BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Banyaknya
pemikir-pemikir yang melihat banyaknya kebudayaan, tradisi, bahasa , warna
kulit, suku, agama dan kepercayaan . hal
inilah yang membuat para filsafan indonesia mengutarakan pendapatnya tentang
filsafat. Filsafat Indonesia
adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan
sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai
mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila
dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
Sebagai
suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat
Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar
tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis, Indonesia: Land under The Rainbow,
1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian
akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'),
Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada
dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada
Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia
(1967).
B. Rumusan
Masalah
1.
pengertian filsafat?
2.
Pengertian Filsafat Indonesia ?
3.
Berapa pendapat para tokoh tentang pokok pemikiran filsafat indonesia?
C. Manfaat
Semoga
dengan selesainya makalah ini dapat memberikan pengetahuan bagi para mahasiswa
pada khususnya dan masyarakat umum
tentang filsafat-filsafat yang ada di indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN FILSAFAT
Filsafat adalah studi tentang seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam
konsep mendasar. Filsafat tidak didalami
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafah, mutlak diperlukan logika
berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis.
B. FILSAFAT INDONESIA
Filsafat
Indonesia adalah
sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang
mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia Filsafat Indonesia
adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan
sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai
mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila
dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya. Filsafat Indonesia diungkap dalam pelbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan
di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia,
meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat,
disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul
sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri
unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah
tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto,
salah seorang Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menggunakan
istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama Jurusan
Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan
banyak alumni dari jurusan itu.
Sebagai
suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat
Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar
tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis, Indonesia: Land under The Rainbow,
1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian
akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'),
Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada
dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada
Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia
(1967).
Para
pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara
berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen
tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat
Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam
konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari mupakat, pantun-pantun,
Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan
(Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38). Sunoto mendefinisikan 'Filsafat
Indonesia' sebagai ...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung
di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono
mendefinisikannya sebagai ...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam
adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo
mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ...pemikiran primordial...
atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...
(Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai
bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara
kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata
'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains. Sebaliknya, orang Indonesia
memiliki kata generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang
meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains,
teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu
masyarakat, yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang
Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan
(Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup
Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya
Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang
lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai
'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat
etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas
cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan
yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing.
Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
Sebagai
suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat
Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar
tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis, Indonesia: Land under The Rainbow,
1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian
akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'),
Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa
1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan
Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia
(1967).
Disusun menurut kronologi
·
Sebagai
hasil dari falsafah itu dalam alam kenyataan, adalah kebudayaan. Dalam alam
kenyataan terdapat bermacam-macam kebudayaan dan tiap-tiap kebudayaan ini tentu
mempunyai atau berdasarkan falsafah sendiri-sendiri pula --M.Nasroen, Falsafah
Indonesia 1967.
·
Panca
Sila ini adalah pancaran dari Pandangan Hidup Indonesia dan pasti mengandung
unsur-unsur dari Pandangan Hidup Indonesia itu didalamnya --M. Nasroen, Falsafah
Indonesia 1967.
·
Saya
yakin, bahwa sebelum bangsa Indonesia memeluk agama, Tuhan telah mengilhami
nenek moyang Indonesia membaca, yaitu mengemukakan ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada alam itu. Nenek moyang Indonesia dengan ketentuan-ketentuan itu menciptakan
adat itu dan adat itulah yang mengandung falsafah Indonesia asli didalamnya--M.
Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
·
Untuk
mengetahui dan menyelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menyelidiki
adat dan pantun Indonesia--M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
·
Kehidupan
desa-desa kita diarahkan dan dipengaruhi oleh nenek-moyang sebagai filosof,
melalui adat, pandangan dan sikap hidup yang diwariskannya dari angkatan ke
angkatan.--Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.
·
Bahasa
Indonesia tepat sekali memakai perkataan budi sebagai dasar daripada budidaya
atau kebudayaan. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Inggris; disana
tidak ada perhubungan antara mind dengan culture atau civilization,
sehingga dilihat dari suatu jurusan ilmu kebudayaan, yang dalam bahasa Inggris
sering disebut ilmu sosial, pada hakekatnya kacau. Dalam bahasa Jerman ada
suatu kesadaran, bahwa pengertian Geist yang sama dengan mind
atau budi itu, rapat berhubungan dengan pengertian kultur; die
Geisteswissenschaften boleh disamakan dengan die Kulturwissenschaften--Sutan
Takdir Alisjahbana,
Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari jurusan Nilai-Nilai
1977.
·
Bagi
bangsa Indonesia pandangan hidup itu dapat dipelajari dari khazanah adat,
istiadat, kebiasaan-kebiasaan di dalam pelbagai kebudayaan daerah. R.
Parmono, Menggali
Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.
·
Hasil
real dari pemikiran filsafat itu adalah kebudayaan. Oleh karena itu usaha untuk
mempelajari filsafat Indonesia dapat ditempuh melalui kebudayaan daerah. R.
Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.
·
Bangsa
Jawa menambahkan tokoh-tokoh dari kebudayaannya sendiri kepada tokoh-tokoh
Mahabharata dalam bentuk Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Sutan Takdir Alisjahbana,
Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada
pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
·
Tiba
di sini, tibalah kita pada soal local genius, yaitu keistimewaan bakat
dan pembawaan kebudayaan-kebudayaan Asia Tenggara atau Bumantara, yaitu kuatnya
tenaga kekreatifan estetik yang sejalan dengan kecakapan menerima dan
mensintesis konsep dan pemikiran dari kebudayaan lain dalam suatu integrasi
struktur dan penjelmaan bentuk baru yang seimbang dan agung. Sutan Takdir Alisjahbana,
Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada
pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
·
Siapa
yang pernah melihat tari Ramayana Thailand, Jawa atau Bali dan pernah juga
melihat tari Ramayana India, akan sadar bahwa ketiga kebudayaan yang pertama
itu telah membuat seni tari dan drama yang besar dari cerita suci India
Ramayana yang indahnya jauh mengatasi tari dan drama Ramayana India --Sutan
Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan,
Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
·
Shiwa
memberikan tarinya kepada Indonesia dan meninggalkan abunya di India --Sutan
Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan,
Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
·
Agama
Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama
dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkretisme manusia Indonesia,
semuanya diterima dalam dirinya tanpa menimbulkan banyak konflik dalam jiwa dan
diri kita --Mochtar Lubis, Situasi dan
Akar Budaya Kita, Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.
·
Sambil
kita mendoa minta rakhmat dan minta perlindungan Allah, kita juga pergi ke
kuburan nenek moyang kita untuk minta tolong dan bantuan. Kita cari tuyul
supaya menolong kita cepat kaya, atau minta bantuan ke Gunung Kawi untuk hal
yang sama --Mochtar Lubis, Situasi dan Akar Budaya Kita, Pidato
Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.
·
Pada
akhirnya kita harus menjadi diri kita sendiri. Sebab yang lain itu tak mungkin
menerimanya sebagai bagian dari diri mereka. Engkau bukan bagian dari diri
kami. Engkau berbeda dengan kami. Barangkali Engkau memang hidup seperti kami
hidup, tetapi jelas bahwa engkau tidak tumbuh dari akar kami. Engkau beda.
Engkau bukan kami. Lantas, ke mana kita akan menggabung? Pulang ke ibu. Pulang pada
nilai-nilai Jawa, Batak, Sunda, Bugis, karena ibunda kita memang ada di sana.
Setiap Malin Kundang itu akan menjadi batu --Jakob
Sumardjo,
Mencari Sukma Indonesia 2003.
·
Jangan
sekali-kali meninggalkan sejarah, kata Bung Karno. Tetapi siapakah dia itu?
Kita lebih mengenal pikiran-pikiran Gramsci daripada Tan Malaka, pemikiran
Fromm daripada Ki Hadjar Dewantoro--Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia
2003.
·
Berpikirlah
dari bawah, dari kenyataan budaya kita yang konkrit ini. Jangan terlalu banyak
membaca buku dan menyimak berita berbahasa Inggris. Bacalah rakyat. Kita hidup
di bumi kontekstual bernama kepulauan Nusantara --Jakob Sumardjo, Mencari
Sukma Indonesia 2003.
·
Tetapi,
kalau kita ditakdirkan untuk lahir dan tinggal di suatu lokal di planet ini,
mungkinkah kita menghindar dari tata nilai yang dilahirkan oleh masyarakat
lokal itu? --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
·
Kita
lupa bahwa budaya pendidikan negara-negara maju ini bertolak dari kebudayaan
mereka sendiri. Apa yang mereka ajarkan adalah pencapaian-pencapaian budaya
nenek moyang mereka. Pendidikan negara-negara maju ini, dilihat secara budaya,
merupakan garis lurus perjalanan cara berpikir, cara berbuat dan semua produk
kegiatan itu. Sementara kita mempunyai garis sejarah budaya yang berbeda
--Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
·
Masyarakat
Indonesia itu memiliki sejarah cara berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem
pengetahuan mereka sendiri, mempunyai warisan-warisan nilai-nilai sendiri,
mempunyai organisasi sosialnya sendiri --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma
Indonesia 2003.
·
Bagi
masyarakat Indonesia, filsafat bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus
dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Filsafat sebagai wacana
kurang dilakukan, tetapi filsafat sebagai 'pegangan hidup' sejak dulu
dipraktikkan. Inilah sebabnya, untuk mengetahui 'filsafat' orang Indonesia,
kita perlu membacanya dalam berkas-berkas hasil tindakannya. Filsafat
masyarakat Indonesia adalah praktik hidupnya sehari-hari. Filsafat Indonesia
tidak berwujud diskusi-diskusi verbal yang abstrak rasional seperti biasa kita
baca dalam sejarah Barat (Eropa-Amerika) --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma
Indonesia 2003.
·
Orang
Papua menjalankan filsafat Papua, orang Jawa menjalankan filsafat Jawanya,
orang Sunda, orang Minang, orang Bugis, orang Melayu, orang Dayak,
masing-masing menjalankan filsafatnya. Bahwa mereka memang demikian, terlihat
dari caranya membangun rumah adat mereka yang berbeda-beda, dalam menganyam
ragam hias pakaian mereka, dalam melukiskan simbol-simbol mereka, dalam
jargon-jargon hidup kesukuan mereka, semuanya berbeda-beda --Jakob Sumardjo, Mencari
Sukma Indonesia 2003.
·
Mengapa
sikap politik Bung Karno berbeda dengan Bung Syahrir, Bung Hatta dan Tan
Malaka? Tidak adakah pola pikir pra modern dibelakangnya? Mengapa Habibie
berbeda dengan Gus Dur? Mengapa sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX semacam itu
dalam sejarah RI? Semua itu dapat dijelaskan dari pola pikir struktural
masyarakat lokal yang membesarkan mereka --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma
Indonesia 2003.
·
Lantas
nenek moyang kita dulu itu kerjanya apa? Mencangkul melulu? Yang jelas, bangsa
apa pun, memiliki tradisi pemikiran mereka sendiri. Orang Aborigin saja punya
--Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
·
Meskipun
pada usia sepuluh tahun saya dibawa ke desanya Foucault, tetap saja Klaten saya
bawa-bawa. Dan orang sana juga tahu (meskipun bahasa Perancis saya cas cis cus)
saya tetap orang udik pedalaman Jawa --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma
Indonesia 2003.
·
Saya
bisa menikmati musik Jazz atau komposisi Mozart atau Beethoven, tetapi apabila
saya mendengarnya saya tidak pernah merasa melihat diri saya sendiri dan berada
di rumah sendiri. Saya bisa berjingkrak-jingkrak mendengarkan musik rock atau
reggae, tetapi tetap merasa tidak di rumah sendiri. Ini berlainan dengan
apabila saya mendengar lagu keroncong, gending-gending Jawa dan Madura, degung
dan kecapi Sunda, atau gamelan Bali. Di sana saya merasa di rumah dan melihat
diri sendiri. Suatu jenis musik bisa dikatakan sebagai hasil kebudayaan bangsa,
apabila ia lahir dan tumbuh, serta dicipta oleh seniman yang hidup di negeri
tempat bangsa itu besar dan tumbuh. Unsur-unsurnya mungkin dipengaruhi oleh
kebudayaan lain di luarnya, tetapi ia bukan hasil tiruan dan jiplakan, bukan
karena di-xerox. Tumbuhnya pula bukan disebabkan oleh adanya industri hiburan,
melainkan disebabkan oleh kreativitas dan keperluan masyarakat pendukungnya itu
sendiri --Abdul Hadi WM, Islam,
Tradisi Estetika dan Sastranya di Indonesia 2006 mempertanyakan segala hal.
C. MAZHAB PEMIKIRAN
Ada 7
(tujuh) mazhab pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategorisasi mazhab
didasarkan pada tiga hal: pertama, didasarkan pada segi keaslian yang
dikandung suatu mazhab filsafat tertentu (seperti pada 'mazhab etnik'); kedua,
pada segi pengaruh yang diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (seperti
'mazhab Tiongkok', 'mazhab India', 'mazhab Islam', 'mazhab Kristiani', dan
'mazhab Barat'), dan ketiga, didasarkan pada kronologi historis (seperti
'mazhab paska-Soeharto'). Berikut ini adalah sketsa mazhab-mazhab pemikiran
dalam Filsafat Indonesia dan filsuf-filsuf mereka yang utama.
1. Mazhab Etnik
Mazhab
ini mengambil filsafat etnis Indonesia sebagai sumber inspirasinya. Asumsi
utamanya ialah mitologi, legenda, cerita rakyat, cara suatu kelompok etnis
membangun rumahnya dan menyelenggarakan upacara-upacaranya, sastra yang mereka
hasilkan, epik-epik yang mereka tulis, semuanya melandasi bangunan filsafat
etnis tersebut. ‘Filsafat’ ini tidak dapat berubah; ia senantiasa sama, dari
awal-mula hingga akhir dunia, dan ia senantiasa merupakan ‘Yang Baik’.
‘Filsafat’ ini mengajarkan setiap anggota kelompok etnis tersebut tentang
asal-mula lahirnya kelompok etnis itu ke dunia (bahasa Jawa, sangkan)
dan tentang tujuan (telos) hidup yang akan dicapai kelompok etnis itu
(bahasa Jawa, paran), sehingga anggotanya tidak akan sesat dalam hidup.
Mazhab ini
melestarikan filsafat-filsafat etnis Indonesia yang asli, karena
filsafat-filsafat itu telah dianut erat oleh anggota etnis sebelum mereka
berhubungan dengan tradisi-tradisi filosofis asing yang datang kemudian.
Kebanyakan
tokoh mazhab ini berasumsi bahwa orang Indonesia kontemporer berada pada posisi
‘buta’ terhadap nilai-nilai asli mereka. Jakob Sumardjo, misalnya, berpandangan
bahwa banyak orang Indonesia sekarang yang …lupa melestarikan nilai-nilai
asli mereka… dan …lupa masa-lalu, lupa asal-mula, mereka seperti orang
hilang-ingatan… yang …mengabaikan sejarah nasional mereka sendiri…
(Sumardjo 2003:23, 25). Akibatnya, mereka ‘terasingkan’; teralienasi dari
‘budaya-budaya ibu mereka’ (Sumardjo 2003:53). Gagalnya kebijakan pendidikan
Indonesia, bagi Jakob, disebabkan oleh ‘kebutaan’ terhadap budaya asli
Indonesia ini (Sumardjo 2003:58). Karena itu, misi penting dari mazhab filsafat
ini ialah menggali, mengingat, dan menghidupkan-kembali nilai-nilai etnis yang
asli, karena nilai-nilai merupakan ‘ibu’ (lokalitas adalah ibu manusia),
sedangkan manusia ialah ‘bapak’ keberadaan (balita ialah bapak manusia)
(Sumardjo 2003:22).
Berikut ini adalah beberapa
pandangan filsosofis yang dianut mazhab ini:
·
Adat
·
Pantun
·
Pepatah
2. Mazhab Tiongkok
Para
filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan
migrant-migran Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan
memperkenalkan Taoisme dan Konfusianisme kepada mereka (Larope 1986:4). Dua
filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan
berbaur; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi
dicerai-beraikan (SarDesai 1989:9-13). Salah satu dari sisa baurnya
filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktikkan oleh semua orang
Indonesia, adalah ajaran hsiao dari Konghucu (bahasa Indonesia, menghormati
orangtua). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati
orangtuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orangtuanya sebelum ia
mengutamakan orang lain.
Mazhab
Tiongkok kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit
anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang
disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat
penting. Sun
Yat-senisme, Maoisme, dan Neo-maoisme
merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada
awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI)
(Suryadinata 1990:15).
Filsuf-filsuf
utama dari mazhab ini, di antara yang lainnya, adalah: Tjoe
Bou San, Kwee Hing Tjiat,
Liem Koen Hian, Kwee
Kek Beng, dan Tan
Ling Djie.
3. Mazhab India
Pembauran
atau difusi filsafat-filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum Brahmana Hindu
dan penganut Buddhisme dari India antara tahun 322 SM-700 M.
Mereka memperkenalkan kultur Hindu dan kultur Buddhis kepada penduduk asli,
sementara penduduk asli meresponinya dengan menyintesa dua filsafat India itu
menjadi satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan Tantrayana. Ini jelas tercermin pada bangunan Candi Borobudur oleh Dinasti Sailendra pada tahun
800-850 M. (SarDesai, 1989:44-47). Rabindranath Tagore,
seorang filsuf India yang mengunjungi Borobudur pertama kalinya, mengakui candi
itu sebagai candi yang tidak-India, karena relik-relik yang dipahatkan
padanya merepresentasikan pekerja-pekerja lokal yang berbusana gaya Jawa asli.
Ia juga mengakui bahwa tarian-tarian asli Jawa yang terilhami dari epik-epik
India tidak menyerupai tarian-tarian India, meskipun tarian-tarian dua negeri
tersebut bersumber dari sumber yang sama.
Hindu
dan Buddhisme—dua filsafat yang saling berlawanan di
India—bersama-sama dengan filsafat Jawa asli dapat didamaikan di Indonesia oleh
kejeniusan Sambhara
Suryawarana, Mpu Prapanca,
dan Mpu Tantular.
4. Mazhab Islam
10-abad
proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan Sufisme Persia, dan Sufisme mulai mengakar dalam
perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya.
Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam yang masif di
Indonesia (Nasr 1991:262). Raja-raja dan
sultan-sultan seperti Sunan Giri, Sunan
Gunungjati, Sunan Kudus, Sultan Trenggono, Pakubuwana II, Pakubuwana IV, Sultan Ageng Tirtayasa,
Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah, Engku Haji Muda Raja Abdullah Riau hingga Raja
Muhammad Yusuf adalah raja-sufi; mereka mempelajari Sufisme
dari guru-guru Sufi terkemuka (Perpustakaan Nasional 2001:12-39).
Sufisme
di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok: Ghazalisme
dan Ibn
Arabisme. Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran Al-Ghazali, sedangkan Ibn Arabisme dari
doktrin-doktrin Ibn
Arabi. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah seperti Nuruddin Al-Raniri,
Abdurrauf
Al-Singkeli, Abd al-Shamad Al-Palimbangi, dan Syekh
Yusuf Makassar, sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah Hamzah Al-Fansuri, Al-Sumatrani,
Syekh Siti Jenar, dan lain-lain (Nasr
1991:282-287).
Wahhabisme-Arab
juga pernah diadopsi oleh Raja Pakubuwana IV dan Tuanku Imam Bonjol,
yang misi utamanya ialah menghapus Sufisme dan menggantikannya dengan
ajaran-ajaran Quranik (Hamka 1971:62-64).
Di saat Modernisme
Islamik, yang memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam
dengan filsafat
Pencerahan Barat, dimulai oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin
Al-Afghani di Mesir tahun 1800-an, maka muslim-muslim
di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini nampak jelas dalam
karya-karya yang dihasilkan oleh Syaikh
Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Haji Abdul Karim
Amrullah, Kyai
Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir,
Oemar Said Tjokroaminoto,
Haji Agus Salim, Haji
Misbach, dan lain-lain (Noer 1996:37).
5. Mazhab Barat
Sejak
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan ‘Politik Hati Nurani’ (Politik
Etis) di awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda
menjamur dimana-mana dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas
feudal, yang hendak bekerja di lembaga-lembaga kolonial. Sekolah-sekolah
berbahasa Belanda itu mengajarkan Filsafat Barat sebagai mata-pelajarannya.
Misalnya, Filsafat
Pencerahan—filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di
Indonesia, setelah 5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak
alumni sekolah tersebut yang melanjutkan studi mereka di
universitas-universitas Eropa. Mereka lantas muncul sebagai kelompok elit baru
di Indonesia yang merupakan generasi pertama intelligentsia bergaya
Eropa, yang kelak menganut Filsafat Barat
untuk menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.
Filsafat
Barat mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan republik Indonesia, konstitusinya serta distribusi kekuasaan (distribution
of power), partai politik
dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model
Barat. Bahkan ideologinya ``Pancasila’’ (Yang telah diciptakan
oleh Soekarno atau yang kemudian disalahgunakan oleh Soeharto), terinspirasi dari ideal-ideal Barat
tentang humanisme, demokrasi-sosial,
dan sosialisme
nasional Nazi Jerman, seperti yang nampak dalam pidato-pidato
anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun
1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa
‘Indonesia Modern’ dibangun di atas cetak-biru Barat.
Sangat
menarik untuk diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh
hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan
dan situasi Indonesia yang kontemporer dan kongkrit. Misalnya, Soekarno, yang
mengadaptasi demokrasi Barat dengan situasi rakyat Indonesia
yang masih berjiwa feudalistik, sehingga ia menciptakan apa yang kemudian
disebut Demokrasi Terpimpin (Soekarno 1963:376). D.N. Aidit dan Tan Malaka mengadaptasikan Marxisme-Leninisme
dengan situasi Indonesia (Aidit 1964:i-iv; Tan Malaka 2000:45-56) dan Sutan Syahrir yang mengadaptasikan Demokrasi-Sosial
dengan konteks Indonesia (Rae 1993:46).
6. Mazhab Kristiani
Bersama-sama
dengan pencarian kapitalis
Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran Kristen mendatangi pedagang-pedagang Indonesia
pada pertengahan abad 15 (Lubis 1990:78). Pertama-tama yang datang ialah
pedagang-pedagang Portugis, lalu kapitalis-kapitalis Belanda yang berturut-turut menyebarkan ajaran Katolik dan ajaran Calvin. Fransiskus Xaverius,
pewarta Katolik pertama dari Spanyol yang
menumpang kapal Portugis, menerjemahkan Credo, Confession
Generalis, Pater Noster, Ave Maria, Salve Regina, dan Sepuluh
Perintah Tuhan ke bahasa Melayu
antara tahun 1546-1547, yang melaluinya ajaran Katolik
dapat disebar-luaskan kepada penduduk Hindia Belanda (Lubis 1990:85).
Gereja-gereja Katolik pun didirikan dan penganut Katolik Indonesia berjejalan,
namun tak lama kemudian para pastor Katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk
pindah ke Kalvinisme oleh penganut-penganut Kalvin Belanda yang datang ke
Indonesia pada sekitar tahun 1596. Gereja Reformasi Belanda
(Nederlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai gantinya. Jan Pieterszoon Coen,
salah seorang Gubernur-Jenderal
VOC tahun 1618, adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Ia mendudukkan
semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut Ziekentroosters)
di bawah kendalinya (Lubis 1990:99).
Sekolah-sekolah
Katolik bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis
bergaya Belanda terbuka untuk penduduk Hindia Belanda. Tidak hanya diajarkan teologi di dalamnya, tapi juga Filsafat
Kristen (Christian Philosophy). Satu sekolah lalu menjadi
beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-universitas
swasta Katolik dan Protestan
yang mengajarkan Filsafat Kristen di dalamnya. Misioner-misioner dan
pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel Master dalam bidang
filsafat dari universitas Eropa, berdatangan untuk memberikan kuliah pada
universitas Kristen Indonesia (Hiorth 1987:4). Dari universitas-universitas
tersebut keluarlah banyak lulusan yang menguasai Filsafat Kristen, seperti Nico
Syukur Dister, J.B.
Banawiratma, Franz Magnis-Suseno,
Robert
J. Hardawiryana, Y.B. Mangunwijaya, TH.
Sumartana, Martin
Sinaga, dan lain-lain. Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang
berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru
besar di sekolah tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang
terkenal dari beliau adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
7. Mazhab Paska-Soeharto
Mazhab
ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama
masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998.
Perhatian utama mereka ialah Filsafat Politik, yang misi utamanya ialah mencari
alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani
menantang Soeharto, setelah ia berhasil memb isukan
semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada
beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka
dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai Peristiwa
ITB Bandung 1973 dan Peristiwa Malari 1974. Sejak praktik kekerasan
itu, filsafat hanya dapat dipraktikkan dalam utopia;
praksis
dan inteleksi
dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya penalaran yang mungkin bisa bertahan. Era
Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’,
dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat
dipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan
ditundukkan. Pancasila menjadi satu-satunya ideologi dan
filsafat di era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan
Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945) (Hidayat 2004:49-55).
Dalam
‘lingkaran setan’ rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak
memutuskan mata-rantai lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf
paska-Soeharto’, di antaranya seperti: Sri-Bintang
Pamungkas, Budiman Sudjatmiko,
Muchtar
Pakpahan, Sri-Edi
Swasono, dan Pius
Lustrilanang.
DAFTAR PUSTAKA
A.
KESIMPULAN
Dapat
di simpulkan bahwa filsafat indonesia merupakan filsafat yang berasal dari
indonesia itu sendiri. Hal ini di ambil dari banyaknya suku bangsa yang ada
B.
SARAN
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Indonesia
·
Soekarno, Di
Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Penerbitan, 1963.
·
Nasroen, M.,
Falsafah Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967.
·
Hamka,
Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
·
Alisjahbana, S.
Takdir., Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Ditinjau dari Jurusan
Nilai-Nilai, Jakarta: Yayasan Idayu, 1977.
·
Parmono, R.,
Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 1985.
·
Larope, J., IPS
Sejarah, Surabaya: Penerbit Palapa,1986.
·
Sunoto, Menuju
Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita Offset1987
·
Suryadinata,
Leo., Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien,
Jakarta: LP3ES, 1990.
·
BPUPKI, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
& Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretaris
Negara Republik Indonesia, 1995.
·
Malaka, Tan.,
Aksi Massa (Mass Action), Jakarta: CEDI & Aliansi Press, 2000.
·
Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa dan Sebaliknya:
Seri Kliping Perpustakaan Nasional dalam Berita Vol.II No.1, Jakarta: Sub
Bagian Humas Perpustakaan Nasional RI, 2001.
·
Sumardjo,
Jakob., Mencari Sukma Indonesia, Yogyakarta: AK Group, 2003.
·
Hidayat, Ferry.,
Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, paper yang tidak diterbitkan, 2004.
Referensi dalam Bahasa Inggris
- Alisjahbana, S. Takdir. Indonesia in The Modern World (translated into English by Benedict R. Anderson), New Delhi: Prabhakar Padhye, 1961.
- Aidit, D.N., The Indonesian Revolution and The Immediate Tasks of Communist Party of Indonesia, Peking: Foreign Languages Press, 1964.
- Hiorth, Finngeir., Philosophers in Indonesia: Southeast Asian Monograph Series No.12, Townsville: James Cook University of North Queensland, 1983. ISBN 0-86443-083-3 (Australia)
- SarDesai, D.R., Southeast Asia: Past & Present, San Francisco: Westview Press, 1989.
- Lubis, Mochtar., Indonesia: Land under The Rainbow, Singapore: Oxford University Press, 1990. ISBN 0-19-588977-0
- Nasr, Syed Hossein., Islamic Spirituality II: Manifestations, New York: Crossroad, 1991.
- Rae, Lindsay. (1993) 'Sutan Syahrir and the Failure of Indonesian Socialism' dalam McIntyre, Angus (ed.), Indonesian Political Biography: In Search of Cross-Cultural Understanding, Victoria: Monash University, Centre of Southeast Asian Studies. ISSN 0727-6680
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar