Makalah Teori Dan Gaya Kepemimpinan
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
Oleh: Putradi
Npm: 11110139
BAB II
PEMBAHASAN
A. TEORI KEPEMIMPINAN
1. Studi Unieversitas Michigan
Setiap manusia pada hakekatnya
adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya,
manusia sebagai pemimpin minimal mampu memimpin dirinya sendiri dan mempunyai
kelebihan dibandingkan yang lainnya. Begitu pula setiap organisasi harus
memiliki pemimpin, tanpa pemimpin akan kacau karena harus ada orang yang
memerintah dan mengarahkan dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisin.
Secara umum definisi kepemimpinan
dapat dirumuskan bahwa kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang
dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak,
menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan kalau perlu memaksa orang atau kelompok
agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat
membantu tercapainya suatu tujuan tertentu (Tim Dosen Administrasi Pendidikan
UPI,2009,125). Menurut Sindang P.Siagian (2003) kepemimpinan merupakan motor
atau daya penggerak dari semua sumber-sumber bagi suatu organisasi. Pembahasan
tentang kepemimpinan menyangkut tugas dan gaya kepemimpinan, cara mempengaruhi
kelompok, yang mempengaruhi kepemimpinan seseorang.
Tugas kepemimpinan, meliputi dua
bidang utama, pekerjaan yang harus diselesaikan dan kekompakan orang yang
dipimpinannya. Tugas yang berhubungan dengan pekerjaan disebut task function.
Tugas yang berhubungan dengan pekerjaan perlu agar pekerjaan kelompok dapat
diselesaikan dan kelompokm mencapai tujuannya. Tugas yang berhubungan dengan
kekompakan kelompok dibutuhkan agar hubungan antar orang yang bekerjasama
menyelesaikan kerja itu lancar dan enak jalannya.
Kepemimpinan merupakan salah satu
topik terpenting didalam mempelajari dan mempraktekkan manajemen. Studi tentang
kepemimpinan ini sejak dulu telah banyak menarik perhatian para ahli. Sepanjang
sejarah dikenal adanya kepemimpinan yang berhasil dan tidak berhasil selain itu
kepemimpinan banyak mempengaruhi cara kerja dan prilaku banyak orang. Sebagian
sebabnya sudah ada yang diketahui, sebagian belum terungkap. Oleh karena itu
kepemimpinan banyak menarik perhatian para ahli untuk mempelajari. Di Amerika
Serikat terdapat banyak serangkaian penelitian tentang kepemimpinan mulai dari
yang klasik sampai yang modern. Pada makalah ini akan diuraikan kembali tentang
studi klasik dari kepemimpinan tersebut, dalam hal ini kami memfokuskan kajian
tentang studi kepemimpinan Universitas Michigan.
Selama kurun waktu tiga dekade,
dimulai pada permulaan tahun 1950-an, penelitian mengenai perilaku pemimpin
telah didominasi oleh suatu fokus pada sejumlah kecil aspek dari perilaku.
Teori perilaku adalah teori kepemimpinan yang menjelaskan ciri-ciri perilaku
seorang pemimpin dan ciri-ciri perilaku seorang bukan pemimpin. Kebanyakan studi
mengenai perilaku kepemimpinan selama periode tersebut menggunakan kuesioner
untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada
hubungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat bagaimana perilaku
tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti
kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen
laboratorium atau lapangan untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin
mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, satu-satunya
penemuan yang konsisten dan agak kuat dari teori perilaku ini adalah bahwa para
pemimpin yang penuh perhatian mempunyai lebih banyak bawahan yang puas.
(massofa.wordpress.com) Ada berbagai aliran dan teori perilaku diantaranya:
Ohio State University, University of Michigan, The Managerial Grid. Namun dalam
makalah ini kami akan memfokuskan pembahasan tentang studi kepemimpinan
University of Michigan. Studi kepemimpinan Universitas Michigan yang dipelopori
oleh Gibson dan Ivancevich, mengidentitikasi dua bentuk perilaku pemimpin yaitu
: Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada pekerjaan/tugas (The Job
Centered) dan bentuk Perilaku kepemimpinan terpusat pada pegawai/bawahan (The
Employee centered).
Menurut Robbins (2003) studi kepemimpinan
yang dilakukan oleh Pusat Riset dan Survei Universitas Michigan pada waktu yang
kira-kira bersamaan dengan yang dilakukan di Ohio, mempunyai sasaran penelitian
yang serupa: mencari karakteristik perilaku pemimpin yang tampaknya dikaitkan
dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan juga sampai pada dua
dimensi perilaku kepimipinan yang mereka sebut beroriantasi bawahan dan
berorientasi produksi. Pemimpin yang berorientasi-bawahan dideskripsikan
sebagai menekankan hubungan antarpribadi; mereka berminat secara pribadi pada
kebutuhan bawahan mereka dan menerima perbedaan individual di antara
anggota-anggota. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi-produksi, cenderung
menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan – perhatian utama mereka aalah
pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-anggota kelompok adalah
alat untuk tujuan akhir itu.
Pusat Riset Micihigan University
melakukan suatu penelitian. Penelitian ini mengidentifikasikan dua konsep yakni
orientasi produksi (production orientastion) dan orientasi bawahan (employee
orientation). Pemimpin yang menekankan pada orientasi bawahan sangat
memperhatikan bawahan, di mana mereka merasa bahwa setiap karyawan itu penting,
dan menerima karyawan sebagai pribadi. Sedangkan pemimpin yang berorientasi
pada produksi sangat memperhatikan hasil dan aspek-aspek kerja untuk
kepentingan organisasi, dengan tanpa menghiraukan apakah bawahan senang atau
tidak. Kedua ini hampir sama dengan tipe otoriter dan tipe demokrtatis. (Wahjo
Sumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia, 1987:66.)
Dalam mengadakan penelitian pusat
riset survei universitas Michigan bekerjasama dengan riset angkatan laut yang
tujannya untuk menentukan prinsip-prinsip produktivitas kelompok, dan kepuasan
anggota kelompokyang diperoleh dari partisipasi mereka. Untuk mencapai tujuan
ini maka pada tahun 1947, dilakukan penelitian di Newark, new Jersey, pada
perusahaan asuransi Prudental. Pada penelitian Newark, New Jersey tersebut
pengukuran yang sistematis dibuat berdasarkan persepsi dan sikap para pekerja.
Variabel-variabel ini kemudian dihubungkan dengan pengukuran-pengukuran
pelaksanaan kerja.
Hasil menunjukkan bahwa
pengawas-pengawas pada seksi produksi tinggi lebih menyukai:
1.
Menerima
pengawasan dari pengawas-pengawas mereka yang bersifat terbuka di banding yang
terlalu ketat.
2.
Menyukai
sejumlah otoritas dan tanggungjawab yang ada pada pekerjaan mereka
3.
Menggunakan
sebagian besar waktunya dalam pengawasan
4.
Memberikan
pengawasan terbuka kepada bawahannya dari pada pengawasan yang ketat
5.
Berorientasi
pada pekerja dari pada berorientasi pada produksi.
Menurut Fred Luthans pengawasan
seksi produksi rendah memiliki karakteristik dan teknik-teknik yang
berlawananan. Mereka dijumpai menyukai pengawasan-pengawasan yang ketat yang
berorientasi pada produksi. Penemuan lain yang penting tapi kadang-kadang di
abaikan adalah bahwa kepuasan karyawan tidak secara langsung berhubungan dengan
produktivitas.
Pada umumnya orientasi pengawasan
karyawan seperti yang diuraikan di atas telah memberikan patokan untuk
pendekatan hubungan kemanusiaan seacra tradisional bagi kepemimpinan.
Hasil-hasil dari penemuan prudential diatas telah banyak dikutib untk
membuktikan teori-teori dalam hubungan kemanusiaan. Penemuan ini kemudian
banyak diikuti oleh ratusan penemuan-penemuan berikutnya dibidang yang luas
pada pemerintahan, industri, rumah sakit dan organisasi lainnya. Sebagai bukti
pada tahun 1961, Rensis Likert, direktur dari penelitian ilmu-ilmu sosial,
Universitas Michigan, mengeluarkan hasil penelitan tahunannya yang berjudul New
Pattern of Management, walaupun dalam penelitian tersebut banyak terdapat
variasi dan penyempurnaan dari hasil penemuan yang lalu namun dalam New Pattern
tersebut secara esensial masih banyak dijumpai kesamaan dengan penelitian
diperusahaan Prudential diatas (Miftah Toha, 2001,21)
Berdasarkan penelitian universitas
michigan tersebut ada dua macam tipe perilaku kepemimpinan yang telah kami
sebutkan diatas. Rensis leinkert memberikan uraian karaktesitik dari
masing-masing tipe kepemimpinan tersebut. Dalam tipe kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :
1.
Pemimpin
memberikan petunjuk kepada bawahan.
2.
Pemimpin
selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
3.
Pemimpin
meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai dengan
keinginannya.
4.
Pemimpin
lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan
bawahan.
Sedangkan tipe kepemimpinan yang
berorientasi kepada karyawan atau bawahan ditandai dengan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Pemimpin lebih memberikan motivasi
daripada memberikan pengawasan kepada bawahan.
2. Pemimpin melibatkan bawahan dalam
pengambilan keputusan.
3. Pemimpin lebih bersifat
kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling menghormati di antara
sesama anggota kelompok.
Sebagai pengembangan, maka para ahli
berusaha dapat menentukan mana di antara kedua gaya kepemimpinan itu yang
paling efektif untuk kepentingan organisasi atau perusahaan. Salah satu
pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan adalah ada empat
sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat system tersebut
terdiri dari:
1. Sistem 1, otoritatif dan eksploitif:
pemimpin membuat semua keputusan
yang berhubungan dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk
melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan
oleh pemimpin. Manajemen menggunakan rasa takut dan ancaman; komunikasi atas ke
bawah dengan kebanyakan keputusan diambil di atas; atasan dan bawahan memiliki
jarak yang jauh.
2. Sistem 2, otoritatif dan
benevolent:
pemimpin tetap menentukan
perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar
terhadap perintah-perintah tersebut. berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan
tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan prosedur-prosedur yang telah
ditetapkan. Manajemen menggunakan penghargaan;, informasi mengalir ke atas
dibatasi untuk manajemen apa yang ingin didengar dan keputusan kebijakan
sementara datang dari atas beberapa keputusan yang ditetapkan dapat dilimpahkan
ke tingkat yang lebih rendah, atasan mengharapkan kepatuhan bawahan
3. Sistem 3, konsultatif:
pemimpin menetapkan tujuan-tujuan
dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan
bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan – keputusan mereka sendiri tentang
cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan
daripada ancaman hukuman. Manajemen menawarkan hadiah, kadang-kadang hukuman;
keputusan besar datang dari atas sementara ada beberapa yang lebih luas
keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi rincian ke bawah ke
atas sementara komunikasi penting hati-hati.
4. Sistem 4, partisipatif:
adalah sistem yang paling ideal
menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan.
Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok.
Bila pemimpin secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan
saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan,
pemimpin tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga
mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting.
Manajemen kelompok mendorong partisipasi dan keterlibatan dalam menetapkan
tujuan kinerja yang tinggi dengan beberapa penghargaan ekonomi; komunikasi
mengalir ke segala arah dan terbuka dan jujur dengan pengambilan keputusan
melalui proses kelompok dengan masing-masing kelompok terkait dengan orang lain
dengan orang-orang yang menjadi anggota lebih dari satu kelompok yang disebut
menghubungkan pin; dan bawahan dan atasan dekat. Hasilnya adalah produktivitas
yang tinggi dan lebih baik hubungan industrial.
B. GAYA KEPEMIMPINAN
1. Teori Kontingensi
1.1 Teori Fiedler.
Teori atau model kontingensi
(Fiedler, 1967) sering disebut teori situasional karena teori ini mengemukakan
kepemimpinan yang tergantung pada situasi.
Model atau teori kontingensi Fiedler
melihat bahwa kelompok efektif tergantung pada kecocokan antara gaya pemimpin
yang berinteraksi dengan subordinatnya sehingga situasi menjadi pengendali dan
berpengaruh terhadap pemimpin. Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu
kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan
pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yang
spesifik.
Karena situasi dapat sangat
bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal
untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang
akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi
yang paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi
lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini
melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler,
yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Asumsi sentral teori
ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh
kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan
dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami
secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.
Teori kontingensi melihat pada aspek
situasi dari kepemimpinan (organization context). Fiedler mengatakan
bahwa ada 2 tipe variabel kepemimpinan: Leader Orientation dan
Situation Favorability.
1.
Leader Orinetation :
apakah pemimipin pada suatu
organisasi berorinetasi pada relationship atau beorintasi pada task.
Leader Orientation diketahui dari Skala semantic differential dari rekan
yang paling tidak disenangi dalam organisasi (Least preffered coworker = LPC)
.
LPC tinggi jika pemimpjn tidak
menyenangi rekan kerja, sedangkan LPC yang rendah menunjukkan pemimpin yang
siap menerima rekan kerja untuk bekerja sama. Skor LPC yang tinggi menujukkan
bahwa pemimpin berorientasi pada relationship, sebaliknya skor LPC yang rendah
menunjukkan bahwa pemimpin beroeintasi pada tugas. Fiedler memprediksi bahwa
para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada
tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka
yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan orang
apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para
pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC
apabila kontrol situasinya moderat.
2. Situation favorability adalah
: sejauh mana pemimpin tersebut dapat mengendailikan suatu situasi, yang
ditentukan oeh 3 variabel situasi, yaitu :
1. Leader-Member
Orintation: hubungan pribadi antara pemimpin dengan para anggotanya.
2. Task Structure:
tingkat struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk dikerjakan oleh
anggota organisasi.
3. Position Power:
tingkat kekuasaan yang diperoleh pemimpin organisasi karena kedudukan.
Situation favorability tinggi jika
LMO baik, TS tinggi dan PP besar, sebaliknya Situation Favoribility rendah jika
LMO tidak baik, TS rendah dan PP sedikit.
1.2 Teori Path Goal.
Path-Goal Theory atau model arah tujuan ditulis oleh
House (1971) menjelaskan kepemimpinan sebagai keefektifan pemimpin yang
tergantung dari bagaimana pemimpin memberi pengarahan, motivasi, dan bantuan
untuk pencapaian tujuan para pengikutnya. Bawahan sering berharap pemimpin
membantu mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bawahan
berharap para pemimpin mereka membantu mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan
bernilai mereka.
Ide di atas memainkan peran penting
dalam House’s path-goal theory yang menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan pemimpin
yang menjelaskan bentuk tugas dan mengurangi atau menghilangkan berbagai
hambatan akan meningkatkan persepsi para bawahan bahwa bekerja keras akan
mengarahkan ke kinerja yang baik dan kinerja yang baik tersebut selanjutnya
akan diakui dan diberikan ganjaran.
Path Goal Theory menekankan pada cara-cara pemimpin
memfasilitasi kinerja kerja dengan menunjukkan pada bawahan bagamana kinerja
diperoleh melalaui pencapaian rewards yang diinginkan. Path Goal
theory juga mengatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja kerja tergantung
pada expectancies bawahan. Harapan-harapan bawahan bergantung pada ciri-ciri
bawahan dan lingkungan yang dihadapi oleh bawahan. Kepuasan dan kinerja kerja
bawahan bergantung pada leadership behavior dan leadership style.
Ada 4 macam leadership style :
1. Supportive
Leadership: Gaya kepemimpinan ini menunjukkan perhatian pada kebutuhan
pribadi karyawannya. Pemimpin jenis ini berusaha mengembangkan kepuasan hubungan
interpersonal diantara para karyawan dan berusaha menciptakan iklim kerja yang
bersahabat di dalam organisasi.
2. Directive
Leadership: Pemimpin yang memberikan bimbingan khusus pada Karyawannya
dengan menetapkan standar kinerja, mengkoordinasi kinerja kerja dan meminta
karyawan untuk mengikuti aturan aturan organisasi.
3. Achievement
Oriented Leadership: Pemimpin yang menetapkan tujuan yang menantang pada
bawahannya dan meminta bawahan untuk mencapai level performens yang tinggi.
4. Participative
Leadership: Pemimpin yang menerima saran-saran dan nasihat-nasihat bawahan
dan menggunakan informasi dari bawahan dalam pengambilan keputusan organisasi.
Hal yang menentukan keberhasilan
dari setiap jenis kepemimpinan tersebut adalah subordinate characteristics
(contohnya: Karyawan yang internal l locus of control atau external locus of
control, karyawan yang mempunyai need achievement yang tinggi atau need
affiliation yang tinggi, dll.) dan environmental factors (system
kewenangan dalam organisasi).
1.3 Teori Vroom dan Yetton.
Leader-Participation Model ditulis oleh Vroom dan Yetton
(1973). Model ini melihat teori kepemimpinan yang menyediakan seperangkat
peraturan untuk menetapkan bentuk dan jumlah peserta pengambil keputusan dalam
berbagai keadaan. Teori Yetton dan Vroom mengemukakan bahwa kepuasan dan
prestasi disebabkan oleh perilaku bawahan yang pada gilirannya dipengaruhi oleh
perilaku atasan, karakteristik bawahan dan faktor lingkungan. Salah satu tugas
utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan
yang dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan
mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah
kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan yang
bersangkutan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.
Pemimpin yang mampu membuat
keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan
mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam mengambil
keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya. Dengan kata lain
seberapa jauh para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam
pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan
meningkatkan produktivitas.
Teori kepeminmpinan vroom &
yetton adalah jenis teori kontingensi yang menitikberatkan pada hal pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh pemimpin. Dalam hal ini ada 5 jenis cirri
pengambilan keputusan dalam teori ini :
- A-I : pemimpin mengambil sendiri keputusan berasarkan informasi yang ada padanya saat itu.
- A-II : pemimpin memperoleh informasi dari bawahannya dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat. jadi peran bahawan hanya memberikan informasi, bukan memberikan alternatif.
- C-I : pemimpin memberitahukan masalah yang sedang terjadi kepada bawahan secara pribadi, lalu kemudian memperoleh informasi tanpa mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, setelah itu mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/ tidak gagasan dari bawahannya.
- C-II : pemimpin mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, lalu menanyakan gagasan mereka terhadap masalah yang sedang ada, dan mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/tidak gagasan bawahannya
- G-II : pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara berkelompok, lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil keputusan yang disetujui oleh semua pihak.
contoh kasusnya, dalam sebuah took
kue, pemimpin took akan membicarakan masalah yang terjadi, misalnya cara
menarik minat pembeli agar menjadi pelanggan tetap tokonya. Pemilik took akan
mengumpulkan semua karyawannya dan menanyakan pendapat mereka. pemilik akan menampung
semua gagasan mereka, lalu memilih gagasan yang dianggap paling menarik dan
disetujui oleh semua karyawannya.
Contoh kasus diatas, itu sesuai
dengan cirri pengambilan keputusan G-II yang dikemukakan oleh vroom &
yetton. Dan menurut saya, ciri G-II adalah yang paling layak digunakan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
kepemimpinan dapat dirumuskan bahwa
kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat
mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan
kalau perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan
selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan
tertentu (Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI,2009,125). Menurut Sindang
P.Siagian (2003)
kepemimpinan merupakan motor atau
daya penggerak dari semua sumber-sumber bagi suatu organisasi. Pembahasan
tentang kepemimpinan menyangkut tugas dan gaya kepemimpinan, cara mempengaruhi
kelompok, yang mempengaruhi kepemimpinan seseorang.
Teori kontingensi melihat pada aspek
situasi dari kepemimpinan (organization context). Fiedler mengatakan
bahwa ada 2 tipe variabel kepemimpinan: Leader Orientation dan
Situation Favorability.
DAFTAR
PUSTAKA
1. havidzulloh.blogspot.com/2010/08/studi-kepemimpinan-michigan.html
2. http://inet.detik.com/read/2012/04/19/092110/1896016/398/bersih-bersih-yahoo-buang-50-produk
7. Vroom, VH dan Yetton, PW (1973). Kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Pittsburg: University of Pittsburg
8. Munandar, Ashar Sunyoto . 2001 , Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta.
Universitas Indonesia
9. Edgar, H Schein. 1991, Psikologi Organisasi, Jakarta. Pustaka
Binaman Pressindo
0 komentar:
Posting Komentar