pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Setiap kehidupan manusia, energi mempunyai
peranan yang penting. Dapat dikatakan, setiap aktivitas manusia memerlukan
energi. Energi yang diperlukan terdiri dari berbagai bentuk, kuantitas dan
kualitas. Bertambahnya jumlah penduduk dunia dengan cepat dan perkembangan
teknologi di berbagai sektor tentu saja akan menyebabkan meningkatnya konsumsi
energi. Dalam laporan Badan Energi Dunia
(International Energy Agency) tahun 2004, dikatakan bahwa peningkatan
energi dunia mengalami kenaikan rata-rata sebesar 1,6% setiap tahunnya
(Sembiring, 2008:2).
Laporan
British Petroleum tahun 2005, dikatakan bahwa total kebutuhan energi
dunia pada akhir tahun 2004 mencapai 10.244,4 juta ton minyak bumi. Angka itu
setara dengan 6,67% dari total cadangan energi dunia yang berhasil ditemukan
hingga tahun 2004 (162 miliar ton). Dari jumlah cadangan energi tersebut,
sekitar 87,7% berasal dari sumber energi fosil (minyak bumi, gas alam dan batu
bara), 6,1% berasal dari sumber energi nuklir, 6,2% dipenuhi oleh tenaga air
dan sisanya berasal dari energi matahari, angin dan ombak.
Pada masa sekarang bumi ini mengalami
perubahan cuaca yang tidak sesuai dengan perubahan iklim sepanjang tahun. Ini
juga disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri yang tidak mencintai alam
semesta ini, dan ini merupakan peradaban kemajuan manusia. Di sinilah muncul
bahwa manusia adalah mahluk sempurna dan mahluk luar biasa. Marxisme juga
menyatakan sains sebagai penyelamat kehidupan. Dan manusia, pada akhirnya
menjadi penguasa segala bidang, baik dari sosial, ilmu pengetahuan,
sampai-sampai menjajah bulan. Sadar tidak sadar pada saat bersamaan manusia
menjadi tuan penguasa alam, penguasa dirinya sendiri-bebas.
Kekuasaan diatas kekuasaan kekuatan
rasionalitas manusia tidak bisa dipungkiri lagi, dan kekuasaan dan kekuatan
merupakan tujuan utama manusia tanpa harus memikirkan dampak dari kehidupan
ekologis. Namun, bukan pesimis sains sudah terbukti tidak lagi mengenal batas
kemanusian dan ekosistim kehidupan. Ternyata sains di abad globalisasi ini
berbeda dengan tujuan yang diharapkan. Ilmuwan tetap mengatakan dengan kredo
humanistik bahwa pekerjaannya demi kebaikan manusia sebagai alat untuk
menyelamatkannya.
Ekspoitasi alam terus berlanjut
meskipun peraturan lingkungan hidup terbaru muncul dalam masyarakat
Internasional, produk ramah lingkungan, dan banyaknya perjuangan organisasi
pencinta lingkungan dunia, namun deforestasi hutan, kepunahan satwa liar dalam
jutaan tahun tak pernah berhenti. Pada Juli 2000, para Ilmuwan yang mencapai
kutub Utara diatas kapal pemecah es Rusia Yamal berhadapan dengan suatu
pemandangan yang aneh dan mengerikan suatu permukaan air terbuka luas, selebar
satu mil, sebagai pengganti es tebal berabad-abad menutupi Samudra Artik (New
York Times, (19/08), Tahun 2000). Terbukti, apakah bisa sains dan sistim
ekonomi kapitalis globalisasi mempunyai solusi untuk mengatur iklim global
terkendali lagi, membuat terumbu karang terbaru, membikin ozone buatan yang
bisa melindungi kehidupan mendatang dari pemanasan global.
Adanya bencana artificial manusia
bukan murni alam merupakan bukti dari pemanasan global yang dibuat manusia abad
ini. Para Ilmuwan yang bertanggungjawab atas riset mereka tidak hanya secara
intelektual namun juga secara moral. Sains juga menciptakan produk-produk baru
seperti apa yang diungkapkan Jean Baudrillad bahwa di bagian lain dari Samudera
Atlantik, kodok-kodok dan tikus tanpa kepala sedang dikloning di
laboratorium-laboratorium pribadi, yang dilakukan sebagai persiapan untuk
pengkloningan tubuh-tubuh manusia tanpa kepala yang nantinya akan dipergunakan
sebagau sumber-sumber donasi organ tubuh.
Belum lagi, akibat dari sains
melahirkan spesies baru yakni terjadi pada kasus Henrietta Lacks, sel-sel tumor
yang diambil sebagai sampel dari tubuhnya yang kemudian dikembangbiakan di
sebuah laboratorium akan terus berlanjut berkembang biak tanpa batas. Bahkan,
sel-sel tersebut membentuk spesemen luar biasa dan mematikan sehingga menyebar
ke seluruh dunia dan bahkan bisa hidup di luar angkasa, yaitu di permukaan
Satelit AS Discoverer 17. Secara tidak sadar, kita dibunuh oleh perbuatan kita
sendiri sebagai manusia. Manusia itu memang tidak pilih-pilih kasih; dia
sendiri dengan senang hati akan bersedia menjadi kelinci percobaan seperti
halnya makhluk-makhluk yang lain, baik yang hidup maupun yang mati.
Manusia dengan penuh semangat
bermain-main dengan masa depannya sendiri sebagai sebuah spesies persis
sebagaimana dia bermain-main dengan masa depan dari semua makhluk yang lain.
Dalam upaya pencariannya yang membuta untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih
besar lagi, manusia telah memprogram kehancurannya sendiri dengan keganasan
yang sama kejamnya dengan caranya menghancurkan segala hal yang lain. Anda
hampir-hampir tak bisa menuduh manusia itu sebagai bersifat egosentris. Manusia
mengorbankan dirinya seperti juga mengorbankan segenap spesies lainnya dalam
sebuah takdir yang asing dan bersifat coba-coba.
Percobaannya yang mengeluarkan Budget
(anggaran nasional) banyak menelurkan bencana – bencana efek pengaruh global
warning. Lantas, ujungnya bisa saja jaman es abad lalu kembali lagi yang
menghancurkan kehidupan dinosaurus. Bukan berarti penulis pesimis, dan ini bisa
saja mungkin terjadi bahwa dunia peradaban modern berjalan mundur bukan maju
seperti perhitungan peledakan bom menuju titik awal yakni 0 artinya, menuju
kehancuran. Selain itu, Penyakit era globalisasi pun semakin kompleks, mulai
dari penyakit jiwa ( Schizoprhenia), AIDS, SARS belum lagi kanker
kulit akibat dari radiasi matahari tidak bisa disembuhkan oleh para ahli-ahli
di bidangnya tersebut.
Global warning
merupakan pintu akhir dari segala batas menuju kepunahan spesies manusia dan
organisme lainnya. Oleh karena itu, meski dunia terlambat menanggapinya,
bencana-bencana tidak bisa dicegah dengan alat secanggih apapun yang siap
menghancurkan ekosistim kehidupan bumi. Meskipun, bakal ada revolusi secara
radikal, namun penulis tanpa harus menjadi pesimis memprediksi bahwa ini adalah
proses involusi manusia dan mahluk hidup lainnya, seperti ilmu gravitasi yang
ditemukan Ensteins bahwa benda jatuh kebawah, namun dewasa ini benda kembali
pada asalnya, bukan lagi jatuh ke bawah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah dan batasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penjelasan pemanasan global dalam
pandangan Agama Buddha?
C. Tujuan Kajian
1. Mendeskripsikan pemanasan global secara umum.
2. Mendeskripsikan sebab dan dampak dari
pemansan global
3. Mendeskripsikan tujuan pengendalian dan
solusi terhadap pemansan global.
4. Menghubungkan dengan Agama Buddha.
D. Manfaat Kajian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini
diharapkan memberikan informasi dan masukan bagi penulis dan pembaca yang dapat
memperkaya pengetahuan teori tentang pemanasan global yang terjadi pada bumi
ini dan dianggap sebagai bencana alam.
2. Manfaat Praktis
Hasil kajian dapat
digunakan sebagai sumber acuan berpikir praktis bagi mahasiswa dalam
menganalisa suatu permasalahan secara rasional dan memberikan gambaran secara
rinci tentang Pemanasan Global dan dapat mengetahui bagaimana menghadapi dan
mengendalikan terhadap pemanasan global.
bab ii
PembASAN
A. Pengertian Pemanasan Global
Pemanasan
global adalah
adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pemanasan global (global warming)
pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke
tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang
disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana
(CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam
atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global –
termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir
abad 21.
Pemanasan
global (global
warming) sebagai bentuk ketidakseimbangan ekosistem bumi merupakan kondisi
meningkatnya suhu rata-rata global permukaan bumi yang terjadi akibat
meningkatnya emisi gas rumah kaca (karbondioksida, metana, dinitro oksida,
hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, sulfur heksafluorida) di atmosfer. Emisi
ini dihasilkan terutama dari pembakaran bahan-bakar fosil (minyak bumi dan batu
bara) serta penggundulan dan pembakaran hutan. Efek rumah kaca sebagai suatu bentuk sistem ekosistem di bumi
justru sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup di bumi. Tanpanya bumi akan menjadi
lebih dingin. Akan tetapi, sistem tersebut akan bersifat merusak jika
berlebihan dalam artian efek rumah kaca telah menghasilkan sejumlah panas yang
berlebih dibandingkan dengan kondisi normalnya.
Suhu rata-rata global pada permukaan
Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate
Change
(IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata
global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua
akademi sains nasional dari negara-negara.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh
projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga
6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan
angka perkiraan itu dikarenakan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda
mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas
iklim yang berbeda. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan
perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya
intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang
lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan
para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di
masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi
tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini
masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada,
tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih
lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada.
Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan
meratifikasi Protokol
Kyoto, yang
mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Negara-negara
maju terutama dari sektor industrinya adalah penyumbang terbesar pemanasan
global. Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan total populasi hanya sekitar 20%
penduduk dunia mengonsumsi 59,1 persen energi dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebenarnya telah mengupayakan penanggulangan pemanasan Global melalui KTT Bumi
tahun 1992 di Rio de Jeneiro, yang kemudian diamandemen melalui Protokol Kyoto
pada tahun 1997 dan KTT UNFCC Desember tahun lalu di Bali. Dimana negara –
negara industri secara kolektif diharuskan mengurangi emisi gas rumah kaca
mereka sebesar 5,2 persen dibandingkan pada tahun 1990 pada tahun 2008 hingga
2010. Namun, Protokol Kyoto menjadi tidak efektif karena AS (konsumen hampir
sepertiga energi dunia) tidak pernah meratifikasi protokol tersebut. Amerika
Serikat sebenarnya pernah menyetujui Protokol Kyoto, namun pada tahun 2001 saat
Presiden George W Bush berkuasa, pemerintahannya membatalkan
persetujuan atas Protokol Kyoto. Walaupun saat Protokol Kyoto
ditandatangani, Pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton sangat
berambisi agar negara-negara industri dapat menurunkan emisi gas kacanya
sebesar 7 persen.
B.
Penyebab Dari Pemanasan Global
Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir
ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung
dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Khusus untuk
mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International
Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli
dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan
pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan
pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan
baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari
masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa
beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan
yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas
rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh
peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik
modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik
1. Efek Rumah Kaca
Efek rumah
kaca, pertama
kali ditemukan oleh Joseph
Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet. Mars, Venus, dan benda langit beratmosfer lainnya
(seperti satelit alami Saturnus, Titan) memiliki efek rumah kaca, tapi
artikel ini hanya membahas pengaruh di bumi. Efek rumah kaca dapat
digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi
secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat
aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh
ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat. Efek rumah kaca disebabkan
karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas
lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan
oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik
lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk
mengabsorbsinya.
Energi yang masuk ke bumi
mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25%
diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh
permukaan bumi. Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi
infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang
dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya,
untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca
diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam
di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Segala sumber energi yang terdapat di
Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi
gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai
permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi.
Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa
luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat
menumpuknya jumlah gas
rumah kaca
antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang
radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang
yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan
Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan
bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana
kaca dalam rumah
kaca. Dengan
semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas
yang terperangkap di bawahnya. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat
dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet
ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59
°F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca
(tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan
Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di
atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
Menurut perkiraan, efek rumah kaca
telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan
gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar
tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer,
maka akan semakin. banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi
diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.. Bumi secara konstan
menerima energi, kebanyakan dari sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh
dari bumi itu sendiri, yakni melalui energi yang dibebaskan dari proses
radioaktif (Holum, 1998:237). Sinar tampak dan sinar ultraviolet yang
dipancarkan dari matahari. Radiasi sinar tersebut sebagian dipantulkan oleh
atmosfer dan sebagian sampai di permukaan bumi. Di permukaan bumi sebagian
radiasi sinar tersebut ada yang dipantulkan dan ada yang diserap oleh permukaan
bumi dan menghangatkannya
2. Efek Umpan Balik
Efek-efek dari agen penyebab pemanasan
global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya.
Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat
bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya
akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca,
pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga
tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang
dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2
sendiri. Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi
menghangat. Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena
CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat
ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik
ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat
dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra
merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya
pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu
seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit
direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim
(sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan
IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua
bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah
pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah
hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global
meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus
meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya
akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya
lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih
banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih
banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya
CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang
berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas
CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon
juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya
tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap
karbon yang rendah.
3. Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan
bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari
awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara
mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya
aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan
mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah
diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari
menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek
pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun
1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi
mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun
1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari
mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke
University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi
terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode
1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya
mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi
berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh
Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik
dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka
menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap
pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade
terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006,
sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak
menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada
seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar
0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek
ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah
penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi
dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
C.
Dampak Dari Pemanasan Global
1. Perubahan Iklim/cuaca yang semakin ekstrim
NASA menyatakan bahwa
pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim
bumi. Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan
banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat lain. Topan dan badai tropis
baru akan bermunculan dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat.
Tanpa diperkuat oleh
pernyataan NASA di atas-pun Anda sudah dapat melihat efeknya pada lingkungan di
sekitar kita. Anda tentu menyadari betapa panasnya suhu disekitar Anda
belakangan ini. Anda juga dapat melihat betapa tidak dapat di prediksinya
kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani
karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah
hujan. Anda juga dapat mencermati kasus-kasus badai ekstrim yang belum pernah
melanda wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Tahun-tahun belakangan ini kita
semakin sering dilanda badai-badai yang mengganggu jalannya pelayaran dan
pengangkutan baik via laut maupun udara.
Bila fenomena dalam negeri masih belum
cukup bagi Anda, Anda juga dapat mencermati berita-berita internasional
mengenai bencana alam. Badai topan di Jepang dan Amerika Serikat terus
memecahkan rekor baru dari tahun ke tahun. Anda dapat mencermati
informasi-informasi ini melalui media masa maupun internet. Tidak ada satu
benua pun di dunia ini yang luput dari perubahan iklim yang ekstrim ini.
perubahan iklim menjadi sebuah trend
tersendiri pada berbagai kalangan hingga hari ini. mulai dari kelompok pelajar
yang ditugasi oleh gurunya untuk mencari pengetahuan tentang perubahan iklim,
hingga sekelompok mahasiswa yang membuat talkshow sederhana tentang perubahan
iklim.
katanya, perubahan iklim diakibatkan
oleh pemanasan global. saat lapisan ozon semakin menipis, dan meningkatnya gas
rumah kaca di atmosfer, maka panas matahari terkurung dalam lapisan permukaan
bumi. suhu permukaan bumi pun meningkat. maka kemudian, terjadi pencairan es di
kutub dan berbagai puncak dunia, hingga menjadikan permukaan air laut meninggi.
Lalu bagaimana dengan kejadian banjir dan kekeringan pada saat bersamaan di
tempat yang tak berjauhan? apakah juga diakibatkan oleh perubahan iklim akibat
pemanasan global? ataukah ini hanya menjadi sebuah fenomena yang sepertinya
lebih diakibatkan oleh kondisi iklim mikro pada sebuah kawasan?
Belum lagi, bahwa kemudian saat ini
memang pada kondisi terdekat bumi dengan matahari, dimana hal ini menjadikan
terjadina peningkatan suhu matahari yang masuk ke dalam atmosfer bumi. dan
kondisi inilah yang kemudian sangat dimanfaatkan untuk menaikan isu tentang
kebutuhan akan kawasan yang tetap berpepohonan, dan pertarungan diantara negara
industri.
Aliran dana untuk mengatasi dan
mengurangi dampak perubahan iklim sangat deras mengalir. tak cukup hanya dengan
sebuah mekanisme semata. tapi lebih jauh dari itu, masing-masing membangun
kriteria dan prasyarat, yang kemudian dikerjakan oleh budak-budak proposal.
Perubahan iklim pemanasan global,
haruslah dilihat dengan lebih tenang. tanpa juga mengabaikan sebuah kondisi
hilangnya lahan kehidupan akibat proyek-proyek utang atas nama pemanasan
global. transaksi dilakukan, dengan dilegalisasi oleh aparat pemerintah. harus
ada keberanian untuk terus mengatakan, bahwa perubahan iklim pemanasan global,
hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur di senja hari.
Para ilmuan menggunakan model komputer
dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari
pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat
beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Para ilmuan memperkirakan
bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern
Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya,
gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es
yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan
di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan
lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area.
Temperatur pada musim
dingin dan
malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih
lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum
begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan
meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan
karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi
pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan
yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa
luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan
meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap
derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat
sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[21]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain
itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan
menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan
mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang
memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan
dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan
terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur
dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.Ketika atmosfer
menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya
akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan
mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut.
Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi)
selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9
- 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat
mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan
menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir
akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air
pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana
yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara
miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan
sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun.
Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
3. Gelombang Panas menjadi
Semakin Ganas
Pemanasan Global mengakibatkan
gelombang panas menjadi semakin sering terjadi dan semakin kuat. Tahun 2007
adalah tahun pemecahan rekor baru untuk suhu yang dicapai oleh gelombang panas
yang biasa melanda Amerika Serikat. Daerah St. George, Utah memegang rekor
tertinggi dengan suhu tertinggi mencapai 48 Celcius! (Sebagai perbandingan,
Anda dapat membayangkan suhu kota Surabaya yang terkenal panas ‘hanya’ berkisar
di antara 30-37 Celcius). Suhu di St. George disusul oleh Las Vegas dan
Nevada yang mencapai 47 Celcius, serta beberapa kota lain di Amerika Serikat
yang rata-rata suhunya di atas 40 Celcius. Daerah Death Valley di California
malah sempat mencatat suhu 53 Celcius!.
Serangan gelombang panas
kali ini bahkan memaksa pemerintah di beberapa negara bagian untuk mendeklarasikan
status darurat siaga 1. Serangan tahun itu memakan beberapa korban meninggal
(karena kepanasan), mematikan ratusan ikan air tawar, merusak hasil pertanian,
memicu kebakaran hutan yang hebat, serta membunuh hewan-hewan ternak.
Pada tahun 2003, daerah
Eropa Selatan juga pernah mendapat serangan gelombang panas hebat yang
mengakibatkan tidak kurang dari 35.000 orang meninggal dunia dengan korban
terbanyak dari Perancis (14.802 jiwa). Perancis merupakan negara dengan korban
jiwa terbanyak karena tidak siapnya penduduk dan pemerintah setempat atas
fenomena gelombang panas sebesar itu. Korban jiwa lainnya tersebar mulai dari
Inggris, Italia, Portugal, Spanyol, dan negara-negara Eropa lainnya. Gelombang
panas ini juga menyebabkan kekeringan parah dan kegagalan panen merata di
daerah Eropa.
Mungkin kita tidak
mengalami gelombang-gelombang panas maha dahsyat seperti yang dialami oleh
Eropa dan Amerika Serikat, tetapi melalui pengamatan dan dari apa yang Anda
rasakan sehari-harinya. Anda dapat juga merasakan betapa panasnya suhu di
sekitar Anda. Cobalah perhatikan seberapa sering Anda mendengar ataupun mungkin
mengucapkan sendiri kata-kata seperti: “Panas banget ya hari ini!”
Apabila Anda kebetulan
bekerja di dalam ruangan ber-AC dari pagi hingga siang hari sehingga Anda tidak
sempat merasakan panasnya suhu belakangan ini, Anda dapat menanyakannya kepada
teman-teman ataupun orang disekitar Anda yang kebetulan bekerja di luar ruang.
Orang-orang yang sehari-harinya bekerja dengan menggunakan kendaraan terbuka di
siang hari bolong (misalnya sales dengan sepeda motor) mungkin dapat
menceritakan dengan lebih jelas beta-pa panasnya sinar matahari yang menyengat
punggung mereka.
4. Habisnya Gletser-Sumber Air Bersih Dunia
Mencairnya gletser-gletser
dunia mengancam ketersediaan air bersih, dan pada jangka panjang akan turut
menyumbang peningkatan level air laut dunia. Dan sayangnya itulah yang terjadi
saat ini. Gletser-gletser dunia saat ini mencair hingga titik yang
mengkhawatirkan!.
NASA mencatat bahwa sejak
tahun 1960 hingga 2005 saja, jumlah gletser-gletser di berbagai belahan dunia
yang hilang tidak kurang dari 8.000 meter kubik! Para ilmuwan NASA kini telah
menyadari bahwa cairnya gletser, cairnya es di kedua kutub bumi, meningkatnya
temperatur bumi secara global, hingga meningkatnya level air laut merupakan
bukti-bukti bahwa planet bumi sedang terus memanas. Dan dipastikan bahwa umat
manusialah yang bertanggung jawab untuk hal ini.
5. Pertanian
Orang
mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa
tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan
mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa
tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah
pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat
menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi
sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam.
Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih
hebat.
6. Hewan dan tumbuhan
Hewan
dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan
ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global,
hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan
tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies
yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau
lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu
secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
7. Kesehatan manusia
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen
sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan
peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat
menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir,
badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam
biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian
dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit,
dan lain-lain.
D.
Pengendalian/Solusi Terhadap
Pemanasan Global
1.
Pengendalian/solusi secara
reboisasi
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1
persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan
saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan
yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan
langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara.
Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah
masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai
untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika
Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur)
habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara.
Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini
untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin
bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke
atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain.
Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca.
a. Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon
dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat
pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui
fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat
perambahan hutan telah mencapai level
yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit
sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang
lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah
untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam
mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara
langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke
sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk
mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara
atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan
bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan
kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon
dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil
mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan
untuk kemudian digantikan oleh minyak
bumi pada
pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di
dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini
sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang
dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila
dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun
demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan
karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida
sama sekali.
b. Mengurangi produksi gas rumah kaca
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
c. Tanamlah lebih banyak pohon!
Tanaman hijau mengikat CO2
dari udara untuk proses fotosintesis. Dengan menanam lebih banyak pohon, maka
akan lebih banyak CO2 yang dapat diikat. Selain itu, pohon merupakan
bahan bakar massa bio yang dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif.
Peneliti dari Louisiana Tech University menemukan bahwa setiap acre (1
acre=0,004 sq km) pepohonan hijau dapat menangkap CO2 yang cukup
untuk mengimbangi emisi yang dihasilkan dari mengendarai sebuah mobil selama
setahun. Schumacher mengatakan setiap pengikut Buddha wajib menanam sebatang
pohon setiap beberapa tahun dan menjaganya sampai sungguh-sungguh hidup (Schumacher,
1981:58). Pesan layanan yang disampaikan oleh majalah Mamit edisi kelima
(2 Juni 2008) menyatakan bahwa “250.689.344.539.909 adalah jumlah pohon
yang diberikan oleh Bumi untuk kita. Bumi hanya meminta 1 pohon saja dari kita.
Lebih dari 250 triliun pohon telah ditebang oleh manusia. Seandainya semua
penduduk Bumi menanam 1 pohon saja, maka kerusakan Bumi dan pemanasan global
dapat kita kurangi. Tanamlah pohon demi masa depan Bumi, demi masa depan kita
sendiri, sebelum segalanya terlambat!”
2.
Pengendalian/Solusi Dari Ilmuwan
Menyikapi
hal tersebut, para ilmuwan melakukan pencaharian sumber energi alternatif
dengan cadangan yang berlimpah dan ramah lingkungan. Melalui serangkaian
penelitian yang mereka lakukan, didapatkan beberapa jenis energi terbarui,
yaitu energi yang relatif tidak akan pernah habis. Energi terbarui itu,
diantaranya:
a. Energi
surya, yaitu energi yang berasal dari panas matahari. Dimana energi surya
diubah menjadi energi listrik memakai sel surya (photo-voltaic).
b. Energi
angin, yaitu energi yang berasal dari gerakan angin. Dimana energi angin
dipakai untuk memutar kincir angin dan bila digabungkan dengan generator
listrik akan menghasilkan energi listrik.
c. Energi
panas bumi, yaitu energi yang berasal dari panas magma. Tenaga panas bumi
ini dipakai pada pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik.
d. Energi
air, yaitu energi yang berasal dari pergerakan air. Tenaga air ini dipakai
pada PLTA untuk menghasilkan listrik.
e. Energi
laut, yaitu energi yang berasal dari ombak, pasang-surut dan suhu air laut.
Energi yang tersimpan dalam air laut itu dapat digunakan sebagai pembangkit
listrik.
f. Energi
massa bio, yaitu energi yang berasal dari bahan organik yang menyimpan
energi matahari dalam bentuk energi kimiawi. Energi massa bio juga dapat
digunakan pada pembangkit listrik.
g. Energi
hidrogen, yaitu energi yang berasal dari gas hidrogen. Gas hidrogen dapat
menghasilkan listrik memakai hydrogen fuel cell.
Inilah
solusi yang diberikan ilmuwan sains dalam menghadapi krisis energi dunia dan
pemanasan global. Sebagai seorang yang beragama Buddha, muncul pertanyaan dalam
diri kita, “Adakah solusi yang diberikan oleh Buddha Dharma untuk mengatasi
permasalahan global itu? Apa dan bagaimana solusinya?”
Pembahasan
berikut ini akan memaparkan tentang upaya mengatasi krisis energi dunia dan
pemanasan global dengan pendekatan ajaran Buddha.
3.
Solusi Dari Konsep Ajaran Buddha
Setelah
mengetahui sifat alam dan makhluk hidup berdasarkan konsep tilakkhana serta
interaksi antara makhluk hidup dan alam berdasarkan hukum paticca samuppada,
kita harus merumuskan suatu solusi guna mengatasi krisis energi dunia dan
pemanasan global.
Solusi
itu dapat kita rumuskan dengan menggunakan konsep Cattari Ariya Saccani (empat kesunyataan mulia).
Dimana dengan konsep ini, kita dapat memecahkan kedua permasalahan global
tersebut dengan aturan yang sistematis. Caranya adalah sebagai berikut:
1. Menentukan
masalah yang sedang dihadapi. Masalah yang dihadapi saat ini adalah krisis
energi dunia dan pemanasan global.
2. Mencari
penyebab dari masalah tersebut. Penyebabnya adalah penggunaan bahan bakar
fosil yang berlebihan .
3. Mengatasi
masalah tersebut. Masalah itu dapat diatasi dengan mengubah cara hidup
kita.
4. Merumuskan
cara untuk mengatasi masalah tersebut. Masalah itu dapat diatasi dengan
melaksanakan Jalan Tengah (Majjhima Patipada). Konsep jalan tengah ini
dapat dilaksanakan melalui pelatihan hidup manusia pada tiga aspek inti, yaitu:
a. Pelatihan etika/moral (sila)
Pelatihan
ini dilakukan dengan membiasakan diri bersikap dan berperilaku sesuai dengan
norma-norma yang berlaku. Contoh: membuang sampah pada tempatnya dan mematikan
peralatan listrik yang tidak digunakan.
b. Pelatihan meditasi (samadhi)
Pelatihan
ini dapat dilakukan dengan melaksanakan meditasi secara rutin. Contoh:
melakukan meditasi cinta kasih (metta bhavana) untuk mengembangkan cinta kasih
yang universal terhadap semua makhluk. Meditasi ini akan mendorong kita untuk
berperilaku ramah lingkungan dan menghargai setiap makhluk hidup.
c. Pelatihan kebijaksanaan (panna)
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada dua hal penting yang
harus dilakukan pada waktu bersamaan. Dimana kita harus memilih salah satu
diantaranya. Di sinilah kebijaksanaan kita diuji. Contoh: Dalam perjalanan
menuju sekolah, kita melihat seorang kakek terjatuh di tengah jalan. Padahal
kita sudah hampir terlambat. Di sini kita dituntut untuk berpikir bijaksana.
Dengan kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil latihan tersebut, kita dapat
mengelola lingkungan alam dan memanfaatkan energi dengan lebih baik.
Dengan
menerapkan konsep ajaran Buddha di atas dalam kehidupan sehari-hari, maka
krisis energi dunia dan pemanasan global dapat diatasi.Selain solusi di atas,
ada tiga cara efektif yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan bumi dari krisis
energi dunia dan pemanasan global. Ketiga cara tersebut adalah:
E.
Korelasi Dalam Agama Buddha
Mengenai Pemanasan Global
1.
Alam dan Makhluk Hidup Menurut Ajaran Buddha
Sang Buddha bersabda: “segala sesuatu itu selalu berubah” (Dhammapada:
277). Demikian juga dengan alam. Alam selalu mengalami perubahan dan
berproses secara seimbang. Menurut ajaran Buddha, ada 4 unsur (Maha-Bhuta) yang
menyusun alam, yaitu unsur padat/tanah (pathavi),
unsur air/cair (apo), unsur api/panas
(tejo) dan unsur angin/gerak (vayo).
Berdasarkan ajaran Buddha, makhluk hidup terdiri atas manusia dan hewan.
Tumbuhan tidak termasuk. Sebab tumbuhan tidak memiliki empat paccaya
(kebutuhan), yaitu kamma (perbuatan), citta (pikiran), utu (suhu) dan ahara
(makanan). Makhluk-makhluk adalah pancakkhandha (Samyutta Nikaya III: 47),
yang terdiri atas jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna),
bentuk-bentuk pikiran (sankhara) dan kesadaran (vinnana).
Dalam ajaran Buddha, segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal
(anicatta), tidak memuaskan (dukkhata) dan tanpa inti yang kekal (anattata).
Jadi, alam dan makhluk hidup sebagai segala sesuatu yang berkondisi juga
memiliki sifat anicca, dukkha dan anatta (konsep tilakkhana).
2. Interaksi Antara Makhluk Hidup
Dengan Alam Menurut Ajaran Buddha
Menurut ajaran Buddha, semua fenomena yang terjadi di alam merupakan
sebab-musabab yang saling berkaitan. Hal ini dirumuskan dalam Hukum Paticca
Samuppada yang telah diringkaskan sebagai berikut: Dengan adanya ini,
adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, tidak
adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu (Majjhima Nikaya II: 32).
Interaksi antara manusia dan lingkungan alam tercermin dari ayat suci ini:
“Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya,
pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara
dari desa ke desa” (Dhammapada: 49). Hubungan antara lebah dan bunga
dalam sebuah ekosistem termasuk simbiosis mutualisme (hubungan yang saling
menguntungkan). Dimana lebah memperoleh madu dari bunga dan penyerbukan bunga
dibantu oleh lebah. Sikap lebah tersebut memberi contoh tentang cara
memanfaatkan sumber daya alam dengan baik.
Interaksi antara perilaku
manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan dikisahkan dalam Agganna
Sutta. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih
tanpa sekam. Padi dipetik pada sore hari, berbuah kembali keesokan harinya.
Dipetik pagi-pagi, berbutir masak kembali di sore hari. Semula manusia
mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan. Kemudian timbul dalam pikiran
manusia, bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan
makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul mudah diterka. Lebih baik
lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari dan seterusnya.
Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh
kembali. Maka akibat keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup
lama hingga padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh
berumpun. Lalu butir-butir padi pun berkulit sekam (Digha Nikaya III: 88-90).
Dari
uraian di atas, kita mengetahui bahwa manusia, hewan, tumbuhan dan alam saling
mempengaruhi dan berinteraksi. Untuk itu, kita harus menghargai mereka demi
menjaga keseimbangan ekosistem. Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga harus
menerapkan falsafah hidup buddhis yang mengkehendaki keseimbangan antara
pemenuhan kepentingan materi dan spiritual (Nyanasuryanadi, 2007:1).
Dalam keseimbangan hidup semacam itu, menurut Cakkavatti Sihanada Sutta,
sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau
harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan (Digha
Nikaya III: 75).
Terjadinya pemansan global atau bencana alam ini dimulai dari manusia itu
sendiri, karena manusia diliputi dengan keserekahan dan kebodohan batin. Menurut
agama Buddha, perbuatan ( karma ) negative yang serupa yang dilakukan banyak
orang dalam frekuensi dan internsitas yang tinggi akan menghasilkan karma
kolektif yang cukup kuat untuk menghasilkan bencana alam.
Berdasarkan
ajaran-ajaran yang merujuk pada Lankavatara-sutra,
Avatamsaka-sutra, dan Surangama-sutra, energi karma memicu aktivasi salah
satu dari keempat unsure penyusun alam-semesta : tanah, air, api, dan angin,
tergantung jenis karma kolektif kolektif yang dilakukan.
Kebencian,
kemarahan, dan seks yang berlebihan berkaitan dengan unsur api yang bersifat
panas.Nafsu keinginan, keserakahan, dan kemelekatan berkaitan dengan unsure air
yang bersifat menggapai – itulah sebabnya ada cairan di mulut saat memikirkan
makanan lezat, cairan / lender di organ seks saat berfantasi adu-asmara dengan
kekasih-pujaan-hati, cairan di mata saat memikirkan peristiwa yang penuh
nostalgia.
Energi
pikiran yang dilahirkan dari keangkuhan, penindasan dan perlakuan semena-mena,
berkaitan dengan unsure padat yang bersifat menghantam, menubruk, menabrak.
Dalam tindakan penindasan, bila terdapat juga unsure ketidakadilan yang sangat
dominant, maka akan mengaktifkan energi gesekan yang menyebabkan gempa-bumi.
Energi
pikiran dari pandangan-salah yang keliru dan menyesatkan yang bertolak-belakang
dengan realitas-fenomena yang sesungguhnya, sehingga terjadi aktivitas
“gerakan”, dan karenanya berkaitan dengan unsure angina. Dari keempat unsure,
unsure angin yang terhalus, sesuai dengan energi dari pandangan terbalik yang
paling halus tak kentara.
3.
Bentuk Kepedulian Ajaran Buddha Terhadap Kelestarian Alam
Bentuk kepedulian Sang Buddha terhadap kelestarian alam dituangkan pada
beberapa bagian dari ajaran-Nya.
Dalam Brahma
Vihara, Buddha mengajarkan metta sebagai wujud aktif dalam
menghargai hewan dan karuna sebagai wujud nyata kepedulian terhadap
hewan (Wijaya, tanpa tahun:2). Dalam sila pertama Pancasila Buddhis,
Buddha mengajarkan manusia untuk menghindari tindakan
melukai/menyakiti/membunuh makhluk hidup agar keseimbangan ekosistem terjaga.
Dalam Vanaropa Sutta, disebutkan bahwa penanaman kebun (aramaropa) dan
hutan (vanaropa) adalah tindakan berjasa, menganugerahkan jasa siang malam
sebagai penolong (Samyutta Nikaya I: 32). Sebab hutan dengan segala
isinya merupakan sumber kehidupan dan paru-paru dunia. Dalam agama Buddha,
hutan adalah tempat yang menyenangkan, baik untuk melakukan latihan meditasi (Nyanasuryanadi,
2007: 2). Di sana para pertapa yang telah bebas dari nafsu dan menyukai
kesunyian akan menyepi dan merasa gembira (Dhammapada: 99). Untuk itu,
kita sangat berkepentingan menjaga kelestarian hutan. Dalam vinaya,
Buddha menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman
dinyatakan bersalah. Di musim hujan (vassa), para bhikkhu melakukan tirakatan
dan tidak melakukan perjalanan menghindari kemungkinan akan menginjak
tunas-tunas tanaman atau mengganggu kehidupan binatang-binatang kecil yang
muncul setelah hujan (Vinaya Pitaka I: 137).
Pernyataan senada juga terdapat pada Digha Nikaya I: 5 yang
menyebutkan bahwa Buddha Gotama dan siswa-Nya tidak merusak biji-bijian yang
masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan. Dari dua pernyataan
terakhir tersebut, jelas bahwa seorang pertapa harus melatih dirinya untuk
menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apapun (Vinaya Pitaka III: 41-42).
Dari uraian ini, jelas bahwa Sang Buddha sangat memperhatikan alam sebab
beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam. Dengan kondisi lingkungan yang
alami akan menunjang pertumbuhan spiritual untuk mencapai kesucian batin.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Upaya
mengatasi krisis energi dunia dan pemanasan global dengan pendekatan ajaran
Buddha dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pelatihan hidup
manusia yang berlandaskan etika, meditasi dan kebijaksanaan diharapkan tumbuh
kesadaran dan pemahaman untuk mengelola lingkungan dengan baik dan memanfaatkan
energi secara tepat guna. Selain itu, keinginan dan motivasi untuk berubah
serta tindakan nyata yang kita lakukan akan menginspirasi orang di sekitar kita
untuk mengubah pola hidup mereka agar keseimbangan dan kelestarian lingkungan
hidup senantiasa terjaga.
E. Saran
Saran yang ingin disampaikan penulis
adalah agar pembaca sekalian dapat menerapkan pola hidup hemat energy
dan tidak menimbulkan sifat keserakahan di muka bumi ini serta memulai untuk
mencintai lingkungan dan menghargainya. Mulailah itu dari diri anda dan orang
di sekitar anda juga akan berubah. Dengan demikian kehidupan dan planet Bumi
dapat diselamatkan.
Daftar Pustaka
.....tanpa tahun. Apa
Itu Pemansan Global, (online), (http://Pemansan global.
Net/faq/apa_itu_pemanasan-global. htm.
Lutfi Pratomo. 2007. Global
Warning Akhir Dari Segala Batas, (online), (http://www. Berita habitat.
Net/2007/08/02/global-warning-akhir-dari-segala-batas/
Nyanasuryanadi, Mahathera. 2007. Pengembangan
Kesadaran Lingkungan Dengan PendekatanAjaranBuddha.http://smaratungga.wordpress.com/2007/10/24/kesadaran-terhadap-lingkungan-hidup/, diakses tanggal 21 september 2008 (Makalah disampaikan
pada Lokakarya Keterlibatan Tokoh Agama Dalam Menyampaikan Misi Lingkungan
Hidup Pada Masyarakat, di BAPEDAL Jawa Tengah, 25-26 Mei 2004).
Satwiko, Prasasto. 2005. Arsitektur
Sadar Energi. Yogyakarta:
Andi.
Supandi, Cunda. J. 2004. Dhammapada. Jakarta: Vidyavardhana Samuha.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dhamma Pembangunan.
Wikimedia project. 2008. Pemanasan Global, (online), (http://www. Id. Wikipedia.org/wiki/pemansan_global, diakses 21
september 2008).
Yuliapannasiri. 2008. Ingin
Bumi Hancur?Jangan Baca Artikel Ini!, (online), http://Cetiya Mahasampati. Wordspress. Com/2008/08/07/artikel-pemeneng-lomba-berkarya-dhamma/
0 komentar:
Posting Komentar