Pages

Rabu, 01 Januari 2014

Pengantar Singkat Sejarah Filsafat Buddhis

Pengantar Singkat Sejarah Filsafat Buddhis

Oleh: Victor Alexander Liem, C.Ht, M.CH

Pada tahun 1970-an ketika saya berkunjung ke India sebagai seorang mahasiswa, tanpa disadari saya mempelajari Abhidharma, salah satu contoh istimewa psikologi kuno dari agama Buddha. Saya terkejut sekaligus kagum ketika menemukan bahwa pertanyaan mendasar yang diajukan oleh ilmu pengetahuan telah dibahas serta diselidiki selama ribuan tahun, bukan sekedar satu atau dua ratus tahun. Psikologi klinik, bidang saya pada waktu itu, adalah cabang psikologi yang berusaha membantu meringankan bermacam-macam penyakit menyangkut emosi. Tetapi saya terkejut ketika saya menemukan kalau sistem yang usianya mencapai milenium ini mengungkapkan sekumpulan metode yang bukan hanya berguna untuk menyembuhkan penderitaan mental, tetapi juga mengembangkan sifat positif manusia seperti kasih sayang dan empati. Saya takjub karena saya belum pernah mendengar jenis psikologi ini di mana pun juga pada masa-masa studi saya.
(Daniel Goleman, perintis Teori Emotional Intelegence)

1.      Pendahuluan
Ketertarikan saya terhadap sejarah agama adalah mempelajari sistem pemikiran yang dipengaruhi keadaan dari zaman ke zaman sebelum sistem filsafat tersebut diadopsi menjadi bentuk agama formal dengan sejumlah pengikutnya. Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul  Pengantar Singkat sejarah filsafat India. Pada kesempatan ini saya akan mengupas sejarah filsafat Buddhis, sebelum nanti tentang sejarah tantra baik tantra Hindu maupun Buddhis.

Saya membatasi tulisan ini pada sejarah filsafat Buddhis di India khususnya perkembangan Mahāyāna (yang merupakan fase pra-tantra) dan sekilas aliran Theravāda yang berkembang pada mulanya di Srilangka, yang sering keliru digolongkan sebagai Hīnayāna. Perkembangan Buddhisme dalam bentuk tantra maupun penyebarannya diluar batas India memiliki corak dan bentuknya tersendiri, yang terlalu luas jika dibahas dalam tulisan ini.

Tujuan penulisan ini hanya untuk menyajikan penjelasan singkat, sebelum nantinya mungkin pembaca berminat untuk mempelajari dan mengkajinya lebih mendalam. Tanpa dasar pemahaman sejarah filsafat, sering hanya mengikuti sesuai tradisi, tanpa memahami berpijak pada fondasi dari ajaran itu sendiri. Masih belum setiap aliran melakukan pembenaran diri, namun jika kita menganalisa dalam konteks sejarah, tentu ada hikmah-hikmah tertentu yang bisa dipetik bahkan bagi mereka yang bukan Buddhis sekalipun.



2.      Buddhisme
Buddhisme didirikan oleh Siddhartha Gautama / Siddhattha Gotama (563-483 SM) atau yang lebih dikenal sebagai Buddha, yang berarti: yang tersadarkan. Siddhartha sebelumnya adalah seorang pangeran dari kerajaan Kapilavastu, di India Utara yang berbatasan dengan Nepal. Setelah melihat dan merealisasikan adanya fakta tentang penderitaan (dukkha), pada usia 29 tahun, Siddhartha memilih menjadi seorang pertapa meninggalkan sanak keluarga dan kerajaannya untuk mencari resep obat penderitaan. Siddhartha berkelana dan belajar dari guru-guru terkenal pada zamannya. Siddhartha juga pernah melakukan praktik jain dengan menyiksa diri dan tidak mendapatkan hasil. Akhirnya memutuskan untuk menggunakan metodenya sendiri dan mencapai pencerahan pada usia 35 tahun.

Buddha mengajar pertama kali di Benares kepada lima orang pertapa yang pernah menjadi rekan praktik bertapa menyiksa diri. Ajaran yang diberikan pada mereka adalah jalan tengah (majjhimā patipadā) dan empat kebenaran utama (cattāri ariya saccāni).

Buddha
Buddha

Ajaran jalan tengah menunjukkan posisi filsafat Buddhis dalam konteks filsafat India pada waktu itu. Buddhisme lahir atas reaksi ortodoks Veda. Sikap non ortodoks seperti ini, bukan hanya dari Buddhisme, diantara yang lain adalah Carvakisme dan Jainisme. Namun perlu dipahami bahwa Buddhisme juga merupakan reaksi atas Carvakisme dan Jainisme. Carvakisme yang termasuk paham materialis menganjurkan pengejaran kesenangan (kāma). Jainisme terlalu mengedepankan sel kehidupan yang dipercaya sebagai kemurnian sejati yang akan sempurna jika melakukan disiplin bertapa keras dan menyiksa diri. Jalan tengah (majjhimā patipadā) adalah menolak dua ekstrim, yaitu ekstrim pengejaran kesenangan indriawi maupun ekstrim bertapa menyiksa diri. Melalui jalan tengah, kebijaksanaan akan tumbuh dan akhirnya membawa pada kebebasan.

Empat kebenaran utama merupakan sistematika dasar ajaran Buddha. Semua aliran Buddhis menerima doktrin dasar ini dan menjadikannya sebagai acuan. Empat kebenaran utama yang pertama adalah kebenaran tentang penderitaan (dukkha ariya sacca). Kebenaran kedua adalah sebab penderitaan (dukkha samudaya ariya sacca). Yang ketiga adalah lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha arya sacca), dan terakhir adalah kebenaran tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha gaminipatipada ariya sacca). Pokok ajaran ini mengemukakan aspek permasalahan dan tujuan hidup yang lengkap. Penderitaan adalah menjawab pertanyaan apa (what). Permasalahan manusia adalah penderitaan. Sebab penderitaan adalah nafsu keinginan (tanhā). Kebodohan (avijjā) membuat nafsu keinginan tidak terkendali, yang dicirikan dengan upaya pemuasan yang tiada henti. Ini menjawab pertanyaan mengapa (why). Lenyapnya penderitaan adalah lenyapnya nafsu keinginan sepenuhnya. Kebenaran ini menjawab pertanyaan kapan (when). Dan jalan menuju lenyapnya penderitaan adalah dengan mempraktikkan kemoralan (sila), meditasi (samādhi) dan kebijaksanaan (pañña). Kebenaran ini menjawab pertanyaan bagaimana (how). Lenyapnya penderitaan adalah kebahagiaan dan menjadi tujuan hidup yang sesungguhnya.

Buddhisme menyusun sistematika dengan memahami dukkha untuk menuju lenyapnya dukkha.  Lenyapnya dukkha sebagai kebahagiaan memiliki penekanan arti bahwa kebahagiaan bukanlah hasil pencapaian. Ketika Buddha mengajarkan Jalan Tengah dan Empat Kebenaran mulia, salah satu dari lima orang pertapa bernama Kondanna memahami ajarannya dan mencapai pencerahan. Pemahaman Kondanna adalah penembusan bahwa penderitaan karena suatu sebab, ketika sebab itu lenyap, maka terbebaslah dari penderitaan dan tercapailah kebahagiaan tertinggi atau nibbāna (nirvāna). Penjelasan bahwa Nibbāna adalah lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha) menggarisbawahi bahwa kebahagiaan bukanlah obyek pencapaian. Karena apapun yang bisa dicapai selalu tidak kekal. Sesuatu yang bisa muncul maka sesuatu itu pasti juga bisa lenyap. Jika kebahagiaan bisa dicapai, maka kebahagiaan juga bisa lenyap. Dukkha nirodha ini bisa dianalogikan sebagai permata indah yang tertutupi oleh lumpur. Ketika yang menutupinya itu disingkirkan, maka kebahagiaan secara alami akan nampak keluar.

Ajaran Buddha tentang kemunculan dan kelenyapan sebagai sifat fenomena mirip sekali dengan Vaishesika. Kemungkinan Vaishesika mengadopsi logika Buddhisme, mengingat pendiri Vaishesika yaitu Uluka diperkirakan hidup diantara 200-400 M ketika pada zaman itu Buddhisme sedang berkembang. Kemunculan dan kelenyapan menunjukkan sifat saling keterkaitan. Sesuatu yang bisa muncul selalu didahului oleh kelenyapan, dan demikian juga sebaliknya. Sesuatu yang tercipta selalu membutuhkan sesuatu yang lain, yang sudah ada sebelumnya. Konsep penciptaan tidak diterima dalam Buddhisme atas dasar dunia fenomenal selalu berubah dan tidak berawal.

Buddhisme juga tidak mengakui adanya atman (attā). Dengan tidak mengakuinya, maka Buddhisme juga tidak mengakui bersatunya Brahman sebagai moksa. Pembebasan atau pencerahan bukan bersatu dengan Brahma, tapi adalah lenyapnya nafsu keinginan yang juga berarti nibbāna. Nibbāna sebagai lenyapnya penderitaan, bukanlah dunia fenomenal yang memiliki kondisi (saṃkhata). Nibbāna adalah tak terkondisi (asaṃkhata). Yang memiliki kondisi adalah penderitaan (dukkha) dan kesenangan (sukha). Karena itu sukkha dan dukkha selalu hadir silih berganti, tidak kekal, dan selalu berubah. Konsep nibbāna memiliki peranan utama dalam Buddhisme. Karena jika Nibbāna itu tidak kekal, maka sia-sia pula sistem filsafat Buddhis. Justru karena nibbāna (akhir dari penderitaan) itu ada, maka layaklah nibbāna menjadi tujuan. Untuk itulah Buddhisme lahir dan menawarkan pedoman hidup bahagia, pedoman hidup untuk menuju pada nibbāna.

Buddha menyebutkan bahwa status brahmana tidak ditentukan sesuai kelahiran tapi sesuai dengan ucapan dan perbuatannya. Pengikut Buddha terdiri dari banyak kalangan, semua kasta termasuk yang paling rendah. Sebagaimana Jainisme, Buddhisme memahami bahwa jalan menuju kebebasan bisa  dipercepat dengan praktik yang sungguh-sungguh. Usaha dibutuhkan namun dengan jalan tengah. Sementara jalan cepat menurut Jainisme adalah dengan disiplin praktik menyiksa diri.

Ciri umum Buddhisme yang lain adalah menolak ritualitas yang dipercayai membawa pada pembebasan. Pada sekitar 500 SM, banyak Brahmana yang menyandarkan diri pada ritualitas yang diharapkan membawa pada pembebasan. Buddha dengan tegas menolak ritualitas seperti itu bahkan menganggap sebagai perilaku yang tidak akan menumbuhkan kebijaksanaan. Penekanan Buddhisme lebih merupakan psikologi dasar yang menjelaskan bahwa penyebab penderitaan adalah akibat kebodohan (avijjā /avidyā). Penderitaan adalah ulah diri sendiri. Karena itu kebahagiaan juga tergantung pada diri sendiri. Seorang guru, dalam hal ini termasuk Buddha sendiri, hanya seorang penunjuk jalan. Sikap bhakti terhadap Buddha bukan menghilangkan partisipasi diri untuk berusaha mengatasi penderitaan. Ada kemiripan dengan sistem filsafat yoga yang menempatkan pemujaan Brahma hanya sebagai alat bantu memperoleh tahapan ketenangan tertentu, bukan untuk menghilangkan upaya diri.

Buddha juga memberikan kebebasan yang besar bagi pengikutnya tanpa harus mengandalkan keyakinan (faith). Sebuah kisah dimana suku Kalama yang bingung dan ragu dengan pengakuan setiap pertapa bahwa ajarannya yang paling benar. Buddha justru memaklumi bahwa pengakuan-pengakuan para pertapa seperti itu memang bisa membuat seseorang bimbang dan ragu-ragu. Untuk itu kebenaran harus dibuktikan dan jangan hanya mempercayai tradisi saja, termasuk apa yang telah dipercayai banyak orang. Kebenaran mesti diselami dan dipahami dan dilihat apakah bermanfaat dengan alasan bisa mengurangi penderitaan. Buddhisme sangat menekankan bahwa kebahagiaan adalah tujuan. Skeptisisme bukanlah penghalang untuk memahami realitas. Justru keragu-raguan harus dilampaui dengan memahami, bukan mempercayai. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa penderitaan disebabkan oleh kebodohan (avidyā), untuk itu butuh pemahaman (vidyā) dan kebijaksanaan (pañña).

Buddhisme juga memuat ajaran sebab-sebab yang saling bergantungan (paticcasamuppāda  /dependent origination). Sebab-sebab yang saling bergantungan sering disebut dengan duabelas mata rantai, berawal dari kebodohan (avijjā / avidyā), kegiatan (samkara / samskāra), kesadaran penyambung (patisandhi vinnana / vijñāna), batin dan jasamani (nāma rūpa), enam landasan indria (salyatana / salāyatana), sentuhan/kontak (phasa / śparśha), sensasi (vedanā), nafsu keinginan (tanha / tṛșnā), keterikatan (upādāna), kemenjadian (bhava), kelahiran (jāti), lapuk dan kematian (jarā marana). Dua belas siklus ini terjadi berulang-ulang. Inilah roda samsara, roda penderitaan yang tidak berhenti, kecuali jika mencapai nibbāna. Nibbāna bukan termasuk dari dua belas mata rantai, karena nibbāna tidak berkondisi (asaṃkhata). Ajaran ini nantinya digunakan oleh Nāgārjuna yang memberi fondasi ajaran Mahāyāna.

Ilustrasi Dua Belas Mata Rantai
Ilustrasi Dua Belas Mata Rantai

Buddha mengajarkan karma (kamma). Setiap perbuatan memberikan akibat. Perbuatan baik (kusala kamma) menyebabkan akibat baik. Perbuatan buruk (akusala kamma) mengakibatkan hal-hal buruk. Hukum menuai dan menabur ini juga disebut sebagai hukum karma. Jainisme juga memahami hukum kamma. Jainisme menghindari segala perbuatan merugikan baik disengaja maupun tidak disengaja. Karena itu jainisme sangat disiplin dalam menjaga agar tidak berbuat, karena setiap perbuatan akan memberikan akibat dan membuat roda kelahiran kembali terjadi. Yang berbeda pengertian karma Buddhisme dengan Jainisme, bahwa Buddhisme membatasi bahwa hanya niat (cetanā) yang memberikan akibat kamma (kamma vipakkha).

Buddhisme tidak menggunakan istilah prakrti dan purana  sebagaimana dalam sistem filsafat Samkhya. Dalam Samkya, purana memuat atman. Karena Buddhisme tidak mengakui atman, maka digunakan istilah batin (nāma) dan fisik (rūpa). Walaupun Buddhisme mengakui adanya kelahiran kembali, namun tidak ada diri yang kekal (roh / atman) yang berpindah. Kesadaran tetap berlanjut, kecuali mereka yang telah mencapai nibbāna. Tapi itu bukan diri yang kekal, karena apa yang disebut diri itu hanyalahkumpulan proses yang selalu berubah seperti kognisi (vijñāna), sensasi (vedanā), persepsi (sanna) dan bentuk-bentuk pikiran (samskāra). Ajaran anattā (anatman) adalah ciri khas Buddhisme dan menjadikannya sebagai bagian dari pemahaman akan corak kehidupan, yaitu: ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa aku (anattā). Dalam Buddhisme, atman adalah belenggu dan penghalang bagi pembebasan. Dengan merealisasikan bahwa atman itu sesungguhnya tidak ada (anattā),  maka segala jerih upaya ego dilepas, terbebas dari nafsu keinginan (tanha), dan mencapai nibbāna.

  
3.      Konsili Buddhis
Memahami sejarah filsafat Buddhis mesti tidak melewati sejarah konsili Buddhis, karena sejarah konsili menunjukkan ada pemisahan kelompok persamuan para bhikkhu / bhiksu (sangha) dan beberapa akar permasalahan yang mendasarinya.

Tiga bulan setelah Buddha wafat (sekitar 483 SM), diadakan konsili pertama untuk menghimpun ajaran Buddha. Konsili pertama di adakan di Rajagaha, dipimpin oleh Maha Kassapa, salah seorang murid senior Buddha. Pada konsili ini doktrin ajaran (dharma) di kompilasi oleh Ananda, dan Kode peraturan (vinaya) oleh Upali. Pada waktu itu ada kontroversi tentang Vinaya. Dikisahkan beberapa peraturan minor diperbolehkan diganti namun Ananda sebagai murid terdekat Buddha tidak tahu bagian manakah yang dimaksudkan Buddha agar diperbolehkan diubah. Dalam konsili tidak disinggung tentang Abhidhamma, dan diakhir konsili disepakati bahwa vinaya tidak akan diubah mengingat Buddha baru saja mangkat, maka perubahan vinaya dianggap terlalu terburu-buru.

Pada 100 tahun berikutnya, Konsili kedua diadakan. Vinaya didiskusikan kembali. Beberapa bhikkhu ingin mengubah peraturan minor, namun beberapa bhikkhu yang lain merasa tidak perlu mengubah vinaya. Dalam konsili itu tidak ada kata sepakat, maka golongan yang ingin mengubah meninggalkan konsili dan membentuk Mahāsańgika. Sering dianggap Mahāsańgika adalah Mahāyāna, padahal pada konsili ke dua ini belum ada diskusi tentang doktrin ajaran. Semata-mata hanya tentang vinaya. Jadi kurang tepat jika Mahāsańgika identik dengan Mahāyāna. Baru belakangan Mahāsańgika mengembangkan doktrin ajaran namun bentuk definitif Mahāyāna belum ada pada zaman itu. Istilah Mahāyāna dan Hīnayāna muncul sekitar 1 SM-1 M dalam Saddharma Pundarika Sutra. Abad 2 M, Mahāyāna baru dalam bentuknya yang lebih definitif.

Konsili ketiga diadakan pada abad 3 SM pada masa pemerintahan raja Asoka. Konsili ini dipimpin oleh Mogaliputta Tissa. Dikisahkan ada perbedaan Ajaran dan Vinaya. Diakhir konsili Tissa menyusun Kathavatthu yang menjelaskan doktrin-dokstrin ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Abidhamma Pitaka termasuk dibahas dan Katthavatthu adalah termasuk bagian dari pitaka tersebut. Jadi, itu menandai munculnya Tipitaka, tiga keranjang, yaitu keranjang tentang Vinaya (Vinaya Pitaka), tentang ajaran (Sutta Pitaka), dan tentang metafisika (Abidhamma Pitaka). Konsili menyepakati semua hal itu dan menamakan dirinya Theravāda (straviravlasanda), yang berarti tradisi para sesepuh. Setelah konsili ini, anak raja Asoka bernama Mahinda, yang juga seorang bhikkhu, membawa Tipitaka ke Srilangka beserta komentarnya. Pada waktu itu belum ada istilah Mahāyāna.

Reginald A. Ray dalam Indestructible Truth, yang membahas sejarah Budhisme Tibet, menjelaskan bahwa Istilah Hīnayāna sering mengacu pada sekolah spesifik seperti Theravāda, Sarvāstivāda, dan sekolah non Mahāyāna lainnya. Sekolah Buddhis Tibet tidak pernah kontak dengan Buddhisme awal, sehingga seringkali istilah Hīnayāna merupakan pengelompokan non Mahāyāna saja. Dalam tradisi Tibet, teks Hīnayāna yang dimiliki hanyalah versi Sarvāstivāda. Pada akhir abad ke-8 M, Vinaya dari Sarvāstivāda digunakan oleh Gelukpa sebagai bagian dari langkah reformasi Buddhisme Tibet yang dilakukan Lama Tsongkapa (1357-1419 M).

Berkembangnya Buddhisme di Srilangka membuat Theravāda terisolasi dengan iklim skolastik India pada waktu itu. Srilangka tidak memiliki atmosfir yang mendukung perbedaan filsafat sebagaimana di India, walaupun di Srilangka juga mencatat beberapa sekolah (vihāra) yang seperti Mahavihara dan Abhayagiri. Mahavihara didirikan oleh putera Asoka, bernama Mahinda, dan bersikukuh dan ortodok pada sumber bahasa Pāli hingga abad ke-1 SM. Kemungkinan studi sansekerta masih sedikit, sehingga Mahavihara bisa bertahan dan berpengaruh di Anuradhapura. Perkembangan filsafat Buddhis sansekerta dari India mulai memberi pengaruh. Abhayagiri dengan sendirinya sibuk dan menyokong perkembangan ini. Ajaran Mahāyāna awal turut mempengaruhi Abhayagiri.  Mahavihara dan Abhayagiri saling mempengaruhi, namun akhirnya pengaruh Mahavihara menjadi dominan di Srilangka. Teks penting Mahavihara dan menjadi terkenal adalah Visuddhimagga yang ditulis oleh Bhadantacariya Buddhaghosa. Buddhagosa datang ke Srilangka dari India pada zaman raja Upatisa (370-412 M). Karyanya lebih bisa diterima di Srilangka daripada di India sendiri. Studi Pāli di India sangatlah sedikit, perkembangan filsafat Buddhis India lebih banyak menggunakan sansekerta. Teks lainnya yang sering dihubungkan dengan Abhayagiri adalah Vimuttimagga, karya Upatissa (bukan Arahat Upatissa abad ke-3 SM). Teks Vimuttimagga sekarang hanya dijumpai dalam versi terjemahan bahasa Cina. Pemikiran-pemikiran yang ditolak Visuddhimagga ditemukan dalam Vimuttimagga. Akan tetapi Vimuttimagga itu sendiri tidak memuat doktrin Mahāyāna. Namun dari sisi bentuk, Visuddhimagga lebih bersifat buku referensi/pedoman, sedangkan Vimuttimagga yang lebih sedikit, lebih merupakan buku yang praktis.

Ñānamoli dalam pendahuluan terjemahan Visudhimagga dalam bahasa Inggris, memberi penjelasan sejarah singkat. Kira-kira abad 1 M, bahasa sansekerta sudah menggantikan bahasa Pāli. Bahasa sansekerta menjadi sarana belajar dalam semua sekolah Buddhis di India. Aktivitas sastra di Srilangka terkatung-katung sekitar tahun 150-350 M. Kebangkitan bahasa Pāli digairahkan oleh Buddhaghosa sekitar tahun 400 M. Aktivitas sastra yang berkembang membuat Theravāda menyebar ke Myanmar, berkembang hingga abad ke-12 M.

Theravāda tidak mengalami perkembangan doktrin sebagaimana dalam Mahāyāna di India. Sarvāstivāda (Vaibhāsika), Sautrāntika, Vibhajjavada, dan Sammitiya, yang digolongkan sebagai kelompok Hīnayāna, hanya eksis di India dan belum sempat menyebar diluar batas India. Diduga Mahāyāna mempengaruhi Abhayagiri di Srilangka, namun Buddhisme Theravāda di sana didominasi oleh Mahavihara. Sarvāstivāda pernah dianggap identik dengan Theravāda. Dalam World Fellowship of Buddhist di Colombo tahun 1950 disepakati istilah Hīnayāna bukanlah Theravāda yang eksis di Srilangka, Burma, Kamboja, Laos dan lain sebagainya. Sudah umum, kini Theravāda disebut sebagai aliran Selatan, sedangkan Mahāyāna sebagai aliran Utara karena berkembang di Tibet, Cina, Jepang, Korea, dan lain sebagainya.

Keadaan skolastik India awal melahirkan Sarvāstivāda (Vaibhāsika), Sautrāntika, Vibhajjavada, dan Sammitiya. Empat sekolah ini sering disebut Hīnayāna.  Sarvāstivāda yang menggunakan kanon sansekerta memiliki kemiripan dengan Theravāda yang menggunakan kanon Pali. Empat sekolah tersebut memiliki sumber awal yang mirip Theravāda tapi memiliki pengembangan sistem pemikirannya sendiri. Itu yang membuat Abhidhamma versi Theravāda dan abhidharma versi Sarvāstivāda memiliki perbedaan. Raja Kaniska (78-102 M/ 127-147M) mendukung konsili ke empat di Kashmir, Vayobasha-sastra dikompilasi pada konsili ini. Disebutkan konsili ini didominasi oleh Sarvāstivāda. Pada waktu itu Sautrāntika menolak abhidharma Sarvāstivāda, dan menganggap hanya Sutra saja yang valid.

Mahāsańgika juga memiliki konsilinya sendiri setelah memisahkan diri pada konsili ke dua. Namun tidak banyak ahli sejarah yang menjelaskan hasil konsili Mahāsańgika. Yang jelas, Mahāsańgika pecah menjadi tiga yaitu: Lokuttaravada, Bahushrutiya, dan Chaitika. Ada sumber yang menyebutkan, bukan hanya tiga tapi delapan, yaitu: Mula Mahāsańgika, Ekavyavaha, Lokuttaravada, Bahustrutiya, Nityavada, Caityaka, Purvasailika, dan Uttarasailika. Karena keterbatasan sumber, saya hanya bahas sekilas tiga yang pertama. Lokuttaravada menyebar di Afganistan dan menganggap Buddha sebagai mahhluk lintas fana. Ini yang menjadi cikal bakal doktrin tiga perwujudan (trikaya) yang ada dalam Mahāyāna. Chaitika yang merupakan pecahan dari Bahushrutiya memahami bahwa sebelumnya Buddha sudah tercerahkan sebelum muncul di dunia ini. Tidak semua Mahāyāna menerima hal ini, namun Buddhisme Tibet menerimanya.

Mahāyāna adalah keturunan dari Mahāsańgika, namun doktrin Mahāyāna yang definitif tidak terjadi seketika, tapi melalui tahapan perkembangan. Penyebutan Mahāsańgika identik dengan Mahāyāna tidaklah tepat. Pembagian Mahāyāna dan Hīnayāna sering terlalu sederhana dilihat dari sudut pandang aspirasi spiritual. Hīnayāna bertujuan menjadi arahat, mahkluk spiritual yang mencapai nibbāna bagi dirinya sendiri.  Sedangkan Mahāyāna memiliki aspirasi untuk menunda mencapai nibbāna dan memilih menjadi penyelamat mahkluk lain (bodhisattva) selama dalam roda samsara. Inilah doktrin bodhicitta dalam Mahāyāna. Buddhisme Tibet memahami aspirasi bodhisatva bukan menunda pencapaian pencerahan, tapi menggunakan  bodhicitta sebagai cara mempercepat mencapai pencerahan. Doktrin dalam Caitika digunakan untuk menjelaskan bahwa Buddha sebelumnya sudah mencapai pencerahan. Kelahiran Buddha di dunia hanyalah teladan untuk menunjukkan caranya saja pada mahkluk lain.



4.      Hīnayāna dan Mahāyāna
Seperti yang sudah saya sebutkan, pengertian Hīnayāna dan Mahāyāna yang paling umum adalah dilihat dari sudut pandang aspirasi spritual. Disebut Hīnayāna, karena menggunakan kendaraan kecil (hina), yaitu aspirasi menjadi Arahat. Ketika konflik Mahāyāna dan Hīnayāna terjadi, sering Mahāyāna menuduh Hīnayāna terlalu egois karena bercita-cita membebaskan diri sendiri dari penderitaan. Sementara Mahāyāna menggunakan kendaraan besar (maha) karena beraspirasi menjadi bodhisattva yang bertujuan membebaskan penderitaan pada mahkluk lain sebelum diri sendiri. Beberapa Sutra secara khusus memahami jalan Mahāyāna sebaai menunda mencapai nibbāna dengan menunggu semua makhluk telah mencapainya lebih dulu. Dalam tradisi Tibet, aspirasi Bodhisattva justru dianggap sebagai cara tercepat untuk mencapai nirvāna.

Aspirasi bodhisattva juga ada dalam kanon Pāli yang menjadi acuan Theravāda. Bukan hanya itu, pembelaan Arahat dianggap egois juga kurang tepat. Karena untuk membebaskan diri dari penderitaan justru dengan mengurangi sifat egois ini. Cita-cita menjadi Arahat atau Bodhisattva tergantung pada tekad masing-masing orang. Pengertian bodhisattva dalam Theravāda berbeda dengan Mahāyāna. Bodhisattva dalam kanon Pāli mengacu pada aspirasi menjadi sammāsambuddhā (pendiri ajaran Buddha). Theravāda menyakini bahwa bodhisattva mengumpulkan penyempurnaan kebajikan (paramita) dalam waktu yang panjang untuk mendukung menjadi sammāsambuddhā di masa datang. Sementara pemahaman bodhisattva dalam Mahāyāna lebih bersifat mistik dan simbolis, yang disertai praktik altruistik.

Pergeseran aspirasi arahat menjadi bodhisattva bermula dari dalil Mahādeva yang menyebutkan arahat belumlah sempurna. Lima dalil Mahādeva tentang status arahat yang diterima oleh Mahāsańgika:
  1. Seorang arahat mungkin bisa tergoda secara tidak sadar. Hal ini dihubungkan dengan mimpi erotis.
  2. Seorang arahat masih diliputi ketidaktahuan. Bukan ketidaktahuan religius, tapi ketidaktahuan akan sesuatu hal, seperti pribadi seseorang, dan lain-lain.
  3. Seorang arahat masih memiliki keragu-raguan.
  4. Seorang arahat mungkin kurang tajam mata batinnya dan menjadi mengetahui (sadar) melalui instruksi orang lain.
  5. Seorang arahat bisa menangis dibawah tekanan.


Dalil Mahādeva tentang ketidaksempurnaan arahat membuat pergeseran aspirasi Mahāyāna, terutama aspirasi bodhisattva yang menggantikan aspirasi Arahat. Dalam teks Vaibhāsika, Mahādeva dikenal sebagai figur yang penuh kontroversi. Semua pecahan Mahāsańgika, seperti: Ekavyāvahārika, Lokottaravāda, Bahuśrutīya, Prajñaptivāda, dan Caitika, menganggap arahat belum sempurna. Hal ini memberikan pengaruh pada perkembangan Mahāyana belakangan. Namun bentuk definitif Mahāyana nampaknya justru menunjukkan kesamaan realisasi dengan cara pendekatan yang berbeda saja.

Terlepas dari kontroversi aspirasi bodhisattva dan arahat, saya pribadi memahami Theravāda dan Mahāyāna memiliki perbedaan cara penyampaian. Bahwa aspirasi dengan tidak menginginkan mencapai nirvāna, juga berarti mencapai nirvāna. Karena nirvāna bukanlah obyek keinginan. Doktrin Mahāyāna bahwa samsara dan nirvana adalah sama, bukanlah operasi identitas, tapi lebih sebagai penyampaian dialektik dimana penerimaan samsara adalah merealisasikan nirvana. Penolakan samsara justru kepanjangan dari nafsu keinginan. Menurut Alan W. Watts, relativitas samsara-nirvana adalah ciri khas Prajnaparamita Sutra, seperti dalam ungkapan “kosong (sunya) adalah bentuk (rūpa) dan bentuk adalah kosong”.  Pandangan ini menekankan bahwa pencerahan tidaklah dicapai dengan berusaha lari dari pengalaman. Samsara bagaimanapun adalah nirvāna adalah pemahaman dialektik Madhyāmaka, yang menjadi fondasi Mahāyāna selain Yogāchāra.

Ada banyak studi mengenai Theravāda dan Mahāyāna. Salah satunya adalah Dr. W. Rahula yang mengambil kesimpulan bahwa baik Theravāda maupun Mahāyāna memiliki ajaran fundamental yang sama dalam enam hal:
  • Keduanya menerima Sidharta Gotama sebagai guru utama.
  • Empat kebenaran utama untuk Theravāda dan Mahāyāna adalah sama.
  • Demikian juga Jalan Utama beruas Delapan (Ariya atthangika magga / Arya Ashtangika marga).
  • Patica samuppāda juga sama.
  • Menolak ide mahkluk adikodrati yang mencitakan dan mengatur dunia.
  • Menerima anicca, dukkha, anattā dan sila, samādhi, pañña tanpa perbedaaan.
Meruntut perbedaan dan persamaan antara Mahāyāna dan Hīnayāna, sering akan terlalu panjang, karena setiap aliran memiliki interpretasi yang berbeda, mirip, bahkan saling tumpang tindih. Saya tidak akan membahasnya lebih jauh. Dalam tulisan ini saya lebih mengutamakan untuk menampilkan sejarah pengembangan filsafat Buddhis.

5.      Tiga Periode Buddhisme India
Saya membagi perkembangan Buddhisme di India menjadi tiga, yaitu: periode buddhisme dasar, periode sekolah Buddhis (Buddhist school), dan periode Buddhisme Tantra.  Saya hanya akan lebih banyak membahas periode kedua saja, karena sesuai dengan tema utama dalam tulisan ini.

Periode Buddhisme dasar adalah lahirnya Buddhisme oleh Sidharta Gautama hingga konsili ke dua (4 SM-2 SM). Pada Konsili kedua belum terjadi perbedaan doktrin ajaran, tapi pada vinaya saja. Diantara konsili kedua hingga ketiga, sudah mulai ada perkembangan doktrin. Itu yang membuat Mogaliputta Tissa menulis Katthavatu untuk menunjukkan doktrin mana yang dianggap salah dan mana yang benar. Sebagai tambahannya, ditetapkan abhidhamma sebagai salah satu pitaka. Abidharma konon hasil kompilasi ajaran yang sudah ada sebelumnya. Karena itu Abhidharma bisa dipahami sebagai perkembangan filsafat yang paling awal, mengingat pada konsili kedua hanya dibahas tentang Ajaran dan Vinaya, tidak disinggung tentang abhidharma.

Periode sekolah Buddhis, dimulai setelah konsili kedua hingga periode sebelum munculnya tantra Buddhis (2 SM-7 M). Perkembangan filsafat diramaikan dengan perbedaan Hīnayāna dan Mahāyāna. Masing-masing aliran Buddhis memberikan pengaruh. Puncak perkembangan filsafat Buddhis terjadi pada periode ini.

Periode Tantra (7 M -11 M) muncul ketika filsafat Mahāyāna sudah dalam bentuknya yang matang. Tantra juga berkembang dalam Hinduisme. Dalam sejarah Tibet dikenal Santaraksita, dan Padmasambhava, guru terkenal pada abad ke-8 yang mengenalkan Buddhisme Tantra di Tibet. Berarti sebelum abad ke-8, Tantra sudah berkembang. Guru bernama Vajrabodhi dan Amoghavajra tiba di Cina tahun 718 M yang menerjemahkan kitab Tantra dalam Bahasa Cina. Pada abad ke-7 bentuk Buddhisme yang sedang berkembang adalah Buddhisme Chan (Zen) dan mencapai puncaknya pada Dinasti Tang dan Song. Pada abad ke-8 di Tibet pernah terjadi debat di Samye antara Buddhisme Tantra dengan Buddhisme Chan. Beberapa teknik meditasi Chan juga mempengaruhi Buddhisme Tibet. Pada periode ini, filsafat Vedanta juga berkembang seperti yang disistematisasi oleh Sankhara (788 M-820 / 850 M), Ramanuja (1175 M – 1250 M) dan Madhva (1238-1278 M). Pada abad ke-11, Buddhisme perlahan lenyap di India namun telah menyebar  melampaui batas benua asalnya.


 6.      Periode Sekolah Buddhis (Buddhist School)
Berikut adalah beberapa pokok filsafat perkembangan dalam periode Sekolah Buddhis. Masing-masing sekolah Buddhis memiliki pendapatnya sendiri. Kadang aliran Buddhis belakangan mengaku  memiliki sistem filsafat yang lebih baik karena menyempurnakan dasar pandangan sistem filsafat sebelumnya. Namun jika kita melihat secara utuh, filsafat Buddhis belakangan bisa memiliki pandangan yang lebih definitif, itu karena hadirnya karya-karya filsafat sebelumnya. Lompatan pemikiran tidak datang tiba-tiba tapi dibentuk dan dipengaruhi oleh sistem filsafat sebelumnya. Pandangan yang lebih utuh adalah melihat proses pembelajaran dalam sejarah filsafat secara keseluruhan. Menampilkan adanya proses pembelajaran itulah yang menjadi tujuan saya dalam menulis tema sejarah filsafat Buddhis.

Pada periode Sekolah ini muncul banyak sistem filsafat. Ada empat sistem filsafat yang berpengaruh pada zaman itu, yaitu: Sarvāstivāda (Vaibhāsika), Sautrāntika, Madhyāmaka, dan Yogāchāra. Dua yang pertama digolongkan sebagai Hīnayāna, dan dua yang terakhir adalah Mahāyāna.

Secara sederhana, masing-masing sekolah memiliki cara pandangnya sendiri. Pembagian yang paling lazim adalah pembagian tentang dua macam realitas, yaitu realitas konvensional dan realitas tertinggi (realitas ultimit). Sebuah contoh: meja adalah realitas konvensional. Orang mengenalnya sebagai meja, sebuah benda untuk meletakkan sesuatu. Namun secara realitas tertinggi, meja bukanlah “meja”. Apa yang disebut meja tersusun oleh banyak benda lainnya, seperti sekrup, kayu, cat, dan lain-lain. Pandangan Buddhis yang khas adalah ajaran tentang anattā, yang menjelaskan bahwa “aku” itu tidak ada secara realitas tertinggi. Namun istilah “aku” digunakan dalam realitas konvensional. Setiap sekolah Buddhis memiliki definisinya masing-masing mengenai dua macam realitas ini.


6.1. Sarvāstivāda (Vaibhāsika)
Sarvāstivāda berasal dari kata “sarvam asti”, yang berarti: ada selamanya. Sarvāstivāda mengakui adanya atom (paramanu). Filsafat atom seperti ini bukan hanya Sarvāstivāda, tapi juga dalam Vaishesika, salah satu filsafat ortodoks Veda. Rupanya filsafat atom adalah filsafat awal yang mencoba memahami kebenaran tertinggi. Realitas tertinggi adalah atom, sebagai elemen yang paling kecil dan eksis (exist), dan momen terkecil dari kesadaran. Sarvāstivāda berkembang pesat di Kashmir dan Gandara pada masa raja Kaniskha.

Dalam Maugdalyāna-Skandhaka, salah satu bagian Vijñānakaya (salah satu bagian dari Abhidharma Sarvāstivāda), “Masa lalu dan masa depan adalah tidak eksis, [hanya] masa sekarang dan yang tidak terkondisi (asainskṛta / asaṃkhata).” Secara definitif, menurut Abdhidharmakosa-bhasya: “Mereka yang menerima dan berpedoman bahwa eksistensi Dharma dalam tiga periode (masa lalu, sekarang dan masa depan) adalah seorang Sarvāstivāda.” Pada zaman raja Kanishka II (158-176) lahirlah teks Jnanaprasthana yang merevisi teks Sarvāstivāda sebelumnya. Jnanaprasthana (cause of knowledge) dan Mahāvibhāsa (great comentary / teks komentarnya) mendeklarasikan ortodoks Vaibhāsika. Inilah yang menyebabkan Sarvāstivāda juga disebut sebagai Vaibhāsika. Disebut Vaibhāsika karena ajarannya mengacu pada Vibhāsa, kitab komentar. Ini yang membuat Abhidharma versi Sarvāstivāda memiliki tujuh teks penting: [1] Sangitiparyaya (discourse on Gathering together) karya Mahakausthila, [2] Dharmaskanda (agregation of dharma) karya Arya Sariputra, [3] Prahnaptisastra (treastise on designations) karya Arya Maudgalyayana, [4] Dhatukaya (body of element) karya Purna, [5] Vijnanakaya (body of Consciousness) karya Sthavira Devasarma, [6] Prakaranapada (exposition) karya Sthavira Vasumitra, dan [7] Jnanaprasthana (fondation of knowledge) karya Arya Katyaniputra. Mahavibhasa termasuk bagian dari Jnanaprasthana.

Disebutkan aliran Buddhis lain seperti Dharmagupta dan Pudgalavada juga memiliki versi Abhidharma-nya masing-masing. Namun penyebutan Abhidharma oleh Mahāyāna sering mengacu pada versi Sarvāstivāda (Vaibhāsika) saja. Sebagai perbandingan, Abhidhamma versi Theravāda juga ada tujuh teks namun berbeda dengan Vaibhāsika, yaitu: [1] Dhammasangani, [2] Vibhanga, [3] Kathavatthu, [4] Puggalapaññati, [5] Dhātukathā, [6] Yamaka, dan [7] Patthana. Abhidhamma Theravāda berbeda dengan Abhidharma versi Vaibhāsika.

Ada ulasan tambahan dari prof. Anukul Chandra Benerjee dalam The Vaibhasika School of Buddhist Tought. Disebutkan Vaibhāsika cenderung lebih mengakui Abhidharma terutama Jnanaprasthana daripada Sutra. Bagian-bagian lain hanya dianggap pelengkap Jnanaprasthana. Mahāvibhāsa terdiri atas  delapan kelompok (khandha) dengan empat puluh tiga bagian (vagga) yang dikompilasi oleh lima ratus arahat (orang yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi / telah mencapai nirvana), empat ratus tahun setelah wafatnya (parinirvana) Buddha, yang dimulai dari Vasumitra.

Sikap ortodoks Vaibhāsika mendapat otoritas karena ajarannya berasal dari Buddha sendiri yang dikompilasi bersama oleh lima ratus Arahat. Karena itu Vaibhāsika menyebutkan ajaran ortodoksnya sebagai Buddhabhasita (kata-kata Buddha). Klaim Vaibhāsika juga ditentang oleh Sautantrika walaupun Sautāntrika juga beraspirasi  menjadi Arahat.  Sautāntrika meragukan Abhidharma yang diyakini hasil kompilasi Arahat itu sesuai dengan Ajaran Buddha.


6.2. Sautrāntika
Pada awalnya Sautāntrika adalah Sarvāstivāda yang menolak sāstra dan menerima sûtrānta. Abhidharma dianggap sāstra dan bukan ajaran dari Buddha sendiri. Ini yang membuat Sarvāstivāda disebut Vaibhāsika untuk membedakan Sautrāntika. Sautrāntika dikembangkan oleh Dignaga (5-6 M), murid Vasubandhu. Menurut Sautrāntika, realita bukan hanya obyek eksternal, tapi juga pikiran. Sautrāntika menggunakan pendekatan realitas obyektif dan penganjur realisme tidak langsung (indirect realism). Sautrāntika menerima eksternal obyek tapi menganggapnya sebagai obyek kesimpulan saja, karena itu juga disebut sebagai representationalist.

Sautāntrika menolak adanya pengetahuan perseptual tanpa obyek eksternal. Jadi tidak ada pengetahuan tiba-tiba yang independen. Pengetahuan selalu melibatkan  obyek eksternal. Sautrāntika menerima teori atom, tapi agak berbeda dengan Vaibhāsika. Sautrāntika menerima adanya ruang (ākāsa). Karena adanya ruang, maka memungkinkan adanya obyek eksternal. Pemahaman Sautrāntika adalah keterlibatan mental dalam mengenali obyek. Dalam bahasa yang lebih modern, menurut Sautrāntika, dunia ini adalah mental hologram raksasa. Seseorang tidak bisa mengenali obyek tanpa memiliki gambaran mental tentangnya. Gambaran mental (image) adalah realitas konvensional dalam Sautrāntika. Sedangkan realitas tertinggi adalah segala hal yang berubah, walaupun Sautrāntika juga mengakui adanya partikel terkecil yang tidak terbagi (atom). Segalanya berubah dan tidak kekal, tapi tetap ada hal terkecil yang tidak berubah.

Jika Vaibhāsika menyebutkan bahwa hanya masa sekarang dan yang tak terkondisi (asamskrta) adalah eksis, maka Sauntrantika memahami asamskrta tidak nyata dan terpisah atau berbeda dengan dharma lain seperti rūpa, vedanā, dan lain-lain. Yang tidak terkondisi adalah yang tanpa sebab. Sauntrantika kembali pada konsep nibbāna sebagai dasar lahirnya Buddhisme. Justru karena nibbāna itu tidak terkondisi, maka “pencapaian” nibbāna itu mungkin dan  kebahagiaan itu memang ada.

Dalam bentuk praktis. Misalkan: mobil rusak karena tergores. Pandangan cerah Vaibhāsika adalah dengan memahami bahwa yang rusak itu hanya kumpulan atom. Tidak perlu marah pada atom. Pada pandangan cerah Sautrāntika, mengapa bersedih pada mobil yang rusak, karena mobil itu tidak kekal. Inilah yang dimaksud realitas obyektif dalam Sautrāntika.


6.3. Madhyāmaka
Yang menjadi fondasi filsafat Mahāyāna adalah Madhyāmaka dan Yogāchāra. Namun bentuk definitif Mahāyāna muncul setelah itu. Beberapa sarjana memahami bahwa madhyāmaka menunjukkan titik temu antara Theravāda dan Mahāyāna.

Nagarjuna
Nagarjuna

Madhyāmaka adalah sistem filsafat yang menggunakan kekosongan (sunyata) sebagai titik tolak pembahasan. Madhyāmaka yang di sistematisasi oleh Nāgārjuna (200 M)  ini mengelaborasi ajaran Prajnaparamita.
Nāgārjuna mengkritik abhidharma dari Sarvāstivāda yang menjelaskan patica samupāda. Dua belas mata rantai tidaklah eksis sendiri tapi eksis karena berhubungan dengan mata rantai yang lain. Inilah yang memunculkan istilah sunyata (kekosongan), seperti dalam ungkapan: “semua fenomena adalah kosong (sunya) dari substansi/ezensi (svabhāva), karena keberadaaannya tergantung dengan keberadaan lainnya.” Beberapa menterjemahkan sunyata sebagai voidness selain emptiness.

Pengertian sunyata yang lain adalah nirvāna / nibbāna itu sendiri. Menurut W.S. Karunaratne, sunyata yang dihubungkan dengan patica samupāda adalah karya inovatif Nāgārjuna. Namun penyebutan bahwa sunyata sinonim dengan nibbāna, bukan pertamakali dari Nāgārjuna, karena dari sutta sudah menjelaskan hal itu. Dalam Dhammapada 92 disebutkan “sunnato animitto ca vimokkho yesam gocaro”. Sunyata adalah vimokkha (kebebasan), dalam hal ini adalah nibbāna. Sunyata dalam Theravāda lebih menampilkan aspek etika, sedangkan dalam Madhyāmaka, sunyata digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan logika dan akal untuk menangkap realita atau mendiskripsikan realita secara akurat.
Saya akan jelaskan lebih lanjut mengenai Madhyāmaka terutama mengenai Madhyāmaka Svātantrika dan Prāsańgika setelah penjelasan tentang Yogāchāra.


6.4.Yogāchāra
Yogāchāra dikembangkan oleh Asanga (350 M) dan Vasubhandu. Asanga mengenalkan logika Nyaya pada Buddhisme. Vasubhandu sebelumnya menulis Abhidharmakosa ketika masih menganut Sarvāstivāda. Namun akhirnya menganut Mahāyāna dan mengembangkan Yogāchāra bersama Asanga yang adalah saudaranya sendiri.
Abdhidharmakosa sering dianggap teks Vaibhāsika. Namun beberapa sarjana menemukan bahwa Abhidharmakosa juga menempatkan Sautrāntika dan beberapa pemikiran filsafat yang menjadi fondasi Yogāchāra. Menurut Robert Kritzer, Abdhidharmakosa adalah interpretasi abdhidharma yang dijelaskan dalam sudut pandangan Sautrāntika, sebelum Vasubhandu akhirnya mengembangkan Yogāchāra. Vasubhandu tumbuh dimasa mudanya dengan belajar Sarvāstivāda, lalu pada tahap perkembangannya mempelajari Sautrāntika, dan masa tuanya turut mengembangkan Yogāchāra.

Yogāchāra tidak memposisikan pikiran (citta) menentang konsepsi materi (rūpa). Tidak ada substansi materi pada rupa selain dari citta itu sendiri. Penegasan Yogāchāra bahwa dunia hanyalah pikiran (cittamatram lokam), ini yang membuat Yogāchāra juga sering disebut sebagai cittamātra. Ini berarti bahwa eksternal dan internal, sebelum dan sesudah, berat dan ringan, diam dan pergerakan, dan sebagainya hanyalah ide-ide atau klasifikasi mental.

Dengan sangat sistematis, Yogāchāra mengenali hal ini dalam  tiga sifat alami, yaitu: sifat imajinatif (parikalpita), sifat tergantung (paratantra), dan sifat sempurna yang sudah ada (parinishpanna). Yang termasuk realitas imajinatif adalah obyek ekternal dan diri sendiri. Segala hal yang imajinatif selalu tergantung.  Pemahaman akan paratantra menjelaskan sebuah konsep muncul karena adanya konsep-konsep yang lain. Realitas tertinggi adalah sifat sempurna yang sudah ada. Parinishpanna ini, tidak lain, adalah sunyata, realitas esensial. Parinishpanna ini mengacu pada kesadaran penyangga (ālaya vijñāna), yang tidak lain adalah Tathāgatagarbha (Buddha Nature). Merealisasikan diri adalah kembali pada diri sejati, yaitu diri yang kosong. Dalam kekosongan, tidak ada sesuatu yang perlu ditambahkan, pada hakikatnya sudah murni, sempurna, dan damai. Yogāchāra menggunakan istilah ālaya vijñāna untuk menunjukkan subyek dan obyek adalah sama, sehingga tidak ada yang patut direngguh. Kembali pada sifat alami adalah kembali pada sifat damai.

Yogāchāra juga disebut hanya representasi (vijñapti-mātra) dari kesadaran penyangga (ālaya vijñāna). Pada awalnya Asanga menulis Samdhinirmocana Sutra yang lebih konsen pada keadaan samādhi, bukan menolak eksistensi obyek eksternal.  Ketika subyek dan obyek menyatu dalam samādhi, maka eksistensi eksternal sudah tidak dikenal. Samdhinirmocana lebih “diam” tentang obyek eksternal, bukan menolaknya. Sekolah Yogāchāra belakangan terutama setelah Vasubhandu, lebih mengembangkan filsafat Yogāchāra yang secara definitif menolak eksistensi obyek eksternal.

Perkembangan Yogāchāra yang menolak eksistensi obyek eksternal, membuatnya digolongkan sebagai pandangan idealis subyektif.  Menolak adanya obyek eksternal, berarti memahami eksitensi itu hanya rangkaian kognisi yang hadir dengan caranya sendiri. Dharmakirti, salah satu penerus Yogāchāra, mengatakan: seseorang yang tidak dapat menerima kognisi, juga tidak dapat menerima obyek. Ada dua implikasi logis dari Dharmakirti:
  • Kita tidak punya persepsi tanpa kognisi. Obyek tanpa persepsi adalah tidak mungkin.
  • Tidak ada obyek diluar kognisi. Obyek dan kognisi adalah satu dan sama.
Posisi Yogāchāra lain dalam mengkritik Vaibhāsika dan Sautrāntika adalah eksistensi independen bukanlah obyek eksternal. Jadi tidak bisa mentransenden pengetahuan. Selama belum diketahui obyek adalah bagian dari kesadaran, maka muncul dualisme yang membuat ilusi keterpisahan antara subyek dan obyek. Avidyā, dalam Yogāchāra, juga termasuk ketidaktahuan bahwa obyek adalah bagian dari kesadaran. Isi (content) dari kesadaran bukan didatangkan dari luar tapi hadir karena sudah menjadi sifat dari kesadaran itu sendiri.
Yogāchārabhumi juga menyebut tentang ākāsa, tapi dipahaminya sebagai ketidakhadiran fisik (absence of rūpa). Ākāsa hanya prajñapti dan tidak nyata. Prajñapti (paññati), maksudnya adalah produk konseptualisasi. Sementara Sautrāntika menganggap ākāsa adalah nyata.

Dalam bentuk praktis. Masih menggunakan contoh yang sama tentang mobil yang rusak.
  • Jika Vaibhāsika menggunakan pemahaman realitas terkecil dalam dunia materi. Dan Sautantrika mengutamakan realitas obyektif dengan memahami bahwa mobil itu rusak dan sudah menjadi bagian alami jika mobil itu tidak kekal. Maka pandangan cerah Madhyāmaka adalah dengan memahami apa itu mobil. Mobil yang kita kenal bukanlah realitas sejati. Karena “mobil” hanyalah nama yang tidak pernah mewakili realitas. Karena itu realitas sejati hanyalah sunya (kosong). Jika demikian apa yang menjadi obyek kemarahan? Dan mengapa mesti marah? Bahkan siapa juga yang marah? Siapakah Aku ini? Sunyata juga mencakup eksistensi diri. Tidak ada alasan yang mengharuskan marah. Inilah pandangan cerah.
  • Pandangan cerah Yogāchāra melengkapi sudut pandang Madhyāmaka. Fenomena mobil rusak itu hanyalah penampakan kognitif yang berhubungan dengan karma dan kesadaran (mental continuum). Kita tidak bisa menyalahkan penderitaan kita pada situasi eksternal atau juga pada orang lain. Seperti sedang menonton film yang hanya proyeksi dari proyektor, tapi orang sering sedih, marah, dan memiliki reaksi tertentu pada film. Semuanya adalah proyeksi dari pikiran kita sendiri.
Asanga
Asanga
Vasubhandu
Vasubhandu

6.5.Madhyāmaka Svātantrika dan Prāsańgika
Nāgārjuna menghubungkan ajaran sunyata dengan sebab-sebab yang saling bergantungan (paticca samupāda). Sunyata bisa dipahami sebagai kesalingterkaitan alami pada realita (interdependent nature of reality).  Cara pandang ini yang selanjutnya membuat Madhyāmaka berkembang menjadi dua, yaitu Madhyāmaka Prāsańgika yang dikembangkan oleh Buddhapālita (5-6 M) dan Chandrakīrti (7 M) dan, dan Madhyāmaka Svātantrika yang dikembangkan oleh Bhāvaviveka (6 M). Kedua Madhyāmaka ini sama-sama memahami kesalingterkaitan alami pada realitas, tapi dengan sedikit perbedaan sudut pandang. Pada Svātantrika, walaupun sesuatu ada karena tergantung pada yang lain, tapi ada realitas intrinsik pada sesuatu ini. Sementara Prāsańgika menolak adanya realitas intrinsik ini.

Berikut ini saya akan jelaskan perbedaan Svātantrika dan Prāsańgika lebih mendalam.
Secara definitif, saya mengutip dua sudut pandang Svātantrika dan Prāsańgika dari Meditation on Emptiness, yang dikompilasi oleh Jeffrey Hopkins.
Mādhyamaka Svātantrika:
“Penganjur  ketiadaan eksistensi nyata yang menegaskan bahwa secara konvensional semua fenomena eksis dengan karakter sifatnya sendiri.”
Mādhyamaka Prāsańgika:
“yang tidak menegaskan bahwa semua fenomena eksis dengan karakternya sendiri meskipun secara konvensional”.
Madhyāmaka Svātantrika memahami kombinasi eksternal dan internal menentukan eksistensi suatu fenomena. Contoh: Jika kita pikir seekor anjing adalah seekor kucing. Walaupun kita tetap melabelinya sebagai “kucing”, itu tidak merubah seekor anjing menjadi kucing. Svatantika menunjukkan bahwa penamaan mental tetaplah ada dasarnya. Walaupun penamaan itu hanyalah realitas konvensional. Ini yang dimaksud dengan realitas intrinsik.
Madhyāmaka Prāsańgika lebih menekankan bahwa eksistensi itu ditentukan oleh penamaan metal saja. Tidak ada basis validitas bahwa sesuatu itu harus bernama tertentu. Kata “kucing”, “anjing”, itu hanya nama. Realitas intrinsik tidak ada karena yang disebut ada itu tergantung dengan keberadaan yang lain. Lodro Gyatso, Guru Tibet dari Amdo, menegaskan posisi Prāsańgika, dengan menyebutkan bahwa sunyata bukan absen fungsionalitas. Patica samupāda bukan tentang identitas intrinsik tapi tentang ilusi. Fungsi penamaan itu memang ada, hanya saja itu hanya penamaan tanpa dasar validitas.

Aliran Gelukpa sebagaimana yang dipahami H.H. Dalai Lama XIV adalah penerus Yogāchāra Madhyāmaka Prāsańgika. Mengacu pada Madhyāmaka sebagai jalan tengah. Tapi bukan jalan tengah sebagai majjima patipada yang merupakan sikap terhadap Carvaka dan Jainisme. Jalan tengah Madhyāmaka adalah menolak ekstrim eksis (eternalis) dan ekstrim tidak eksis (nihilis). Dalai Lama memberi sebuah analogi untuk menjelaskan pandangan Prāsańgika. Jari tengah itu ada. Namun jika sebuah tangan memiliki empat jari, lalu mana jari tengahnya?  Dalam konteks lima jari, jari tengah eksis. Tapi dalam konteks empat jari, jari tengah tidak ada. Madhyāmaka Prāsańgika memahami gagasan tentang “jari tengah” tidak bisa eksis tanpa adanya gagasan lainnya. Jadi “ada” selalu melibatkan “ada yang lain”. Inilah realitas konvensional. Disebut konvensional, karena kebenarannya bersifat relatif.  Untuk itu digunakan kosong (sunya) sebagai realitas tertinggi. Apapun konteksnya, sebuah keberadaan adalah kosong. Paham eternalis akan menyebutkan eksis namun tidak melihat sifat relatifnya. Sedangkan paham nihilis secara mutlak menyebutnya tidak ada. Sunyata adalah jalan tengah, mengatasi paham eternalis dan nihilis.


6.6. Dua metode untuk Memahami Kekosongan
Vaibhāsika, Sautrāntika, Madhyāmaka, Yogacara, lalu Madhyāmaka Svātantrika dan Prāsańgika dianggap sebagai tahapan perkembangan filsafat Buddhis. Guru-guru modern sebagian menyebutkan Yogāchāra Madhyāmaka Prāsańgika sebagai puncak filsafat sebagaimana dalam aliran Gelukpa (Ordo Buddhist yang dipimpin Dalai Lama). Bagi mereka yang membela Prāsańgika, akan menuduh Svatrantrika menikmati status independen, artinya melekati sesuatu sebagai nyata. Pengakuan realitas intrinsik hanya membuat kemelekatan dan penghalang bagi upaya pencerahan. Prāsańgika dicetuskan oleh Buddhapālita (5-6 M), lalu disanggah oleh Bhāvaviveka (6 M). Buddhapālita hidup berdekatan (sezaman), tapi tidak ada catatan mereka berdua bertemu muka. Svātantrika yang dicetuskan Bhāvaviveka disanggah oleh Candrakitri (7 M). Jadi debat Prāsańgika dan Svātantrika nampaknya hanya perbedaan interpretasi tanpa adanya dialog langsung, sehingga beberapa guru mulai memahami perbedaan tersebut perlu disikapi dengan sintesa pemahaman tertentu. Salah satu upaya itu adalah gerakan Rime (non sektarian) di Tibet.

Pemahaman sintesis itu memahami Svātantrika dan Prāsańgika sebagai dua buah sudut pandang yang berusaha merealisasikan hal yang sama, yaitu (merealisasikan) sunyata. Dengan kata lain, Svātantrika dan Prāsańgika bukan tentang siapa yang lebih baik, tapi hanya perbedaan metode saja.
Bhāvaviveka memahami ketika persepsi muncul, maka muncul penampakan entitas obyektif. Entitas itu menempatkan sudut pandang obyektif yang adalah proyeksi dari persepsi. Status independen, bagi Bhāvaviveka, adalah pengenalan obyek saja. Svātantrika bisa disebutkan sebagai metode penalaran silogistik. Selama pengenalan obyek dipahami sebagai realitas konvensional, itu juga merupakan bagian dari memahami realitas tertinggi, sunyata.

Chandrakīrti tidak menggunakan sudut pandang obyektif dan memilih penalaran (reason) untuk mengafirmasi apa yang berkaitan dengan diri, tapi lebih menampilkan inkonsistensi internal dari sudut pandang yang sedang dialami. Pendekatan ini mirip dengan reductio ad adsurdum dalam logika Barat, yaitu:  “apa yang keliru dibuang”. Jika Svātantrika disebut sebagai metode penalaran silogistik (syllogistic type reasoning), maka Prāsańgika disebut sebagai penalaran cara konsekuentialis (consequentialist style of reasoning).

Ada diskusi menarik yang menjelaskan titik temu Svātantrika dan Prāsańgika. Ada tiga level analisis, yaitu: tanpa analisis (no analysis), analisis menengah (slight analysis), dan analisis tuntas (thorough analysis). Contoh: sebuah meja. Sebuah meja adalah meja, menurut tanpa analisis. Pada tahap analisis menengah, sifat dari meja (inherent nature of table) di negasi. Pada Analisis tuntas, tidak ada sesuatu yang dinegasi. Jika secara realitas tertinggi adalah kosong, maka apa yang dinegasi. Svātantrika dan Prāsańgika berbeda dalam hal analisa menengah (slight analysis). Jika terburu-buru pada Analisis tuntas, maka memungkinkan terperosok pada nihilisme. Karena itu Svātantrika menggunakan pendekatan yang bertahap, dengan mengakui sifat dari obyek yang nantinya dianalisis lagi lebih mendalam secara tuntas. Sementara Prāsańgika, menjadikan konsep obyek dinegasi. Pendekatan Prāsańgika bersifat langsung, bukan bertahap.

Guru Nyingma bernama Jamgȍn Mipham Rinpoche (1846-1912) menulis komentar Madhyāmakalamkara karya Shantarakshita, yang dikenal sebagai Yogāchāra Madhyāmaka Svātantrika. Mipham tidak secara khusus membela Svātantrika atau juga Prāsańgika, tapi lebih melihatnya sebagai dua metode yang sama-sama ada kebenarannya. Mipham sendiri termasuk penggerak tradisi Rime  di Tibet.

Sejarah Svātantrika muncul ketika Bhāvaviveka mengkritik Buddhapālita agar menggunakan silogisme formal yaitu menggunakan pendekatan kesalingtergantungan (svatantrānumāna) dari pada terburu-buru dengan argumen Prasanga. Argumen Bhāvaviveka disanggah oleh Chandrakīrti yang juga dari Prāsańgika. Mipham memahami baik Svātantrika maupun Prāsańgika memiliki tujuan yang sama yang berbeda pada metode pedagogiknya saja. Pedagogik maksudnya metode itu merefleksikan kebutuhan murid untuk mempelajari sunyata secara intelektual, bukan pada level realisasi.  Svātantrika bisa dipahami sebagai jembatan antara kebenaran konvensional dan kebenaran tertinggi, walaupun keduanya masih bersifat intelektual. Pemahaman akan realitas tertinggi hanya alat sementara, sebelum nantinya mengalaminya sendiri.

Pembagian realitas konvensional dan tertinggi adalah upaya sistemasi pemahaman intelektual untuk membantu realisasi. Realitas tertinggi, sunyata, tidak bisa dibicarakan, karena bersifat transenden melampaui batas elaborasi intelektual. Realitas tertinggi itu hanya bisa dialami tapi tidak dapat diekspresikan dalam bentuk yang memuaskan.

Bhavaviveka
Bhavaviveka

Chandrakirti
Chandrakirti

Perbandingan Vaibhasika, Sautrantika, Madhyamaka, Yogachara
Perbandingan Vaibhasika, Sautrantika, Madhyamaka, Yogachara

7.      Pengaruh pada Sistem Non Buddhis
Setelah Dharmakirti (7 M) muncul Shantarakshita (8 M) dan Kamalashila (8 M) yang mengartikulasikan sintesis Yogāchāra dan Madhyāmaka. Puncak filsafat Mahāyāna adalah sintesis Yogāchāra dan Madhyāmaka. Sintesis ini mempengaruhi tradisi non Buddhis. Walaupun Buddhisme termasuk non ortodoks, namun ajaran Vedanta ortodoks mengambil sebagian pemikiran Buddhis. Berikut beberapa penjelasan singkat pengaruh Buddhisme pada Vedanta, sebelum nantinya Buddhisme juga dipengaruhi ajaran Tantra. Tantra berkembang baik dalam Hindu maupun Buddhisme. Ditulisan berikutnya saya akan membahas tentang perkembangan Tantra ini.

Jika Madhyāmaka mengambil sunyata sebagai realitas tertinggi, maka Upanisad dengan jelas menyebutkan Tuhan (Brahman) sebagai realitas tertinggi. Tradisi ortodoks mengakuinya secara absolut, sesuai dengan monisme dalam Upanisad.  Dalam Nyaya dan Vaishesika, hakikat diri adalah ada dan tanpa kesadaran. Samkhya dan Yoga, hakikat diri adalah ada dan kesadaran. Pada Vedanta, hakikat diri adalah ada, kesadaran dan bahagia (sat, cit, ananda). Penekanan pada bahagia mirip dengan pemahaman Nirvana dalam Buddhisme. Shankara (788M-820/850M) memahami kebebasan bukan mencapai sesuatu, tapi penemuan jati diri (self-discovery). Gaudapada yang diduga guru Govinda, yang adalah guru dari Sankhara pernah menyebutkan, “Tidak ada keteruraian, tidak ada perbudakan dan tidak ada calon Brahman; juga tidak ada orang yang sangat menginginkan kebebasan atau jiwa yang terbebas. Inilah puncak kebenaran.” Inilah yang menjadi ajaran paradoksal yang meniadakan diri dari Advaita (Vedanta versi Sankhara), yang selaras dengan teks-teks Buddhisme terutama ajaran tanpa diri (anatman/anattā).

Ungkapan Vedanta “tat tvam asi (dia adalah dirimu)”, mirip dengan pandangan Yogāchāra yang memahami bahwa semua obyek ekternal, tidak lain, adalah pikiran. Vedanta versi Sankhara menyatakan diri sebagai non dualisme (advaita), maksudnya tidak ada perbedaan antara Tuhan (Brahman) dan Diri (Atman). Tuhan adalah dasar dari seluruh pengalaman. Tuhan tidak sama dengan dunia, juga tidak berbeda, dan ada. Diri individual adalah  sama dengan Atman yang dibatasi. Moksa atau realisasi diri bisa dicapai dengan praktik devosi dan latihan  dan bisa dicapai selama orang masih hidup (tidak menunggu setelah kematian). Moksa bukan hancurnya dunia, dunianya tetap ada, hanya saja cara pandang terhadap dunia yang sudah berubah dan telah menyingkirkan kebodohan (avidya).

Vishishtadvaida versi Ramanuja (1175M-1250M) mengakui adanya dua realitas, yaitu: realitas yang berdiri sendiri (sawatantra) yaitu Tuhan, dan realitas yang tergantung dengan yang lain (paratantra). Bandingkan dengan tiga sifat alami versi Yogāchāra, yaitu: sifat imajinatif (parikalpita), sifat tergantung (paratantra), dan sifat sempurna yang sudah ada (parinishpanna).

Buddhisme mempengaruhi sistem filsafat non Buddhis, terutama Hindu. Prof. Anukul Chandra Benerjee menyebutkan bahwa Sistem filsafat Hindu dan Jain menyingung empat sekolah (four schools), yaitu: Vaibhāsika, Sautrātika, Madhyāmaka, dan Yogāchāra. Dalam Sarvadarsanasamgraha karya Madhavacarya juga dijelaskan empat sekolah Buddhis tersebut.

The religion of the future will be a cosmic religion. It should transcend personal God and avoid dogma and theology. Covering both the natural and the spiritual, it should be based on a religious sense arising from the experience of all things natural and spiritual as a meaningful unity. Buddhism answers this description. If there is any religion that could cope with modern scientific needs it would be Buddhism.”
(Albert Einstein)


8. Penutup
Perkembangan filsafat Buddhis di India didukung oleh keadaan dan situasi politik yang memungkinkan pada waktu itu. Jika sebuah negara dalam keadaan perang dan kacau, dan tidak mendukung perkembangan filsafat, maka orientasi spiritual begitu rendah sehingga perkembangan filsafat tidak terjadi. Ketika bangsa Yunani menginvasi India, tidak memusnahkan iklim spiritual India. Yang terjadi justru pertukaran pengetahuan antara peradaban Timur dan Barat. Hal itu nampak dalam pengaruh kesenian Yunani pada kesenian Buddhis. Perkembangan Buddhisme perlu dilihat dari sudut pandang ini.

Wawasan dalam tulisan ini walaupun sebatas teori, namun semakin memperjelas arah dan tujuan dari praktik meditasi. Daya tarik Buddhisme selanjutnya adalah penjabarannya dalam praktik meditasi, yang semakin dipahami sebagia bentuk psikoterapi mandiri yang dapat diandalkan.

Ada satu fase perkembangan Buddhisme yang belum saya jelaskan di tulisan ini, yaitu Periode Tantra (7 M -11 M). Periode Tantra ini terjadi ketika Buddhisme Mahāyāna di India sudah dalam bentuknya yang matang. Harapan saya, tulisan ini bisa menjadi dasar untuk memahami Sejarah Tantra pada tulisan saya berikutnya.

0 komentar: