitar Anda. Cobalah perhatikan seberapa sering Anda mendengar ataupun mungkin mengucapkan sendiri kata-kata seperti: “Panas banget ya hari ini!”
Apabila Anda kebetulan bekerja di dalam ruangan ber-AC dari pagi hingga siang hari sehingga Anda tidak sempat merasakan panasnya suhu belakangan ini, Anda dapat menanyakannya kepada teman-teman ataupun orang disekitar Anda yang kebetulan bekerja di luar ruang. Orang-orang yang sehari-harinya bekerja dengan menggunakan kendaraan terbuka di siang hari bolong (misalnya sales dengan sepeda motor) mungkin dapat menceritakan dengan lebih jelas beta-pa panasnya sinar matahari yang menyengat punggung mereka.
   4. Habisnya Gletser-Sumber Air Bersih Dunia
Mencairnya gletser-gletser dunia mengancam ketersediaan air bersih, dan pada jangka panjang akan turut menyumbang peningkatan level air laut dunia. Dan sayangnya itulah yang terjadi saat ini. Gletser-gletser dunia saat ini mencair hingga titik yang mengkhawatirkan!.
NASA mencatat bahwa sejak tahun 1960 hingga 2005 saja, jumlah gletser-gletser di berbagai belahan dunia yang hilang tidak kurang dari 8.000 meter kubik! Para ilmuwan NASA kini telah menyadari bahwa cairnya gletser, cairnya es di kedua kutub bumi, meningkatnya temperatur bumi secara global, hingga meningkatnya level air laut merupakan bukti-bukti bahwa planet bumi sedang terus memanas. Dan dipastikan bahwa umat manusialah yang bertanggung jawab untuk hal ini.

5. Pertanian

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

6. Hewan dan tumbuhan

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

7.  Kesehatan manusia

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
D.      Pengendalian/Solusi Terhadap Pemanasan Global
1.    Pengendalian/solusi secara reboisasi
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

a.       Menghilangkan karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
b.      Mengurangi produksi gas rumah kaca

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

c.       Tanamlah lebih banyak pohon!

Tanaman hijau mengikat CO2 dari udara untuk proses fotosintesis. Dengan menanam lebih banyak pohon, maka akan lebih banyak CO2 yang dapat diikat. Selain itu, pohon merupakan bahan bakar massa bio yang dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif. Peneliti dari Louisiana Tech University menemukan bahwa setiap acre (1 acre=0,004 sq km) pepohonan hijau dapat menangkap CO2 yang cukup untuk mengimbangi emisi yang dihasilkan dari mengendarai sebuah mobil selama setahun. Schumacher mengatakan setiap pengikut Buddha wajib menanam sebatang pohon setiap beberapa tahun dan menjaganya sampai sungguh-sungguh hidup (Schumacher, 1981:58). Pesan layanan yang disampaikan oleh majalah Mamit edisi kelima (2 Juni 2008) menyatakan bahwa “250.689.344.539.909 adalah jumlah pohon yang diberikan oleh Bumi untuk kita. Bumi hanya meminta 1 pohon saja dari kita. Lebih dari 250 triliun pohon telah ditebang oleh manusia. Seandainya semua penduduk Bumi menanam 1 pohon saja, maka kerusakan Bumi dan pemanasan global dapat kita kurangi. Tanamlah pohon demi masa depan Bumi, demi masa depan kita sendiri, sebelum segalanya terlambat!”

2.    Pengendalian/Solusi Dari Ilmuwan
Menyikapi hal tersebut, para ilmuwan melakukan pencaharian sumber energi alternatif dengan cadangan yang berlimpah dan ramah lingkungan. Melalui serangkaian penelitian yang mereka lakukan, didapatkan beberapa jenis energi terbarui, yaitu energi yang relatif tidak akan pernah habis. Energi terbarui itu, diantaranya:
a. Energi surya, yaitu energi yang berasal dari panas matahari. Dimana energi surya diubah menjadi energi listrik memakai sel surya (photo-voltaic).
b. Energi angin, yaitu energi yang berasal dari gerakan angin. Dimana energi angin dipakai untuk memutar kincir angin dan bila digabungkan dengan generator listrik akan menghasilkan energi listrik.
c. Energi panas bumi, yaitu energi yang berasal dari panas magma. Tenaga panas bumi ini dipakai pada pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik.
d. Energi air, yaitu energi yang berasal dari pergerakan air. Tenaga air ini dipakai pada PLTA untuk menghasilkan listrik.
e. Energi laut, yaitu energi yang berasal dari ombak, pasang-surut dan suhu air laut. Energi yang tersimpan dalam air laut itu dapat digunakan sebagai pembangkit listrik.
f. Energi massa bio, yaitu energi yang berasal dari bahan organik yang menyimpan energi matahari dalam bentuk energi kimiawi. Energi massa bio juga dapat digunakan pada pembangkit listrik.
g. Energi hidrogen, yaitu energi yang berasal dari gas hidrogen. Gas hidrogen dapat menghasilkan listrik memakai hydrogen fuel cell.
Inilah solusi yang diberikan ilmuwan sains dalam menghadapi krisis energi dunia dan pemanasan global. Sebagai seorang yang beragama Buddha, muncul pertanyaan dalam diri kita, “Adakah solusi yang diberikan oleh Buddha Dharma untuk mengatasi permasalahan global itu? Apa dan bagaimana solusinya?”
Pembahasan berikut ini akan memaparkan tentang upaya mengatasi krisis energi dunia dan pemanasan global dengan pendekatan ajaran Buddha.
3.    Solusi Dari Konsep Ajaran Buddha
Setelah mengetahui sifat alam dan makhluk hidup berdasarkan konsep tilakkhana serta interaksi antara makhluk hidup dan alam berdasarkan hukum paticca samuppada, kita harus merumuskan suatu solusi guna mengatasi krisis energi dunia dan pemanasan global.
Solusi itu dapat kita rumuskan dengan menggunakan konsep Cattari Ariya Saccani (empat kesunyataan mulia). Dimana dengan konsep ini, kita dapat memecahkan kedua permasalahan global tersebut dengan aturan yang sistematis. Caranya adalah sebagai berikut:
1. Menentukan masalah yang sedang dihadapi. Masalah yang dihadapi saat ini adalah krisis energi dunia dan pemanasan global.
2. Mencari penyebab dari masalah tersebut. Penyebabnya adalah penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan .
3. Mengatasi masalah tersebut. Masalah itu dapat diatasi dengan mengubah cara hidup kita.
4. Merumuskan cara untuk mengatasi masalah tersebut. Masalah itu dapat diatasi dengan melaksanakan Jalan Tengah (Majjhima Patipada). Konsep jalan tengah ini dapat dilaksanakan melalui pelatihan hidup manusia pada tiga aspek inti, yaitu:
a. Pelatihan etika/moral (sila)
Pelatihan ini dilakukan dengan membiasakan diri bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Contoh: membuang sampah pada tempatnya dan mematikan peralatan listrik yang tidak digunakan.
b. Pelatihan meditasi (samadhi)
Pelatihan ini dapat dilakukan dengan melaksanakan meditasi secara rutin. Contoh: melakukan meditasi cinta kasih (metta bhavana) untuk mengembangkan cinta kasih yang universal terhadap semua makhluk. Meditasi ini akan mendorong kita untuk berperilaku ramah lingkungan dan menghargai setiap makhluk hidup.
c. Pelatihan kebijaksanaan (panna)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada dua hal penting yang harus dilakukan pada waktu bersamaan. Dimana kita harus memilih salah satu diantaranya. Di sinilah kebijaksanaan kita diuji. Contoh: Dalam perjalanan menuju sekolah, kita melihat seorang kakek terjatuh di tengah jalan. Padahal kita sudah hampir terlambat. Di sini kita dituntut untuk berpikir bijaksana. Dengan kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil latihan tersebut, kita dapat mengelola lingkungan alam dan memanfaatkan energi dengan lebih baik.
Dengan menerapkan konsep ajaran Buddha di atas dalam kehidupan sehari-hari, maka krisis energi dunia dan pemanasan global dapat diatasi.Selain solusi di atas, ada tiga cara efektif yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan bumi dari krisis energi dunia dan pemanasan global. Ketiga cara tersebut adalah:
E.     Korelasi Dalam Agama Buddha Mengenai Pemanasan Global
1.    Alam dan Makhluk Hidup Menurut Ajaran Buddha
Sang Buddha bersabda: “segala sesuatu itu selalu berubah” (Dhammapada: 277). Demikian juga dengan alam. Alam selalu mengalami perubahan dan berproses secara seimbang. Menurut ajaran Buddha, ada 4 unsur (Maha-Bhuta) yang menyusun alam, yaitu unsur padat/tanah (pathavi), unsur air/cair (apo), unsur api/panas (tejo) dan unsur angin/gerak (vayo).
Berdasarkan ajaran Buddha, makhluk hidup terdiri atas manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Sebab tumbuhan tidak memiliki empat paccaya (kebutuhan), yaitu kamma (perbuatan), citta (pikiran), utu (suhu) dan ahara (makanan). Makhluk-makhluk adalah pancakkhandha (Samyutta Nikaya III: 47), yang terdiri atas jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk pikiran (sankhara) dan kesadaran (vinnana).
Dalam ajaran Buddha, segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal (anicatta), tidak memuaskan (dukkhata) dan tanpa inti yang kekal (anattata). Jadi, alam dan makhluk hidup sebagai segala sesuatu yang berkondisi juga memiliki sifat anicca, dukkha dan anatta (konsep tilakkhana).
2.    Interaksi Antara Makhluk Hidup Dengan Alam Menurut Ajaran Buddha
Menurut ajaran Buddha, semua fenomena yang terjadi di alam merupakan sebab-musabab yang saling berkaitan. Hal ini dirumuskan dalam Hukum Paticca Samuppada yang telah diringkaskan sebagai berikut: Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu (Majjhima Nikaya II: 32).
Interaksi antara manusia dan lingkungan alam tercermin dari ayat suci ini: “Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” (Dhammapada: 49). Hubungan antara lebah dan bunga dalam sebuah ekosistem termasuk simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan). Dimana lebah memperoleh madu dari bunga dan penyerbukan bunga dibantu oleh lebah. Sikap lebah tersebut memberi contoh tentang cara memanfaatkan sumber daya alam dengan baik.
Interaksi antara perilaku manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan dikisahkan dalam Agganna Sutta. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi dipetik pada sore hari, berbuah kembali keesokan harinya. Dipetik pagi-pagi, berbutir masak kembali di sore hari. Semula manusia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan. Kemudian timbul dalam pikiran manusia, bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul mudah diterka. Lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka akibat keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Lalu butir-butir padi pun berkulit sekam (Digha Nikaya III: 88-90).
Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa manusia, hewan, tumbuhan dan alam saling mempengaruhi dan berinteraksi. Untuk itu, kita harus menghargai mereka demi menjaga keseimbangan ekosistem. Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga harus menerapkan falsafah hidup buddhis yang mengkehendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan spiritual (Nyanasuryanadi, 2007:1). Dalam keseimbangan hidup semacam itu, menurut Cakkavatti Sihanada Sutta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan (Digha Nikaya III: 75). Terjadinya pemansan global atau bencana alam ini dimulai dari manusia itu sendiri, karena manusia diliputi dengan keserekahan dan kebodohan batin. Menurut agama Buddha, perbuatan ( karma ) negative yang serupa yang dilakukan banyak orang dalam frekuensi dan internsitas yang tinggi akan menghasilkan karma kolektif yang cukup kuat untuk menghasilkan bencana alam.
Berdasarkan ajaran-ajaran yang merujuk pada Lankavatara-sutra, Avatamsaka-sutra, dan Surangama-sutra, energi karma memicu aktivasi salah satu dari keempat unsure penyusun alam-semesta : tanah, air, api, dan angin, tergantung jenis karma kolektif kolektif yang dilakukan.
Kebencian, kemarahan, dan seks yang berlebihan berkaitan dengan unsur api yang bersifat panas.Nafsu keinginan, keserakahan, dan kemelekatan berkaitan dengan unsure air yang bersifat menggapai – itulah sebabnya ada cairan di mulut saat memikirkan makanan lezat, cairan / lender di organ seks saat berfantasi adu-asmara dengan kekasih-pujaan-hati, cairan di mata  saat memikirkan peristiwa yang penuh nostalgia.
Energi pikiran yang dilahirkan dari keangkuhan, penindasan dan perlakuan semena-mena, berkaitan dengan unsure padat yang bersifat menghantam, menubruk, menabrak. Dalam tindakan penindasan, bila terdapat juga unsure ketidakadilan yang sangat dominant, maka akan mengaktifkan energi gesekan yang menyebabkan gempa-bumi.
Energi pikiran dari pandangan-salah yang keliru dan menyesatkan yang bertolak-belakang dengan realitas-fenomena yang sesungguhnya, sehingga terjadi aktivitas “gerakan”, dan karenanya berkaitan dengan unsure angina. Dari keempat unsure, unsure angin yang terhalus, sesuai dengan energi dari pandangan terbalik yang paling halus tak kentara.
3.    Bentuk Kepedulian Ajaran Buddha Terhadap Kelestarian Alam
Bentuk kepedulian Sang Buddha terhadap kelestarian alam dituangkan pada beberapa bagian dari ajaran-Nya.
Dalam Brahma Vihara, Buddha mengajarkan metta sebagai wujud aktif dalam menghargai hewan dan karuna sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hewan (Wijaya, tanpa tahun:2). Dalam sila pertama Pancasila Buddhis, Buddha mengajarkan manusia untuk menghindari tindakan melukai/menyakiti/membunuh makhluk hidup agar keseimbangan ekosistem terjaga. Dalam Vanaropa Sutta, disebutkan bahwa penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa) adalah tindakan berjasa, menganugerahkan jasa siang malam sebagai penolong (Samyutta Nikaya I: 32). Sebab hutan dengan segala isinya merupakan sumber kehidupan dan paru-paru dunia. Dalam agama Buddha, hutan adalah tempat yang menyenangkan, baik untuk melakukan latihan meditasi (Nyanasuryanadi, 2007: 2). Di sana para pertapa yang telah bebas dari nafsu dan menyukai kesunyian akan menyepi dan merasa gembira (Dhammapada: 99). Untuk itu, kita sangat berkepentingan menjaga kelestarian hutan. Dalam vinaya, Buddha menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Di musim hujan (vassa), para bhikkhu melakukan tirakatan dan tidak melakukan perjalanan menghindari kemungkinan akan menginjak tunas-tunas tanaman atau mengganggu kehidupan binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vinaya Pitaka I: 137).
Pernyataan senada juga terdapat pada Digha Nikaya I: 5 yang menyebutkan bahwa Buddha Gotama dan siswa-Nya tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan. Dari dua pernyataan terakhir tersebut, jelas bahwa seorang pertapa harus melatih dirinya untuk menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apapun (Vinaya Pitaka III: 41-42).
Dari uraian ini, jelas bahwa Sang Buddha sangat memperhatikan alam sebab beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam. Dengan kondisi lingkungan yang alami akan menunjang pertumbuhan spiritual untuk mencapai kesucian batin.




BAB III
Penutup

A.      Kesimpulan
Upaya mengatasi krisis energi dunia dan pemanasan global dengan pendekatan ajaran Buddha dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pelatihan hidup manusia yang berlandaskan etika, meditasi dan kebijaksanaan diharapkan tumbuh kesadaran dan pemahaman untuk mengelola lingkungan dengan baik dan memanfaatkan energi secara tepat guna. Selain itu, keinginan dan motivasi untuk berubah serta tindakan nyata yang kita lakukan akan menginspirasi orang di sekitar kita untuk mengubah pola hidup mereka agar keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup senantiasa terjaga.

E.     Saran
Saran yang ingin disampaikan penulis adalah agar pembaca sekalian dapat menerapkan pola hidup hemat energy dan tidak menimbulkan sifat keserakahan di muka bumi ini serta memulai untuk mencintai lingkungan dan menghargainya. Mulailah itu dari diri anda dan orang di sekitar anda juga akan berubah. Dengan demikian kehidupan dan planet Bumi dapat diselamatkan.





Daftar Pustaka

.....tanpa tahun. Apa Itu Pemansan Global, (online), (http://Pemansan global. Net/faq/apa_itu_pemanasan-global. htm.
Lutfi Pratomo. 2007. Global Warning Akhir Dari Segala Batas, (online), (http://www. Berita habitat. Net/2007/08/02/global-warning-akhir-dari-segala-batas/
Nyanasuryanadi, Mahathera. 2007. Pengembangan Kesadaran Lingkungan Dengan PendekatanAjaranBuddha.http://smaratungga.wordpress.com/2007/10/24/kesadaran-terhadap-lingkungan-hidup/, diakses tanggal 21 september 2008 (Makalah disampaikan pada Lokakarya Keterlibatan Tokoh Agama Dalam Menyampaikan Misi Lingkungan Hidup Pada Masyarakat, di BAPEDAL Jawa Tengah, 25-26 Mei 2004).
Satwiko, Prasasto. 2005. Arsitektur Sadar Energi. Yogyakarta: Andi.
Supandi, Cunda. J. 2004. Dhammapada. Jakarta: Vidyavardhana Samuha.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dhamma Pembangunan.
Wikimedia project. 2008. Pemanasan Global, (online), (http://www. Id. Wikipedia.org/wiki/pemansan_global, diakses 21 september 2008).
Yuliapannasiri. 2008. Ingin Bumi Hancur?Jangan Baca Artikel Ini!, (online), http://Cetiya Mahasampati. Wordspress. Com/2008/08/07/artikel-pemeneng-lomba-berkarya-dhamma/

0 komentar: