Sejarah Singkat Filsafat Barat Moderen
Sejarah
filsafat modern barat, sebagaimana diungkapkan Hamersma (1983:3) adalah buah
dari bersemainya benih pemikiran di zaman abad pertengahan dan memuncak pada
renaissance. Ciri utama pemikiran modern dilambangkan dengan “subjek” sebagai
pusat pemikiran. Subjek yang dimaksud disini adalah manusia. Manusia dianggap
sebagai pusat dari segala sesuatu. Manusia, dalam filsafat modern, memaknai
dirinya tidak lagi sebagai orang yang bersiarah di dunia (viator mundi), tetapi
sebagai pribadi yang menciptakan dunia (faber mundi).
Penemuan
mesiu, seni cetak dan kompas telah membawa dunia barat saat itu pada keyakinan
yang teguh akan peran mereka sebagai pencipta dunia. Alam pemikiran abad pertengahan yang didominasi otoritas
gereja dan negera perlahan semakin ditinggalkan. Substansi pemikiran yang
berpusat pada manusia menjadikan manusia sebagai dia yang memikul seluruh
kenyataan hidup.
Dalam suasana semacam itulah, lahir
filsuf rasionalis Rene Descartes. Descartes mengajukan metode baru dalam
pendekatan filsafat yaitu “kesangsian metodis”. Dalam kesangsian metodis,
Descartes meragukan segala sesuatu. Ia ragu pada kenyataan disekitarnya. Ragu
pada pengetahuannya. Juga ragu pada pengalamannya. Ketika ia ragu pada segala
sesuatu, ada satu hal yang tidak dapat diragukan. Hal itu adalah dirinya yang
sedang ragu. Dengan demikian jelas bagi Descartes bahwa satu-satunya hal yang
tidak dapat diragukan adalah dia yang meragu. Descartes yang ragu adalah
kenyataan yang tidak terbantahkan. Ia ragu, ia berpikir. Ia berpikir, maka ia
ada. Adanya dia karena ia berpikir dan sangsi. Descartes menegaskannya dalam
kalimat “Cogito, ergo sum”. Je pense,
done je suis. Saya berpikir, maka saya ada.
Dalam konstruksi rasionalisme Descartes, akal budi atau rasio
dapat mencapai kepastian akan kebenaran tanpa membutuhkan bantuan apapun. Untuk
ini, ada tiga hal yang jelas dan tegas (clare
et distincte) yaitu Allah, pemikiran (cogito) dan keluasan (extensio). Pemikiran merupakan bagian
dari bidang psikologi. Keluasan adalah bidang dari ilmu alam. Dalam diri manusia,
kedua hal itu menyatu. Konsep ini menyebabkan Descartes dipandang sebagai
pemikir dualisme. Jiwa dan tubuh adalah dua hal yang terpisah dan hanya menyatu
sebagai akibat kerja kelenjar kecil dibawah otak.
Serumpun dengan pemikiran Descartes
adalah Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Blaise Pascal. Zaman
dimana keempat filsuf ini hidup disebut zaman Barok. Baruch Spinoza memandang
substansi alam dan Allah sebagai satu-kesatuan yang tak terpisahkan.
Pengetahuan manusia adalah kontemplasi yang memberi persesuaian dengan
keseluruhan, dan sebagai hasilnya, kebebasan dan kebahagiaan. Sementara bagi Leibniz, tidak ada substansi
tunggal. Substansi bersifat banyak. Semua itu dinamai monade-monade.
Monade-monade itu seperti jiwa. Ia dapat
berpikir dan memiliki kesadaran. Monade-monade itu diatur dalam suatu harmonia
praestabilita yang ditetapkan oleh Allah sebelumnya.
Mengambil keberjarakan dengan para pemikir sebelumnya,
Blaise Pascal berada pada posisi anti rasionalisme. Bagi Pascal, hati memiliki
alasan-alasan yang sama sekali tidak dapat diketahui akal. Bagi Pascal,
keputusan-keputusan yang dibuat manusia lebih banyak adalah penyangkalan atas
akal sehat, daripada sebaliknya.
Zaman fajar budi lahir diujung zaman Barok. Para pemikir
era fajar budi memandang bahwa alam pemikiran manusia kini telah dewasa. Manusia
kini bertumpu pada rasio. Kata kunci zaman Barok antara lain rasio, empiri,
toleransi, dan kebebasan. Dalam
sejarah filsafat prancis, pada masa ini lahir filsuf besar seperti Voltaire,
d’Alembert, Diderot, dan Rousseau. Jerman melahirkan nama-nama Wolff, Lessing
dan Immanuel Kant. Sementara emiprisme Inggris memunculkan tokohnya seperti
Locke, Berkeley dan Hume.
Pemikiran empirisme menjadi penanda paling menonjol di
zaman fajar budi. Jika rasionalisme menekankan pentingnya rasio dalam
memperoleh ilmu pengetahuan, maka empirisme meyakini bahwa pengetahuan hanya
dicapai oleh hasil kerja panca indera. Dan karena terbatasnya panca indera
manusia, maka pengetahuan juga tidak dapat mencapai kepenuhannya.
Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679)
dan John Lock menjadikan paham empirisme begitu mendominasi periode ini. Isi
otak saya, kata Lock terdiri dari ide-ide. Ada ide-ide tunggal (simple idea)
dan ada ide-ide jamak (complex idea). Ide yang peertama berhubungan langsung
dengan pengalaman inderawi. Ide yang kedua merupakan hubungan dari ide-ide yang
pertama. Misalnya sebab, akibat, relasi, syarat dan sebagainya hanya dapat
diamati melalui kombinasi ide-ide tunggal.
Empirisme memuncak pada David Hume (1711-1776)/ Hume
mengikuti pemikiran Locke dan Berkeley sampai batas dimana empirisme menjadi
agak mustahil. Bagi Hume, pendapat
Berkeley tentang subjek yang sedang mengamati dicoret oleh Hume. Bagi Hume, aku
sebagai pusat pengalaman, kesadaran dan pikiran hanyalah kesan (impression)
semata-mata. Kesan merupakan bahan darimana pengetahuan tersusun. Karena itu,
kesadaran manusia bukanlah suatu jiwa. Kesadaran hanyalah deretan kontinyu dari
kesan-kesan.
Pemikiran Hume ini menggelisahkan Immanuel Kant (1724-
1804). Bagi Kant empirisme benar. Namun rasionalisme tidak dapat serta merta
dibuang. Karenanya, Kant berupa membuat sintesa atas perang dua aliran filsafat
ini. Kant menunjukkan bahwa pegetahuan adalah hasil perpaduan antara pengalaman
inderawi dan kemampuan pikiran. Ia membagi tiga tingkatan pengetahuan manusia.
Pertama, pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang disebutnya Sinneswahrnehmung. Kedua, pengetahuan
yang berasal dari akal budi yang disebutnya verstand.
Ketiga, pengetahuan yang berasal dari intelektual atau rasio yang disebutnya vernunft.
Pengalaman inderawi adalah unsur a-posteriori yaitu
segala sesuatu yang ada kemudian. Sementara akal budi merupakan unsur a-priori
yang datang sebelum adanya pengalaman inderawi. Pada akhirnya, pengetahuan
adalah sintesa antara kedua unsur ini. Bagi Immanuel Kant, pengetahuan tidaklah
berasal dari metafisika. Pengetahuan harus digali dari bawah, untuk menciptakan
ruang bagi iman. Dalam cara berpikir Kant, manusia bukanlah pengamat atas
objek-objek yang diam, melainkan objek-objek yang harus dibawa ke hadapan
manusia untuk diamati. Gaya berpikir semacam ini disebut « revolusi
Copernican ke arah subjek ».
Dalam hubungannya dengan pemaknaan pengetahuan, Kant
bertanya : ‘apa yang harus saya lakukan ?’ Bagi Kant, ada bermacam
kaidah tindakan manusia. Kaidahitu antara lain : (1) maksim-maksim yaitu
kaidah yang bersifat subjektif, (2) undang-undang yaitu kaidah yang berlaku
secara umum objektif, (3) imperatif hipotetis yaitu syarat untuk mencapai sesuatu
yang bersifat umum, untuk mendapatkan x orang harus melakukan y terlebih
dahulu, (4) imperatif kategoris, berlaku umum, selalu, ada dimana-mana. Tujuan etika bagi Kant adalah kebaikan, dan kebaikan
menghasilkan kebahagiaan sempurna.
Periode Kant menutup zaman filsafat fajar budi. Selanjutnya, filsafat memasuki zaman romantik
dimana para filsuf Jerman seperti Johann Gottlieb Fitche (1762-1814) dan
Friedrich Wilhem Joseph von Schelling mengembangkan filsafatnya dari pemikiran
Kant. Bagi Fitche, idealisme Kant tidak cukup konsekuen. Menurut Fitche bidang
an sich filsafat Kant, bidang dimana benda ada pada dirinya sendiri, sama
sekali tidak ada. Pada tahap pertama, ada pikiran yang disebut Fitche sebagai tesis. Pikiran tidak dapat memikirkan
dirinya sendiri. Maka dengan demikian dibutuhkan objek di luar aku. Objek
yang bukan aku ini disebut anti tesis.
Jadi subjek yang berpikir dan objek dari pikiran adalah tesis dan anti tesis. Bertautnya
subjek dan objek merupakan proses sintesis.
Pemikiran
idealisme Jerman memuncak pada George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Pendapat Kant bahwa manusia hanya bias mengenal gejala-gejala diatasi Hegel
dengan konsep pemberian struktur oleh kategori-kategori dari akal. Jadi dalam
filsafat Hegel, tidak ada yang tidak bisa dikenal. Seluruh system filsafat
Hegel terdiri dari “triade-triade” yaitu rangkaian dialektis tiga tahap yaitu
tesis, anti tesis dan sistesis. Disini Hegel menggunakan terminologi Fitche.
Hegel yang kemudian menyusun suatu sistem filsafat yang terdiri atas ilmu
logika, filsafat alam dan filsafat roh. Di dalam ketiga cabang
filsafat ini, hamper semua penyelidikan filasat dirangkum. Bagian paling
menggetarkan dari filsafat Hegel terletak pada tesisnya bahwa seluruh kenyataan
adalah suatu kejadian besar. Kejadian itu adalah kejadian roh. Roh ini adalah
Allah. Bukan Allah sebagai persona, Allah yang sama sekali lain (transendensi),
melainkan Allah yang imanen. Sistem
Allah hegel hamper mirip dengan Allah Spinoza yang panteistis.
Setelah filsafat Hegel, dunia memasuki zaman modern. Ada
bermacam pemikiran filsafat pasca Hegel. Namun yang paling mudah diidentifikasi
adalah terpisahnya filsafat menurut teritori negara. Paling tidak ada tiga
wilayah. Filsafat Jerman. Filsafat Perancis. Filsafat Anglo-Saxon. Filsafat
Jerman melanjutkan sistem filsafat Kant dan Hegel. Sementara filsafat di negeri
yang berbahasa Inggris (Anglo –Saxon) mengikuti pemikiran empirisme Hume.
Filsafat Perancis hampir selalu menampakkan ciri positivisme Auguste Comte.
Namun beberapa filsuf Prancis di era modern seperti Sartre (1905-1980) tampil sebagai filsuf eksistensialisme yang
melanjutkan pekerjaan para filsuf di negeri berbahasa Jerman seperti Sวพren Kierkegaard (1838-1855)
dan Friedrich Nietszche (1844-1900).
0 komentar:
Posting Komentar