Sejarah
Perkembangan Agama Hindu
Oleh: Putradi
Agama
Hindu di India, sering disebut dengan nama Sanatana Dharma, yang berarti agama yang kekal,
atau Waidika Dharma, yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda.
Menurut para ahli, agama tersebut terbentuk dari campuran antara agama India
asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya. Sebelum
kedatangan bangsa Arya, di India telah lama hidup bangsa-bangsa Dravida yang
telah mencapai suatu tingkat peradaban yang tinggi sebagaimana dibuktikan oleh
penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap wilayah Lembah Indus. Peradaban
lembah ini dalam satu segi juga menunjukkan gambaran keagamaan yang ada pada
waktu itu, yang tetap dapat dilacak dalam agama Hindu sekarang ini.
Secara
garis besar seraca perkembangan agama Hindu dapat
dibedakan menjadi tiga tahap. Tahapan pertama sering disebut dengan zaman Weda,
yang dimulai dengan masuknya bangsa Arya di Punjab hingga munculnya agama
Buddha. Pada masa ini dikenal adanya tiga periode agama yang disebut dengan
periode tiga agama penting (tiga agama besar). Ketiga periode ini adalah
periode ketika bangsa Arya masih berada di daerah Punjab (1500-1000 S.M.).
Agama dalam periode pertama lebih dikenal sebagai agama Weda Kuno atau agama
Weda Samhita. Periode kedua ditandai oleh munculnya agama Brahmana, di mana
para pendeta sangat berkuasa dan terjadi banyak sekali perubahan dalam hidup
keagamaan (1000-750 S.M.).
Perubahan
tersebut lebih bersifat dari dalam agama Weda sendiri dibanding perubahan
karena penyesuaian agama Weda dengan kepercayaan-kepercayaan yang berasal dari
luar. Agama Weda pada periode kedua ini lebih dikenal dengan nama agama
Brahmana.
Periode
ketiga ditandai oleh munculnya pemikiranpemikiran kefilsafatan ketika bangsa
Arya menjadi pusat peradaban sekitar sungai Gangga (750 - 500 S.M.). Agama Weda
periode ini dikenal dengan agama Upanishad.
Tahapan
kedua adalah tahapan atau zaman agama Buddha, yang mempunyai corak yang sangat
lain dari agama Weda. Zaman agama Buddha ini diperkirakan berlangsung antara
500 S.M.-300 M. Tahapan ketiga adalah apa yang dikenal sebagai zaman. agama
Hindu, berlangsung sejak 300 M. hingga sekarang.
Agama
Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke Indonesia,
bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di Jawa. Agama Hindu masuk ke
Nusantara, tidak dapat diketahui secara pasti. interpretasi terhadap penemuan
kepurbakalaan, peninggalan karya tulis dan sebagainya, juga tidak memberikan
informasi tentang siapa nama pembawa agama tersebut
Ada
beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India terhadap Indonesia
dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat kebiasaan yang ada di
sekitar kraton. Dari sini barangkali dapat dipahami bahwa masuknya pengaruh
tersebut bukan melalui kasta-kasta Sudra, Waisya ataupun Ksatria, tetapi oleh
para Brahmana, karena merekalah yang berwenang membaca kitab suci dan
menentukan peribadatan.
Ajaran
tentang samsara, karma, yang tidak terlepas dari ajaran kasta yang dikaitkan
dengan kelahiran seseorang memungkinkan dugaan bahwa agama Hindu bukan agama
dakwah dan tidak mencari pengikut. Yang sering menjadi persoalan adalah
bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan kraton tersebut. Dugaan
kuat dalam hal ini ialah bahwa yang aktif adalah orang-orang Indonesia sendiri.
Karena
adanya hubungan dagang dengan orang-orang India, maka banyak rakyat yang juga
hidup berdagang dan menjadi kaya. Hubungan raja dan rakyat juga baik sehingga
para raja juga menghargai para Brahmana tersebut. Dalam lingkungan kehidupan
beragama, para pedagang yang beragama Hindu memerlukan para Brahmana. Oleh
karena itu para Brahmana tersebut memiliki kesempatan untuk berada dalam
lingkungan kraton. Hal ini terbukti dengan penemuan prasasti di Kutai yang
menunjukkan bahwa untuk keperluan sedekah raja memberikan beberapa ekor sapi
kepada para Brahmana.
Aliran
agama Hindu yang paling besar pengaruhnya adalah aliran Siwa dan Tantra (abad
6). Di Indonesia, aliran Tantra dan agama Buddha yang sempat mendesak Tantra
keluar dari India justru menyatu dengan sebutan agama Siwa-Buddha. Percampuran
antara keduanya terlihat jelas pada zaman kerajaan Singasari (1222-1292).
Dari
penemuan prasasti dapat diketahui bahwa perkembangan pengaruh agama Hindu di
Indonesia tetap berpusat di sekitar Kraton, sungguhpun ada juga, karena jarak
yang jauh, berpusat di biara-biara dan pemakaman- pemakaman. Prasasti Kutai
dari zaman raja Mulawarman (abad ke-5) menunjukkan bahwa korban sesajian oleh
raja dilaksanakan dan diselenggarakan sesuai dengan ajaran kitab Manusmrti.
Pemujaan ditujukan mungkin kepada Siwa dan mungkin kepada Wisnu.
Di
Jawa Barat, prasasti dari raja Purnawarman menunjukkan bahwa agama yang
berpengaruh adalah agama Hindu aliran Wisnu; sementara prasasti di Jawa Tengah
dari zaman raja-raja Sanjaya (723) memperlihatkan bahwa agama yang berpengaruh
adalah agama Hindu aliran Siwa.
Tahun
928, pusat Kraton yang ada di Jawa Timur (dinasti raja Sendok) lebih bercorak
Wisnu. Peninggalan-peninggalan kitab sesudah zaman itu (yaitu sekitar abad
ke-10) adalah kitab Brahmandapurana yang di antara isinya adalah tentang
penciptaan (kosmogoni), silsilah para Resi, keterangan-keterangan tentang
kasta, asrama, yogi dan sebagainya.
Aliran
Tantra mencapai puncak perkembangannya pada zaman Singasari dan Majapahit Dalam
kitab Nagarakertagama disebutkan bahwa raja Kertanegara menekuni kitab Subhuti
Tantra. Menurut kitab Pararaton, ia adalah seorang pemabuk, seorang pemuja yang
erat hubungannya dengan upacara pancatattwa (Lima-M). Raja Adityawarman
dinobatkan dalam upacara Bhairawa karena ia adalah penganut sekte Siwa yang
menekankan pada aliran Tantrayana. Menurut prasasti Surowaso (1375), ia
dinobatkan menjadi Bhairawa di Ksetra dengan duduk di atas singgasana yang
terdiri dari tumpukan mayat sambil tertawa terbahak-bahak dan minum darah.
Sebagai korban dibakar mayat-mayat yang baunya dikatakan seperti harumnya
berjutajuta bunga. Di Padang Lawas Sumatra, paham Tantrayana juga mengutamakan
Bhairawa.
Dalam
perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat keagamaan di kraton, juga terdapat
pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut Paguron atau mandala atau kasturi.
Ditempat-tempat ini para pendeta memberikan pelajaran. Kitab-kitab yang ada
pada waktu itu adalah kitab Tantu Panggelaran, juga kitab Nawaruci yang juga
disebut dengan kitab Tattwajnana. Kitab terakhir ini penting karena mistik yang
terdapat di dalamnya sampai sekarang masih berlaku di kalangan tertentu. Dasar
fikiran dan mistik itu sendiri juga terdapat dalam kitab-kitab Suluk yang sudah
mendapat pengaruh dari Islam.
Di
Bali, pengaruh Majapahit sangat kuat. Oleh karena itu, agama Hindu Jawa pun
sangat berpengaruh di sana, yang lama kelamaan bercampur dengan agama asli Bali
yang disebut agama Tirta dan kemudian disebut agama Hindu Dharma.
Agama
asli Bali mempunyai kepercayaan terhadap para dewa yang dihindukan sesuai
dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali mempercayai para dewa yang
dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di samping percaya terhadap roh-roh
jahat. Dewa-dewa yang berasal dari HinduJawa disebut dengan Bhatara, yang
terpenting di antaranya adalah Bhatara Brahma (Dewa Api), Bhatara Surya (Dewa
Matahari), Bhatara Indra (dewa penguasa surga), Bhatara Yama (Penguasa maut)
dan Dhatari Durga (Dewi Maut atau Kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi
yang menguasai dan memiliki kekuatan para dewa lainnya. Bahkan, semua dewa
adalah penjelmaannya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, agama Hindu di Indonesia mengalami perkembangan
sekaligus perubahan-perubahan yang sangat mendasar karena faktor-faktor sosial
ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan perkembangan agama Islam. Penyempurnaan
dan perubahan tersebut bukan hanya menyangkut penyelenggaraan upacara keagamaan
tetapi juga dalam konsep keagamaannya.
Beberapa
tokoh muda kemudian mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan yang
disebut Trimurti, yang bertujuan menembus pembaharuan di bidang keagamaan. Di
Singaraja, Bali,. lahir organisasi Bali Dharma Laksana yang berusaha untuk menyusun
kitab suci yang jelas. Pada zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma oleh
pemerintah yang dimaksudkan untuk mempersatukan paham keagamaan Bali dan
sebagai perantara dengan pemerintah Jepang.
Pada
waktu itu agama disebut dengan Siwa Raditya atau agama Sanghyang Surya yang
mengutamakan pemujaan terhadap matahari. Pada tahun 1950, badan tersebut
berubah menjadi Majelis Hinduisme. Sejak tahun ini ada lagi
organisasi-organisasi keagamaan yang muncul yaitu Wiwada Sastra Sabda dan Panti
Agama Hindu Bali. Dari sinilah muncul ide pengakuan agar Hindu Bali sebagai
agama resmi di Indonesia, yang baru berhasil diperjuangkan pada tahun 1958.
Sejak saat itu minat untuk memajukan agama Hindu Bali semakin meningkat Langkah
pertamanya adalah pemurnian agama Hindu.
Sesudah
mendapatkan pengakuan resmi, para pemimpin Hindu Bali membentuk muktamar
Parisada Dharma Hindu Bali pada tahun 1959 yang kemudian menjadi Parisada Hindu
Dharma pada tahun 1964. Usaha utama organisasi tersebut ialah memajukan Hindu,
Dharma dengan. mendirikan pendidikan menengah yaitu Pendidikan Guru Agama Atas
dan pendidikan tinggi yaitu Institut Hindu Dharma yang salah satu fakultasnya
adalah Fakultas Agama.
Referensi
AG. Honig, JR, Ilmu Agama I,
di Indonesiakan oleh Soesastro dan Sugiarto, (Gunung Mulia, Jakarta, 1992).
Agus Hakim, Perbandingan Agama, (CV Diponegoro, Bandung, 1993). Houston
Smith, Agama-Agama Manusia, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2001).
0 komentar:
Posting Komentar