Makalah Pudgala Nairatmya
Oleh : Putradi
Npm: 11110139
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Buddhisme mengajarkan
bahwa untuk melihat diri sebagai independen, diri yang terpisah, adalah ilusi.
Padahal sebenarnya kita terhubung dengan semua yang ada dalam jaringan luas
persekutuan (tanpa diri). Nairatmya mewujudkan realisasi ini (juga disebut pudgala-nairatmya,
tidak-permanen-tanpa aku pada diri seseorang)
Pudgala-Nairatmya
dapat diartikan sebagai tiada inti yang kekal yang terdapat
dalam diri
manusia. Mahayana
berpendapat bahwa untuk mencapai kebebasan yang sempurna tidak hanya dengan
melenyapkan kekotoran batin (klesavarana) saja, namun juga memerlukan
pelenyapan pandangan keliru (jneyavarana). Hal itu berarti diperlukanya
merealisasi pudgala-nairatmya
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat
diambil suatu permasalahan sabagai berikut :
1. Bagaimanakah
pemahaman Pudgala Nairatmya dalam Agama Buddha ?
2. Bagaimanakah
doktin menganai Pudgala Nairatmya ?
3. Adakah
prinsip hukum di dalam Pudgala Nairatmya ?
C.
Tujuan Makalah
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
untuk menambah pengetahuan pemahaman mengenai Pudgala Naitamya atau yang biasa
disebut sebagai kekosongan konsep aku
yang nyata (anatta).
D.
Manfaat Makalah
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak, khususnya kepada mahasiswa sekolah
tinggi ilmu Agama Buddha Jinarakkhita untuk menambah pengetahuan dan wawasan
dalam pemahaman mengenai Pudgala Nairatmya . Manfaat lain dari penulisan
makalah ini adalah dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan dapat
menambah bahan referensi kepustakaan bagi Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha
Jinarakkhita Bandar Lampung.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pudgala Nairatmya
Pudgala-Nairatmya
dapat diartikan sebagai tiada inti yang kekal yang terdapat dalam diri manusia.
Sedangkan Dharma-Nairatmya merupakan tiada unsure-unsur dari realitas yang
berdiri sendiri atau yang mengandung inti yang kekal. Kekotoran batin seperti
keserakahan,kebencian dan kebodohan timbul karena adanya pandangan yang keliru
tentang aku(satkayadrsti).Pandangan yang keliru ini perlu diatasi melalui
tumbuhnya pandangan pudgala-nairatmya, yakni tak ada aku yang kekal atau
berdiri sendiri dalam diri manusia.
Mahayana
berpendapat bahwa untuk mencapai kebebasan yang sempurna tidak hanya dengan
melenyapkan kekotoran batin (klesavarana) saja, namun juga memerlukan
pelenyapan pandangan keliru (jneyavarana). Hal itu berarti diperlukanya
merealisasi pudgala-nairatmya dan dharma-nairatmya. Untuk merealisasi
pudgala-nairatmya,juga dapat dilakukan dengan memahami pratityasamutpada
(sebab-akibat yang saling bergantungan). Dalam pratityasamutpada tersebut akan
dengan jelas terlihat bahwa realitas dalam diri manusia itu saling
bergantungan, tiada unsure yang berdiri-sendiri (non-substansi), tiada aku, dan
bersifat realita. Fenomena, baik diri manusia maupun eksistensi lainnya adalah
kosong atau sunya.
Buddha . Buddhisme mengajarkan bahwa untuk melihat diri sebagai
independen, diri yang terpisah, adalah ilusi. Padahal sebenarnya kita terhubung
dengan semua yang ada dalam jaringan luas persekutuan (tanpa diri). Nairatmya
mewujudkan realisasi ini (juga disebut pudgala-nairatmya,
tidak-permanen-tanpa aku pada diri seseorang ). Tubuhnya berwarna biru, warna ruang terbatas, mencerminkan hamparan tak
terbatas nya kesadaran . Seperti elemen ruang, dia mengalir melalui alam semesta tanpa hambatan, karena ia telah melampaui ego berpusat eksistensi. Matanya menyala dengan
kebijaksanaan orang yang memahami misteri dan kedalaman kehidupan.
B.
Doktrin Tanpa-Aku
Yang dianggap oleh umum
sebagai Aku, Ego, Roh atau Atma ialah adanya satu inti-yang kekal, tetap dan
absolut yang merupakan substansi yang tak berubah-ubah di belakang “dunia yang
terlihat ini” yang senantiasa dalam keadaan bergerak dan berubah. Menurut
ajaran beberapa agama, setiap orang mempunyai Roh demikian yang diciptakan oleh
Tuhan dan yang sesudah mati tetap hidup abadi, dalam sorga atau dalam neraka,
dan tujuannya yang terakhir ditentukan oleh Sang Pencipta itu sendiri.
Menurut pendapat lain, ia berjalan melalui banyak kehidupan sampai
menjadi bersih betul dah akhirnya bergabung kembali dengan Tuhan atau Brahma,
Roh Yang Universal atau Atma, tempat asal ia diciptakan. Roh di dalam orang
inilah yang menjadi pemikir dari pikiran, yang merasa melalui perasaan, yang
menerima pahala atau hukuman untuk semua perbuatan-perbuatannya, yang baik
maupun yang buruk. Konsepsi ini dinamakan ide tentang adanya Aku atau Roh yang
kekal abadi.
Dalam sejarah umat manusia, agama Buddha merupakan satu-satunya agama
yang menyangkal adanya Roh, Aku atau Atma yang kekal abadi. Menurut agama
Buddha, ide tentang adanya satu Roh yang kekal abadi adalah khayalan belaka dan
kepercayaan salah yang tidak mempunyai dasar kebenaran. Ia menciptakan pikiran
yang sangat merugikan, yaitu tentang adanya Aku dan “Milikku”, keinginan yang
mementingkan diri sendiri, kebencian, pikiran-pikiran yang tidak baik,
kesombongan, keangkuhan serta noda dan kekotoran batin lainnya. Ia merupakan
sumber dari semua perselisihan dalam dunia, dari bentrokan-bentrokan pribadi
sampai kepada peperangan antar negara. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
semua kejahatan dapat dicari sumbernya pada pandangan yang salah ini.
Secara
“psychologic” dua rupa pandangan berakar kuat dalam diri tiap manusia:
1. pandangan
tentang perlindungan diri (self-protection)
2. pandangan
tentang kelangsungan diri (self-preservation)
Untuk melindungi dirinya, manusia lalu menciptakan kekuatan luar;
kepadanya ia bergantung untuk mencari perlindungan, keselamatan dan keamanan,
seperti seorang anak kecil bergantung dan mencari perlindungan kepada orang
tuanya. Untuk kelangsungan diri,
manusia menggambarkan dalam pikirannya satu ide tentang adanya Roh atau Atma
yang dapat hidup kekal abadi. Manusia memerlukan dua hal tersebut di atas untuk
menghibur dirinya dan seterusnya ia melekat erat-erat dan fanatik kepadanya.
Agama Buddha tidak menyokong kedua pandangan tersebut dan bertujuan untuk
menolong manusia mencapai Kesadaran Agung dengan menyingkirkan dan
menghancurkan sampai keakar-akarnya pandangan salah tersebut. Sang Buddha menginsafi benar-benar hal ini
dan berkata bahwa Ajaran Beliau melawan arus (patisotagami) dan bertentangan
dengan keinginan yang mementingkan diri sendiri dari seorang manusia. Hanya empat minggu setelah Beliau
memperoleh Kesadaran Agung, ketika duduk di bawah pohon yang rindang, Beliau
berpikir sbb.: “Aku telah menyelami Kesunyataan yang dalam sekali, sulit untuk
dilihat, sulit untuk dimengerti yang
hanya dapat diselami oleh para bijaksana. Orang yang masih dipengaruhi oleh hawa nafsu dan diselubungi
kegelapan batin tidak mungkin dapat melihat Kesunyataan ini yang bertentangan
sekali dengan pendapat orang banyak. Kesunyataan itu luhur sekali, dalam, halus
dan sulit untuk dimengerti.”
Dengan adanya pikiran ini, Sang Buddha ragu-ragu sesaat bahwa mungkin
percuma saja untuk menyiarkan Kesunyataan, yang baru saja diselami ini, kepada
khalayak ramai. Sesudah itu, Beliau membandingkan dunia ini dengan sebuah kolam
bunga teratai. Dalam kolam seperti itu ada bunga yang masih berada di permukaan
air, ada bunga yang sudah mencapai permukaan air dan ada pula yang sudah berada
di atas air dan sama sekali tidak tersentuh air. Begitu pula keadaan dalam dunia ini, tempat hidup orang dengan
beraneka ragam tingkatan dan pengetahuan. Beberapa di antara mereka dapat
mengerti akan Kesunyataan itu. Oleh sebab itu, Sang Buddha lalu mengambil
keputusan untuk menyiarkan ajaran-Nya kepada dunia.
Doktrin Anatta adalah akibat yang wajar atau kesimpulan yang dapat
ditarik dari analisa Lima Kelompok Kegemaran dan doktrin tentang hukum
Paticca-samuppada (Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan). Ketika membahas Kesunyataan Mulia Pertama
(Dukkha) kita telah melihat bahwa yang dinamakan manusia itu terdiri dari Lima
Kelompok Kegemaran dan kalau kita menganalisa dan meneliti lebih jauh maka
tidak terdapat sesuatu di belakang mereka yang dapat disebut sebagai Aku, Atma
atau Diri atau suatu subtansi yang kekal abadi. Inilah pendekatan melalui cara
analisa. Hasil yang sama pula dapat
dicapai melalui doktrin Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan yang
merupakan pendekatan dengan cara sintese. Dengan cara inipun dapat kita
mengambil kesimpulan bahwa tidak terdapat sesuatu di dunia ini yang mutlak
(absolut). Semuanya saling menjadikan, relatif dan saling bergantungan. Inilah
paham Buddhis tentang teori relativitas.
C.
Prinsip
Hukum
Sebelum kita membahas persoalan Anatta ini secara mendalam, berguna juga
kiranya unutuk mendapat ide yang singkat tentang Hukum Sebab Musabab Yang
Saling Bergantungan itu. Prinsip hukum ini dapat diberikan dalam empat formula
pendek yang berbunyi :
I.
Imasming Sati Idang
Hoti.” Dengan
adanya ini, maka terjadilah itu”
II.
Imassuppada Idang
Uppajjati.” Dengan
timbulnya ini, maka timbullah itu”.
III.
Imasming Asati Idang Na Hoti.”Dengan tidak adanya ini, maka tidak
adalah itu”
IV.
Imassa Nirodha Idang
Nirujjati.”Dengan
terhentinya ini, maka terhentilah juga itu”.
Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling
bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga
berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas Nidana
(sebab-musabab).Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung
terus. Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, kita
akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhentinya kebodohan
secara menyeluruh, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya
bentuk-bentuk karma, maka terhentilah pula kesadaran; dengan terhentinya
kelahiran-kembali, maka terhenti pula kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit
dll.
Harus dimengerti dengan jelas bahwa tiap-tiap Nidana di atas itu “terjadi
oleh” (paticcasamupanna) dan juga berbarengan dengan itu “menjadikan”
(paticcasamuppada). Oleh karena itu, mereka semua relatif, saling bergantungan
dan saling mengikat dan tidak ada yang tunggal atau berdiri sendiri. Namun,
seperti kita lihat di halaman bagian depan, agama Buddha tidak dapat menerima
satu sebab yang pertama. Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan harus
dilihat sebagai satu lingkaran dan bukan sebagai satu rantai.
Pertanyaan tentang “kemauan bebas” mendapat tempat yang penting sekali
dalam cara berpikir dan filsafat Barat. Tetapi, menurut Hukum Paticca
Samuppada, persoalan ini tidak mungkin timbul dalam filsafat Buddhis. Kalau
seluruh hidup ini relatif, saling bergantungan dan saling mengisi, bagaimana
mungkin “kemauan” itu sendiri bebas. Kemauan, seperti juga bentuk-bentuk
pikiran lain saling bergantungan. Apa yang dinamakan “kebebasan” itu sendiri
saling bergantungan dan relatif. Tidaklah terdapat sesuatu apa pun juga yang
betul-betul bebas, fisik atau mental karena semuanya saling bergantungan dan
relatif.
“Kemauan bebas” berarti satu kemauan yang bebas dari ketergantungan,
bebas dari sebab dan akibat. Bagaimana mungkin satu kemauan atau apa pun juga
dapat timbul tanpa ketergantungan, bebas dari sebab akibat, kalau seluruh hidup
ini saling bergantungan dan relatif dan tidak lepas dari hukum sebab musabab?.Di sini sekali lagi kita lihat
bahwa ide “kemauan bebas” pada dasarnya dihubungkan dengan ide Atta/Atma, Roh,
keadilan, pahala dan hukuman. Bukan saja apa yang dinamakan “kemauan bebas” itu
tidak bebas, tetapi ide itu sendiri pun tidak bebas dari ketergantungan.
Menurut Hukum Paticca Samuppada dan juga menurut analisa tentang manusia
sebagai Lima Kelompok Kegemaran, ide tentang satu inti yang kekal abadi di
dalam manusia atau di luarnya, yang disebut Atma, Aku, Roh, Diri atau Ego
dianggap hanya sebagai kepercayaan yang tidak masuk akal.
Untuk menghindari
tafsiran yang membingungkan, maka di sini hendak ditekankan bahwa terdapat dua
macam Kebenaran, yaitu :
1. Kebenaran
Konvensional (Sammuti Sacca; Skt. Samrvti Satya)
2. Kebenaran
Mutlak (Paramattha Sacca; Skt. Paramartha Satya).
Kalau kita memakai istilah dalam pembicaraan sehari-hari seperti Aku,
Kamu, Makhluk atau Orang dll., kita tidak berdusta bahwa tidak ada pribadi atau
makhluk seperti itu, tetapi kita bicara benar menurut kebiasaan umum di dunia
ini. Tetapi, menurut Kebenaran Mutlak tidaklah ada “Aku” atau “Makhluk” dalam
realitasnya. Dalam Mahayana
Sutralankara terdapat penjelasan sbb.: “Satu orang (Pudgala) dikatakan sebagai
“ada” hanya sebagai sebutan belaka (Prajñapti – konvensional), tetapi bukan
dalam keadaan yang sebenarnya (Dravya).” Mengesampingkan satu Atma yang tidak
dapat mati adalah satu kebiasaan yang khas dari semua aliran Utara dan Selatan,
dan karena itu tidak terdapat alasan untuk menarik kesimpulan bahwa tradisi
agama Buddha yang seluruhnya mencapai persesuaian paham terhadap hal ini,
menyimpang dari ajaran Sang Buddha yang asli.
Maka agak ganjil kalau pada waktu akhir-akhir ini oleh beberapa penulis
telah dilakukan usaha yang tidak berhasil untuk, dengan segala daya upaya,
mencoba menyelundupkan ide tentang “diri yang tetap” dalam ajaran Sang Buddha,
yang bertentangan sekali dengan ajaran-Nya yang asli. Penulis-penulis ini
menghormat dan memandang tinggi agama Buddha, tetapi mereka tidak dapat
membayangkan bahwa Sang Buddha, yang mereka anggap sebagai akhli pikir yang
paling tajam dan cerdas, dapat menolak adanya Atma yang kekal, sedangkan mereka
sendiri justru sangat memerlukan hal ini. Secara tidak sadar, mereka mencari
bantuan Sang Buddha untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri tentang adanya
satu kehidupan yang kekal dan abadi.
Agama yang percaya kepada Atma atau Roh tidak pernah merahasiakan ide
tersebut dan dengan berbagai cara mereka usahakan agar istilah ini dapat
diterima oleh masyarakat umum. Kalau sekiranya Sang Buddha menerima ide ini,
yang sangat penting dalam agama lain, Beliau tentu secara terbuka akan mengakui
hal tersebut seperti juga Beliau berbicara tentang persoalan lain.
Pada satu waktu orang menjadi gelisah jika berpikir bahwa kalau mereka
menganut ajaran Sang Buddha, maka “Aku” yang mereka khayalkan berada dalam
dirinya akan hilang, berhubung dengan doktrin Anatta yang diajar oleh Sang
Buddha. Sang Buddha pun sepenuhnya menginsafi hal ini. Pernah seorang bhikkhu
bertanya: “Bhante, pernahkah terjadi bahwa orang akan merasa tersiksa apabila
ia tidak lagi menemukan sesuatu yang kekal di dalam dirinya?”
Sang Buddha
menjawab: “Ya, bhikkhu, memang ada. Seseorang mempunyai pandangan seperti
berikut: alam semesta ini Atma dan aku akan menjadi satu dengannya kalau aku
meninggal dunia, kekal, abadi, tidak berubah dan aku akan hidup seperti itu
untuk selama-lamanya. Ia kemudian mendengar Sang Tathagata atau seorang
siswa-Nya mengkhotbahkan ajaran yang bertujuan untuk menghancurkan secara total
semua pandangan yang diragu-ragukan itu dan bertujuan untuk memadamkan tanha, bertujuan
untuk tidak melekat, terbebas dan Nibbana. Setelah mendengarkan khotbah, orang
itu berpikir: aku akan dimusnahkan, aku akan dihancurkan, aku akan tidak ada
lagi. Dengan demikian, ia menjadi sedih hatinya, kesal, meratap, menangis,
memukuli dadanya dan menjadi kalap. Begitulah bhikkhu, memang pernah terjadi,
bahwa orang akan merasa tersiksa kalau sesuatu yang kekal dalam dirinya tidak
lagi ditemukan. (Majjhima Nikaya 22: Alagaddupama Sutta).
Pada
kesempatan lain Sang Buddha bersabda: “O bhikkhu, ide bahwa Aku tidak ada, Aku
tidak memiliki, pada suatu waktu menggelisahkan orang biasa yang masih belum
mendapat penerangan cukup. Pikiran mereka yang masih ingin memiliki “Sang Aku”
dalam agama Buddha adalah sbb.: Memang benar Sang Buddha menganalisa manusia
menjadi rupa, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran, dan
berkata bahwa tidak satu pun yang dapat dianggap sebagai “Sang Aku”. Tetapi,
Beliau tidak bersabda bahwa memang sama sekali tidak terdapat “Aku” di dalam
seorang manusia atau di tempat mana pun juga, kecuali Lima Kelompok Kegemaran”.
Jalan
pikiran ini tidak dapat dipertahankan karena dua alasan :
1. Menurut
ajaran Sang Buddha, makhluk itu hanya terdiri dari Lima Kelompok Kegemaran.
Juga tidak pernah Beliau bersabda bahwa di dalam makhluk ada sesuatu yang lain
di samping Lima Kelompok Kegemaran.
2. Sang
Buddha di berbagai tempat dengan tegas dan memakai kata-kata yang tidak dapat
diragukan lagi menyangkal Atma, Roh, Aku, Diri atau Ego di dalam seorang
manusia atau di luarnya, atau di mana saja di alam semesta ini.
Marilah kita
ambil beberapa contoh. Di kitab Dhammapada dapat ditemukan tiga syair yang
mempunyai arti penting dan mendasar dalam ajaran Sang Buddha (syair no. 277,
278 dan 279).
Syair-syair
tersebut berbunyi sebagai berikut:
1.
Sabbe Sankhara
Aniccca
Segala sesuatu
yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal.
2.
Sabbe
Sankhara Dukkha
Segala sesuatu
yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah dukkha.
3.
Sabbe
Dhamma Anatta
Semua dhamma
adalah Tanpa Aku/Roh.
Kalau kita meneliti tiga syair di atas, maka pada syair kesatu dan kedua
dipakai istilah sankhara (paduan unsur-unsur yang saling bergantungan). Tetapi,
pada syair ketiga dipakai istilah dhamma. Mengapa syair ketiga tidak memakai
juga istilah sankhara seperti pada kedua syair yang lebih dulu dan mengapa
justru dipakai istilah dhamma?. Di
sinilah letak kunci persoalannya. Istilah sankhara hanya mencakup Lima Kelompok
Kegemaran, yaitu benda-benda dan keadaan-keadaan yang saling bergantungan,
saling menjadikan dan relatif, baik fisik maupun mental. Kalau misalnya syair
ketiga berbunyi “semua sankhara adalah Tanpa Aku/Roh”, mungkin orang akan
berpikir bahwa ada satu Roh di luar benda-benda, di luar Lima Kelompok
Kegemaran. Untuk menghindari salah-tafsir inilah digunakan istilah dhamma pada
syair ketiga.
Istilah dhamma mempunyai arti yang sangat luas. Tidak terdapat istilah
dalam tata-kata Buddhis yang mempunyai arti lebih luas dari pada dhamma. Ia
mencakup bukan saja benda/keadaan yang saling bergantungan, tetapi juga yang
tidak saling bergantungan, misalnya Yang Mutlak, Nibbana. Tidak ada sesuatu di
dalam alam semesta ini atau di luarnya, yang baik atau yang buruk, yang saling
bergantungan atau tidak saling bergantungan, relatif atau absolut, yang tidak
tercakup di dalam istilah ini. Oleh karena itu, sekarang jelaslah kiranya,
sesuai dengan syair “Semua dhamma adalah Tanpa Aku/Roh”, bahwa tidak terdapat
Roh atau Atma di dalam Lima Kelompok Kegemaran atau di mana saja di luar atau
terpisah daripadanya.
Menurut aliran Theravada, itu berarti bahwa tidak terdapat satu Roh baik
di dalam satu makhluk (puggala) maupun di dalam dhamma. Aliran Mahayana juga
mempunyai pandangan yang serupa, tanpa ada perbedaan sedikit pun terhadap
persoalan ini dan memberi titik-berat kepada dharma-nairatmya dan pudgala
nairatmya. Dalam
Alagaddupama-Sutta, Majjhima-Nikaya 22, sewaktu berkhotbah di depan para
muridnya, Sang Buddha bersabda sbb.: “O bhikkhu, terimalah satu ‘teori tentang
Roh yang kekal abadi’ (Attavada), apabila dengan menerimanya tidak akan timbul
kekecewaan, ratap-tangis, penderitaan, kesedihan dan kemalangan. Tetapi, O
bhikkhu, apakah kamu melihat ada satu ‘teori tentang Roh yang kekal abadi’ yang
demikian itu, di mana dengan menerimanya tidak lagi akan timbul kekecewaan,
ratap-tangis, penderitaan, kesedihan dan kemalangan?”
“Tentu saja
tidak, Bhante.”
“Bagus, O
bhikkhu. Aku sendiripun tidak melihat adanya satu ‘teori tentang Roh yang kekal
abadi’, yang apabila diterima, tidak akan menimbulkan kekecewaan, ratap-tangis,
penderitaan, kesedihan dan kemalangan.”
Kalau
sekiranya memang terdapat satu teori Attavada yang diterima baik oleh Sang
Buddha, Beliau tentu sudah menerangkannya di sini karena Beliau telah minta
kepada para bhikkhu untuk menerima teori Attavada kalau sekiranya itu dapat
menghentikan dukkha. Tetapi, dalam pandangan Sang Buddha tidak terdapat teori
semacam itu yang dapat menghentikan dukkha; tiap teori Attavada yang
bagaimanapun juga coraknya dan bagaimana halus atau sempurnapun, adalah palsu
dan merupakan khayalan belaka yang menciptakan berbagai macam persoalan dan
akan membawa serta kekecewaan, ratap-tangis, penderitaan, kesedihan, kemalangan
dan kesulitan-kesulitan.
Sesudah itu, Sang Buddha melanjutkan khotbahnya. “O bhikkhu kalau memang
tidak ada Roh/Atta atau unsur lain yang dapat dianggap sebagai Roh (Attaniya)
yang dapat ditemukan, maka pandangan yang tidak menentu tentang ‘alam semesta
ini Atta (Roh) dan aku akan menjadi satu dengannya kalau aku meninggal dunia,
kekal abadi, tidak berubah selama-lamanya’ dengan sendirinya merupakan hal yang
tidak masuk akal sama sekali.” Di
sini secara tegas Sang Buddha berkata bahwa satu Atma/Atta, Roh atau Diri dalam
kenyataannya dan di mana pun juga tidak dapat ditemukan dan adalah bodoh untuk
percaya hal yang semacam itu.
Orang yang mencari satu “Diri” dalam ajaran Sang Buddha sering mengutip
beberapa contoh yang mereka salah-terjemahkan dan kemudian salah-tafsirkan.
Satu contoh yang terkenal adalah Atta Hi Attano Natho
dari Dhammapada (XII, 4, atau syair 160) yang diterjemahkan sebagai “Roh itu
adalah Majikan dari roh” dan ditafsirkan sebagai, “Roh besar adalah majikan
dari roh kecil.” Pertama-tama
terjemahan di atas tidak tepat. Atta di sini bukan berarti Diri atau Roh.
Istilah Atta dalam bahasa Pali sering digunakan sebagai “kata ganti” atau “kata
ganti orang tidak tentu” (indefinite pronoun), kecuali dalam beberapa hal yang
secara khusus dihubungkan dengan satu teori Roh. Tetapi dalam penggunaannya
secara umum, seperti halnya Bab XII dari Dhammapada dan di banyak tempat lain
lagi, istilah itu dipakai sebagai kata ganti” atau “kata ganti orang tidak
tentu” yang berarti diriku, dirimu, dirinya, orang, mereka, dll. Selanjutnya
istilah natho bukan berarti “majikan”, tetapi “mencari perlindungan”,
“bantuan”, “pertolongan” dan “perlindungan”. Oleh karena itu Atta Hi Attano Natho sebenarnya berarti “Perlindungan
ada dalam dirimu sendiri” atau “Pertolongan ada dalam dirimu sendiri”. Ini
tidak ada hubungannya dengan suatu Roh atau Diri metafisik. Pepatah ini secara
sederhana berarti, bahwa orang harus bergantung kepada dirinya sendiri dan
bukan kepada orang lain.
Contoh lain dari percobaan untuk menyusupkan ide tentang adanya “Roh”
dalam ajaran Sang Buddha ialah pepatah yang sangat terkenal : Attadipa Viharatha, Attasarana Anaññasarana,
yang diambil dari Mahaparinibbana Sutta (Digha Nikaya 16). Pepatah ini menurut
hurufnya berarti : “Jadilah pulau untuk dirimu sendiri, jadikan dirimu sebagai
tempat perlindungan dan jangan cari perlindungan pada diri orang lain”. Mereka yang ingin melihat satu “Diri”
dalam agama Buddha menafsirkan kata-kata ATTADIPA dan ATTASARANA sebagai
“mengambil diri sendiri sebagai lampu (pelita)” dan “mengambil diri sendiri
sebagai perlindungan”. Kita tidak mungkin dapat mengerti sepenuhnya maksud dan
tujuan dari nasehat Sang Buddha kepada Ananda, kalau tidak mengambil sebagai
dasar pertimbangan, latar belakang dari kata-kata yang diucapkan dan segala
sesuatu yang bersangkutan dengannya.
Pada saat itu Sang Buddha sedang diam di suatu desa bernama Beluva tepat
tiga bulan sebelum Beliau mangkat, Parinibbana. Beliau waktu itu berumur
delapan puluh tahun dan menderita sakit keras sehingga hampir saja mangkat
(maranantika). Tetapi Beliau berpikir bahwa tidak selayaknya meninggalkan
siswa-siswa yang dekat dengan-Nya dan dicintai tanpa pesan apa-apa. Oleh karena
itu, dengan tabah dan penuh keyakinan Beliau menanggung semua rasa sakit, dan
kesehatannya berangsur-angsur pulih kembali. Pada suatu hari Sang Buddha duduk
di luar rumah di bawah sebuah pohon yang rindang.
Ananda, pembantu Sang Buddha yang paling berbakti, mendekati Sang Guru
dan berkata: “Sungguh beruntung, O Bhante, bahwa hamba sekarang melihat Sang
Bhagava sudah sembuh. Dengan sesungguhnya, Bhante, badanku sendiri menjadi
lemah dan tak bertenaga, semuanya di sekelilingku menjadi suram dan
panca-indraku tidak berfungsi lagi. Namun, Bhante, hamba agak terhibur sedikit,
karena hamba pikir, tak mungkin Sang Bhagava meninggalkan kami, sebelum Beliau
memberikan pesan-pesan terakhir kepada para bhikkhu yang tergabung dalam
Sangha.”
Kemudian Sang Buddha dengan penuh cinta kasih dan belas kasihan memberi
jawaban dengan suara lemah lembut kepada Ananda yang sangat dikasihi itu:
“Ananda, apalagi yang diharapkan oleh Sangha dariku. Aku telah mengajarkan
Dhamma tanpa membuat perbedaan antara ajaran esoteris (rahasia) dan ajaran
eksoteris (umum); mengenai Dhamma, Ananda, tak ada sesuatu pun yang
disembunyikan oleh Sang Tathagata sebagaimana yang dilakukan oleh seorang guru
yang kikir. Tentu, Ananda, kalau ada orang yang berpikir bahwa ia adalah
pemimpin Sangha dan Sangha itu harus bergantung kepadanya, maka orang itu akan
membuat peraturan-peraturan. Tetapi, Sang Tathagata tidak mempunyai pikiran
seperti itu. Untuk apa Ia meninggalkan peraturan untuk Sangha? Aku sudah tua,
Ananda, delapan puluh tahun usia-Ku, sekarang. Sebagaimana, juga kereta yang
sudah usang maka untuk dapat dipakai harus terus menerus diperbaiki. Begitu
pula dengan badan Sang Tathagata yang hanya dapat bertahan berkat terus menerus
diperbaiki. Karena itu, Ananda, ingatlah baik-baik: ‘Jadilah pulau bagi dirimu;
jadilah pelindung bagi dirimu, janganlah menyandarkan nasibmu kepada makhluk
lain; peganglah teguh Dhamma sebagai pelindungmu’.”
Apa yang Sang Buddha hendak beritahukan kepada Ananda sudah jelas. Ananda
sedang sedih dan tertekan batinnya. Ia berpikir bahwa ia akan menjadi kesepian,
tanpa perlindungan, tanpa pemimpin sesudah Sang Guru Agung mangkat. Karena itu, Sang Buddha ingin
menghiburnya, memberinya ketabahan hati dan keyakinan dengan berkata bahwa ia
harus bergantung kepada dirinya sendiri dan kepada Dhamma yang telah diajarkan,
dan jangan bergantung kepada orang lain atau kepada apa pun juga. Di sini
persoalan tentang satu Atma atau Roh metafisik sama sekali tidak
diperbincangkan.
Selanjutnya, Sang Buddha menerangkan kepada Ananda, bagaimana caranya
orang dapat menjadi pulau atau perlindungan untuk dirinya; bagaimana caranya
orang dapat membuat Dhamma sebagai pulau atau perlindungan melalui
latihan-latihan meditasi yang saksama dengan obyek badan jasmani, perasaan, pikiran
dan bentuk-bentuk pikiran (Satipatthana). Di sini Atma atau Roh sama sekali
tidak diperbincangkan. Di bawah ini ada contoh lain yang sering
dikemukakan oleh mereka yang mencoba menemukan Atma dalam ajaran Sang Buddha.
Pada suatu hari Sang Buddha duduk di bawah sebuah pohon di suatu hutan dalam
perjalanan menuju Uruvela dari Benares. Pada hari itu tiga puluh orang pangeran
muda bersama istri mereka juga pergi bertamasya ke hutan yang sama. Seorang
pangeran yang belum menikah membawa serta seorang pelacur. Selagi mereka
berpesta, wanita itu mengambil beberapa barang berharga dan terus lari.
Dalam usaha mencari wanita itu di hutan, mereka lihat Sang Buddha sedang
duduk di bawah sebuah pohon dan bertanya, apakah Sang Buddha barangkali melihat
seorang wanita yang berjalan seorang diri. Sang Buddha menanyakan duduk
persoalannya. Sesudah mereka terangkan, Sang Buddha lalu bertanya:
“Anak-anakku, cobalah pikir, apa yang lebih baik, mencari seorang wanita atau
mencari dirimu sendiri?” (Mahavagga 1:14). Ini lagi-lagi merupakan satu pertanyaan yang sederhana dan wajar
dan tidak dapat dibenarkan untuk menghubungkannya dengan ide tentang adanya
Atma atau Roh. Mereka menjawab bahwa lebih baik untuk mencari diri mereka
sendiri. Sang Buddha lalu mengundang
mereka untuk duduk di dekat-Nya dan menerangkan Dhamma kepada mereka. Dalam
teks aslinya tidak terdapat satu patah kata pun yang menyinggung tentang Atma
atau Roh. Banyak sudah terdapat
tulisan-tulisan tentang Sang Buddha yang tidak menjawab pertanyaan dari seorang
pertapa bernama Vacchagotta yang bertanya, apakah Atma itu ada atau tidak.
Ceritanya adalah Sebagai berikut:
Vacchagotta mengunjungi Sang Buddha dan bertanya: “Gotama Yang Mulia
apakah Atma itu ada?”
Sang Buddha tidak menjawab.
“Kalau
begitu, Gotama Yang Mulia, apakah Atma itu tidak ada?”
Lagi-lagi Sang
Buddha tidak menjawab.
Vacchagotta lalu bangun dan pergi. Sesudah pertapa itu pergi, Ananda
bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Beliau tidak menjawab pertanyaan
Vacchagotta. Sang Buddha menerangkan sebagai berikut: “Ananda, ketika ditanya oleh pertapa Vacchagotta
tetang: “Apakah Atma itu ada?”, kalau Aku menjawah: “Atma itu ada”, maka itu
memihak kepada para pertapa dan Brahmana yang menganut ajaran tentang adanya
satu Roh abadi (Sassatavada).
Lalu Ananda, ketika ditanya oleh Vacchagotta: “Apakah Attma itu tidak
ada?”, dan kalau Aku menjawab: “Atma itu tidak ada”, maka itu memihak kepada
para pertapa dan Brahmana yang menganut kepercayaan tentang pemusnaan diri
(Ucchedavada). Lagipula Ananda,
ketika ditanya oleh Vacchagotta: “Apakah Atma itu ada?”, dan jika Aku menjawab:
“Atma itu ada”, apakah ini sesuai dengan ajaran-Ku tentang: “Semua dhamma
adalah Tanpa Roh?”
“Tentu saja
tidak, Bhante.”
Selanjutnya, Ananda, ketika ditanya oleh Vacchagotta: “Apakah Atma itu
tidak ada?”, dan kalau Aku menjawab: “Atma itu tidak ada”, maka ini akan
menimbulkan kebingungan yang lebih besar lagi pada Vacchagotta yang pikirannya
memang sudah bingung. (Samyutta Nikaya XLIV: 10). Oleh karena Vacchagotta akan
berpikir: “Dulu aku benar mempunyai Atma, tetapi sekarang aku tidak mempunyai
Atma lagi.” Maka sekarang jelaslah kiranya, mengapa Sang Buddha tidak ingin
menjawab. Tetapi akan lebih jelas lagi kalau kita mengambil sebagai bahan
pemikiran seluruh latar belakang dari kejadian ini dan juga cara yang dipakai
oleh Sang Buddha untuk menghadapi orang-orang yang datang bertanya. Hal-hal ini
tidak diketahui oleh mereka yang memperbincangkan persoalan ini.
Sang Buddha bukanlah sebuah mesin komputer yang memberi jawaban kepada
pertanyaan apapun yang diajukan kepada Beliau tanpa pertimbangan. Sang Buddha adalah seorang Guru Agung yang
praktis, penuh welas asih dan bijaksana. Beliau bukan menjawab
pertanyaan-pertanyaan untuk memperlihatkan pengetahuan-Nya atau kecerdasan-Nya,
melainkan yang lebih penting lagi, untuk menolong si penanya ke arah Jalan yang
menuju Pembebasan. Beliau selalu bicara dengan mereka dengan mempertimbangkan
alam pikiran mereka, watak mereka dan kesanggupan mereka untuk memahami
persoalan tertentu.
Menurut Sang
Buddha, terdapat empat cara untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan ”
1. beberapa
di antaranya dapat langsung dijawab
2. yang
lain harus dijawab dengan memberikan uraian
3. yang
lain lagi harus dijawab dengan mengajukan pertanyaan balasan
4. dan
ada pertanyaan yang sama sekali tidak dapat dijawab.
Terdapat berbagai cara untuk tidak menjawab satu pertanyaan. Satu di
antaranya ialah dengan mengatakan bahwa beberapa pertanyaan tertentu tidak
dapat dijawab, sebagaimana halnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepada Sang Buddha seperti: apakah alam semesta ini abadi atau tidak, dan
lain-lain. Dengan cara yang sama, Sang Buddha menjawab pertanyaan dari
Malunkyaputta dan beberapa orang lain. Namun Beliau tidak dapat memberikan
jawaban yang sama terhadap pertanyaan. “Apakah Atma ada atau tidak”, karena
Beliau sudah sering memperbincangkan hal ini. Beliau tidak dapat berkata bahwa:
“Atma itu ada”, sebab ini bertentangan dengan Ajaran Beliau sendiri tentang
doktrin Anatta. Dan Sang Buddha juga tidak hendak mengatakan, bahwa: “Atma itu
tidak ada”, oleh karena dengan tidak perlu akan membuat bingung dan kaget
Vacchagotta, yang memang sedang bingung menghadapi persoalan ini, yang
sebelumnya telah diakui sendiri oleh Vacchagotta. Ia belum “matang” untuk
mengerti akan doktrin Anatta. Dari itu, menghadapi pertanyaan ini dengan
membungkam adalah yang paling bijaksana dalam persoalan ini.
Kita juga jangan lupa bahwa Sang Buddha sejak lama kenal dengan
Vacchagotta dan pertemuan ini bukan pertemuan yang pertama kali. Guru yang
bijaksana dan penuh welas asih ini sebenarnya menaruh perhatian besar kepada
orang yang sedang bingung dan sibuk mencari-cari ini. Dalam kitab bahasa Pali
nama Vacchagotta sering kita jumpai, yang seringkali mengunjungi Sang Buddha
atau siswa-siswa-Nya. Setiap kali pertanyaan yang serupa inilah yang diajukan,
karena Vacchagotta merasa batinnya tertekan, yah, bahkan merasa dihantui oleh
persoalan ini. Dengan Sang Buddha tidak menjawab, ini membawa akibat yang lebih
besar dari jawaban atau diskusi apa pun tentang persoalan ini.
Banyak orang menganggap “Aku” sama dengan “batin” atau “kesadaran”.
Tetapi Sang Buddha berkata bahwa lebih baik menganggap badan jasmani sebagai
“Aku” daripada batin, pikiran atau kesadaran, sebab badan jasmani lebih padat
(dapat dilihat dan disentuh), sedangkan batin, pikiran dan kesadaran (citta,
mano, viññana) terus menerus berubah dan dalam tempo lebih cepat dari badan
jasmani. (Samyutta Nikaya XII: 62). Perasaan
yang samar-samar tentang “Aku” sebenarnya yang menciptakan gambaran tentang
adanya “Diri” yang tidak sesuai dengan kenyataan; melihat kenyataan ini dengan
gamblang dan jelas berarti menyelami Nibbana, dan hal ini memang tidak mudah.
Dalam Syamyutta-Nikaya terdapat satu diskusi antara seorang bhikkhu
bernama Khemaka dengan serombongan bhikkhu lain yang membahas persoalan ini
secara mendalam.Para Bhikkhu itu bertanya kepada Khemaka, apakah ia melihat
satu “Diri” atau sesuatu yang berhubungan dengan “Diri” di dalam Lima Kelompok
Kegemaran. Khemaka menjawab: “Tidak”. Kemudian bhikkhu-bhikkhu itu berkata,
kalau begitu ia telah menjadi Arahat, bebas dari kekotoran batin. Khemaka
mengakui, bahwa biarpun ia tidak menemukan satu “Diri” atau sesuatu yang ada
hubungannya dengan “Diri” (Attaniya) di dalam Lima Kelompok Kegemaran, ia bukan
seorang Arahat yang terbebas dari semua kekotoran batin. O kawan-kawan,
mengenai Lima Kelompok Kegemaran itu aku masih merasakan adanya “Diri” itu,
meskipun aku tidak dapat melihat dengan jelas bahwa “Inilah Diriku”.
Selanjutnya Khemaka menerangkan bahwa apa yang ia namakan “Sang Aku”
bukanlah materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran,
atau sesuatu tanpa mereka itu. Tetapi ia merasakan “Sang Aku” itu ada
hubungannya dengan Lima Kelompok Kegemaran, meskipun ia tidak melihat dengan
jelas “Inilah Aku”. Hal ini sama dengan bau harumnya sekuntum bunga. Itu bukan
bau harum dari daun bunga, bukan dari warnanya, bukan dari putiknya, tetapi bau
harum dari bunga secara keseluruhan. Khemaka
selanjutnya menerangkan bahwa sekalipun orang telah mencapai tingkat permulaan
dari penyelaman Nibbana, ia masih mempunyai perasaan tentang “Sang Aku”.
Tetapi, nanti, kalau ia sudah mendapat kemajuan lebih lanjut, perasaan “Sang
Aku” itu akan lenyap seluruhnya; seperti juga bau sabun dari pakaian yang baru
dicuci akan lenyap sesudah pakaian itu untuk beberapa waktu disimpan di dalam
lemari.
Menurut Sang Buddha, berpegangan kepada anggapan bahwa “Aku tidak
mempunyai Atma” (yang dinamakan teori pemusnaan diri) atau memegang anggapan
tentang “Aku mempunyai Atma” (yang dinamakan teori kelangsungan abadi),
kedua-duanya salah karena kedua-duanya merupakan belenggu yang timbul dari ide
yang menyesatkan tentang adanya “Sang Aku” itu. Pendirian yang benar mengenai Anatta ialah jangan memegang anggapan
atau pandangan apa pun juga, melainkan melihat benda-benda secara obyektif dan
menurut keadaan yang sebenarnya, tanpa proyeksi-proyeksi mental melihat apa
yang dinamakan “Aku” atau “makhluk” sebagai paduan dari unsur-unsur fisik dan
mental, yang bekerja sama dan saling bergantungan dalam satu arus dari
perubahan-perubahan dari saat ke saat di dalam hukum sebab dan akibat; tidak
ada sesuatu yang kekal, berlangsung terus, tidak berubah dan abadi di dalam
seluruh kehidupan.
Secara wajar dapat timbul pertanyaan. Kalau tidak ada Atma atau “Diri”,
lalu siapakah yang menerima hasil Karma? Tidak ada orang lain yang dapat
menjawab pertanyaan ini lebih baik dari Sang Buddha sendiri. Waktu pertanyaan
itu diajukan oleh seorang bhikkhu, Sang Buddha menjawab: “Aku mengajar, O
bhikkhu, untuk melihat keadaan yang saling bergantungan di mana-mana dan dalam
semua benda.” Ajaran Sang Buddha
tentang Anatta, Tanpa Roh, Tanpa Aku, hendaknya jangan dianggap sebagai negatif
atau sebagai pemusnaan diri. Seperti juga Nibbana ia adalah Kebenaran Sejati,
Kesunyataan dan Kesunyataan tak mungkin negatif. Justru kepercayaan kepada satu
“Diri” yang khayal dan tidak ada itulah yang negatif. Ajaran tentang Anatta
menyingkirkan kegelapan dari suatu kepercayaan yang palsu dan menghasilkan
kebijaksanaan. Ia bukan negatif, seperti juga Ayasma Asanga secara singkat
berkata: “Anatta merupakan satu fakta” (Nairatmyastita).
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Ajaran Sang
Buddha tentang Anatta, Tanpa Roh, Tanpa Aku, hendaknya jangan dianggap sebagai
negatif atau sebagai pemusnaan diri. Seperti juga Nibbana ia adalah Kebenaran
Sejati, Kesunyataan dan Kesunyataan tak mungkin negatif. Justru kepercayaan
kepada satu “Diri” yang khayal dan tidak ada itulah yang negatif. Ajaran
tentang Anatta menyingkirkan kegelapan dari suatu kepercayaan yang palsu dan
menghasilkan kebijaksanaan. Ia bukan negatif, seperti juga Ayasma Asanga secara
singkat berkata: “Anatta merupakan satu fakta” (Nairatmyastita).
B. Saran
Berdasarkan pembahasan tentang pemahaman mengenai Pudgala
Nairatmya, semoga dapat bermanfaat bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama
Budha Jinarakhita Bandar Lampung dan masyarakat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
T, suwarto, Drs.1995. Buddha Dharma Mahayana Jakarta: Majelis
Agama Buddha Mahyana Indonedia.
Priastana, Chau Ming
Dhammasakkha, S.S. 1993. Materi Pokok
Mahayana I. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Buddha,
Universitas Terbuka.
Priastana, Dhammasukha Jo, S.S,
M. 1999, Pokok Dasar Mahayana. Jakarta:
Yasodara Putri.
0 komentar:
Posting Komentar